Mbojo. Nama ini bukan sekadar penanda geografis untuk wilayah Bima di ujung timur Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Mbojo adalah narasi abadi tentang sebuah peradaban maritim yang kuat, sebuah kesultanan yang menjalin hubungan diplomasi dari Makassar hingga Malaka, dan yang terpenting, ia adalah identitas filosofis yang tertanam kuat dalam jiwa Dou Mbojo, Sang Manusia Bima. Artikel ini mengajak kita menyelami lapisan-lapisan kekayaan Mbojo, dari jejak sejarah kuno yang terukir di batu, hingga falsafah hidup yang membentuk masyarakatnya di tengah tantangan zaman.
Identitas Mbojo terbentuk di atas pijakan dualitas: keindahan alam yang keras—dibatasi oleh laut luas dan diawasi oleh Gunung Tambora yang perkasa—serta sistem adat dan agama yang terstruktur rapi. Warisan budaya yang dipertahankan bukan sekadar ritual masa lalu, melainkan praktik hidup sehari-hari yang menjamin keseimbangan antara individu, komunitas, dan Tuhan. Memahami Mbojo berarti memahami bagaimana sebuah masyarakat mampu menjaga keagungannya melalui Sara (Hukum) dan Adat (Tradisi) yang terintegrasi secara harmonis.
Sejarah Mbojo jauh melampaui masa kedatangan Islam atau bahkan kolonialisme. Situs-situs arkeologi menunjukkan bahwa wilayah ini telah dihuni oleh komunitas yang terorganisir sejak zaman prasejarah. Posisi strategisnya di jalur rempah-rempah kuno menjadikannya titik persinggahan penting dalam jaringan perdagangan Asia Tenggara. Sumber-sumber tertulis Tiongkok dan catatan kuno Jawa (seperti Nagarakretagama) telah menyebut keberadaan entitas politik di Sumbawa bagian timur, mengindikasikan bahwa Mbojo telah lama menjadi pusat kekuasaan.
Tradisi lisan Mbojo—yang terangkum dalam berbagai hikayat dan tari Mbojo—menceritakan garis keturunan Raja-Raja awal yang berjumlah 28 orang sebelum Islam datang. Garis suksesi ini memberikan landasan legitimasi yang kuat bagi sistem monarki lokal. Raja pertama yang sering disebut adalah Naka, pemimpin legendaris yang mendirikan fondasi kerajaan. Sistem pemerintahan yang berakar pada adat istiadat yang sudah matang ini memastikan bahwa ketika perubahan besar, seperti Islamisasi, tiba, ia dapat diserap tanpa meruntuhkan struktur sosial yang telah ada.
Periode ini ditandai dengan interaksi yang intensif dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, terutama Jawa dan Sulawesi. Pengaruh Majapahit, meskipun tidak dominan secara politik, meninggalkan jejak pada beberapa aspek kebudayaan dan sistem administrasi awal. Namun, Mbojo berhasil mempertahankan independensi politiknya, mengembangkan identitas khas yang membedakannya dari kerajaan-kerajaan tetangga di bagian barat Sumbawa.
Titik balik terpenting dalam sejarah Mbojo adalah kedatangan Islam pada abad ke-17. Islam dibawa oleh ulama penyebar dari Makassar, Sulawesi Selatan, terutama melalui peran monumental Dato’ Ri Bandang (Abdul Makmur) dan rekan-rekannya. Proses Islamisasi di Bima terbilang unik karena ia tidak menghapus tradisi lama, melainkan mengintegrasikannya. Falsafah Adat Bersendikan Syara', Syara' Bersendikan Kitabullah menjadi pedoman utama.
Raja Mbojo yang pertama kali memeluk Islam dan kemudian memproklamirkan Kesultanan Bima adalah La Kai (yang bergelar Sultan Abdul Kahir). Di bawah kepemimpinan beliau, Kesultanan Bima mencapai puncak kejayaannya. Sultan Abdul Kahir bukan hanya seorang pemimpin agama, tetapi juga seorang diplomat ulung dan penguasa maritim yang disegani. Kesultanan Bima menguasai jalur pelayaran vital dan memiliki angkatan laut yang mampu melindungi wilayahnya. Perluasan wilayah kekuasaan Kesultanan Bima pada masa ini mencakup sebagian besar wilayah timur Sumbawa hingga beberapa pulau kecil di sekitarnya.
Kesultanan Bima, dengan ibu kota diistana Asi Mbojo, membangun pusat pemerintahan yang maju, dilengkapi dengan sistem irigasi, pasar yang ramai, dan tata kota yang efisien. Dokumentasi mengenai masa keemasan ini banyak terdapat dalam naskah kuno yang disebut Bo’ Sangaji Kai (Kitab Raja-Raja), yang merupakan salah satu sumber sejarah terlengkap di Indonesia Timur.
Alt Text: Garis Waktu Mbojo yang menunjukkan transisi dari periode Pra-Islam, masa Kesultanan, hingga periode Kolonial.
Inti dari identitas Mbojo terletak pada sistem tata kelola dan filosofi yang disebut Nggusu Waru, yang secara harfiah berarti "Delapan Sudut" atau "Delapan Tiang Penyangga." Nggusu Waru adalah bingkai moral, sosial, politik, dan spiritual yang menjadi pedoman Kesultanan Bima dan kehidupan masyarakatnya. Ini adalah contoh luar biasa dari bagaimana adat dan syariat dapat bersinergi untuk menciptakan masyarakat yang beradab dan teratur. Delapan sudut ini bukan sekadar prinsip, tetapi merupakan institusi yang dijalankan oleh pejabat tertentu, memastikan bahwa kekuasaan Sultan terbagi dan terkontrol.
Pembagian kekuasaan dalam Nggusu Waru sangat rinci, menciptakan keseimbangan yang mencegah otokrasi. Kekuasaan tertinggi ada pada Sultan, namun ia wajib tunduk pada konsultasi dan implementasi dari delapan pilar ini. Pilar-pilar tersebut meliputi:
Struktur yang kompleks ini menunjukkan kecerdasan politik leluhur Mbojo dalam membangun sistem yang responsif dan berkelanjutan. Setiap pilar memiliki kewenangan otonom dalam bidangnya, namun mereka harus saling berkoordinasi di bawah payung Sara Dana Adat. Falsafah ini mengajarkan bahwa kepemimpinan adalah tanggung jawab kolektif, bukan individual.
Selain struktur politik, Nggusu Waru juga memengaruhi etika sosial. Nilai-nilai seperti Hao (malu), Mada (takut/taat), dan Mata'u (tanggung jawab) menjadi inti dari karakter Dou Mbojo. Kehidupan sehari-hari sangat dipengaruhi oleh penghormatan terhadap orang tua, menjaga nama baik keluarga, dan menjunjung tinggi kebenaran. Dalam konteks ini, keberanian dan harga diri (Mori) menjadi aset sosial tertinggi. Seseorang yang kehilangan Mori dianggap telah kehilangan martabatnya sebagai Dou Mbojo sejati.
Bagi Dou Mbojo, adat bukan hanya seperangkat aturan yang harus dipatuhi; ia adalah cara untuk mencapai kesempurnaan moral. Oleh karena itu, pelanggaran terhadap adat dianggap setara dengan pelanggaran terhadap syariat, karena keduanya bersumber dari tujuan yang sama: menciptakan ketertiban (Ria) dan keadilan (Sumbere).
Kebudayaan Mbojo adalah perpaduan dinamis antara tradisi agraris, nilai-nilai maritim, dan pengaruh Islam yang mendalam. Dari tata busana hingga seni bela diri, setiap aspek budaya Mbojo memiliki makna filosofis yang kaya.
Salah satu warisan visual Mbojo yang paling mencolok adalah Rimpu, cara berbusana bagi kaum wanita yang menggunakan sarung tenun (biasanya Tembe Mbojo) untuk menutupi seluruh tubuh kecuali bagian wajah (atau mata, tergantung jenis Rimpu). Rimpu adalah simbol kemuliaan, kesopanan, dan ketaatan kepada agama.
Ada dua jenis utama Rimpu:
Penggunaan Rimpu adalah manifestasi visual dari ajaran Islam yang terintegrasi dengan budaya lokal. Ia bukan sekadar pakaian, tetapi narasi tentang peran wanita Mbojo dalam menjaga marwah keluarga dan masyarakat.
Tenun Mbojo, yang dikenal sebagai Tembe Nggoli atau Tembe Donggo, adalah karya seni yang melibatkan proses panjang dan sarat makna. Kain tenun ini digunakan tidak hanya untuk Rimpu, tetapi juga untuk pakaian adat pria (Donde) dan upacara pernikahan. Motif-motif yang diangkat sering kali berupa flora dan fauna endemik Mbojo, serta pola-pola geometris yang melambangkan kesuburan dan keseimbangan kosmik.
Warna-warna pada tenun juga memiliki arti khusus. Merah dan kuning sering digunakan dalam upacara kebesaran, sementara warna gelap melambangkan keteguhan. Keterampilan menenun diwariskan secara turun-temurun, menjadikannya bagian integral dari ekonomi rumah tangga dan pelestarian identitas.
Karakter Dou Mbojo yang dikenal keras dan menjunjung tinggi kehormatan juga termanifestasi dalam seni bela diri tradisional. Mpa’a Tutu adalah seni tinju tradisional yang berfungsi ganda: sebagai hiburan dan sebagai sarana melatih keberanian serta kedisiplinan. Pertarungan ini sering diadakan setelah panen sebagai wujud syukur dan ajang sportifitas.
Selain tinju, Mbojo juga memiliki tradisi Hadangan (pacuan kuda). Kuda bukan sekadar alat transportasi, tetapi simbol status dan kekuatan. Tradisi Hadangan, yang sering melibatkan joki anak-anak, menguji ketangkasan, kecepatan, dan keberanian, mencerminkan semangat kompetitif dan ketangguhan masyarakat Mbojo yang terbiasa hidup keras di padang sabana.
Alt Text: Ilustrasi siluet wanita Mbojo mengenakan Rimpu, menunjukkan penutup kepala dan badan yang menjadi simbol kesopanan dan kehormatan.
Seni pertunjukan Mbojo juga kaya, terutama dalam bentuk tarian adat dan musik. Mpa'a Nggaha (Tari Menyambut) dan Mpa'a Mone (Tari Perang) sering dipentaskan dalam upacara kerajaan atau penyambutan tamu penting. Tarian ini menampilkan gerakan yang dinamis, menggambarkan kisah kepahlawanan, atau ritual kesuburan.
Instrumen musik tradisional, seperti Gong, Gendang, dan suling bambu (Saluang), mengiringi tarian dan upacara. Yang paling penting adalah seni Hadrah, yang sangat kental dengan nuansa Islam, sering dilantunkan dalam perayaan keagamaan, memperkuat ikatan antara tradisi lokal dan syariat.
Mbojo tidak dapat dipisahkan dari lanskap geografisnya yang ekstrem, terutama keberadaan Gunung Tambora. Gunung api stratovolcano ini bukan hanya elemen visual yang mendominasi, tetapi juga kekuatan destruktif yang mengubah sejarah dan demografi Mbojo secara dramatis. Tanah di sekitar Tambora, meskipun rentan bencana, adalah tanah yang sangat subur, yang menopang kehidupan agraris Mbojo selama berabad-abad.
Tahun 1815 tercatat sebagai tahun yang kelam bagi Mbojo dan dunia. Letusan Gunung Tambora adalah salah satu letusan terbesar dalam sejarah manusia, memicu "Tahun Tanpa Musim Panas" di Belahan Bumi Utara. Di Mbojo, dampak langsungnya sangat parah. Tiga kerajaan kecil di sekitar Tambora lenyap, dan abu vulkanik menyelimuti seluruh wilayah Kesultanan Bima, merusak hasil panen, dan menyebabkan kelaparan yang meluas.
Catatan sejarah Mbojo (Bo' Sangaji Kai) mendokumentasikan masa sulit ini, menceritakan upaya Sultan dan para pemimpin Nggusu Waru dalam mengelola bencana, mencari bantuan, dan memulai kembali kehidupan. Bencana ini menunjukkan ketahanan luar biasa Dou Mbojo. Meskipun terjadi kehancuran fisik dan hilangnya nyawa, struktur politik dan falsafah Nggusu Waru tetap bertahan, memungkinkan restorasi Kesultanan Bima di bawah kepemimpinan yang baru.
Sebelum dan sesudah bencana, ekonomi Mbojo adalah perpaduan antara agraris dan maritim. Di dataran tinggi dan lereng Tambora, sistem persawahan dan perkebunan (kopi, kayu cendana) berkembang subur. Sementara di pesisir, Mbojo dikenal sebagai pelabuhan niaga yang ramai. Komoditas khas Mbojo, seperti kuda, madu, dan kayu, diperdagangkan ke Jawa, Makassar, dan bahkan hingga Australia Utara.
Kehidupan maritim Dou Mbojo tercermin dalam keterampilan mereka sebagai pelaut dan pembuat perahu. Kapal-kapal Mbojo sering digunakan dalam jaringan pelayaran Nusantara. Identitas ini membentuk karakter yang fleksibel: tangguh seperti petani yang menghadapi musim kering, namun terbuka seperti pelaut yang berinteraksi dengan berbagai bangsa.
Bahasa Mbojo, yang dikenal juga sebagai Bahasa Bima, adalah kunci untuk memahami cara berpikir dan struktur sosial masyarakatnya. Bahasa ini termasuk dalam rumpun Austronesia dan memiliki kekhasan yang membedakannya secara signifikan dari bahasa Sumbawa Barat (Sama) dan bahasa di pulau-pulau tetangga lainnya.
Bahasa Mbojo memiliki sistem bunyi yang khas, termasuk penggunaan konsonan letupan glottal. Secara linguistik, ia menunjukkan kedekatan dengan beberapa bahasa di Flores, namun tetap mempertahankan identitasnya sendiri yang kuat. Bahasa ini dibagi menjadi beberapa dialek, yang paling menonjol adalah dialek Kota (lingkungan bekas istana) dan dialek Donggo (dialek yang lebih tua, sering dianggap lebih murni, digunakan di daerah pegunungan).
Perbedaan dialek ini mencerminkan sejarah migrasi dan interaksi sosial. Masyarakat Donggo, misalnya, meskipun telah menerima Islam, dikenal masih mempertahankan banyak ritual adat pra-Islam, dan hal ini tercermin dalam kosakata mereka yang lebih konservatif.
Warisan linguistik Mbojo paling jelas terlihat dalam sastra lisannya dan naskah kuno Kesultanan. Naskah-naskah kuno, seperti Bo’ Sangaji Kai (Kitab Raja-Raja Bima), ditulis dalam aksara Mbojo (sejenis aksara Lontara/Makassar) atau aksara Arab Melayu. Naskah ini adalah harta karun sejarah yang berisi kronik kerajaan, hukum adat, perjanjian dagang, dan surat-surat diplomatik.
Tradisi sastra lisan Mbojo, seperti Kabar (cerita rakyat) dan Nindi (puisi/nyanyian), berfungsi sebagai media transmisi moral dan sejarah. Melalui Kabar, nilai-nilai Nggusu Waru diajarkan kepada generasi muda, memastikan bahwa sejarah Kesultanan tidak lekang oleh waktu meskipun dihadapkan pada modernisasi.
“Sara Dana Adat, kanyana londo ka’uku, lawi karawu runggu, wamputi to’u. Sara Dana Adat, adalah cahaya dan naungan, menjaga dari kehancuran, dan membawa kebaikan.”
Setelah Kesultanan Bima berakhir secara resmi pada pertengahan abad ke-20—meskipun pengaruh kulturalnya terus hidup—Mbojo memasuki babak baru sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tantangan terbesar kini adalah bagaimana menjaga warisan budaya yang mendalam ini di tengah arus globalisasi, urbanisasi, dan modernitas yang cepat.
Meskipun institusi formal Kesultanan telah tiada, simbol dan nilai-nilai Nggusu Waru tetap relevan. Berbagai upaya pelestarian dilakukan, terutama melalui revitalisasi acara adat dan ritual keagamaan. Misalnya, upacara pelantikan pemimpin daerah seringkali mengadopsi elemen-elemen dari ritual Kesultanan, menekankan bahwa kekuasaan modern harus tetap berlandaskan pada etika lokal.
Museum Asi Mbojo (Istana Bima) kini berfungsi sebagai pusat studi sejarah dan budaya, menyimpan artefak-artefak penting dan naskah-naskah kuno. Upaya digitalisasi Bo’ Sangaji Kai juga menjadi langkah krusial untuk memastikan bahwa narasi Mbojo dapat diakses oleh peneliti dan generasi mendatang.
Mbojo hari ini menghadapi dilema pembangunan. Peningkatan infrastruktur dan pariwisata (khususnya ke Tambora) membawa peluang ekonomi, namun juga ancaman terhadap lingkungan dan integritas budaya. Upaya untuk mengembangkan pariwisata berbasis budaya, yang melibatkan masyarakat lokal dalam pementasan Mpa’a Tutu dan penyediaan tenun, adalah langkah positif untuk menjadikan warisan budaya sebagai aset ekonomi yang berkelanjutan.
Selain itu, isu ketahanan pangan dan pengelolaan sumber daya alam tetap menjadi fokus utama. Pelajaran dari letusan Tambora mengajarkan Dou Mbojo pentingnya konservasi dan mitigasi bencana. Mereka harus terus menyeimbangkan pemanfaatan kekayaan alam (laut dan tanah) dengan kearifan lokal yang telah diajarkan selama ratusan tahun.
Struktur masyarakat Mbojo pada masa Kesultanan dikenal sangat hierarkis, namun dengan mobilitas sosial yang dimungkinkan melalui prestasi. Kasta atau kelas sosial tidak sekaku sistem di Jawa atau Bali, namun status keturunan (darah biru) sangat dihormati. Pemahaman terhadap struktur ini penting untuk mengapresiasi bagaimana Nggusu Waru bekerja dalam praktik sehari-hari.
Keseimbangan sosial dijaga melalui sistem kekerabatan yang kuat dan mekanisme penyelesaian konflik berbasis adat. Perselisihan, sebelum mencapai tingkat Sultan, diselesaikan di tingkat desa oleh Hadat. Sistem ini memastikan bahwa keadilan cepat tercapai dan mengurangi beban birokrasi kerajaan.
Integrasi Islam dalam kehidupan Mbojo tidak terlepas dari peran sentral Masjid dan Surau (langgar). Sejak Kesultanan berdiri, pendidikan agama menjadi prioritas. Setiap desa memiliki setidaknya satu surau yang tidak hanya menjadi tempat ibadah tetapi juga pusat pembelajaran membaca Al-Qur'an, etika sosial, dan bahasa Arab Melayu. Ulama lokal, di bawah pengawasan Qadhi, adalah penjaga moral masyarakat. Ini memastikan bahwa filosofi Sara Dana Adat terus dihayati, bukan hanya di lingkungan istana, tetapi hingga ke pelosok-pelosok desa (Gampo).
Peninggalan arsitektur Mbojo klasik mencerminkan adaptasi terhadap iklim tropis dan kekayaan maritim. Bahan utama yang digunakan adalah kayu berkualitas tinggi dari hutan Sumbawa, dihiasi dengan ukiran khas yang mencerminkan motif tenun tradisional.
Pusat arsitektur Mbojo adalah Asi Mbojo atau Istana Bima. Bangunan ini adalah mahakarya perpaduan arsitektur lokal dengan sentuhan kolonial yang masuk belakangan, khususnya pada masa Sultan terakhir. Istana ini didirikan di pusat kota, menghadap ke laut, melambangkan orientasi maritim Kesultanan.
Tata ruang istana mencerminkan hierarki Nggusu Waru. Ada ruangan khusus untuk musyawarah (balai Sara), tempat penyimpanan pusaka kerajaan (Bo' Sangaji), dan ruang pribadi Sultan. Filosofi arsitektur Mbojo selalu menekankan pada orientasi kiblat, menunjukkan betapa kuatnya integrasi agama dalam desain kehidupan.
Rumah adat tradisional Mbojo, terutama di daerah Donggo, berbentuk rumah panggung dengan atap yang tinggi dan melengkung. Bentuk panggung berfungsi untuk menghindari banjir, melindungi dari binatang buas, dan memberikan sirkulasi udara yang baik. Elemen kunci pada rumah adat adalah tiang-tiang penyangga yang kokoh, melambangkan keteguhan Dou Mbojo.
Setiap rumah memiliki pembagian ruang yang jelas, memisahkan ruang publik (tempat menerima tamu) dan ruang privat (tempat tidur dan dapur). Posisi dapur yang seringkali lebih tinggi atau terpisah, melambangkan pentingnya dapur sebagai sumber kehidupan dan rezeki.
Sebelum Islamisasi total, Mbojo memiliki sistem kepercayaan animisme dan dinamisme yang kuat, memuja roh leluhur dan kekuatan alam. Meskipun Islam kini menjadi agama mayoritas, banyak elemen kepercayaan lama yang telah di-Islamkan atau dimasukkan ke dalam praktik adat, menciptakan sinkretisme yang unik dan harmonis.
Legenda tentang asal-usul Dou Mbojo sering melibatkan figur mitologis seperti Sang Bima (bukan Bima dari Mahabharata, tetapi tokoh lokal). Kisah ini menjelaskan bagaimana manusia pertama turun ke bumi Mbojo dan menaklukkan alam liar. Legenda ini berfungsi sebagai piagam sosial, memberikan dasar bagi klaim kepemilikan tanah dan hak-hak adat.
Ritual pertanian, seperti Mpa’a Rate (upacara tanam) atau upacara panen, masih dilaksanakan di beberapa daerah. Meskipun kini dibalut dengan doa-doa Islam, esensinya adalah memohon berkah dari alam dan menjaga hubungan baik dengan roh-roh penunggu sawah. Hal ini menunjukkan penghormatan mendalam terhadap bumi sebagai pemberi kehidupan, sebuah nilai yang tak terpisahkan dari karakter agraris Mbojo.
Contoh lain adalah kepercayaan terhadap Jinn dan makhluk halus lokal yang mendiami tempat-tempat tertentu, seperti pohon besar atau sumber air. Masyarakat Mbojo memiliki cara-cara adat untuk berinteraksi dengan entitas ini, selalu diiringi dengan doa dan pembacaan ayat suci untuk menjaga keselamatan dan keharmonisan.
Menghadapi abad ke-21, masa depan Mbojo sangat bergantung pada bagaimana generasi mudanya mampu menyeimbangkan kemajuan teknologi dengan akar budaya yang kokoh. Pendidikan memegang peranan vital dalam transmisi nilai-nilai Mbojo.
Telah ada gerakan yang kuat untuk memasukkan pelajaran Bahasa Mbojo dan sejarah Kesultanan Bima ke dalam kurikulum sekolah lokal. Ini adalah upaya sadar untuk mengatasi erosi bahasa akibat dominasi bahasa Indonesia dan media global. Dengan memahami naskah kuno dan filosofi Nggusu Waru, generasi muda diharapkan dapat menjadi agen pelestarian budaya yang efektif.
Saat ini, berbagai elemen budaya Mbojo telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia, termasuk Rimpu dan Bo’ Sangaji Kai. Pengakuan ini memberikan landasan hukum dan moral untuk perlindungan dan promosi budaya Mbojo. Diplomasi budaya melalui pertukaran seni dan pameran tenun di tingkat nasional maupun internasional semakin meningkatkan kesadaran akan keunikan Mbojo.
Filosofi ketahanan yang dibentuk oleh bencana Tambora dan ketegasan yang diajarkan oleh Mpa'a Tutu menjadi modal sosial bagi Dou Mbojo untuk bersaing di kancah global tanpa kehilangan jati diri. Mereka belajar dari sejarah bahwa perubahan adalah konstan, tetapi fondasi nilai (Sara dan Adat) harus abadi.
Kesimpulannya, Mbojo adalah sebuah mozaik yang rumit namun indah, tersusun dari reruntuhan sejarah yang heroik, letusan gunung yang menghancurkan, dan benang-benang tenun yang halus. Keagungan Mbojo bukan terletak pada sisa-sisa kemegahan Kesultanan, melainkan pada ketangguhan falsafah Dou Mbojo yang terus berpegang teguh pada Nggusu Waru. Melalui adaptasi yang cerdas, integrasi agama yang mendalam, dan penghormatan abadi terhadap leluhur, Mbojo tetap berdiri sebagai salah satu peradaban paling berharga di Timur Indonesia.
Dari catatan-catatan yang tersimpan rapi dalam Bo’ Sangaji Kai hingga hembusan angin di padang sabana yang membawa aroma rempah, kisah Mbojo terus diceritakan. Ini adalah warisan yang menuntut untuk dipahami, dijaga, dan dihidupkan kembali di setiap langkah kehidupan. Mbojo adalah pelajaran tentang bagaimana identitas, yang diperjuangkan dan dipertahankan melalui adat dan syariat, dapat melampaui waktu dan bencana. Setiap aspek kehidupan, dari cara seorang wanita mengenakan Rimpu hingga cara pemimpin modern mengambil keputusan, adalah gema abadi dari Delapan Sudut (Nggusu Waru) yang menjamin keadilan dan martabat Dou Mbojo.
Kekuatan narasi ini terletak pada konsistensi budaya yang teruji. Bahkan saat wilayahnya terancam oleh kekuatan kolonial VOC, para Sultan Mbojo menggunakan diplomasi yang cerdas, mencatatkan setiap perjanjian dan perselisihan, menunjukkan bahwa pena dan hukum adat lebih kuat daripada senjata. Dedikasi terhadap dokumentasi ini telah memastikan bahwa sejarah Mbojo tidak hilang, melainkan menjadi panduan etika hingga hari ini.
Maka, ketika kita menyebut kata Mbojo, kita tidak hanya merujuk pada sebuah titik di peta Nusa Tenggara Barat, tetapi kita memanggil seluruh sejarah maritim, ketangguhan filosofis, dan keindahan tenun yang melambangkan sebuah peradaban yang berjuang untuk keagungan dan martabat abadi. Warisan inilah yang terus menerangi jalan bagi Dou Mbojo, menjamin bahwa identitas mereka akan terus mengalir sejelas mata air pegunungan dan sekokoh karang di pantai Sumbawa.
Pengalaman hidup di Mbojo adalah pengalaman yang kaya akan kontradiksi yang harmonis: kerasnya alam versus kelembutan tenunan tangan, ketegasan hukum Sara versus kehangatan kekeluargaan. Kontradiksi inilah yang telah mematangkan karakternya, menjadikannya unik di antara pulau-pulau besar Indonesia. Pengaruh Mbojo meluas hingga ke Timor dan Flores dalam bentuk jaringan perdagangan dan penyebaran agama, menunjukkan peran sentralnya sebagai poros kultural di wilayah timur Nusantara.
Peran Mbojo dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara Timur sering kali terabaikan, padahal Kesultanan Bima adalah salah satu benteng pertahanan Islam di wilayah tersebut, bersaing dengan Kerajaan Gowa-Tallo di Makassar. Dokumentasi Kesultanan menunjukkan bahwa para Sultan Mbojo secara aktif mengirimkan ulama dan duta ke wilayah-wilayah tetangga, menjadikan Bima sebagai pusat studi Islam yang signifikan di masanya.
Kini, Mbojo berjuang untuk memodernisasi tanpa mengorbankan akar-akarnya. Proyek-proyek konservasi alam di sekitar Tambora juga diiringi dengan konservasi budaya. Masyarakat menyadari bahwa daya tarik utama wilayah mereka adalah perpaduan yang langka antara sejarah Kesultanan yang otentik dan alam yang dramatis. Ke depan, Mbojo diharapkan mampu menjadi model pembangunan berkelanjutan, di mana warisan leluhur menjadi kompas, bukan beban, dalam navigasi menuju masa depan yang cerah.
Setiap tenunan benang, setiap gerak tarian, dan setiap kata dalam Bahasa Mbojo membawa beban ribuan tahun sejarah. Ia adalah cermin dari ketekunan, kearifan, dan semangat yang tak pernah padam. Dou Mbojo adalah penjaga api peradaban, memastikan bahwa cahaya yang dinyalakan oleh para Raja dan Sultan masa lalu tidak akan pernah redup.
Langkah kaki di tanah Mbojo adalah langkah yang menapaki sejarah panjang, di mana setiap jengkal tanah telah disucikan oleh ritual, setiap bukit disaksikan oleh roh leluhur, dan setiap garis pantai adalah saksi bisu kejayaan maritim. Oleh karena itu, mengenali Mbojo adalah sebuah penghormatan terhadap kekayaan kultural yang luar biasa di ujung timur kepulauan Sumbawa.
Kesinambungan budaya ini bukan kebetulan; ia adalah hasil dari kesadaran kolektif yang mendalam. Para pemangku adat, melalui institusi Hadat, secara rutin mengadakan musyawarah untuk meninjau kembali apakah praktik-praktik modern telah menyimpang dari prinsip-prinsip Nggusu Waru. Proses refleksi diri yang berkelanjutan inilah yang memungkinkan adat Mbojo tetap elastis dan relevan, mampu menyerap perubahan tanpa kehilangan substansi.
Dalam konteks modern, semangat Mpa’a Tutu kini diinterpretasikan sebagai semangat persaingan yang sehat, kerja keras, dan kedisiplinan dalam mencapai tujuan. Sementara itu, Rimpu tetap menjadi lambang universal kesantunan wanita, sebuah penegasan identitas yang menolak homogenitas budaya global, sebuah pernyataan bahwa kehormatan diri adalah kekayaan yang tak ternilai.
Dengan demikian, Mbojo tidak hanya menawarkan kisah sejarah yang menarik, tetapi juga cetak biru filosofis tentang bagaimana masyarakat dapat bertahan dan berkembang melalui integrasi antara langit (syariat) dan bumi (adat). Ini adalah warisan yang patut dipelajari, dicintai, dan dirayakan selamanya.
Seluruh narasi epik Mbojo, dari puncak Tambora yang diselimuti kabut hingga ombak yang memecah di Pelabuhan Bima, merupakan babak tak terpisahkan dari sejarah Nusantara yang lebih besar. Ia adalah permata di timur, yang keindahannya tidak hanya terletak pada kekayaan materialnya, tetapi pada kedalaman spiritual dan intelektual dari Dou Mbojo yang gigih.
Untuk memahami kedalaman peradaban Mbojo, kita harus kembali pada sumber primer mereka: Bo’ Sangaji Kai. Kitab ini bukanlah sekadar kronik, melainkan sebuah ensiklopedia sejarah, hukum, dan administrasi Kesultanan Bima. Ditulis dan dikelola oleh para juru tulis kerajaan (biasanya dari kalangan bangsawan terpelajar), naskah ini menjadi bukti kecanggihan administrasi dan literasi di Bima jauh sebelum masa kemerdekaan.
Bo’ Sangaji Kai mencatat secara rinci silsilah 28 Raja Mbojo sebelum Islam dan semua Sultan yang berkuasa setelahnya. Lebih dari itu, ia berisi:
Kehadiran Bo’ Sangaji Kai menunjukkan bahwa sejarah Mbojo adalah sejarah yang sadar diri dan terdokumentasi dengan baik. Kesadaran untuk mencatat sejarah ini adalah salah satu faktor utama yang menjaga kontinuitas budaya Mbojo di tengah pergolakan politik dan bencana alam.
Filologi Mbojo, studi tentang bahasa dan teks-teksnya, adalah bidang yang memperkaya pemahaman kita. Aksara Mbojo, yang sangat mirip dengan aksara Lontara (Bugis/Makassar), menegaskan hubungan historis yang erat antara Bima dan Sulawesi Selatan, khususnya dalam konteks perdagangan dan Islamisasi.
Meskipun aksara Mbojo tradisional kini jarang digunakan untuk komunikasi sehari-hari (digantikan oleh alfabet Latin), aksara tersebut tetap dijaga untuk kepentingan ritual dan penulisan naskah pusaka. Aksara ini berprinsip silabis (suku kata) dan memiliki bentuk yang elegan, sering diukir pada pusaka atau dipahatkan pada prasasti batu. Pelestarian aksara ini menjadi salah satu prioritas bagi cendekiawan lokal, karena ia adalah kunci untuk menafsirkan naskah-naskah kuno Kesultanan secara otentik.
Bahasa Mbojo kaya akan peribahasa (Poda) yang menjadi inti dari kearifan lokal. Peribahasa ini sering kali berfokus pada etika, kerja keras, dan hubungan kekeluargaan. Contohnya, peribahasa tentang persatuan dan gotong royong, yang menunjukkan bahwa individu hanya dapat bertahan jika mereka bersatu dalam komunitas. Nilai-nilai ini terinternalisasi sejak kecil melalui cerita dan lagu pengantar tidur, memastikan bahwa Nggusu Waru tidak hanya diajarkan secara formal, tetapi diresapi dalam kehidupan sehari-hari.
Secara keseluruhan, Mbojo menyajikan sebuah kasus studi yang luar biasa tentang ketahanan budaya. Budaya yang mampu bertahan dari letusan dahsyat, mampu menyerap pengaruh agama tanpa kehilangan identitas aslinya, dan mampu mempertahankan sistem pemerintahan yang kompleks dan adil selama berabad-abad. Warisan Dou Mbojo adalah panggilan untuk menghargai kekayaan yang tersembunyi di sudut timur Nusa Tenggara, sebuah kekayaan yang terus bersinar dengan cahaya keagungan masa lalunya.