Mbojo: Mengurai Peradaban di Ujung Timur Pulau Sumbawa
Mbojo adalah entitas budaya, linguistik, dan historis yang bersemayam kuat di wilayah yang kini kita kenal sebagai Kabupaten dan Kota Bima, serta Kabupaten Dompu, di ujung timur Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Lebih dari sekadar nama geografis, Mbojo merujuk pada identitas masyarakatnya, bahasa leluhur mereka (Nggahi Mbojo), dan warisan agung dari Kesultanan Bima yang pernah menjadi salah satu kekuatan maritim dan politik terkemuka di Indonesia bagian timur. Memahami Mbojo adalah menyelami lapisan-lapisan sejarah yang kaya, di mana tradisi pra-Islam bercampur harmonis dengan ajaran Islam yang dianut mayoritas penduduknya.
Perjalanan sejarah Mbojo ditandai oleh percampuran pengaruh yang kompleks—mulai dari periode kerajaan Hindu-Buddha di masa lampau, hubungan dagang yang intensif dengan Makassar, Jawa, dan bahkan Tiongkok, hingga transformasinya menjadi Kesultanan Islam yang berperan penting dalam jaringan perdagangan rempah dan penyebaran agama di kawasan timur nusantara. Eksplorasi mendalam terhadap peradaban Mbojo bukan hanya menyingkap kisah-kisah raja dan sultan, tetapi juga memahami bagaimana filosofi hidup masyarakatnya tercermin dalam seni, arsitektur, dan sistem sosial yang bertahan hingga kini.
Alt Text: Pola geometris berulang berwarna merah muda lembut, merepresentasikan motif tenun Mbojo.
I. Lintasan Sejarah Kesultanan Bima (Mbojo Lama)
Sejarah Mbojo terbagi dalam tiga fase utama: periode kerajaan awal (sebelum masuknya Islam), periode Kesultanan Islam, dan periode pasca-kolonial. Puncak kejayaan Mbojo tercapai saat Bima menjelma menjadi Kesultanan yang memiliki otonomi dan kekuatan maritim signifikan, terutama setelah abad ke-17.
1. Periode Kerajaan Pra-Islam (Dana Mbojo)
Sebelum Islam diterima secara resmi, Bima diperintah oleh raja-raja yang disebut Raja Mbojo. Sumber-sumber sejarah lokal, seperti Bo' Sangaji Kai (Catatan Istana), menyebutkan garis keturunan raja-raja kuno yang konon berasal dari Majapahit atau Jawa. Salah satu tokoh penting dalam mitologi awal adalah Turi La Loli, yang menandai masa transisi antara masa kegelapan menuju peradaban yang lebih terorganisir.
- Legenda Jami Mbojo: Kisah-kisah awal seringkali berkaitan dengan migrasi dan pendirian struktur kekuasaan pertama. Wilayah ini dikenal memiliki akses strategis yang menghubungkannya dengan jalur perdagangan laut Jawa dan Sulawesi.
- Pengaruh Hindu-Buddha: Meskipun tidak sekuat di Jawa atau Bali, pengaruh Hindu-Buddha terbukti melalui beberapa peninggalan dan istilah lama. Namun, pengaruh Makassar dan Ternate dalam politik dan ekonomi jauh lebih dominan menjelang abad ke-16.
2. Transisi Menuju Kesultanan Islam (Abad ke-17)
Transformasi Mbojo menjadi Kesultanan Islam adalah titik balik fundamental. Proses Islamisasi ini umumnya diperkirakan terjadi pada masa pemerintahan Raja Mbojo ke-25, La Kai (sekitar awal abad ke-17). La Kai menerima Islam dari ulama Makassar, yang dikenal sebagai Tuan di Salaparang atau Syeikh Abdul Gani.
Setelah memeluk Islam, La Kai mengambil gelar Sultan dan dikenal sebagai Sultan Abdul Kahir. Perubahan ini membawa reformasi total dalam sistem pemerintahan, hukum (mengintegrasikan hukum adat dengan syariat Islam), serta arsitektur istana.
Sultan Abdul Kahir menandai era baru Mbojo, di mana tradisi lama diharmonisasikan dengan nilai-nilai keislaman, melahirkan sistem pemerintahan yang unik yang disebut Adat dan Syara yang saling mendukung (Adat Barenti ka Syara, Syara Barenti ka Kitabullah).
Di bawah Kesultanan, Mbojo menjadi kekuatan maritim yang disegani, terlibat dalam persaingan dagang dan politik dengan VOC Belanda. Kesultanan Bima terkenal karena memiliki kapal-kapal dagang yang besar dan pelabuhan yang ramai, menjadi jembatan antara Makassar dan pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur.
3. Dinamika di Bawah Sultan Muhammad Salahuddin
Salah satu periode paling cemerlang dan paling tragis dalam sejarah Mbojo adalah masa pemerintahan Sultan Muhammad Salahuddin. Beliau adalah sultan terakhir Bima yang berdaulat sebelum Indonesia merdeka. Di bawah kepemimpinannya, Bima mengalami modernisasi parsial, terutama dalam bidang pendidikan dan birokrasi, meskipun tekanan dari pemerintah kolonial Belanda semakin besar.
Sultan Salahuddin dikenal karena keberaniannya menentang kebijakan kolonial dan perannya dalam mendukung kemerdekaan Indonesia. Istana Asi Mbojo (Istana Raja Bima) yang kini menjadi museum, merupakan saksi bisu kejayaan dan perjuangan pada masa ini. Sultan Bima secara resmi mengakhiri kekuasaan Kesultanan pada tahun 1950, menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia.
II. Nggahi Mbojo: Jati Diri Linguistik Masyarakat Mbojo
Nggahi Mbojo, atau Bahasa Bima, adalah tiang utama identitas Mbojo. Bahasa ini termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia, dan sering diklasifikasikan bersama bahasa Sumba-Bima. Bahasa ini memiliki karakteristik unik yang membedakannya secara signifikan dari bahasa Sumbawa (Samawa) di bagian barat pulau.
1. Keunikan Fonologi dan Morfologi
Nggahi Mbojo dikenal memiliki fonem-fonem yang khas. Salah satu ciri yang paling menonjol adalah penggunaan vokal yang relatif stabil dan konsonan yang keras. Struktur kalimat Nggahi Mbojo mengikuti pola Subjek-Predikat-Objek (SPO), namun dengan fleksibilitas yang tinggi, terutama dalam penggunaan penanda subjek (pronomina).
a. Dialek dan Variasi Regional
Meskipun memiliki bahasa induk yang sama, terdapat variasi dialek yang signifikan di antara masyarakat Mbojo, terutama antara Bima Kota, Bima bagian selatan (Sape/Lambitu), dan wilayah Dompu. Dialek Dompu (Nggahi Dompu) sering dianggap varian terdekat yang masih saling memahami (mutually intelligible), namun dengan perbedaan leksikal dan intonasi yang jelas.
b. Sistem Tingkat Bahasa (Tidak Seketat Jawa)
Meskipun tidak seketat bahasa Jawa atau Bali, Nggahi Mbojo memiliki beberapa bentuk penghormatan yang digunakan saat berbicara kepada orang yang lebih tua atau tokoh adat (misalnya dalam istilah sapaan). Namun, dalam percakapan sehari-hari, bahasa ini cenderung lebih egaliter.
2. Kosakata dan Etimologi Khas Mbojo
Banyak kosakata Nggahi Mbojo yang dipengaruhi oleh bahasa Makassar dan Bugis, mencerminkan hubungan historis yang mendalam. Selain itu, terdapat pula pengaruh Melayu dan Belanda, terutama pada istilah-istilah modern dan administrasi.
- Contoh Kosakata Dasar:
- Ndai (Pergi)
- Mai (Datang)
- Nggomi (Kamu)
- Dou Mbojo (Orang Bima)
- Asi (Istana/Rumah Besar)
- Nahu (Saya)
3. Aksara Mbojo (Katam Mbojo)
Masyarakat Mbojo di masa lalu menggunakan aksara tradisional yang dikenal sebagai Katam Mbojo, yang merupakan turunan dari aksara Lontara (Sulawesi). Aksara ini digunakan untuk menulis naskah-naskah penting, termasuk Bo’ Sangaji Kai (catatan kerajaan) dan silsilah keluarga. Meskipun kini aksara Latin mendominasi, upaya pelestarian Katam Mbojo terus dilakukan untuk menjaga warisan literasi leluhur.
III. Kekayaan Budaya dan Adat Istiadat Mbojo
Budaya Mbojo sangat kental dengan konsep "Dou Mbojo" (Orang Bima) yang menjunjung tinggi kehormatan, agama, dan tradisi. Adat-istiadat ini termanifestasi dalam pakaian, seni pertunjukan, dan bahkan cara mereka bertani dan melaut.
1. Pakaian Tradisional: Tembe Nggoli dan Rimpu
Pakaian adat Mbojo adalah salah satu yang paling ikonik di Nusa Tenggara Barat. Inti dari pakaian adat ini adalah kain tenun yang disebut Tembe Nggoli.
a. Tembe Nggoli (Kain Tenun)
Tembe Nggoli dibuat dari benang katun atau sutra, ditenun dengan teknik ikat lungsin. Kain ini kaya akan motif geometris yang sarat makna filosofis. Warna yang digunakan seringkali cerah, namun ada pula yang menggunakan warna gelap untuk upacara tertentu. Motif seperti ‘Bunga Satako’ (bunga setangkai) atau ‘Kakando’ (kait) melambangkan kesuburan dan keterikatan sosial.
Penggunaan Tembe Nggoli tidak hanya terbatas pada upacara formal, tetapi juga merupakan bagian penting dari mahar pernikahan dan penanda status sosial. Kualitas dan kerumitan motif tenunan mencerminkan keahlian penenun dan kedudukan keluarga.
b. Rimpu: Simbol Kesantunan Wanita Mbojo
Rimpu adalah pakaian tradisional wanita Mbojo yang berfungsi sebagai penutup seluruh tubuh, hanya menyisakan mata atau wajah yang terlihat, serupa dengan burqa atau niqab dalam konteks Islam. Rimpu terbuat dari Tembe Nggoli. Ada dua jenis Rimpu:
- Rimpu Mpida: Menutup seluruh wajah kecuali bagian mata. Biasanya digunakan oleh wanita yang belum menikah.
- Rimpu Colo: Menutup kepala dan hanya menyisakan wajah secara penuh. Digunakan oleh wanita yang sudah menikah.
Rimpu bukan hanya ekspresi ketaatan beragama, tetapi juga simbol penghormatan terhadap adat dan nilai-nilai kesantunan wanita Mbojo. Filosofi Rimpu menekankan pada pentingnya menjaga aurat dan martabat wanita di ruang publik, mencerminkan sinkretisme antara adat lama dan ajaran Islam yang kuat.
Alt Text: Siluet wanita Mbojo dalam pakaian Rimpu (penutup kepala dan wajah), simbol kesantunan.
2. Seni Pertunjukan dan Musik Tradisional
Kesenian Mbojo umumnya bersifat ritualistik atau berfungsi sebagai hiburan istana pada masa Kesultanan.
a. Mpa'a Sila (Seni Bela Diri)
Mpa'a Sila adalah seni bela diri tradisional Mbojo, mirip dengan pencak silat namun dengan gaya dan filosofi yang khas. Mpa'a Sila tidak hanya mengajarkan teknik bertarung, tetapi juga etika dan spiritualitas. Pertunjukan Mpa'a Sila sering menjadi bagian integral dari upacara pernikahan atau syukuran. Gerakan Sila dicirikan oleh kelincahan, kecepatan, dan penggunaan kaki yang lincah.
b. Tarian dan Musik
- Tari Lenggo: Tarian klasik yang berasal dari lingkungan istana. Lenggo dibedakan menjadi Lenggo Mbojo (untuk pria) dan Lenggo Mone (untuk wanita). Tarian ini melambangkan keanggunan dan kegagahan.
- Sarone: Alat musik tiup tradisional Mbojo yang menghasilkan suara melengking khas. Sarone sering dipadukan dengan Genda (gendang) dalam mengiringi Tarian Lenggo atau Mpa'a Sila.
IV. Arsitektur dan Tata Ruang Masyarakat Mbojo
Arsitektur tradisional Mbojo mencerminkan hirarki sosial Kesultanan dan kebutuhan adaptasi terhadap iklim kering Pulau Sumbawa. Material bangunan utamanya adalah kayu dan bambu, dengan atap ijuk atau jerami.
1. Asi Mbojo (Istana Sultan Bima)
Asi Mbojo adalah pusat kekuasaan dan simbol Kesultanan Bima. Bangunan ini didirikan dengan gaya arsitektur kolonial yang dipadukan dengan unsur-unsur tradisional Mbojo. Struktur istana mencerminkan kosmologi dan filosofi politik Mbojo, dengan penempatan ruang yang sangat spesifik untuk menerima tamu, sidang adat, dan tempat tinggal Sultan.
Saat ini, Asi Mbojo berfungsi sebagai Museum Bima, menyimpan berbagai artefak penting Kesultanan, termasuk Bo' Sangaji Kai (manuskrip lontar) yang memuat hukum dan sejarah Mbojo.
2. Uma Jompa (Lumbung Padi)
Masyarakat Mbojo, yang sebagian besar adalah petani, sangat bergantung pada lumbung padi tradisional, yang disebut Uma Jompa. Bangunan ini memiliki tiang tinggi (berpanggung) untuk melindungi padi dari hama dan kelembaban. Bentuk atap Uma Jompa yang melengkung juga memiliki nilai estetika dan filosofi perlindungan terhadap rezeki.
3. Masjid Tua Bima
Masjid-masjid tua di Bima merupakan perpaduan menarik antara arsitektur lokal dan pengaruh Islam awal dari Sulawesi. Masjid ini seringkali memiliki atap bertingkat (limas) yang menunjukkan akulturasi dengan arsitektur nusantara lama. Mereka menjadi pusat spiritual yang tak terpisahkan dari struktur Kesultanan.
V. Sistem Sosial, Hukum, dan Kepercayaan
Struktur masyarakat Mbojo sangat terikat pada sistem adat yang kuat, di mana peran pemimpin adat (misalnya Sangaji atau Tana'a) masih sangat dihormati, bahkan setelah berakhirnya Kesultanan.
1. Adat dan Syara: Integrasi Hukum
Filosofi hukum Mbojo dikenal dengan semboyan "Adat Barenti ka Syara, Syara Barenti ka Kitabullah" (Adat berlandaskan Syariat, Syariat berlandaskan Kitab Allah/Al-Qur’an). Ini menunjukkan bagaimana masyarakat Mbojo berhasil menyatukan hukum adat yang sudah berlaku turun-temurun dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Kesultanan.
Dalam pengambilan keputusan komunal, musyawarah adat (Ria Mbojo) sangat diutamakan, di mana tokoh agama, tokoh adat, dan pemerintah lokal duduk bersama untuk mencapai mufakat.
2. Ritual Kehidupan: Dari Kelahiran hingga Kematian
Setiap tahapan kehidupan individu Mbojo ditandai dengan serangkaian ritual yang menggabungkan unsur Islam dan tradisi lokal. Misalnya:
- Sunatan Adat (Khitan): Dilakukan dengan upacara besar yang melibatkan tarian dan Mpa'a Sila.
- Pernikahan (Rai Mbojo): Tahapan sangat detail, dimulai dari lamaran (Tolo), penentuan mahar (Jempa), hingga pesta adat yang bisa berlangsung beberapa hari, menampilkan Tembe Nggoli dan berbagai tarian istana.
- Upacara Panen: Meskipun Islam mengajarkan rasa syukur, ritual panen seringkali masih melibatkan doa-doa tradisional yang ditujukan untuk kesuburan tanah.
VI. Mbojo Modern: Antara Globalisasi dan Pelestarian
Di era kontemporer, Bima dan Dompu menghadapi tantangan pelestarian budaya di tengah arus globalisasi. Nilai-nilai Mbojo yang berakar kuat pada kearifan lokal dan nilai-nilai Islam menjadi benteng pertahanan terhadap hilangnya identitas.
1. Pendidikan dan Bahasa
Upaya pelestarian Nggahi Mbojo kini dilakukan melalui kurikulum muatan lokal di sekolah-sekolah. Meskipun Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi, Nggahi Mbojo tetap menjadi bahasa pengantar utama di rumah dan komunitas. Tantangannya adalah memastikan generasi muda tidak hanya fasih berbicara, tetapi juga memahami makna filosofis dan konteks budaya dari setiap istilah dalam bahasa tersebut.
2. Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Wilayah Mbojo kini mulai mengembangkan potensi pariwisata yang didukung oleh warisan budaya yang unik dan keindahan alamnya (termasuk Gunung Tambora). Ekonomi kreatif yang berfokus pada kerajinan tangan, seperti Tembe Nggoli, menjadi sumber penghidupan baru bagi masyarakat. Produksi tenun kini tidak hanya memenuhi kebutuhan lokal, tetapi juga permintaan dari pasar nasional dan internasional, membantu mempertahankan keahlian menenun yang diwariskan secara turun-temurun.
VII. Kedalaman Eksplorasi Nggahi Mbojo: Analisis Struktur Bahasa
Untuk memahami Mbojo secara utuh, analisis linguistik Nggahi Mbojo (bahasa Bima) perlu diperdalam, mengingat bahasa adalah wadah utama pewarisan budaya dan sejarah. Nggahi Mbojo bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga cermin dari pandangan dunia masyarakatnya.
1. Sistem Pronomina dan Kekerabatan
Salah satu aspek menarik dari Nggahi Mbojo adalah sistem pronomina yang cukup rinci, yang membedakan subjek berdasarkan status dan jumlah. Namun, yang lebih kompleks adalah sistem istilah kekerabatan. Masyarakat Mbojo sangat menghargai garis keturunan dan hirarki keluarga:
- Adu: Digunakan untuk merujuk ke anggota keluarga dari garis ibu.
- Ama: Panggilan untuk ayah.
- Ina: Panggilan untuk ibu.
- Istilah untuk kerabat jauh dan dekat memiliki nama spesifik, menunjukkan betapa pentingnya jaringan kekerabatan dalam kehidupan sosial Dou Mbojo.
Sistem ini memastikan bahwa interaksi sosial selalu dilakukan dengan tingkat penghormatan yang sesuai, sesuai dengan prinsip adat dan syara.
2. Penggunaan Kata Kerja dan Aspek Waktu
Nggahi Mbojo menggunakan penanda-penanda tertentu untuk menunjukkan aspek waktu (tens) dan mode (modality). Tidak seperti bahasa Eropa yang bergantung pada perubahan bentuk kata kerja, Mbojo menggunakan partikel yang diletakkan sebelum atau sesudah kata kerja. Misalnya, partikel untuk masa lampau, masa kini, dan masa depan, yang menunjukkan bahwa waktu dipandang sebagai siklus, bukan garis lurus.
VIII. Pilar Ekonomi Tradisional Mbojo: Pertanian dan Maritim
Sejak zaman Kesultanan, ekonomi Mbojo ditopang oleh dua sektor utama: pertanian intensif di daratan dan perdagangan maritim di pesisir.
1. Pertanian (Tani Mbojo)
Wilayah Bima terkenal kering, namun masyarakatnya mengembangkan sistem irigasi tradisional yang efisien untuk menanam padi, jagung, dan kacang-kacangan. Ritual pertanian sangat penting, seperti upacara meminta hujan dan syukuran panen, yang menunjukkan hubungan spiritual antara manusia dan alam.
Jagung adalah komoditas penting. Bahkan, beberapa makanan khas Mbojo berbahan dasar jagung, yang menunjukkan adaptasi terhadap kondisi geografis Sumbawa bagian timur.
2. Kekuatan Maritim dan Pelabuhan Bima
Pelabuhan Bima merupakan simpul vital dalam jalur perdagangan antara Maluku, Sulawesi Selatan (Makassar), dan Jawa. Kesultanan Bima mengontrol lalu lintas laut di selat-selat strategis. Sejarah mencatat bahwa Bima memiliki armada kapal yang kuat dan mampu berlayar hingga ke timur jauh nusantara untuk berdagang kayu cendana, kuda (kuda Bima yang terkenal), dan hasil bumi lainnya.
Kekuatan maritim ini melahirkan sub-budaya Mbojo di kawasan pesisir, di mana keterampilan berlayar dan navigasi menjadi pengetahuan turun-temurun. Keterampilan ini juga terlihat dalam festival-festival laut dan perayaan adat.
IX. Seni Kerajinan Tangan dan Simbolisme dalam Tenun Mbojo
Tenun, terutama Tembe Nggoli, adalah media utama ekspresi seni Mbojo. Setiap motif memiliki cerita dan fungsi sosial yang mendalam.
1. Filosofi Warna dan Motif
Warna pada Tembe Nggoli bukan sekadar estetika:
- Merah (Lale): Keberanian, kegagahan, dan spiritualitas yang mendalam.
- Kuning (Manga): Kemakmuran, kehormatan, dan keagungan (sering dipakai oleh keluarga Kesultanan).
- Hitam (Kele): Ketegasan, kekuatan, dan perlindungan dari marabahaya.
Motif-motif seperti Kakando (kait) melambangkan doa agar hubungan suami-istri senantiasa terikat. Motif flora dan fauna diintegrasikan dengan gaya geometris yang ketat, menciptakan keseimbangan antara alam dan spiritualitas.
2. Proses Menenun (Nggoli)
Proses menenun di Mbojo adalah ritual yang memakan waktu lama, kadang berbulan-bulan. Para penenun adalah wanita, dan proses ini dimulai dari pemintalan benang, proses pewarnaan alami, hingga pengikatan benang (ikat) sebelum ditenun. Kesabaran dan ketelitian dalam proses ini diyakini sebagai cerminan dari kesabaran dan ketelitian dalam menjalani hidup.
X. Mpa'a Sila: Lebih dari Sekadar Bela Diri
Mpa'a Sila, seni bela diri yang diserap dan dikembangkan oleh masyarakat Mbojo, memiliki dimensi yang jauh melampaui pertahanan diri. Ia adalah pendidikan karakter, seni tari, dan praktik spiritual.
1. Etika dalam Pertarungan
Para pesilat Mbojo tidak hanya dilatih untuk menyerang dan bertahan, tetapi juga untuk menjunjung tinggi etika. Sebelum bertarung (baik dalam latihan maupun pertunjukan), mereka harus melakukan salam hormat kepada lawan dan sesepuh. Kekalahan harus diterima dengan lapang dada, dan kemenangan harus dirayakan dengan kerendahan hati.
2. Perlengkapan dan Senjata Tradisional
Mpa'a Sila biasanya dipentaskan menggunakan senjata tradisional Mbojo, seperti Katoda (sejenis pedang pendek) atau Sia (belati). Namun, banyak juga varian Sila yang dilakukan tanpa senjata (tangan kosong), yang lebih menekankan pada kelenturan tubuh dan kuda-kuda yang kuat.
Pelatihan Mpa'a Sila sering dilakukan di bawah bimbingan seorang guru (Guru Sila) yang tidak hanya mengajarkan teknik fisik, tetapi juga mantra dan doa-doa untuk memperkuat mental dan spiritual pesilat.
XI. Warisan Gastronomi Mbojo
Kuliner Bima, atau gastronomi Mbojo, adalah hasil dari adaptasi lingkungan yang kering namun kaya akan hasil laut dan pertanian jagung. Rasa makanan khas Mbojo cenderung kuat, pedas, dan menggunakan bumbu-bumbu lokal yang khas.
1. Mpuri dan Olahan Jagung
Jagung (Mpuri) adalah makanan pokok kedua setelah nasi. Berbagai olahan jagung menjadi identitas kuliner Mbojo, seperti Jagung Katemak (jagung yang dimasak dengan sayuran) dan jagung titi (jagung pipih yang digoreng hingga renyah).
2. Sambal khas Mbojo
Sambal Bima dikenal pedas dan unik. Salah satu yang paling terkenal adalah Sambal Sehe, sambal yang menggunakan terasi lokal yang difermentasi dan cabai rawit yang sangat pedas. Rasa pedas ini mencerminkan karakter masyarakat Mbojo yang tegas dan berani.
XII. Mitos, Legenda, dan Kearifan Lokal Mbojo
Sejarah Mbojo tidak hanya dicatat dalam naskah kerajaan, tetapi juga hidup dalam mitos dan legenda yang diwariskan secara lisan, membentuk kearifan lokal yang berfungsi sebagai panduan hidup.
1. Kisah Gunung Tambora
Meskipun letusan Gunung Tambora (yang terletak di perbatasan Bima dan Dompu) pada tahun 1815 menghancurkan peradaban, kisah tentang Tambora tetap menjadi bagian dari mitologi Mbojo. Tambora dipercaya sebagai gunung sakral yang kekuatan spiritualnya harus dihormati. Legenda ini mengajarkan masyarakat untuk hidup selaras dengan alam, karena alam mampu memberikan kemakmuran sekaligus kehancuran.
2. Legenda Putri Mandalika
Meskipun cerita Putri Mandalika lebih dikenal di Lombok, narasi serupa tentang pengorbanan dan cinta suci juga ditemukan dalam versi lokal Mbojo, seringkali dikaitkan dengan tradisi Bau Nyale (menangkap cacing laut) yang juga dilaksanakan di pesisir Bima.
XIII. Kesimpulan: Mbojo sebagai Simpul Budaya Nusantara
Mbojo adalah peradaban yang membuktikan ketahanan identitas di tengah gejolak sejarah. Dari Kesultanan yang megah hingga pelestarian Nggahi Mbojo yang unik, masyarakat Bima telah berhasil memelihara warisan leluhur sambil beradaptasi dengan modernitas. Perpaduan harmonis antara Adat dan Syara, yang menjadi prinsip hidup, memungkinkan mereka mempertahankan seni tenun, bela diri Sila, dan bahasa yang kaya, menjadikannya simpul budaya yang tak terpisahkan dari mozaik peradaban nusantara.
Menjelajahi Mbojo adalah menghargai sebuah peradaban yang berakar dalam tradisi maritim dan kerajaan, namun semangatnya tetap relevan dalam menatap masa depan Indonesia.
Alt Text: Ilustrasi arsitektur Istana Asi Mbojo, menampilkan perpaduan gaya tradisional dan kolonial.
XIV. Rekam Jejak Arkeologi di Tanah Mbojo
Penelitian arkeologi di wilayah Bima dan Dompu terus mengungkap lapisan-lapisan sejarah yang lebih tua dari Kesultanan Islam. Penemuan situs-situs megalitik dan artefak prasejarah menunjukkan bahwa wilayah Mbojo telah dihuni oleh komunitas yang terorganisir jauh sebelum kedatangan pengaruh Majapahit atau Islam. Situs-situs ini seringkali berada di dataran tinggi, menunjukkan bahwa masyarakat awal memiliki kedekatan dengan gunung dan alam sebagai sumber spiritual dan kehidupan.
Peninggalan yang paling signifikan adalah berupa makam-makam kuno, struktur batu, dan temuan keramik dari berbagai periode. Analisis terhadap artefak ini menunjukkan bahwa Bima telah terlibat dalam jaringan perdagangan maritim sejak awal milenium pertama Masehi, bertukar barang dengan wilayah-wilayah di Asia Tenggara lainnya.
1. Hubungan dengan Kerajaan-Kerajaan Lain
Catatan-catatan kuno, termasuk naskah dari Jawa (seperti Nagarakretagama), menyebutkan nama Bima, menandakan bahwa wilayah ini sudah dikenal sebagai entitas politik penting pada abad ke-14. Hubungan ini dipererat melalui perjodohan politik dan aliansi militer, yang membantu Bima mempertahankan otonominya di tengah persaingan antara kerajaan besar nusantara.
XV. Manajemen Air dan Irigasi Tradisional Mbojo
Mengatasi tantangan iklim Sumbawa yang kering adalah kunci kelangsungan hidup peradaban Mbojo. Masyarakat Bima mengembangkan sistem manajemen air yang sangat terstruktur, yang didasarkan pada prinsip gotong royong dan pembagian air yang adil.
1. Sistem Subak Lokal
Meskipun istilah ‘subak’ lebih identik dengan Bali, Bima memiliki sistem irigasi komunalnya sendiri yang mengatur aliran air dari sumber mata air atau sungai ke sawah-sawah secara bergantian. Sistem ini tidak hanya melibatkan teknik sipil sederhana (seperti pembangunan dam dan saluran), tetapi juga ritual adat untuk memastikan air selalu cukup, dan konflik pembagian air dapat diselesaikan secara damai oleh tokoh adat.
2. Kearifan dalam Musim Kemarau
Saat musim kemarau tiba, masyarakat beralih menanam komoditas yang lebih tahan kering seperti jagung dan ubi-ubian, menunjukkan adaptasi ekologis yang cerdas. Pengetahuan tentang kapan waktu terbaik untuk menanam (berdasarkan kalender tradisional dan tanda-tanda alam) adalah bagian integral dari kearifan lokal Mbojo.
XVI. Struktur Pemerintahan Kesultanan Bima yang Kompleks
Kesultanan Bima memiliki struktur birokrasi yang detail, yang menunjukkan tingkat organisasi politik yang tinggi. Struktur ini menggabungkan jabatan tradisional (adat) dan jabatan yang muncul setelah Islam masuk (syara).
1. Sangaji dan Rato
Di bawah Sultan, terdapat hierarki pejabat yang memegang kekuasaan teritorial. Sangaji adalah gelar untuk pemimpin wilayah setingkat kabupaten, yang bertanggung jawab atas pengumpulan pajak, keamanan lokal, dan pelaksanaan hukum adat. Di bawah Sangaji, terdapat Rato atau pemimpin desa.
Jabatan ini dipegang oleh garis keturunan bangsawan (Datu), memastikan stabilitas politik dan ketaatan terhadap Kesultanan pusat. Keterlibatan masyarakat dalam pemerintahan daerah sangat ditekankan melalui sistem musyawarah desa.
2. Jabatan Keagamaan
Peran ulama dalam pemerintahan sangat besar. Jabatan seperti Qadi (Hakim agama) dan Imam memiliki otoritas dalam masalah syariat, pernikahan, dan warisan. Integrasi antara aparat adat dan syara ini adalah kunci keberhasilan Kesultanan Bima dalam menjaga tatanan sosial yang stabil selama berabad-abad.
XVII. Prospek Masa Depan Budaya Mbojo
Di masa kini, upaya untuk melestarikan Mbojo berfokus pada revitalisasi praktik budaya dan pengarsipan sejarah. Dengan dukungan teknologi modern, manuskrip kuno Mbojo mulai didigitalisasi, dan pementasan seni tradisional semakin sering dilakukan untuk menarik minat generasi muda.
Identitas Mbojo yang unik—perpaduan antara spiritualitas yang kuat, keberanian maritim, dan ketahanan terhadap lingkungan—menjadikannya salah satu warisan budaya Indonesia yang paling berharga dan patut untuk terus dikaji dan dilestarikan.