Mandar Sulawesi: Mengarungi Budaya Bahari di Tanah Barat

Mandar, sebuah entitas budaya dan historis yang dominan di provinsi Sulawesi Barat, mewakili perpaduan unik antara tradisi pelayaran yang tangguh dan filosofi adat yang mendalam. Mereka adalah pewaris kerajaan maritim yang membentang di pesisir barat Sulawesi, sebuah masyarakat yang identitasnya terikat erat pada lautan, perahu, dan semangat kemandirian yang kuat.

I. Geografi dan Identitas Maritim Mandar

Suku Mandar mendiami wilayah yang kini dikenal sebagai Provinsi Sulawesi Barat, mencakup kabupaten-kabupaten penting seperti Polewali Mandar (Polman), Mamuju, Majene, dan Mamasa (meskipun Mamasa lebih didominasi suku Toraja dan Mamasa asli, pengaruh Mandar terasa di pesisirnya). Posisi geografis ini sangat strategis, menghadap langsung ke Selat Makassar, menjadikannya jalur perdagangan penting sejak dahulu kala. Identitas Mandar tidak bisa dilepaskan dari laut. Bagi mereka, lautan bukanlah batas, melainkan jembatan yang menghubungkan mereka dengan dunia luar, memperkuat status mereka sebagai pelaut ulung dan pedagang yang disegani.

Kekuatan maritim ini terpancar dalam setiap aspek kehidupan, mulai dari mata pencaharian utama yang didominasi oleh perikanan dan pelayaran, hingga struktur sosial yang mengakui keahlian pelaut sebagai strata penting. Lautan adalah sumber kehidupan, medan tempur, dan juga ruang spiritual. Keterikatan ini diwujudkan melalui teknologi perahu tradisional yang menjadi mahakarya, terutama perahu Sandeq yang legendaris, simbol kecepatan dan ketangguhan Mandar di atas ombak.

A. Pembagian Wilayah Adat Pitu Babana Binanga

Secara historis, wilayah Mandar terbagi berdasarkan federasi kerajaan yang dikenal sebagai *Pitu Babana Binanga* (Tujuh Muara Sungai), sebuah sistem politik yang menyatukan kerajaan-kerajaan pesisir dengan kerajaan-kerajaan pedalaman, meskipun dominasi maritim tetap kuat. Konsep ini menunjukkan kesadaran kolektif Mandar akan pentingnya persatuan, khususnya dalam menghadapi ancaman luar atau untuk mengamankan jalur perdagangan.

Federasi ini tidak hanya bersifat politis, tetapi juga mengatur pembagian sumber daya dan penegakan adat. Tujuh Kerajaan utama yang membentuk inti kekuatan Mandar tersebut adalah: Balanipa, Majene, Banggae, Pamboang, Sendana, Tapalang, dan Mamuju. Meskipun ada variasi dalam daftar ini seiring waktu, inti dari Tujuh Muara Sungai ini tetap menjadi pilar identitas geopolitik Mandar hingga hari ini.

Keseimbangan Pesisir dan Pedalaman

Meskipun Mandar dikenal sebagai masyarakat bahari, terdapat hubungan erat antara masyarakat pesisir (*Mandar Pesisir*) dan masyarakat pedalaman (*Mandar Darat*). Masyarakat darat, yang umumnya berfokus pada pertanian (sawah dan kebun), berperan menyediakan logistik pangan bagi masyarakat pesisir yang fokus pada pelayaran. Hubungan ini diikat oleh sistem kekerabatan dan perjanjian adat, menciptakan ekosistem sosio-ekonomi yang saling melengkapi. Keseimbangan ini memastikan stabilitas kerajaan Mandar di masa lalu, menunjukkan kompleksitas organisasi sosial yang tidak hanya terpaku pada satu orientasi geografis saja.

II. Sejarah dan Struktur Kerajaan Mandar

Sejarah Mandar adalah kisah perlawanan, diplomasi, dan kemakmuran yang dibangun di atas fondasi kelautan. Sebelum kedatangan pengaruh kolonial, Mandar telah memiliki sistem pemerintahan yang mapan. Pada abad ke-16 dan ke-17, saat Islam mulai menyebar luas di Sulawesi, kerajaan-kerajaan Mandar juga mengadopsi agama baru tersebut, namun tetap memelihara struktur adat yang kental.

A. Konfederasi Pitu Babana Binanga

Konfederasi Tujuh Muara Sungai (Pitu Babana Binanga) merupakan puncak kejayaan politik Mandar. Sistem ini dibentuk untuk menanggulangi ancaman eksternal, terutama dari Kerajaan Bugis dan Makassar yang semakin ekspansif, serta untuk mengelola konflik internal di antara kerajaan-kerajaan kecil. Perjanjian pembentukan federasi ini sangat penting; ia menetapkan bagaimana kerajaan-kerajaan tersebut akan berbagi kedaulatan, menyelesaikan sengketa, dan bergerak bersama dalam urusan militer dan perdagangan.

Di antara kerajaan-kerajaan tersebut, Balanipa seringkali memegang peran sentral atau primus inter pares (yang pertama di antara yang sederajat), terutama dalam urusan adat dan kepemimpinan politik di masa-masa kritis. Meskipun demikian, sistem ini dirancang untuk mencegah dominasi tunggal, memastikan bahwa keputusan penting selalu melalui musyawarah dewan raja-raja yang mewakili tujuh wilayah tersebut. Kepemimpinan adat dipegang oleh para *Adat Mappatuo* (pemegang adat yang menghidupkan), yang menjaga hukum tradisional tetap relevan dan ditegakkan.

Dampak Kolonialisme

Ketika Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) mulai mengukuhkan kekuasaannya di Sulawesi, Mandar menjadi salah satu target penting karena posisi strategisnya dan kekuatan maritimnya. Berbeda dengan beberapa kerajaan lain, Mandar seringkali menunjukkan perlawanan yang gigih, meskipun pada akhirnya harus tunduk di bawah perjanjian-perjanjian yang membatasi kedaulatan mereka. Perlawanan Mandar sering dipimpin oleh tokoh-tokoh lokal yang menjadi pahlawan rakyat, yang keberaniannya diabadikan dalam sastra lisan dan kelong (syair) tradisional.

Salah satu taktik Mandar adalah memanfaatkan mobilitas kapal mereka yang cepat untuk melakukan perang gerilya di laut, menyulitkan kapal-kapal besar Belanda. Warisan perlawanan ini menciptakan narasi identitas yang menempatkan keberanian, kegagahan, dan penegakan harga diri (*Siri'*) sebagai nilai luhur yang tak tergantikan, bahkan di hadapan musuh yang lebih kuat. Struktur politik lama, meskipun formalitasnya dihapuskan oleh pemerintah kolonial dan kemudian oleh Republik Indonesia, tetap hidup dalam sistem adat dan kekerabatan masyarakat Mandar.

B. Stratifikasi Sosial Tradisional

Masyarakat Mandar memiliki stratifikasi sosial yang kompleks, meskipun modernisasi telah melunakkannya. Sistem ini mencerminkan pengaruh Islam dan sistem kerajaan feodal:

  1. Maradeka (Bangsawan): Golongan yang memiliki darah kerajaan atau keturunan raja (*Puang*). Mereka memegang kekuasaan politik dan adat.
  2. Tau Biasa (Rakyat Biasa): Mayoritas masyarakat, terdiri dari petani, pedagang, dan pelaut ulung (termasuk *Punggawa* dan *Sawi*). Meskipun bukan bangsawan, pelaut dan pedagang yang sukses sering mendapatkan pengaruh sosial yang tinggi.
  3. Batua (Hamba): Kelompok yang dulunya merupakan budak, meskipun status ini sudah lama dihapuskan, jejak-jejak keturunan sosialnya masih terkadang ditemukan dalam memori kolektif.

Yang menarik dari stratifikasi Mandar adalah peran *Punggawa* (kapten atau pemimpin armada pelayaran). Meskipun secara kasta mungkin termasuk *Tau Biasa*, keahlian, kekayaan, dan keberaniannya di laut memberinya kehormatan sosial yang setara, bahkan terkadang melebihi, bangsawan yang lemah. Ini menunjukkan bagaimana masyarakat maritim menghargai meritokrasi berdasarkan keterampilan praktis dan kontribusi ekonomi.

III. Filosofi Adat dan Nilai Luhur Mandar

Inti dari identitas Mandar terangkum dalam filosofi adat yang mengikat semua individu, mengatur hubungan antarmanusia, dan hubungan dengan alam. Filosofi ini memberikan panduan moral dan etika yang kuat, yang jika dilanggar akan membawa konsekuensi sosial yang berat.

A. Siri' Na Pacce: Harga Diri dan Solidaritas

Seperti suku-suku lain di Sulawesi Selatan (Bugis dan Makassar), masyarakat Mandar menjunjung tinggi konsep *Siri' Na Pacce*. Meskipun istilah ini serupa, implementasinya dalam konteks Mandar memiliki nuansa khusus, terutama terkait dengan martabat maritim dan keberanian di tengah kesulitan.

Siri' (Harga Diri/Malu)

Siri' adalah pondasi kehormatan. Kehilangan siri' berarti kehilangan identitas sosial dan kemanusiaan. Siri' mencakup martabat individu, keluarga, dan komunitas. Pelanggaran siri' bisa berupa penghinaan publik, pengkhianatan, atau kegagalan dalam menjalankan tugas adat dan agama. Dalam konteks Mandar, siri' juga erat kaitannya dengan keberanian berlayar dan kemampuan menjaga keselamatan keluarga di tengah lautan. Seorang pelaut yang pengecut atau gagal melindungi kapalnya akan kehilangan siri'.

Pacce (Solidaritas/Ketabahan)

Pacce berarti rasa sakit, empati, dan ketabahan menghadapi kesulitan. Ini adalah semangat solidaritas komunal yang mendorong Mandar untuk saling membantu, terutama dalam menghadapi bencana, baik di darat maupun di laut. Pacce juga merupakan ketahanan mental yang diperlukan oleh seorang pelaut untuk bertahan hidup dalam pelayaran panjang dan badai. Filosofi ini memastikan bahwa, meskipun Mandar adalah masyarakat yang kompetitif (terutama dalam balap Sandeq), mereka akan bersatu ketika ada ancaman terhadap komunitas. Pacce adalah kekuatan yang mengikat Pitu Babana Binanga.

B. Hukum dan Lembaga Adat

Masyarakat Mandar memiliki sistem hukum adat yang dikenal sebagai *Kutika Mandar* atau *Lontaraq Adat*. Hukum ini mengatur segala hal, mulai dari pernikahan, warisan, hingga sengketa tanah dan laut. Penegakan hukum adat berada di tangan para pemangku adat (seperti *Tomakaka* atau *Adat Mappatuo*), yang keputusannya sangat dihormati oleh masyarakat. Meskipun hukum negara telah berlaku, banyak sengketa di tingkat desa masih diselesaikan melalui mekanisme adat untuk menjaga keharmonisan sosial dan mencegah terlukanya siri' seseorang secara berlebihan.

Musyawarah adat, yang disebut *Assamaturu*, adalah proses pengambilan keputusan utama. Dalam Assamaturu, setiap perwakilan wilayah atau klan memiliki hak bicara, dan keputusan dicapai melalui konsensus, mencerminkan semangat egaliter yang melekat meskipun ada struktur kasta. Ini adalah demonstrasi nyata bagaimana siri' dan pacce berfungsi dalam sistem politik lokal.

IV. Perahu Sandeq dan Budaya Maritim yang Agung

Jika ada satu simbol fisik yang paling mewakili kebudayaan Mandar, itu adalah Perahu Sandeq. Sandeq (dari kata Mandar: *sande*, yang berarti miring), adalah perahu layar tradisional yang dikenal karena kecepatannya yang luar biasa. Sandeq tidak hanya sekadar alat transportasi atau penangkap ikan; ia adalah manifestasi dari pengetahuan maritim Mandar yang diturunkan lintas generasi, sebuah warisan teknologi bahari yang memukau dunia.

Ilustrasi Perahu Sandeq Mandar

A. Kecepatan dan Filosofi Sandeq

Desain Sandeq sangat unik. Perahu ini menggunakan layar lateen (segitiga) dan dilengkapi dengan dua cadik penyeimbang (*sapo* atau *katir*) yang membuatnya stabil meskipun bergerak miring dan cepat. Sandeq mampu mencapai kecepatan hingga 20 knot, menjadikannya salah satu perahu layar tradisional tercepat di dunia. Kecepatan ini bukan hanya keunggulan teknis, melainkan cerminan filosofis Mandar: efisiensi, ketepatan waktu, dan keunggulan. Perlombaan Sandeq, yang kini menjadi festival tahunan, adalah perayaan identitas dan keberanian Mandar.

Proses Pembuatan Sandeq

Pembuatan Sandeq adalah ritual yang melibatkan pengetahuan mendalam tentang jenis kayu (biasanya kayu besi atau kayu nangka), perhitungan astrologi untuk menentukan hari baik pemotongan kayu, dan ritual keselamatan. Proses ini dipimpin oleh seorang ahli pembuat perahu, yang disebut *Pundek*. Setiap bagian perahu memiliki nama dan fungsi adat, dan seluruh prosesnya mencerminkan hubungan spiritual Mandar dengan alam dan lautan. Pundek tidak hanya seorang tukang kayu; ia adalah filsuf dan penjaga tradisi.

B. Punggawa dan Sawi: Struktur Pelayaran

Struktur organisasi di kapal Mandar sangat hierarkis namun egaliter. Dipimpin oleh *Punggawa* (kapten), yang merupakan sosok paling berani, berpengetahuan, dan bertanggung jawab atas keselamatan dan keuntungan pelayaran. Punggawa harus menguasai navigasi tradisional (menggunakan bintang dan arus laut) serta strategi berdagang.

Di bawah Punggawa adalah *Sawi* (awak kapal). Meskipun sawi menempati posisi yang lebih rendah, mereka diperlakukan dengan penuh rasa hormat, sesuai dengan filosofi *pacce*. Kesuksesan pelayaran sangat bergantung pada kerja tim yang solid, sehingga solidaritas di atas perahu adalah kunci. Pembagian hasil melaut atau berdagang juga diatur secara adat, memastikan keadilan bagi semua yang mengambil risiko di lautan.

Perdagangan Jarak Jauh

Jangkauan pelayaran Mandar pada masa lalu sangat luas, mencakup Kalimantan, Jawa, Sumatera, hingga kepulauan Maluku. Mereka tidak hanya menangkap ikan, tetapi juga berdagang hasil bumi, kain, dan rempah-rempah. Jaringan perdagangan ini memperkaya kebudayaan Mandar, membawa masuk pengaruh-pengaruh baru, namun tetap mempertahankan inti identitas lokal mereka. Keberanian dalam merantau ini menjadi ciri khas yang masih dipertahankan hingga kini, banyak Mandar yang dikenal sebagai pedagang ulet di berbagai pulau di Indonesia.

V. Kesenian, Sastra Lisan, dan Upacara Adat

Kesenian Mandar adalah refleksi dari kehidupan mereka yang keras namun penuh spiritualitas. Kesenian menjadi media untuk melestarikan sejarah, nilai-nilai, dan bahkan teknik pelayaran.

A. Sayyang Pattu'du (Kuda Menari)

*Sayyang Pattu'du* adalah salah satu upacara adat Mandar yang paling ikonik. Secara harfiah berarti "kuda menari," upacara ini dilakukan untuk merayakan anak yang telah menyelesaikan proses khatam Al-Qur'an (tamat membaca 30 juz). Anak yang dirayakan akan diarak keliling desa sambil menunggangi kuda yang dihias mewah dan dilatih untuk menari mengikuti irama musik tradisional.

Upacara ini memiliki makna sosial yang dalam: melambangkan pencapaian spiritual dan kesiapan anak tersebut untuk menjadi bagian bertanggung jawab dari komunitas. Kuda yang digunakan bukan sembarang kuda; mereka dilatih secara khusus untuk bergerak ritmis mengikuti tabuhan gendang, menciptakan tontonan yang meriah dan penuh makna. Sayyang Pattu'du adalah perpaduan harmonis antara ajaran Islam dan tradisi lokal Mandar yang telah mengakar kuat.

B. Kelong (Syair Lisan)

Sastra lisan Mandar didominasi oleh *Kelong*, yaitu bentuk puisi atau syair yang menyampaikan nasihat, sejarah kepahlawanan, cinta, dan kritik sosial. Kelong memiliki peran penting sebagai arsip budaya tak tertulis. Generasi tua menggunakan Kelong untuk mendidik anak cucu tentang adat istiadat dan sejarah Pitu Babana Binanga. Kelong sering dibawakan dalam acara-acara adat, seperti pernikahan atau upacara panen.

Tema-tema Kelong seringkali berkisar pada lautan, perpisahan, dan kerinduan, mencerminkan kehidupan pelaut yang sering meninggalkan rumah untuk waktu yang lama. Kelong juga mencatat kisah-kisah perlawanan melawan penjajah, menjaga memori kolektif Mandar tetap hidup dan bersemangat.

C. Musik dan Alat Musik Tradisional

Musik Mandar umumnya menggunakan instrumen seperti *Kecapi Mandar* (sejenis lute dua dawai), *Gendang Mandar*, dan *Suling Bambu*. Musik ini bersifat ritmis dan sering mengiringi tarian seperti Tari Pattudu. Suara musik Mandar seringkali riang, tetapi dapat berubah menjadi melankolis saat mengiringi Kelong yang bernada sedih, menggambarkan dualitas kehidupan masyarakat pesisir: kebahagiaan saat panen ikan, dan kesedihan saat ditinggal berlayar.

VI. Kuliner Khas dan Arsitektur Tradisional

A. Arsitektur Boyang (Rumah Adat)

Rumah adat Mandar dikenal sebagai *Boyang*. Boyang adalah rumah panggung yang dibangun dengan material alami, biasanya kayu keras, dan didirikan tanpa menggunakan paku (sambungan pasak). Desain arsitekturnya sangat fungsional dan disesuaikan dengan iklim tropis serta potensi banjir atau air pasang.

Ketinggian panggung pada Boyang tidak hanya bertujuan menghindari air, tetapi juga memiliki makna sosial. Bagian kolong (bawah rumah) sering digunakan untuk menyimpan alat perahu atau beternak, sedangkan ruang utama dibagi menjadi area publik (untuk menerima tamu) dan area privat (kamar tidur dan dapur). Atap Boyang, yang terbuat dari daun nipah atau rumbia, memiliki bentuk pelana yang khas, menunjukkan kemiripan dengan rumah-rumah tradisional di Sulawesi, namun dengan modifikasi Mandar yang menjadikannya lebih ramping.

Filosofi Ruang Boyang

Setiap tiang utama dan bagian dari Boyang memiliki makna filosofis dan spiritual. Pembangunan rumah selalu diawali dengan ritual adat untuk memohon keselamatan. Orientasi Boyang, idealnya menghadap timur atau laut, juga menunjukkan keterikatan Mandar pada mata pencaharian bahari mereka. Pintu masuk biasanya dihiasi dengan ukiran sederhana namun penuh makna simbolik, seringkali berbentuk geometris atau flora dan fauna setempat.

Ilustrasi Rumah Adat Boyang Mandar

B. Kekayaan Kuliner Pesisir

Kuliner Mandar didominasi oleh hasil laut, diolah dengan bumbu khas yang kaya rempah. Dua makanan pokok yang paling terkenal adalah:

1. Bau Peapi (Ikan Masak Asam Pedas)

Bau Peapi adalah hidangan ikan (biasanya ikan tongkol atau cakalang) yang dimasak dengan kuah kental berbasis kunyit, asam jawa, dan cabai. Rasa asam pedas yang segar adalah ciri khas masakan ini, sangat cocok disantap bersama nasi atau Jepa. Bau Peapi melambangkan kekayaan hasil laut Mandar dan kepandaian mereka mengolah bahan-bahan lokal menjadi hidangan yang lezat dan tahan lama, penting bagi pelaut.

2. Jepa (Makanan Pengganti Nasi)

Jepa adalah makanan pokok yang terbuat dari singkong (ubi kayu) yang diparut, dicampur kelapa parut, kemudian dipanggang di atas wajan tanah liat atau batu datar. Jepa memiliki tekstur kenyal dan rasa gurih yang cocok dipadukan dengan Bau Peapi atau sambal. Jepa juga merupakan makanan yang praktis dibawa berlayar, memperkuat identitas Mandar sebagai masyarakat yang efisien dan tangguh.

Selain Jepa dan Bau Peapi, terdapat banyak hidangan laut lain seperti lawar (ikan mentah yang dimarinasi), dan berbagai kue tradisional yang terbuat dari beras ketan, menunjukkan bahwa meskipun identitas mereka adalah pelaut, mereka juga menghargai hasil pertanian dari daratan.

VII. Bahasa, Aksara, dan Tradisi Literasi

Suku Mandar memiliki bahasa tersendiri yang disebut Bahasa Mandar (Basa Mandar). Bahasa ini termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia dan memiliki kedekatan dengan bahasa Bugis dan Makassar, namun tetap memiliki kekhasan leksikal dan fonetik yang membedakannya. Bahasa Mandar berfungsi sebagai pengikat identitas utama, khususnya di antara komunitas yang tersebar di pesisir Sulawesi Barat.

A. Bahasa Mandar dan Dialeknya

Bahasa Mandar dituturkan dengan berbagai dialek lokal yang mencerminkan pembagian kerajaan lama. Misalnya, dialek Mandar Majene dan Balanipa mungkin memiliki perbedaan kecil, tetapi masih saling dimengerti. Uniknya, Bahasa Mandar juga menyerap banyak istilah maritim yang spesifik, kosakata yang menggambarkan berbagai jenis ikan, angin, gelombang, dan bagian-bagian perahu Sandeq, menunjukkan betapa pentingnya laut dalam pembentukan bahasa mereka.

B. Aksara Lontaraq Mandar

Seperti suku-suku lain di Sulawesi Selatan, Mandar menggunakan Aksara Lontaraq untuk menulis. Meskipun Lontaraq Bugis dan Makassar lebih dikenal, Mandar memiliki varian Lontaraq mereka sendiri, yang terkadang disebut Lontaraq Mandar. Aksara ini dulunya digunakan untuk menuliskan dokumen-dokumen kerajaan, surat perjanjian, silsilah (*patau*), dan tentu saja, naskah-naskah adat (kutika).

Penggunaan Lontaraq kini terbatas, digantikan oleh aksara Latin, tetapi upaya pelestarian terus dilakukan oleh budayawan dan institusi pendidikan lokal. Naskah-naskah Lontaraq yang tersisa merupakan sumber primer yang tak ternilai harganya untuk memahami sejarah, genealogi, dan hukum adat kerajaan-kerajaan Pitu Babana Binanga.

C. Tradisi Penulisan Sejarah Lokal

Tradisi literasi Mandar sangat kuat, terutama dalam pencatatan sejarah. Terdapat dua jenis utama catatan sejarah:

  1. Assaleng Tana (Asal Usul Negeri): Catatan yang mengisahkan mitos pendirian dan awal mula kerajaan, seringkali menggabungkan unsur mistis dan spiritual.
  2. Assaleng Bangsa (Silsilah): Dokumen yang mencatat silsilah raja dan bangsawan, berfungsi sebagai legitimasi kekuasaan dan pengakuan klan. Dokumen-dokumen ini ditulis dalam Lontaraq dan dijaga ketat oleh keluarga kerajaan.

Pencatatan ini mencerminkan kebutuhan Mandar akan struktur dan legitimasi. Dalam masyarakat yang sangat menjunjung tinggi siri', memiliki catatan silsilah yang jelas adalah bagian fundamental dari martabat keluarga.

VIII. Spiritualitas dan Sinkretisme Kepercayaan

Mayoritas masyarakat Mandar adalah penganut agama Islam. Namun, proses Islamisasi di Mandar berlangsung secara bertahap dan damai, memungkinkan terjadinya sinkretisme yang harmonis antara ajaran Islam dengan kepercayaan adat yang sudah ada sejak masa pra-Islam.

A. Islam dan Adat

Penerimaan Islam di Mandar tidak menghapus sistem adat secara total. Sebaliknya, Islam diintegrasikan ke dalam struktur adat. Para pemangku adat seringkali juga merupakan tokoh agama, memastikan bahwa hukum Islam (syariat) dapat berjalan berdampingan dengan hukum adat (*Kutika*). Konsep-konsep seperti siri' dan pacce, yang berakar pada budaya, diperkuat oleh nilai-nilai keislaman tentang keadilan, kehormatan, dan solidaritas.

Upacara keagamaan, seperti peringatan hari besar Islam atau Maulid Nabi, sering diselenggarakan dengan sentuhan tradisi Mandar, termasuk iringan musik tradisional dan penyajian kuliner khas. Contoh paling nyata adalah Sayyang Pattu'du, yang menggabungkan upacara keagamaan (khatam Qur'an) dengan tradisi menunggang kuda yang diyakini berasal dari masa pra-Islam.

B. Kepercayaan Pra-Islam (Puang di Langi')

Meskipun telah memeluk Islam, jejak-jejak kepercayaan lama masih terlihat, terutama dalam praktik-praktik pertanian dan pelayaran. Dahulu, Mandar percaya pada dewa tertinggi yang disebut *Puang di Langi'* (Tuhan di Langit) dan dewa-dewa yang menguasai bumi dan laut. Dalam tradisi melaut, masih sering ditemukan ritual kecil sebelum berlayar untuk memohon keselamatan, menghormati roh-roh laut (*penunggu lauq*), meskipun ritual ini kini sering dibungkus dalam doa-doa Islam.

Para pelaut, misalnya, memiliki keyakinan kuat terhadap pertanda alam dan mimpi. Mereka percaya bahwa lautan memiliki penghuni spiritualnya sendiri yang harus dihormati. Ketika membangun perahu Sandeq, ritual sesaji kecil dilakukan bukan sebagai bentuk penyembahan, melainkan sebagai penghormatan kepada kekuatan alam agar perahu aman dari gangguan dan dapat berlayar dengan cepat.

C. Paranormal Adat (Sanro)

Dalam sistem kepercayaan Mandar, figur *Sanro* (dukun atau tabib tradisional) masih memegang peranan penting. Sanro adalah ahli dalam pengobatan herbal, ritual penyembuhan, dan peramalan. Mereka seringkali dipanggil untuk menangani penyakit yang diyakini disebabkan oleh kekuatan supranatural atau untuk memberikan jimat keselamatan (biasanya untuk pelaut). Keberadaan Sanro menunjukkan bahwa meskipun Islam telah mengakar kuat, kebutuhan akan penyelesaian masalah spiritual yang bersifat lokal masih diakui dan diakomodasi oleh masyarakat.

IX. Mandar dalam Era Modernisasi

Sejak pembentukan Provinsi Sulawesi Barat, Mandar, sebagai suku mayoritas, memainkan peran sentral dalam politik, ekonomi, dan pembangunan daerah. Namun, modernisasi juga membawa tantangan besar, terutama dalam pelestarian budaya dan lingkungan bahari mereka.

A. Pelestarian Sandeq dan Lingkungan Laut

Penggunaan perahu modern yang dilengkapi mesin telah mengurangi ketergantungan pada Sandeq sebagai alat penangkap ikan sehari-hari. Sandeq kini lebih banyak berfungsi sebagai ikon budaya dan peserta dalam Festival Sandeq Race tahunan. Tantangannya adalah bagaimana mempertahankan keterampilan membuat dan mengoperasikan Sandeq di kalangan generasi muda agar warisan teknologi maritim ini tidak hilang.

Selain itu, lingkungan laut Mandar menghadapi ancaman polusi dan penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan. Masyarakat Mandar, dengan kesadaran akan *pacce* dan tanggung jawab terhadap lingkungan, kini didorong untuk menjadi garis depan dalam konservasi laut, menggabungkan kearifan lokal dalam mengelola sumber daya laut dengan kebijakan modern.

B. Transformasi Ekonomi

Meskipun Mandar secara tradisional adalah pelaut dan petani, kini banyak generasi muda Mandar yang berpendidikan tinggi dan terjun ke sektor pemerintahan, bisnis, dan jasa. Migrasi ke kota-kota besar (merantau), yang merupakan tradisi lama Mandar, terus berlanjut. Perantauan ini tidak hanya mencari penghidupan, tetapi juga membawa dan menyebarkan budaya Mandar ke berbagai penjuru nusantara, menjaga nama Mandar tetap dikenal sebagai suku yang ulet, berani, dan berpegang teguh pada siri' dan pacce.

Peran Wanita Mandar

Wanita Mandar memegang peran krusial dalam perekonomian keluarga, terutama di sektor perikanan pasca-tangkap dan kerajinan. Dalam struktur sosial, meskipun kepemimpinan formal dipegang oleh laki-laki, peran wanita Mandar dalam menjaga keharmonisan rumah tangga dan transmisi adat dan bahasa kepada anak-anak sangat dihormati. Perempuan Mandar dikenal memiliki ketangguhan yang sama dengan pria mereka, seringkali mengelola keuangan keluarga saat suami mereka berbulan-bulan berlayar.

C. Masa Depan Budaya Mandar

Mandar Sulawesi adalah contoh nyata dari masyarakat yang berhasil menyeimbangkan tradisi dan modernitas. Warisan kebaharian mereka memberikan fondasi yang kokoh untuk menghadapi masa depan. Dengan filosofi *Siri' Na Pacce* sebagai pedoman, suku Mandar terus berjuang untuk mempertahankan kebanggaan budaya mereka, memastikan bahwa semangat leluhur yang mengarungi lautan, akan terus hidup di Tanah Mandar, Sulawesi Barat.

Konsistensi dalam menjaga kelangsungan adat terlihat dari upaya-upaya formal dan informal dalam sekolah-sekolah lokal untuk mengajarkan Bahasa Mandar dan nilai-nilai luhur seperti kejujuran, keberanian, dan kesatuan. Pengakuan Sandeq sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO, yang diharapkan tercapai, akan semakin mengukuhkan Mandar di panggung global, merayakan identitas mereka sebagai pelaut ulung dunia.

Warisan Mandar—mulai dari sistem kerajaan yang terorganisir rapi di bawah Pitu Babana Binanga, arsitektur Boyang yang mencerminkan kearifan lokal, hingga mahakarya teknologi bahari berupa Sandeq—adalah sebuah harta karun yang tak ternilai harganya bagi Indonesia. Mereka adalah penjelajah, pejuang, dan penjaga maritim yang sejati, memastikan bahwa lautan tetap menjadi rumah abadi mereka.

X. Eksplorasi Lebih Jauh: Kedalaman Filosofi Siri’

Untuk memahami Mandar sepenuhnya, perlu dilakukan pendalaman pada konsep Siri'. Siri' bukan hanya rasa malu; ia adalah sistem kontrol sosial yang paling efektif. Pelanggaran terhadap siri' dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan, mulai dari yang ringan (berupa teguran adat) hingga yang terberat (konflik berdarah atau pemutusan hubungan kekerabatan permanen).

A. Siri’ Masiri’ (Malu Karena Perbuatan Sendiri)

Ini adalah rasa malu yang timbul akibat kesalahan atau kekurangan diri sendiri, seperti kegagalan memenuhi janji, kemalasan, atau ketidakmampuan membela keluarga. Siri' masiri' mendorong individu untuk bekerja keras dan menunjukkan prestasi, karena kegagalan dilihat sebagai aib kolektif. Dalam konteks maritim, seorang Punggawa yang kapalnya rusak atau tenggelam karena kelalaian akan menghadapi siri' masiri' yang besar.

B. Siri’ Mappakasiri’ (Malu Karena Dibuat Malu Orang Lain)

Ini adalah kondisi di mana martabat seseorang atau keluarga dicoreng oleh perbuatan orang lain, seperti penghinaan, pencurian, atau pelecehan. Dalam kasus siri' mappakasiri', pacce menuntut pembalasan atau pemulihan nama baik. Pemulihan ini harus dilakukan melalui jalur adat atau, dalam kasus yang ekstrem, melalui jalur kekerasan jika kehormatan tidak bisa ditebus dengan cara lain. Konsep ini yang seringkali membuat konflik adat di Mandar menjadi sensitif dan membutuhkan peran penengah yang bijaksana.

Pentingnya siri' juga tercermin dalam sistem pemberian gelar kehormatan. Seseorang yang memberikan kontribusi besar kepada masyarakat dan menunjukkan integritas moral yang tinggi, dianggap telah menambah siri' komunitas, dan karenanya layak mendapatkan pengakuan adat.

XI. Ilmu Navigasi Tradisional dan Kearifan Lokal

Kemampuan Mandar mengarungi lautan jauh tidak bergantung pada kompas modern atau GPS, melainkan pada ilmu navigasi tradisional yang telah teruji selama berabad-abad. Ilmu ini dikenal sebagai *Pappassen* (ajaran atau pesan).

A. Navigasi Bintang dan Arus

Pelaut Mandar menggunakan bintang-bintang sebagai panduan utama di malam hari. Mereka mengenal rasi bintang tertentu, seperti Bintang Biduk dan rasi bintang di selatan, yang berfungsi sebagai kompas astronomis. Selain itu, mereka sangat mahir dalam membaca arus laut dan pola gelombang. Setiap jenis arus di Selat Makassar dan Laut Jawa memiliki nama Mandar spesifik, yang menunjukkan kapan waktu terbaik untuk berlayar dan berlabuh.

Pengetahuan tentang angin muson (angin barat dan angin timur) juga menjadi penentu utama jadwal pelayaran. Perahu Sandeq dirancang untuk memaksimalkan tenaga angin, sehingga pemahaman terhadap perubahan musiman adalah kunci keberhasilan, dan seringkali, kunci kelangsungan hidup di laut lepas. Pengetahuan ini diturunkan secara lisan, dari Punggawa kepada Sawi.

B. Ritual Pammisaq (Pembersihan)

Setiap pelayaran besar atau saat musim melaut dimulai, sering dilakukan ritual *Pammisaq* atau pembersihan perahu. Ritual ini bertujuan untuk membersihkan perahu dari segala nasib buruk dan memohon keselamatan. Meskipun kini diwarnai dengan doa-doa Islam, intinya adalah menghormati perahu itu sendiri sebagai entitas hidup yang membawa rezeki dan nyawa. Perahu, bagi Mandar, adalah pasangan hidup di lautan, dan harus diperlakukan dengan penuh rasa hormat.

Peralatan di atas Sandeq juga mencerminkan kearifan lokal. Selain layar, tali-temali, dan cadik, setiap perahu membawa bekal yang dipersiapkan secara khusus, seringkali berupa Jepa yang tahan lama dan air minum yang disimpan dalam wadah tradisional. Ketangguhan logistik ini adalah bagian integral dari kemampuan Mandar untuk melakukan pelayaran lintas pulau.

XII. Sistem Ekonomi Tradisional: Punggawa-Sawi dan Panrita

Sistem ekonomi Mandar, terutama yang berorientasi maritim, memiliki model pembagian hasil yang unik dan adil, yang memastikan stabilitas sosial meskipun risiko di laut sangat tinggi.

A. Model Punggawa-Sawi

Model ini adalah bentuk kerja sama modal dan tenaga kerja. Punggawa biasanya adalah pemilik perahu dan modal, atau ia adalah sosok yang dipercaya oleh pemilik modal. Sawi adalah awak kapal yang menyediakan tenaga dan keahlian operasional. Hasil tangkapan atau keuntungan dagang dibagi berdasarkan kesepakatan adat yang mengutamakan keadilan, namun Punggawa biasanya mendapatkan porsi terbesar karena menanggung risiko terbesar dan memimpin navigasi.

Sistem ini tidak bersifat statis. Seorang Sawi yang berprestasi, berani, dan berhasil mengumpulkan modal dapat naik pangkat menjadi Punggawa, bahkan bisa menjadi pemilik perahu sendiri. Ini adalah sistem yang mendorong mobilitas sosial berdasarkan meritokrasi keahlian di lautan.

B. Peran Panrita (Cendekiawan dan Ahli)

Dalam ekonomi Mandar, ada tokoh yang disebut *Panrita* (orang pandai/cendekiawan). Panrita ini bisa berupa Panrita Lopi (ahli pembuat perahu), Panrita Uai (ahli perairan/navigasi), atau Panrita Adat (ahli hukum adat). Keahlian mereka sangat dihargai dan sering dibayar dengan hasil tangkapan atau bagian tertentu dari keuntungan pelayaran. Pengakuan terhadap Panrita memastikan bahwa ilmu pengetahuan dan keahlian teknis dihargai sebagai modal penting, setara dengan modal finansial atau tenaga kerja.

Panrita Lopi, khususnya, adalah penjaga rahasia pembuatan Sandeq yang cepat. Mereka harus menguasai anatomi kayu, teknik sambungan, dan perhitungan aerodinamika layar. Kehadiran Panrita Lopi di komunitas memastikan bahwa tradisi teknologi Mandar tidak pernah terputus, meskipun teknologi modern mulai masuk.

XIII. Kontribusi Mandar dalam Pembangunan Sulawesi Barat

Sejak Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) didirikan, suku Mandar telah menjadi tulang punggung pembangunan daerah. Mereka mendominasi sektor pemerintahan, ekonomi, dan pendidikan. Fokus pembangunan Sulbar yang kini menekankan pada sektor maritim dan agraris sangat selaras dengan orientasi tradisional masyarakat Mandar.

A. Sektor Pertanian dan Perkebunan

Meskipun dikenal sebagai pelaut, wilayah pedalaman Mandar (khususnya Polman) adalah lumbung pangan Sulbar. Mereka mengembangkan sistem pertanian sawah yang efisien, serta perkebunan kakao, kelapa, dan kopi. Hubungan antara petani (darat) dan nelayan (laut) terus menjadi motor penggerak ekonomi lokal, dengan sistem barter tradisional yang kadang masih dipraktikkan di pasar-pasar desa.

B. Pendidikan dan Intelektualisme

Dalam kurun waktu modern, Mandar menunjukkan apresiasi yang tinggi terhadap pendidikan formal. Banyak tokoh intelektual, politisi, dan akademisi dari Mandar yang berkontribusi di tingkat nasional. Tradisi literasi Lontaraq telah bertransformasi menjadi semangat literasi modern, memastikan bahwa generasi Mandar siap menghadapi tantangan global tanpa melupakan akar budaya mereka.

C. Diplomasi dan Jaringan Kekerabatan

Warisan politik Pitu Babana Binanga kini tercermin dalam kemampuan Mandar untuk membangun jaringan politik dan kekerabatan yang kuat antar-daerah di Sulbar dan Sulawesi secara keseluruhan. Semangat persatuan (Pacce) yang dulu mengikat kerajaan kini mengikat para pemimpin daerah untuk memajukan provinsi bersama-sama. Diplomasi yang halus, warisan dari masa kerajaan yang berhadapan dengan VOC, masih menjadi ciri khas dalam pendekatan politik Mandar masa kini.

XIV. Penutup: Semangat Maritim yang Abadi

Mandar Sulawesi adalah sebuah peradaban yang tegak berdiri di antara ombak dan bukit. Identitas mereka, yang ditempa oleh kerasnya lautan dan kedalaman filosofi adat, menawarkan pelajaran berharga tentang ketahanan, kehormatan, dan solidaritas. Dari Sayyang Pattu'du yang meriah hingga keheningan perahu Sandeq yang membelah samudra, setiap aspek kehidupan Mandar adalah ode kepada laut.

Mereka bukan hanya pewaris masa lalu yang gemilang, tetapi juga penjaga masa depan maritim Indonesia. Dengan memegang teguh *Siri' Na Pacce*, masyarakat Mandar terus berlayar maju, membawa bendera budaya mereka yang khas dan abadi, memastikan bahwa riwayat tentang tujuh muara sungai dan perahu tercepat di Nusantara akan terus diceritakan dari generasi ke generasi.

Warisan Mandar menunjukkan bahwa budaya dapat beradaptasi tanpa harus kehilangan esensinya. Mereka telah berhasil menggabungkan nilai-nilai Islam, hukum modern, dan semangat bahari nenek moyang mereka menjadi identitas yang kokoh dan penuh martabat.