Wilayah adat tidak hanya batas geografis, tetapi wadah dari seluruh sistem nilai, hukum, dan spiritualitas.
Masyarakat adat di seluruh Nusantara merupakan pilar peradaban yang berdiri teguh di atas prinsip keseimbangan, keberlanjutan, dan penghormatan terhadap leluhur serta alam semesta. Mereka adalah penjaga utama dari kekayaan hayati dan keanekaragaman budaya, yang telah bertahan melewati gelombang kolonialisme, modernisasi, dan desakan pembangunan yang serba cepat. Keberadaan mereka, yang diikat oleh hukum adat (*adat law*) yang unik dan otonomi wilayah yang spiritual, menyajikan model kehidupan yang seringkali bertentangan dengan logika negara modern.
Artikel ini akan menelusuri secara mendalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat adat: mulai dari definisi dan pengakuan konstitusional yang penuh perjuangan, mekanisme kearifan lokal dalam menjaga ekosistem, struktur sosial yang kompleks, hingga ancaman serius yang kini membayangi eksistensi mereka. Pemahaman yang komprehensif terhadap kedaulatan tersembunyi ini adalah kunci untuk merumuskan masa depan Indonesia yang inklusif dan berkelanjutan, di mana pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat bukan lagi sekadar pilihan, melainkan keharusan etis dan konstitusional.
Pengakuan terhadap masyarakat adat di Indonesia adalah isu krusial yang menyentuh akar sejarah, hukum, dan politik. Secara sosiologis, mereka adalah komunitas yang memiliki ikatan genealogis atau teritorial yang kuat, hidup berdasarkan sistem nilai yang diwariskan, dan memiliki hak ulayat atas tanah dan sumber daya alam.
Dalam konteks Indonesia, istilah ‘Masyarakat Adat’ seringkali disamakan atau dipertukarkan dengan istilah lain seperti ‘masyarakat tradisional’ atau ‘komunitas lokal’. Namun, definisi yang diperjuangkan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan para akademisi menekankan tiga pilar utama yang harus dipenuhi oleh suatu komunitas agar diakui sebagai masyarakat adat:
Masyarakat adat adalah sekelompok orang yang memiliki asal usul leluhur yang sama, hidup bersama di wilayah geografis tertentu (Wilayah Adat), dan memiliki ikatan kuat dengan tanah tersebut, yang diwujudkan melalui penguasaan dan pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan dan turun-temurun. Ikatan ini bersifat spiritual; tanah bukan hanya aset ekonomi, melainkan ibu pertiwi, tempat arwah leluhur bersemayam, dan sumber identitas.
Mereka memiliki sistem hukum, pranata, dan nilai-nilai sendiri yang mengatur tata kelola masyarakat, sumber daya alam, dan hubungan interpersonal. Hukum adat ini hidup (living law) dan ditaati secara murni, seringkali berfungsi lebih efektif dalam penyelesaian sengketa internal dibandingkan hukum negara formal. Hukum adat mencakup sanksi pidana, perdata, hingga tata negara mini yang mengatur suksesi kepemimpinan adat.
Mereka memiliki lembaga-lembaga kepemimpinan yang diakui dan ditaati oleh anggotanya, seperti raja, datuk, kepala suku, atau dewan tetua. Lembaga ini bertanggung jawab menegakkan hukum adat, memimpin ritual, dan mewakili komunitas dalam berinteraksi dengan dunia luar. Kedaulatan ini bersifat otonom dan mandiri, sebuah struktur pemerintahan tradisional yang beroperasi paralel dengan struktur pemerintahan formal negara.
Meskipun eksistensi masyarakat adat telah diakui oleh konstitusi sejak awal kemerdekaan, implementasi pengakuan tersebut di tingkat undang-undang operasional seringkali tersendat. Pergulatan hukum ini menandai sejarah hubungan yang rumit antara negara dan komunitas pemilik pengetahuan tradisional.
Pasal ini menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Frasa "sepanjang masih hidup" menjadi titik perdebatan utama. Interpretasi yang sempit oleh birokrasi sering menuntut pembuktian yang kaku, seolah-olah masyarakat adat harus membeku dalam masa lalu, padahal mereka adalah entitas yang dinamis dan beradaptasi.
Putusan monumental ini, dikenal sebagai Putusan MK 35, mengubah status hutan adat dari sebelumnya dimiliki oleh negara (sebagai Hutan Negara) menjadi dimiliki oleh masyarakat adat. Putusan ini menghapus frasa 'Negara' dari Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Kehutanan, secara efektif menegaskan bahwa Hutan Adat bukanlah Hutan Negara. Ini adalah kemenangan besar dalam perjuangan hak atas wilayah, meskipun implementasi di lapangan masih membutuhkan proses panjang berupa penetapan wilayah adat melalui peraturan daerah atau kementerian terkait.
Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki Undang-Undang khusus tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat yang komprehensif. Upaya pembuatan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat (RUU MA) telah mandek selama bertahun-tahun. Ketiadaan UU payung ini menciptakan kekosongan hukum yang membuat masyarakat adat rentan terhadap konflik lahan dan pengabaian hak-hak mereka oleh proyek-proyek skala besar, seperti perkebunan, pertambangan, dan infrastruktur.
Hubungan masyarakat adat dengan alam adalah hubungan simbiotik yang didasarkan pada kosmologi bahwa manusia adalah bagian integral, bukan penguasa, dari lingkungan. Kearifan lokal yang mereka praktikkan selama ribuan tahun telah terbukti menjadi benteng paling efektif melawan kerusakan lingkungan, jauh sebelum konsep konservasi modern dikenal.
Hak Ulayat adalah hak komunal yang tertinggi atas tanah, air, dan isinya. Ini bukan sekadar hak milik pribadi, tetapi hak bersama yang diwariskan dari leluhur, yang mencerminkan tanggung jawab spiritual dan ekologis.
Dalam banyak komunitas, wilayah adat dibagi berdasarkan fungsi ekologis dan spiritual yang sangat ketat. Pemisahan ini memastikan keberlanjutan sumber daya dan menghindari eksploitasi berlebihan:
Di wilayah pesisir dan kepulauan, sistem pengelolaan sumber daya air sangat terperinci. Di Maluku dan Papua, dikenal sistem Sasi, yaitu larangan sementara untuk mengambil hasil alam tertentu (ikan, teripang, hasil kebun) pada waktu yang ditentukan. Sasi berfungsi sebagai mekanisme pemulihan stok alam, memastikan bahwa sumber daya tidak punah akibat penangkapan atau panen yang masif. Sementara itu, di Aceh, Panglima Laot (Panglima Laut) adalah lembaga adat yang mengatur tata kelola perikanan, termasuk penentuan zona tangkap, alat yang boleh digunakan, dan penegakan hukum terhadap pelanggar batas tangkap atau perusak terumbu karang.
Masyarakat adat adalah perpustakaan hidup pengetahuan tentang tumbuhan obat dan fungsinya. Pengetahuan ini diwariskan secara lisan dan merupakan hasil dari eksperimen ekologis selama ratusan generasi. Mereka tidak hanya tahu jenis tanaman apa yang menyembuhkan, tetapi juga kapan harus memanen, bagaimana meramunya, dan doa atau ritual apa yang harus menyertai proses penyembuhan.
Kehilangan wilayah adat berarti hilangnya akses terhadap sumber daya genetik yang tak ternilai harganya. Ketika hutan dihancurkan untuk perkebunan monokultur, ribuan spesies tanaman obat, yang mungkin menyimpan kunci pengobatan penyakit modern, hilang selamanya bahkan sebelum sempat didokumentasikan oleh ilmu pengetahuan modern. Keanekaragaman hayati dan keanekaragaman budaya adalah dua sisi mata uang yang saling terkait erat; hilangnya yang satu pasti menyebabkan kepunahan yang lain.
Sistem sosial masyarakat adat dirancang untuk memastikan harmoni, distribusi sumber daya yang adil, dan resolusi konflik internal yang efektif. Struktur ini seringkali lebih egaliter dan berbasis konsensus (musyawarah) dibandingkan sistem politik modern.
Di banyak komunitas adat, kekuasaan tidak bersifat tunggal, melainkan terbagi antara pemimpin spiritual/ritual dan pemimpin eksekutif/politik. Pembagian ini memastikan bahwa keputusan yang diambil selalu mempertimbangkan dimensi spiritual dan lingkungan.
Pada suku Baduy di Banten, terdapat dualisme kekuasaan antara Puun (pemimpin spiritual tertinggi yang mengatur ritual dan hubungan dengan alam gaib) dan Jaro (pemimpin duniawi yang berinteraksi dengan dunia luar dan menangani masalah administrasi harian). Sementara di Minangkabau, kepemimpinan dibagi antara Niniak Mamak (pemimpin adat, berbasis garis keturunan ibu/matrilineal) dan Alim Ulama (pemimpin agama), yang bekerja sama dalam sistem Tali Tigo Sapilin (Tiga Tali yang Terpilin).
Bertentangan dengan pandangan bahwa masyarakat adat selalu patriarkal, banyak komunitas memberikan peran sentral kepada perempuan. Perempuan seringkali menjadi penjaga utama pengetahuan (khususnya ethno-botani, menenun, dan ritual panen) dan memiliki kekuatan signifikan dalam pengambilan keputusan komunal. Dalam sistem matrilineal seperti Minangkabau, perempuan memegang kontrol atas harta pusaka dan tanah ulayat, yang menjamin stabilitas ekonomi dan sosial klan.
Ikatan kekerabatan menentukan bagaimana sumber daya dan hak diwariskan. Ada tiga sistem utama yang mempengaruhi struktur sosial:
Dalam semua sistem ini, yang terpenting adalah konsep 'kesatuan masyarakat hukum adat,' di mana kepentingan kolektif selalu didahulukan di atas kepentingan individu, terutama dalam hal kepemilikan lahan yang bersifat sakral.
Hukum adat dalam menangani kejahatan sangat berbeda dari sistem hukum pidana negara. Fokus utamanya adalah pada pemulihan keseimbangan (harmoni) komunitas dan alam yang telah dirusak oleh tindakan pelaku, bukan sekadar pembalasan dendam (retribusi).
Meskipun memiliki kedaulatan yang diakui secara de facto dan spiritual, masyarakat adat dihadapkan pada ancaman nyata yang datang dari luar, terutama konflik tenurial (kepemilikan lahan) dan erosi budaya akibat modernisasi yang tidak terkendali.
Konflik lahan adalah masalah paling mendesak yang dihadapi masyarakat adat. Negara, melalui sektor kehutanan, pertambangan, dan perkebunan, seringkali mengklaim wilayah adat sebagai ‘lahan kosong’ atau ‘Hutan Negara’ tanpa melalui proses persetujuan bebas dan didahulukan (FPIC – Free, Prior, and Informed Consent).
Wilayah adat yang kaya sumber daya (hutan, batubara, mineral) menjadi sasaran utama konsesi perusahaan. Negara mengeluarkan izin konsesi (HGU, IUP) yang tumpang tindih dengan Hak Ulayat yang telah diakui oleh komunitas selama ratusan tahun. Dampaknya meliputi:
Ketika masyarakat adat mempertahankan wilayah mereka dari ekspansi perusahaan, mereka seringkali dihadapkan pada proses hukum formal. Para pemimpin adat yang berjuang membela hutan mereka dikriminalisasi dengan dalih ‘merusak properti perusahaan’ atau ‘pencurian kayu’ (terutama menggunakan UU Kehutanan yang lama). Proses kriminalisasi ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga melemahkan otoritas Lembaga Adat dan memecah belah solidaritas komunitas.
Ancaman terhadap masyarakat adat tidak hanya bersifat fisik (lahan), tetapi juga metafisik (budaya dan identitas). Globalisasi, sistem pendidikan formal yang tidak inklusif, dan migrasi tenaga kerja membawa dampak buruk pada transmisi pengetahuan tradisional.
Indonesia adalah rumah bagi lebih dari 700 bahasa daerah, namun banyak di antaranya berada di ambang kepunahan. Bahasa adalah wadah utama dari pengetahuan adat. Ketika bahasa ibu (mother tongue) hilang, maka seluruh kearifan, ritual, etnobotani, dan sejarah lisan yang tersimpan di dalamnya ikut lenyap. Generasi muda yang didorong untuk berbahasa formal di sekolah seringkali kehilangan kemampuan berkomunikasi dengan tetua mereka dalam konteks spiritual dan hukum adat.
Paparan terhadap budaya luar melalui media digital dan migrasi membawa masuk nilai-nilai konsumerisme yang bertentangan dengan prinsip keberlanjutan adat. Generasi muda mulai meninggalkan cara hidup tradisional yang dianggap ‘tertinggal’ atau ‘primitif,’ memilih pekerjaan di kota dan melupakan tanggung jawab mereka terhadap hutan dan ritual adat.
Menyadari pentingnya perjuangan politik terorganisir, masyarakat adat telah membentuk jaringan advokasi yang kuat untuk mendorong perubahan kebijakan di tingkat nasional maupun global.
AMAN adalah organisasi payung terbesar yang mewakili puluhan juta masyarakat adat di Indonesia. Didirikan pada tahun 1999, AMAN memainkan peran vital dalam menyatukan suara komunitas yang terisolasi, mendorong reformasi kebijakan, dan mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia.
Agenda utama AMAN mencakup tiga poin penting: Pengakuan Hukum (mengesahkan RUU Masyarakat Adat), Pengembalian Wilayah Adat (setelah Putusan MK 35), dan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Mereka menggunakan pendekatan politik formal, bekerja sama dengan DPR dan pemerintah, sambil tetap mempertahankan gerakan akar rumput yang kuat.
Untuk melawan klaim sepihak negara atas hutan, AMAN memfasilitasi proses pemetaan partisipatif, di mana masyarakat adat sendiri yang mendokumentasikan dan memetakan batas-batas wilayah adat mereka, lengkap dengan situs spiritual, jalur migrasi hewan, dan lokasi sumber daya. Pemetaan ini menjadi bukti konkret yang digunakan untuk menuntut pengakuan dari pemerintah pusat dan daerah.
Perjuangan masyarakat adat di Indonesia juga merupakan bagian dari gerakan global. Mereka mengadopsi dan memanfaatkan instrumen hukum internasional untuk memperkuat posisi tawar mereka di dalam negeri.
Deklarasi ini, disahkan tahun 2007, menjamin hak-hak kolektif masyarakat adat, termasuk hak atas penentuan nasib sendiri, hak atas tanah, wilayah, dan sumber daya, serta hak atas persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan (FPIC). Meskipun UNDRIP bukan perjanjian yang mengikat, ia menjadi standar moral dan politik yang kuat yang digunakan untuk mengevaluasi kebijakan negara.
Organisasi internasional seperti ILO (International Labour Organization), UNESCO, dan berbagai LSM lingkungan hidup global (seperti FPP dan WWF) seringkali bekerja sama dengan masyarakat adat Indonesia untuk mendukung proyek-proyek berbasis kearifan lokal, mendanai litigasi strategis, dan memberikan tekanan internasional terhadap perusahaan multinasional yang beroperasi di wilayah adat.
Di balik tatanan hukum dan sosial, terdapat dimensi spiritual yang mendasari setiap pengambilan keputusan masyarakat adat. Kosmologi adat memberikan makna pada wilayah, ritual, dan siklus hidup.
Sebagian besar masyarakat adat melihat alam semesta sebagai sebuah kesatuan yang terdiri dari tiga lapisan (atau lebih), yang semuanya saling berinteraksi dan memengaruhi:
Ritual-ritual adat bertujuan untuk memastikan bahwa hubungan antara tiga dunia ini tetap harmonis. Pelanggaran terhadap hukum adat atau eksploitasi alam yang berlebihan dianggap dapat mengganggu keseimbangan ini, yang berujung pada bencana (misalnya, gagal panen, penyakit, atau gempa bumi).
Ritual adalah penanda utama dari transisi kehidupan dan siklus pertanian, memastikan transmisi nilai dan pengetahuan antar generasi. Ritual tidak hanya bersifat seremonial, tetapi juga memiliki fungsi penguatan solidaritas sosial dan penegasan identitas.
Upacara panen (misalnya, Pesta Panen Dayak atau Rambu Solo’ di Toraja) adalah salah satu ritual terpenting. Ini adalah momen bersyukur kepada roh bumi dan leluhur atas hasil panen, tetapi juga merupakan mekanisme ekonomi untuk mendistribusikan hasil panen dan menegaskan kembali ikatan kepemilikan komunal atas lahan. Ritual ini mengajarkan rasa terima kasih dan menghindari kerakusan.
Rumah adat bukan sekadar tempat tinggal, tetapi replika dari kosmologi mereka. Misalnya, Rumah Gadang Minangkabau atau Rumah Honai Papua, dirancang dengan filosofi yang ketat, di mana atap melambangkan langit, tiang melambangkan dunia tengah (manusia), dan kolong rumah seringkali berhubungan dengan dunia bawah. Perawatan rumah adat merupakan tugas komunal yang menjaga ingatan kolektif dan struktur kekerabatan.
Keputusan Adat dicapai melalui musyawarah untuk mufakat, memastikan keadilan dan penghormatan terhadap seluruh anggota komunitas.
Masyarakat adat Nusantara adalah simbol ketahanan peradaban. Mereka menawarkan peta jalan menuju keberlanjutan yang autentik, berakar pada penghormatan mendalam terhadap bumi dan leluhur. Pengakuan dan perlindungan hak-hak mereka bukan hanya tentang memberikan keadilan historis, tetapi tentang mengamankan masa depan ekologis dan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia. Dengan menjamin kedaulatan mereka atas wilayah, hukum, dan pengetahuan, negara akan mendapatkan mitra terkuatnya dalam menjaga keanekaragaman hayati dan moral bangsa.
Perjuangan untuk pengakuan penuh terhadap masyarakat adat adalah perjuangan untuk menegakkan amanat konstitusi dan menegaskan kembali identitas Indonesia sebagai negara yang menghargai keragaman (Bhinneka Tunggal Ika) tidak hanya sebagai slogan, tetapi sebagai fondasi nyata dari sebuah republik yang berdaulat, adil, dan lestari.