Ilustrasi visual hati yang mencapai ketenangan spiritual melalui ketaatan (Mardatillah).
Mardatillah (مرضاة الله) adalah sebuah konsep teologis dan spiritual yang melampaui sekadar kepuasan batin. Secara harfiah, ia berarti keridaan, penerimaan, atau kesenangan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dalam kamus spiritualitas Islam, mencapai Mardatillah bukanlah sekadar tujuan sampingan, melainkan puncak dari segala upaya, ibadah, dan pengabdian seorang hamba. Ia adalah barometer mutlak yang menentukan keberhasilan hidup duniawi dan kebahagiaan abadi di akhirat.
Jika Iman adalah fondasi, dan Islam adalah bangunannya, maka Mardatillah adalah cahaya yang menerangi seluruh bangunan tersebut, memastikan bahwa setiap sudutnya sesuai dengan kehendak Sang Pencipta. Tanpa keridaan-Nya, semua amal, betapapun besar atau indahnya, dapat menjadi debu yang bertebaran. Oleh karena itu, seluruh ajaran Islam—mulai dari tata cara salat yang paling rinci hingga etika bermuamalah yang paling luas—didesain untuk mengarahkan manusia menuju satu titik fokus: meraih cinta dan penerimaan Ilahi.
Mardatillah adalah kondisi spiritual tertinggi di mana kehendak hamba sejalan sempurna dengan kehendak Khaliq. Ini adalah manifestasi dari penyerahan diri total (taslim) yang menghasilkan kedamaian abadi (thuma’ninah).
Penting untuk membedakan antara ‘rida’ yang dirasakan oleh hamba (kepuasan hati, qana'ah) dengan ‘Rida Allah’ (Mardatillah). Rida hamba adalah hasil dari kepasrahan terhadap takdir, baik yang pahit maupun yang manis. Ia adalah buah dari tawakal dan sabar. Namun, Rida Allah adalah sumber dari segala rida dan kepuasan tersebut. Ketika Allah rida terhadap seorang hamba, Dia akan memberikan kedamaian di hati hamba itu dan menjamin keselamatan abadi baginya.
Seseorang bisa saja merasa tenang dan puas di dunia (rida hamba), tetapi jika kepuasannya didapat melalui cara yang menyalahi syariat, ia belum tentu mencapai Rida Allah. Sebaliknya, seorang hamba yang berjuang keras menanggung cobaan, merasakan sakit dan kepayahan, namun tetap istiqamah dalam ketaatan, dialah yang tengah berjuang di jalan Mardatillah, meskipun mungkin rida hamba (kepuasan instan) terasa jauh di awal perjuangan.
Allah menciptakan manusia dan jin semata-mata untuk beribadah. Ibadah dalam konteks yang luas bukan hanya shalat dan puasa, tetapi seluruh aspek kehidupan. Tujuan akhir dari ibadah ini adalah untuk membuktikan ketaatan dan kepatuhan absolut, yang puncaknya adalah meraih Rida-Nya. Jika setiap tindakan, setiap ucapan, dan setiap niat ditimbang dengan pertanyaan, "Apakah ini mendatangkan Rida-Nya?", maka seluruh kehidupan menjadi sebuah perjalanan spiritual yang terarah dan bermakna.
Jalan menuju keridaan Ilahi ditegakkan di atas pilar-pilar fundamental yang tidak dapat dipisahkan. Ketiga pilar ini mencakup dimensi akidah, ritual, dan perilaku, memastikan bahwa pencarian Mardatillah adalah upaya holistik yang menyentuh jiwa, raga, dan interaksi sosial.
Pilar pertama dan paling utama adalah Ikhlas, yakni memurnikan niat dalam setiap amal semata-mata karena Allah. Ikhlas adalah roh dari ibadah. Tanpa ikhlas, amal sebesar gunung pun dapat tercerabut nilainya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menekankan bahwa amalan hanya dinilai berdasarkan niatnya. Mardatillah hanya diberikan kepada mereka yang beramal tanpa campur tangan riya (pamer), sum’ah (ingin didengar), atau mencari pujian makhluk.
Menguji tingkat keikhlasan adalah proses seumur hidup. Hal ini dapat dilakukan dengan menanyakan diri sendiri, “Apakah aku akan tetap melakukan amal ini jika tidak ada yang melihat?” “Apakah aku kecewa jika amalku tidak dipuji?” “Apakah aku bersemangat melakukan kebaikan yang tidak diketahui orang lain, seperti aku bersemangat melakukan kebaikan yang tampak?” Keikhlasan yang hakiki menempatkan hamba pada posisi menerima pujian atau celaan manusia dengan hati yang tetap fokus hanya kepada keridaan Sang Pencipta.
Pilar kedua adalah Ittiba’ as-Sunnah, yaitu mengikuti cara (tata laksana) yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Keridaan Allah hanya diberikan pada amal yang sesuai dengan petunjuk-Nya. Sincerity (Ikhlas) harus didampingi oleh ketepatan metode (Ittiba'). Beramal dengan niat yang murni namun tanpa panduan yang benar adalah sia-sia, sebagaimana beramal sesuai tuntunan namun tanpa niat yang murni juga tertolak.
Mardatillah mensyaratkan bahwa kita beribadah bukan dengan hawa nafsu atau inovasi pribadi, melainkan dengan cara yang telah Dia rida’i dan contohkan melalui utusan-Nya. Mencintai Rasulullah berarti meneladani setiap gerak-gerik beliau, baik dalam ibadah ritual maupun etika sehari-hari (muamalah dan akhlak).
Pilar ketiga adalah Istiqamah atau konsistensi. Jalan menuju Mardatillah adalah maraton spiritual, bukan lari cepat sesaat. Allah lebih mencintai amal yang sedikit namun dilakukan secara berkelanjutan daripada amal yang banyak namun terputus-putus. Istiqamah membuktikan keseriusan dan komitmen seorang hamba. Ia adalah bukti bahwa ketaatan bukan hanya ledakan emosi sesaat, melainkan gaya hidup yang terpatri kuat.
Istiqamah tidak hanya berarti teguh dalam melaksanakan perintah, tetapi juga teguh dalam menjauhi larangan. Seseorang yang istiqamah dalam kebaikan menunjukkan bahwa jiwanya telah mencapai derajat ketenangan di mana pilihan untuk taat telah menjadi naluri, sebuah tanda nyata bahwa ia berada di jalur yang diridai.
Keridaan Allah tidak hanya ditemukan di masjid atau tempat ibadah, tetapi juga di setiap interaksi kita dengan sesama makhluk. Akhlak mulia adalah cerminan batin yang ikhlas dan bukti nyata bahwa ibadah ritual telah berhasil mentransformasi perilaku hamba. Akhlak adalah medan jihad terbesar dalam pencarian Mardatillah.
Tidak ada jalan menuju Mardatillah yang bebas dari cobaan. Sabar adalah kendaraan utama yang membawa seorang hamba melewati badai ujian. Sabar memiliki tiga dimensi yang semuanya harus dipenuhi untuk mencapai keridaan-Nya:
Ini adalah kesabaran untuk terus menerus melakukan perintah Allah, meskipun terasa berat, melelahkan, atau bertentangan dengan keinginan hawa nafsu. Kesabaran ini meliputi bangun di malam hari untuk qiyamul lail, menjaga shalat fardhu tepat waktu di tengah kesibukan, atau terus menuntut ilmu meskipun prosesnya panjang dan sulit. Istiqamah adalah manifestasi dari sabar jenis ini.
Ini adalah kesabaran menahan diri dari godaan syahwat, harta, dan kekuasaan yang diharamkan. Di tengah lingkungan yang penuh dengan ajakan maksiat, kesabaran ini adalah perisai. Ia mensyaratkan mujahadah (perjuangan keras melawan diri sendiri) untuk memenangkan hati agar selalu memilih yang diridai Allah, meskipun jalan maksiat tampak lebih mudah dan menyenangkan.
Ini adalah penerimaan takdir yang tidak menyenangkan, seperti kehilangan harta, orang tercinta, atau kesehatan. Sabar di sini berarti tidak mengeluh, tidak berputus asa, dan meyakini bahwa di balik setiap musibah terdapat hikmah dan bahwa musibah tersebut adalah penghapus dosa. Hamba yang sabar dalam musibah akan mendapatkan ucapan salam khusus dari Allah dan digolongkan sebagai ‘orang-orang yang sabar’ yang dijanjikan ganjaran tanpa batas.
Mardatillah sering kali tersembunyi di balik musibah. Ketika hamba menerima takdir pahit dengan hati yang rida, ia membuktikan bahwa kecintaannya kepada Allah melampaui kecintaannya pada kenyamanan duniawi.
Jika Sabar adalah respon terhadap cobaan, maka Syukur adalah respon terhadap karunia. Syukur yang sempurna adalah pilar penting menuju Mardatillah. Syukur bukanlah sekadar ucapan “Alhamdulillah” (syukur lisan), melainkan tindakan pengakuan bahwa segala nikmat berasal dari-Nya (syukur hati), dan yang terpenting, menggunakan nikmat tersebut sesuai dengan kehendak pemberi nikmat (syukur perbuatan).
Seorang yang bersyukur secara hakiki akan menggunakan kesehatannya untuk beribadah, hartanya untuk bersedekah dan menolong, serta kekuasaannya untuk menegakkan keadilan. Ketika setiap nikmat dikelola berdasarkan kehendak Allah, maka setiap penggunaan nikmat tersebut menjadi amal saleh yang berpotensi meraih keridaan-Nya.
Mardatillah tercermin dalam cara kita berinteraksi dengan sesama makhluk. Tawadhu' (rendah hati) menjauhkan kita dari kesombongan yang merupakan pakaian Iblis dan sifat yang paling dibenci Allah. Hamba yang rendah hati, meskipun memiliki ilmu atau kekayaan yang melimpah, tetap bersikap lembut dan menghormati orang lain.
Kasih sayang (Rahmah) terhadap sesama, khususnya yang lemah, adalah jalan pintas menuju Rida Allah. Rasulullah menekankan bahwa mereka yang tidak menyayangi tidak akan disayangi. Mencintai dan melayani makhluk Allah, baik manusia, hewan, maupun alam, adalah bukti bahwa hati seorang hamba telah dipenuhi dengan cahaya ketaatan yang menghasilkan akhlak mulia, dan inilah yang dicari oleh Mardatillah.
Sebagian besar waktu hidup manusia dihabiskan dalam interaksi sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, area muamalah (interaksi) menjadi ladang subur untuk membuktikan sejauh mana komitmen seseorang terhadap Mardatillah. Keridaan Ilahi tidak akan sempurna jika praktik sosial dan ekonomi seorang hamba menyimpang dari prinsip keadilan dan kejujuran.
Keadilan adalah nama lain dari ketaatan. Menegakkan keadilan, bahkan terhadap diri sendiri atau orang yang dibenci, adalah perintah yang secara eksplisit mengarah pada ketakwaan. Mardatillah menuntut hamba untuk:
Amanah (kepercayaan) adalah inti dari muamalah yang diridai. Amanah mencakup janji, tanggung jawab pekerjaan, rahasia, dan segala sesuatu yang dipercayakan kepada kita. Pelanggaran amanah adalah tanda kemunafikan dan jauhnya seseorang dari jalur Mardatillah.
Mardatillah menuntut kita untuk menjadi pribadi yang dapat diandalkan, tidak hanya dalam urusan besar negara, tetapi juga dalam urusan kecil sehari-hari. Menepati janji sekecil apapun adalah upaya pembuktian bahwa kita memuliakan hak-hak orang lain, dan memuliakan hak makhluk adalah bentuk memuliakan perintah Sang Khaliq.
Salah satu tindakan paling dicintai Allah adalah membantu menyelesaikan kesulitan orang lain. Rasulullah mengajarkan bahwa membantu seorang muslim lebih baik daripada I’tikaf di masjid Nabawi selama sebulan penuh. Aktivitas melayani sesama, dengan niat yang murni karena Allah, secara otomatis menempatkan hamba di bawah naungan keridaan-Nya.
Ini mencakup upaya filantropi, menolong tetangga yang sakit, mendengarkan keluh kesah saudara, atau bahkan sekadar menyingkirkan duri dari jalan. Seluruh interaksi ini, yang dilakukan dengan ihsan (berbuat baik seolah-olah melihat Allah), adalah upaya konkret untuk mendapatkan Mardatillah.
Jalan menuju keridaan Allah dipenuhi dengan rintangan yang menguji kejujuran niat dan keteguhan amal. Mengenali musuh-musuh spiritual ini adalah langkah awal untuk mengatasinya dan memastikan bahwa langkah kita tetap lurus menuju tujuan tertinggi.
Musuh terbesar hamba adalah dirinya sendiri, khususnya Nafs al-Ammarah bis-Su’ (jiwa yang cenderung memerintahkan keburukan). Nafsu ini berlawanan langsung dengan tuntutan Mardatillah. Ia menyukai kemalasan dalam ibadah, kesenangan yang haram, dan penundaan ketaatan.
Perjuangan melawan nafsu ini (mujahadah) adalah inti dari suluk spiritual. Menggantinya dengan Nafs al-Lawwamah (jiwa yang menyesali kesalahan) dan akhirnya mencapai Nafs al-Muthmainnah (jiwa yang tenang dan diridai) adalah proses panjang pengendalian diri. Jiwa yang tenang adalah jiwa yang telah menemukan kepuasan dan keridaan dari Allah, sebuah kondisi puncak yang hanya dapat diraih melalui disiplin dan konsistensi.
Syaitan bekerja untuk merusak dua pilar utama Mardatillah: Ikhlas dan Ittiba’. Syaitan tidak selalu mengajak manusia meninggalkan shalat, tetapi sering kali membisikkan agar shalat dilakukan dengan riya, atau agar amal dilakukan dengan cara yang tidak sesuai sunnah.
Dalam konteks Mardatillah, godaan syaitan paling halus adalah ketika hamba merasa puas dengan amalnya sendiri, merasa lebih baik daripada orang lain, atau mulai menuntut pengakuan dari Allah atas amal yang telah dilakukan. Keridaan Ilahi hanya dapat diperoleh dengan perasaan rendah diri, selalu merasa kurang, dan selalu memohon ampunan atas kelalaian.
Cinta yang berlebihan terhadap dunia (Hubb ad-Dunya) adalah penyakit spiritual yang menghalangi pandangan hamba dari Mardatillah. Dunia adalah jembatan, bukan tujuan. Apabila dunia dijadikan tujuan utama, maka orientasi hidup akan bergeser dari mencari keridaan Allah menjadi mencari kepuasan fana.
Mardatillah menuntut keseimbangan. Hamba harus bekerja di dunia seolah-olah hidup selamanya, namun beramal untuk akhirat seolah-olah akan mati besok. Keseimbangan ini memastikan bahwa harta, pangkat, dan kenyamanan duniawi digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, bukan sebagai penghalang.
Pencapaian Mardatillah harus berlandaskan pemahaman yang kokoh terhadap sifat-sifat Allah, takdir, dan janji-janji Ilahi yang termaktub dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Ilmu (pengetahuan) adalah penerang jalan menuju Rida-Nya.
Mendalami nama-nama dan sifat-sifat Allah (Asmaul Husna) membantu hamba memahami apa yang dicintai dan diridai oleh-Nya. Nama-nama seperti Al-Ghafur (Maha Pengampun), Al-Wadud (Maha Mencintai), dan Al-Hakim (Maha Bijaksana) memberikan perspektif yang benar tentang sifat Rida Allah:
Qana’ah adalah kembar spiritual dari Mardatillah di sisi hamba. Qana’ah adalah menerima dengan lapang dada segala rezeki dan kondisi yang telah ditetapkan Allah. Orang yang qana’ah tidak akan menghabiskan hidupnya untuk mengejar fatamorgana dunia, melainkan fokus pada kualitas amal. Rasulullah bersabda bahwa sesungguhnya keberuntungan adalah bagi orang yang Islam, diberi rezeki yang cukup, dan Allah memberinya qana'ah (kepuasan) atas apa yang telah diberikan.
Kepuasan batin ini adalah salah satu tanda awal bahwa Allah mulai rida terhadap hamba tersebut, karena ketenangan hati hanya datang dari penerimaan takdir secara total.
Meskipun kita telah beramal keras dengan ikhlas dan ittiba’, pencapaian Mardatillah pada akhirnya bergantung sepenuhnya pada karunia dan rahmat Allah. Oleh karena itu, doa adalah senjata spiritual yang tak terpisahkan. Memohon keridaan-Nya adalah inti dari setiap doa. Salah satu doa yang diajarkan oleh Rasulullah adalah, “Ya Allah, aku memohon keridaan-Mu dan Surga…”
Doa menunjukkan kerendahan hati bahwa tanpa bantuan-Nya, segala upaya kita sia-sia. Dengan merutinkan doa memohon Rida, kita menanamkan kesadaran dalam hati bahwa Mardatillah adalah tujuan utama, mengalahkan tujuan duniawi lainnya.
Selain pilar-pilar dasar, terdapat amalan-amalan spesifik yang memiliki keutamaan tinggi dan secara langsung disebutkan dalam nash sebagai jalan cepat untuk meraih Mardatillah. Amalan-amalan ini sering kali menuntut pengorbanan dan komitmen yang lebih besar.
Keridaan Allah sangat erat kaitannya dengan keridaan orang tua. Berbakti (Birrul Walidain) kepada kedua orang tua, selama tidak bertentangan dengan syariat, adalah salah satu amal yang paling dicintai-Nya. Ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan ibadah kepada Allah selalu diikuti dengan perintah berbuat baik kepada orang tua.
Ketaatan ini mencakup merawat mereka di usia senja, berbicara dengan lembut, memenuhi kebutuhan mereka, dan mendoakan mereka. Bagi mereka yang telah ditinggal orang tua, Birrul Walidain dilanjutkan melalui doa, silaturahim dengan kerabat orang tua, dan menunaikan janji-janji mereka. Pengorbanan untuk orang tua adalah investasi abadi yang memastikan seorang hamba mendapatkan Rida Allah.
Pengorbanan harta di jalan Allah adalah bukti bahwa cinta hamba kepada Pencipta melampaui cintanya kepada materi. Sedekah yang paling tinggi nilainya dalam mencari Mardatillah adalah sedekah yang bersifat rahasia, di mana tangan kiri tidak mengetahui apa yang diberikan tangan kanan.
Sedekah jenis ini menjamin keikhlasan murni (terhindar dari riya) dan menjadi sebab diampuninya dosa serta disediakannya naungan di hari kiamat. Mengeluarkan harta untuk menafkahi keluarga, membantu yatim, atau menyantuni fuqara dan masakin adalah praktik nyata penerapan syukur dan tawakkal yang akan menarik keridaan Allah.
Banyak amal saleh yang hancur karena kegagalan menjaga lisan. Ghibah (menggunjing), fitnah, dan namimah (adu domba) adalah dosa-dosa lisan yang sangat dibenci Allah dan merusak persaudaraan. Mardatillah menuntut hamba untuk memilih diam ketika kata-kata yang keluar tidak mendatangkan kebaikan.
Menjaga lisan adalah cerminan dari hati yang bersih. Seorang yang fokus mencari keridaan Allah akan senantiasa berusaha agar kata-katanya penuh dengan kebenusan, hikmah, dan nasihat yang baik. Ia menjauhi segala hal yang dapat menyakiti perasaan atau merusak kehormatan saudaranya.
Meskipun ibadah ritual sering dianggap sebagai fondasi dasar, Mardatillah tidak diperoleh hanya dengan melaksanakan rukun, melainkan dengan mencapai kualitas spiritual (khushu') dalam pelaksanaannya. Kuantitas harus didampingi oleh kedalaman.
Shalat adalah mi’rajnya seorang Mukmin. Untuk meraih Mardatillah, shalat harus dijalankan dengan khushu’ (kekhusyukan). Khushu’ adalah kondisi di mana hati sepenuhnya hadir dan menyadari bahwa ia sedang berdiri di hadapan Sang Pencipta.
Shalat yang khushu’ akan mencegah perbuatan keji dan mungkar. Shalat semacam ini bukan sekadar gugur kewajiban, melainkan sarana dialog yang tulus. Ketika hamba menempatkan seluruh fokusnya dalam shalat, ia menunjukkan bahwa waktu yang dipersembahkan untuk Allah adalah waktu yang paling berharga, sebuah dedikasi yang pasti menarik Rida-Nya.
Salah satu amal yang paling utama setelah iman adalah shalat tepat pada waktunya. Mendahulukan panggilan Allah di atas segala kesibukan duniawi adalah bukti prioritas spiritual. Keseriusan dalam menjaga waktu shalat menunjukkan betapa berharganya keridaan Allah di mata seorang hamba.
Puasa (Shaum) adalah ibadah yang unik karena Allah berfirman, “Puasa itu milik-Ku dan Aku yang akan membalasnya.” Puasa mengajarkan ikhlas (karena hanya Allah yang tahu apakah kita benar-benar berpuasa) dan sabar. Melalui puasa, hamba melatih pengendalian diri dari syahwat halal demi ketaatan.
Pencapaian Mardatillah melalui puasa terletak pada kemampuannya untuk mentransformasi perilaku. Jika puasa hanya menahan lapar dan dahaga tanpa menahan lisan, pandangan, dan perbuatan maksiat, maka puasa itu hanya menghasilkan lapar. Puasa yang sempurna adalah puasa yang membersihkan jiwa, mempersiapkan hamba untuk menerima keridaan Ilahi.
Zikir (mengingat Allah) adalah makanan bagi hati. Hati yang hidup dan senantiasa berzikir adalah hati yang dekat dengan Rida Allah. Zikir tidak hanya sebatas bacaan lisan, tetapi kesadaran konstan akan kehadiran-Nya.
Tafakkur (merenung) terhadap ciptaan Allah, keagungan-Nya, dan hikmah di balik syariat-Nya, menguatkan iman dan memantapkan langkah menuju Mardatillah. Renungan yang mendalam akan menumbuhkan rasa takut (khauf) dan harapan (raja’) secara seimbang, dua sayap spiritual yang harus dimiliki oleh pencari keridaan.
Perjuangan berat dalam mencari Mardatillah tidak akan sia-sia. Keridaan Allah membawa konsekuensi dan ganjaran luar biasa, baik di dunia maupun di akhirat.
Ganjaran pertama di dunia adalah ketenangan jiwa. Allah berfirman dalam Al-Qur’an, “Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya.” (QS. Al-Fajr: 27-28). Jiwa yang tenang adalah jiwa yang telah mencapai rida terhadap takdir Allah dan telah diridai oleh-Nya.
Ketenangan ini bukan berarti bebas dari masalah, melainkan kemampuan untuk menghadapi masalah dengan iman yang kokoh. Hamba yang telah mencapai Mardatillah tidak panik oleh kegagalan duniawi dan tidak sombong oleh kesuksesan duniawi, karena fokusnya tertuju pada sesuatu yang lebih besar dari semua itu.
Ketika Allah rida terhadap seorang hamba, Dia akan memerintahkan para malaikat untuk mencintai hamba tersebut. Kemudian, cinta itu disebar ke seluruh penduduk bumi. Hamba yang diridai Allah akan mendapatkan penerimaan universal (makbul) dan kemudahan dalam urusan dunia.
Keberkahan (Barakah) menyertai segala urusannya. Waktu yang sedikit terasa cukup, harta yang sedikit terasa berlimpah, dan ilmu yang dimiliki memberikan manfaat yang luas. Barakah adalah hadiah duniawi dari Allah kepada mereka yang mencari Mardatillah.
Ganjaran tertinggi di akhirat adalah Surga (Jannah). Namun, bahkan di dalam Surga, ada ganjaran yang melampaui segala kenikmatan: melihat wajah Allah dan mendapatkan pengumuman Keridaan-Nya yang abadi.
Allah menjanjikan dalam Surga, “...Keridaan dari Allah lebih besar.” (QS. At-Taubah: 72). Keridaan Ilahi melampaui semua kenikmatan materi Surga. Itu adalah puncak kebahagiaan, di mana hamba mengetahui bahwa Sang Pencipta telah puas dengannya, dan tidak ada lagi rasa takut atau kesedihan yang akan menimpanya selamanya.
Perasaan bahwa Allah telah rida adalah mahkota dari segala pencapaian. Di momen itulah, perjalanan panjang seorang hamba, yang diisi dengan sabar, ikhlas, dan perjuangan melawan nafsu, menemukan akhir yang paling mulia.
Mencari Mardatillah di era modern, yang penuh dengan distraksi digital dan tuntutan materialistik yang tinggi, membutuhkan strategi dan kesadaran yang lebih tajam. Prinsipnya tetap sama, tetapi penerapannya membutuhkan penyesuaian konteks.
Media sosial sering kali menjadi ujian terbesar bagi keikhlasan. Kebaikan yang dulunya dapat disembunyikan kini mudah terekspos, membuka peluang besar bagi riya. Mencari Mardatillah di era ini berarti harus melakukan “puasa publikasi”—melakukan sebanyak mungkin kebaikan yang hanya diketahui oleh diri sendiri dan Allah.
Apabila kebaikan harus dipublikasikan (misalnya untuk ajakan donasi), niat harus dikencangkan: apakah tujuan utamanya adalah menginspirasi orang lain untuk beramal, atau mencari pujian? Perbedaan niat ini sangat tipis, dan hanya kesadaran akan Mardatillah yang dapat menjadi pembeda yang menyelamatkan.
Tekanan ekonomi global seringkali memicu kekhawatiran berlebihan (was-was) mengenai rezeki. Mardatillah mengajarkan bahwa rezeki telah ditetapkan. Tugas hamba adalah berusaha sekuat tenaga, tetapi hati harus tetap tawakkul (berserah diri) penuh kepada Allah. Mencari Rida Allah berarti meyakini bahwa rezeki yang halal, meskipun sedikit, akan mendatangkan keberkahan yang lebih besar daripada kekayaan melimpah yang diperoleh dengan cara haram.
Ketentraman hati saat berbisnis, menjaga kejujuran di tengah persaingan ketat, dan menjauhi praktik riba di tengah kemudahan kredit, semua ini adalah jihad ekonomi yang lurus menuju keridaan Ilahi.
Waktu adalah modal terbesar. Kehidupan modern menuntut efisiensi waktu, tetapi seringkali mengorbankan waktu untuk ibadah. Mencari Mardatillah berarti mengelola waktu dengan menempatkan ibadah fardhu (termasuk menuntut ilmu agama) sebagai prioritas non-negotiable.
Mengalokasikan waktu spesifik untuk tafakkur, tadabbur Al-Qur’an, dan muhasabah (introspeksi) harian, meskipun hanya 15 menit, adalah langkah proaktif yang menunjukkan bahwa keridaan Allah lebih berharga daripada hiburan atau kesibukan yang tiada akhir.
Maqam (kedudukan) tertinggi dalam Islam adalah Ihsan, yang didefinisikan sebagai beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak mampu, yakinlah bahwa Dia melihatmu. Mardatillah adalah buah dari Ihsan yang sempurna.
Ihsan menuntut Muraqabah (merasa diawasi oleh Allah) secara terus menerus. Hamba yang berada di tingkat ini menyadari bahwa Allah mengetahui setiap detak jantung, setiap niat tersembunyi, dan setiap langkah. Kesadaran ini membuahkan rasa malu untuk berbuat maksiat dan motivasi untuk berbuat kebaikan di mana pun ia berada.
Muraqabah yang intensif akan menghasilkan amal yang jauh lebih berkualitas, lebih ikhlas, dan lebih sesuai dengan Sunnah. Keridaan Allah pasti diraih oleh mereka yang menjadikan prinsip Ihsan sebagai cara hidup, karena mereka senantiasa berusaha menyempurnakan amal demi kepuasan Sang Pengawas Agung.
Tingkat rida yang paling mendalam adalah ketika hamba mencapai kondisi fana’ fi Mardatillah—yakni, melenyapkan keinginan pribadi dan menggantinya dengan keinginan Allah. Ini berarti hamba mencintai apa yang dicintai Allah dan membenci apa yang dibenci Allah, tanpa memandang selera pribadi.
Contohnya, ia mencintai puasa sunnah karena Allah mencintainya, bukan karena ia merasa lapar. Ia mencintai amar ma’ruf nahi munkar meskipun itu membahayakan posisinya di dunia, karena itu adalah perintah Allah. Di titik ini, seluruh kehendak hamba telah diselaraskan, dan ia menjadi hamba yang “ridwan” (sangat diridai).
Kehidupan Rasulullah adalah manual sempurna untuk meraih Mardatillah. Seluruh hidup beliau adalah manifestasi Ihsan dan rida yang tiada tara. Beliau adalah hamba yang paling bersyukur dalam kelapangan dan paling sabar dalam kesulitan. Menjadikan sirah (sejarah hidup) beliau sebagai panduan detail dalam setiap aspek kehidupan—mulai dari cara makan hingga cara memimpin—adalah jaminan bahwa kita berjalan di atas jalan yang diridai.
Jalan menuju Mardatillah adalah sebuah upaya terus-menerus untuk menyerupai akhlak dan ketaatan manusia terbaik, nabi terakhir. Karena hanya melalui risalah yang beliau bawa, kita dapat mengetahui secara pasti apa yang diridai oleh Sang Khaliq.
Mencapai Mardatillah bukanlah sebuah titik akhir statis, melainkan sebuah proses penyempurnaan diri yang berkelanjutan hingga nafas terakhir. Setiap ibadah, setiap perlakuan baik, setiap kesabaran dalam kesulitan, dan setiap penolakan terhadap maksiat adalah langkah kecil di jalan agung menuju keridaan Ilahi.
Marilah kita senantiasa menguji diri: Apakah keridaan manusia lebih penting daripada Keridaan Allah? Apakah kenyamanan duniawi telah menggeser prioritas ukhrawi? Jawaban jujur atas pertanyaan ini akan menuntun kita kembali ke jalur yang benar.
Jadikanlah Mardatillah sebagai satu-satunya kompas hidup. Berdoalah dengan sungguh-sungguh agar kita dimampukan untuk beramal secara ikhlas dan sesuai tuntunan. Sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik dan berjuang di jalan keridaan-Nya.