Etnis Mandar, sebuah komunitas maritim yang kaya akan sejarah dan filosofi, mendiami pesisir dan dataran tinggi di wilayah yang kini dikenal sebagai Provinsi Sulawesi Barat. Identitas Mandar terjalin erat dengan laut, sebuah realitas yang tercermin dalam setiap aspek kehidupan mereka, mulai dari arsitektur rumah tradisional, sistem kekerabatan, hingga mahakarya bahari mereka, perahu cepat Sandeq. Penelitian tentang Mandar bukan sekadar menelusuri suku bangsa, melainkan memahami narasi peradaban yang berdiri tegak di antara ombak dan bukit, menyeimbangkan tradisi Pitu Ba'bana Binanga (Tujuh Pintu Muara) dan Pitu Ulunna Salu (Tujuh Kepala Hulu).
Sejarah Mandar adalah kisah panjang tentang persatuan di tengah perbedaan. Sebelum terbentuknya kesatuan identitas Mandar, wilayah ini terdiri dari banyak entitas politik otonom yang saling berinteraksi, berkonflik, dan bersekutu. Titik balik historis yang paling fundamental adalah pengakuan terhadap dua kelompok utama yang menjadi pilar sosiopolitik Mandar: Pitu Ba'bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu. Kesatuan ini, meskipun bersifat longgar pada awalnya, merupakan fondasi bagi identitas budaya Mandar yang unik dan resilien.
Kelompok ini mewakili kekuatan maritim dan perdagangan. Tujuh kerajaan pesisir yang membentuk Pitu Ba'bana Binanga memiliki fokus utama pada kegiatan bahari, pelayaran, dan interaksi dengan dunia luar. Kerajaan-kerajaan ini, yang sering disebut sebagai 'negeri maritim', adalah: Balanipa, Majene, Pamboang, Sendana, Tapalang, Mamuju, dan Mandar. Meskipun daftar ini kadang sedikit bervariasi tergantung penafsiran sejarah lokal, Balanipa sering dianggap sebagai kekuatan sentral di antara kerajaan-kerajaan tersebut, terutama dalam hal pengembangan hukum adat dan tata pemerintahan Mandar.
Peran utama Pitu Ba'bana Binanga adalah sebagai gerbang Mandar. Mereka menguasai jalur pelayaran strategis di Selat Makassar dan memiliki armada yang kuat, yang tidak hanya digunakan untuk perdagangan rempah-rempah dan hasil hutan tetapi juga untuk pertahanan wilayah dari ancaman luar, terutama dari Bajak laut atau kekuatan hegemoni dari selatan atau timur. Kekuatan laut ini menopang seluruh ekonomi Mandar, menjadikannya salah satu suku pelaut paling disegani di Nusantara, setara dengan Bugis dan Makassar.
Berbeda dengan saudara-saudara mereka di pesisir, Pitu Ulunna Salu berfokus pada pertanian, hasil hutan, dan menjaga tradisi adat yang lebih purba. Mereka adalah penjaga mata air, hutan, dan sumber daya alam yang penting bagi kelangsungan hidup seluruh wilayah Mandar. Tujuh kerajaan pedalaman ini meliputi: Aralle, Rante Bulahan, Tabulahan, Mambi, Matangnga, Tabang, dan Bambang. Hubungan antara kedua kelompok ini digambarkan sebagai simbiosis mutualisme yang harmonis.
Hubungan antara Pitu Ba'bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu tidak selalu mulus, namun mereka memiliki mekanisme adat yang kuat, disebut Massiriq-siriq, Massalewang-lewangan (saling menghormati dan menjaga kehormatan), yang memastikan bahwa konflik dapat diselesaikan tanpa perpecahan total. Kerajaan pedalaman menyediakan hasil bumi seperti beras, kopi, dan kayu, sementara kerajaan pesisir menyediakan garam, ikan, dan barang-barang impor. Ikatan persatuan ini dikukuhkan dalam sumpah adat yang dikenal sebagai Lontaraq Mandar.
Proses Islamisasi di Mandar terjadi relatif lambat dibandingkan kerajaan-kerajaan besar di Sulawesi Selatan. Meskipun demikian, pada abad ke-17, Islam mulai diterima secara luas, terutama setelah pengaruh Ternate dan Gowa. Penerimaan Islam tidak menghapus total struktur adat Mandar. Sebaliknya, adat yang sudah mapan (Adat Mandar) diintegrasikan dengan nilai-nilai syariat (Saraq), menghasilkan sintesis budaya yang khas. Pemimpin tradisional, Mara'dia (Raja) dan To Karama (Pemimpin spiritual/adat), bekerja sama dalam menjalankan pemerintahan.
Inti dari kepribadian dan hukum adat Mandar adalah dua konsep filosofis yang mendalam: Siri' dan Sipakalebbi. Konsep-konsep ini tidak hanya mengatur interaksi sosial sehari-hari tetapi juga menjadi motivator utama dalam pengambilan keputusan, baik individual maupun kolektif. Tanpa pemahaman tentang dua pilar ini, sulit memahami mengapa masyarakat Mandar bertindak sebagaimana mereka bertindak, terutama dalam menghadapi tantangan hidup atau ancaman terhadap kehormatan.
Siri' dalam konteks Mandar—yang memiliki kesamaan filosofis dengan Bugis dan Makassar—adalah konsep yang mencakup harga diri, martabat, dan kehormatan. Siri' adalah esensi kemanusiaan; kehilangan Siri' berarti kehilangan hakikat diri sebagai manusia Mandar yang bermartabat. Siri' terbagi menjadi dua dimensi: Siri' Na Pacce (kehormatan dan rasa empati/solidaritas) dan Siri' Kalebbi (kehormatan yang berkaitan dengan status sosial).
Kewajiban menjaga Siri' mendorong Mandar untuk bekerja keras, terutama di laut. Seorang nelayan Mandar akan mempertaruhkan nyawanya untuk kembali dengan tangkapan melimpah, bukan semata-mata demi materi, tetapi demi menjaga Siri' keluarga dan komunitasnya, membuktikan bahwa ia adalah individu yang mampu menafkahi dan berkontribusi. Pelanggaran terhadap Siri' bisa berupa penghinaan terbuka, kegagalan menunaikan janji penting, atau tindakan asusila. Konsekuensi pelanggaran Siri' seringkali sangat serius, mencerminkan betapa tingginya nilai kehormatan dalam budaya Mandar.
Jika Siri' adalah tentang melindungi kehormatan diri, Sipakalebbi (atau Massipakalabbiki) adalah prinsip fundamental yang mengatur hubungan harmonis antar sesama. Sipakalebbi berarti saling menghargai, menghormati, dan memuliakan. Prinsip ini memastikan bahwa struktur sosial yang kompleks—antara raja dan rakyat, tua dan muda, pesisir dan pedalaman—dapat berfungsi tanpa gesekan berlebihan.
Dalam praktik Mandar, Sipakalebbi terlihat dalam etika berbicara (penggunaan bahasa yang sopan dan sesuai tingkatan sosial), etika kunjungan, dan etika pembagian hasil. Prinsip ini mengajarkan bahwa meskipun ada perbedaan status atau kekayaan, setiap individu memiliki martabat yang harus diakui. Sipakalebbi adalah penyeimbang dari ketegasan Siri', menciptakan masyarakat yang tegas dalam prinsip namun lembut dan santun dalam interaksi sosial.
Filosofi ini juga meluas pada hubungan Mandar dengan alam. Laut (Litaq Mandar) dan daratan (Tana Mandar) dipandang sebagai ibu yang harus dihormati dan dijaga. Keberanian pelaut Mandar tidak lepas dari keyakinan bahwa jika mereka menghormati laut, laut akan menghormati mereka kembali dengan keselamatan dan rezeki yang melimpah.
Tidak mungkin membahas Mandar tanpa memfokuskan perhatian pada Sandeq, perahu bercadik yang bukan hanya alat transportasi atau penangkap ikan, tetapi manifestasi nyata dari ilmu pengetahuan, seni, dan keberanian Mandar. Sandeq (berarti ‘runcing’ atau ‘langsing’ dalam bahasa Mandar) diakui sebagai salah satu perahu layar tradisional tercepat di dunia, mampu mencapai kecepatan hingga 20 knot dalam kondisi angin yang ideal.
Kecepatan dan kestabilan Sandeq terletak pada desainnya yang ramping dan penggunaan cadik ganda (katir). Lambung Sandeq sangat tipis dan panjang (rata-rata 10-15 meter), dirancang untuk meminimalisir hambatan air. Konstruksi Sandeq adalah sebuah ritual yang sarat makna spiritual. Pilihan kayu, waktu penebangan, dan setiap sambungan dipandu oleh kepercayaan adat dan perhitungan astronomis.
Bagian-bagian kunci dari Sandeq meliputi: Lambung (badan perahu utama), Sande (layar khas berbentuk segitiga atau trapesium miring yang menjadi ciri utama), Katir (cadik penyeimbang yang terbuat dari bambu atau kayu ringan, yang fungsi utamanya adalah menahan perahu agar tidak terbalik saat bermanuver dengan kecepatan tinggi), dan Palatto (papan penyeimbang yang diletakkan melintang di atas cadik, tempat ABK Sandeq berdiri atau bergerak untuk memindahkan beban). Kemampuan ABK untuk berkoordinasi dan memindahkan berat badan secara instan saat perahu miring (disebut Massande) adalah kunci keberhasilan navigasi Sandeq.
Secara tradisional, Sandeq digunakan untuk melaut mencari ikan tuna dan cakalang jauh di lepas pantai Selat Makassar. Namun, perahu ini juga memiliki fungsi strategis sebagai alat komunikasi cepat antar kerajaan pesisir dan sebagai perahu perang (meskipun lebih kecil dari perahu Bugis-Makassar yang besar seperti Pinisi atau Padewakang).
Tradisi balap Sandeq (Pappada Sandeq) adalah puncak manifestasi budaya bahari Mandar. Lomba ini, yang kini menjadi festival budaya tahunan, bukan hanya ajang adu kecepatan, tetapi juga demonstrasi keahlian navigasi, ketahanan fisik, dan solidaritas tim. Kemenangan dalam balapan Sandeq membawa kehormatan besar (Siri') bagi desa dan pembuat perahu, menguatkan status Mandar sebagai ahli perahu layar.
Bahan baku pembuatan Sandeq adalah kayu keras seperti Ulin, Bitti, atau Jati. Prosesnya memakan waktu berbulan-bulan dan melibatkan para Pannattuang (tukang perahu ahli) yang mewarisi pengetahuannya turun-temurun. Setiap Sandeq memiliki roh atau karakter unik yang harus diperlakukan dengan penuh rasa hormat. Sebelum Sandeq diresmikan, seringkali diadakan ritual persembahan agar perahu itu ‘bernyawa’ dan aman dalam pelayaran.
Meskipun Sandeq paling terkenal, pelaut Mandar juga mahir mengoperasikan perahu jenis lain seperti Padewakang atau Lambo untuk pelayaran niaga jarak jauh. Keberanian pelaut Mandar telah membawa mereka menjelajahi perairan Nusantara, dari Jawa, Kalimantan, hingga Kepulauan Maluku. Mereka berperan penting dalam jaringan perdagangan rempah-rempah di masa pra-kolonial, membawa hasil bumi Sulawesi ke pasar-pasar besar di Nusantara bagian barat. Warisan pelayaran ini membuktikan bahwa Mandar adalah salah satu pilar maritim utama yang membangun jaringan budaya dan ekonomi di Asia Tenggara.
Kehidupan sosial Mandar diatur oleh tata krama yang ketat dan sistem kekerabatan yang kuat. Adat istiadat Mandar adalah perpaduan harmonis antara ajaran Islam yang dianut mayoritas dan tradisi leluhur (Adaq) yang telah dipegang teguh selama berabad-abad. Peristiwa-peristiwa penting dalam siklus kehidupan, mulai dari kelahiran, pernikahan, hingga kematian, diiringi dengan ritual yang khas dan mendalam.
Pernikahan (Mappassikarawa) di Mandar adalah salah satu upacara adat terpenting. Prosesnya sangat panjang, melibatkan serangkaian tahapan yang menunjukkan rasa hormat terhadap keluarga dan status sosial. Tahapan penting meliputi: Massulo (penjajakan dan peminangan awal), Massorong (penentuan mahar/uang panai'), dan puncaknya adalah akad nikah dan pesta pernikahan.
Mahar dalam adat Mandar sangat spesifik. Selain uang tunai (doe' panai'), mahar juga seringkali melibatkan barang-barang pusaka, tanah, atau bahkan Sandeq. Besaran mahar sangat menentukan status keluarga mempelai wanita. Kesepakatan dalam Massorong merupakan janji sakral yang sulit dibatalkan, mencerminkan komitmen kuat yang didasari prinsip Siri'.
Rumah tradisional Mandar, dikenal sebagai Balaq atau Bale, adalah rumah panggung dengan konstruksi kayu yang kokoh. Arsitektur Balaq tidak hanya fungsional untuk menghindari banjir dan binatang buas tetapi juga sarat makna filosofis. Pembagian ruang Balaq mencerminkan hierarki sosial dan spiritual masyarakat Mandar.
Bagian-bagian rumah:
Seni tradisional Mandar berfungsi sebagai media komunikasi, ritual, dan hiburan. Beberapa bentuk seni yang terkenal meliputi: Sayyang Pattuqduq (Kuda Menari) dan Tari Pajjaga.
Sayyang Pattuqduq: Ini adalah tarian kuda yang sangat populer di Mandar. Kuda dihiasi dengan pernak-pernik mewah, dan dilatih untuk menari mengikuti irama tabuhan gendang dan seruling (serunai). Ritual ini biasanya diadakan setelah acara khatam Al-Qur'an anak-anak atau perayaan besar. Kuda yang menari dianggap sebagai simbol kemakmuran dan kehormatan keluarga. Keindahan dan kemewahan hiasan kuda mencerminkan status sosial yang menjunjung tinggi Sipakalebbi.
Musik dan Instrumentasi: Alat musik tradisional Mandar didominasi oleh perkusi, seperti Gendang Mandar, dan alat tiup seperti Suling Mandar. Musik ini seringkali mengiringi tarian ritual atau nyanyian epik (Sinrilik) yang menceritakan legenda kepahlawanan Mandar dan kisah-kisah pelayaran. Ritme musik Mandar biasanya cepat dan penuh semangat, seolah menirukan deburan ombak Selat Makassar.
Bahasa Mandar (Basa Mandar) adalah bagian dari rumpun bahasa Austronesia, yang erat kaitannya dengan bahasa Bugis dan Makassar, namun memiliki kekhasan fonologi dan kosakata sendiri. Bahasa ini dituturkan oleh jutaan orang di Sulawesi Barat dan komunitas diaspora Mandar di Kalimantan, Jawa, hingga Malaysia.
Seperti suku-suku lain di Sulawesi Selatan, Mandar memiliki aksara tradisional yang dikenal sebagai Lontaraq. Meskipun memiliki nama yang sama dengan aksara Bugis, aksara Mandar memiliki beberapa variasi bentuk dan urutan huruf yang berbeda, khususnya pada aksara Jongang yang memiliki bentuk lebih ramping dan vertikal. Lontaraq digunakan untuk menuliskan naskah-naskah kuno, hukum adat, silsilah kerajaan (Pau-pau), dan perjanjian politik.
Naskah Lontaraq adalah harta karun intelektual Mandar. Mereka mencatat detail perjanjian Pitu Ba'bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu, mencatat strategi pelayaran, dan resep obat tradisional. Sayangnya, banyak naskah ini hilang atau rusak akibat cuaca, perang, dan faktor usia, menjadikannya warisan yang harus dijaga dengan hati-hati.
Kesusastraan Mandar sangat kaya akan tradisi lisan. Kisah-kisah tentang To Manurung (Orang yang Turun dari Langit) merupakan mitos asal-usul yang menjelaskan legitimasi para raja dan pendiri kerajaan Mandar. To Manurung seringkali dianggap membawa peradaban dan hukum baru kepada masyarakat yang sebelumnya berada dalam kondisi kacau balau.
Selain mitos asal-usul, terdapat juga Sinrilik Mandar, yaitu narasi epik yang dilantunkan. Sinrilik menceritakan kisah kepahlawanan, cinta tragis, atau konflik antar kerajaan. Pelantun Sinrilik (Passinrilik) adalah tokoh penting dalam adat, karena mereka adalah penjaga memori kolektif Mandar, memastikan bahwa sejarah dan filosofi Mandar tidak lekang ditelan waktu. Ritme dan intonasi dalam Sinrilik sangat dipengaruhi oleh suasana hati dan pesan yang ingin disampaikan.
"Biar tenggelam di tengah laut, jangan sampai tenggelam di mata orang lain. Karena Siri' Mandar jauh lebih berharga daripada nyawa itu sendiri."
Inilah yang mendasari semangat Mandar: menjaga kehormatan di atas segalanya, sebuah prinsip yang tertanam kuat dalam setiap bait Sinrilik, setiap lambaian layar Sandeq, dan setiap keputusan Mara'dia.
Ekonomi Mandar secara tradisional bersifat dwifungsi: maritim di pesisir dan agraris di pedalaman. Keseimbangan ini telah menjadi kekuatan Mandar selama berabad-abad, memberikan mereka ketahanan pangan dan akses ke pasar global melalui laut.
Sektor perikanan adalah tulang punggung ekonomi pesisir Mandar. Mereka dikenal sebagai penangkap ikan pelagis (ikan yang hidup di perairan terbuka) yang ulung, seperti tuna, cakalang, dan layar. Teknik penangkapan ikan Mandar sangat canggih dan spesifik untuk setiap jenis ikan, seringkali melibatkan navigasi yang sangat jauh dari daratan menggunakan Sandeq.
Salah satu praktik yang terkenal adalah Passandeqan, yaitu tradisi melaut dengan Sandeq dalam jangka waktu yang lama, membawa hasil laut segar ke pelabuhan-pelabuhan besar di luar Sulawesi. Selain perikanan tangkap, di beberapa wilayah pesisir Mandar juga berkembang budidaya rumput laut, yang menjadi komoditas ekspor penting dan menambah daftar panjang kontribusi maritim Mandar terhadap perekonomian nasional.
Wilayah pedalaman Mandar (Pitu Ulunna Salu) adalah produsen komoditas agraris yang penting. Kopi Mandar, terutama dari wilayah Mamasa dan sekitarnya, terkenal karena kualitasnya. Selain itu, padi sawah, jagung, dan cengkeh juga merupakan produk utama. Suku Mandar dari pedalaman memiliki pengetahuan mendalam tentang ekologi pegunungan, memungkinkan mereka untuk bertani secara berkelanjutan dan menjaga keseimbangan alam.
Hubungan dagang antara pesisir dan pedalaman masih tetap kuat. Melalui pasar-pasar tradisional yang berfungsi sebagai titik temu kedua kelompok, hasil laut ditukar dengan hasil bumi. Pertukaran ini bukan hanya transaksi ekonomi, tetapi juga ritual sosial yang memperkuat persatuan historis mereka.
Mandar juga memiliki tradisi kerajinan tangan yang artistik, terutama dalam pembuatan perahu mini (model Sandeq), ukiran kayu, dan tenun. Kain tenun Mandar, yang biasanya berwarna cerah dengan motif geometris yang spesifik, dikenal sebagai Sarung Mandar. Sarung ini memiliki nilai budaya yang tinggi, sering digunakan dalam upacara pernikahan dan ritual adat, serta menjadi penentu status sosial seseorang. Motif yang digunakan pada sarung seringkali menceritakan kisah-kisah epik atau melambangkan strata sosial pemakainya, menegaskan kembali identitas Mandar yang diwarnai oleh keindahan dan makna mendalam.
Kuliner Mandar mencerminkan geografis mereka: kaya akan hasil laut dan produk olahan dari padi serta sagu. Makanan Mandar terkenal dengan cita rasa yang kuat, seringkali menggabungkan asam, pedas, dan gurih dalam harmoni yang sempurna.
Jepa adalah makanan pokok tradisional yang paling ikonik dari Mandar. Jepa terbuat dari campuran sagu dan kelapa parut. Adonan ini kemudian dipanggang di atas cetakan tanah liat datar (semacam wajan kecil) hingga matang dan menghasilkan tekstur yang kenyal dan sedikit renyah di luar. Jepa adalah simbol ketahanan pangan Mandar, karena sagu mudah ditanam di lahan kering.
Jepa biasanya dimakan bersama dengan lauk pauk berkuah kental, seperti Ikan Bau Peapi, atau dapat juga dinikmati sebagai camilan manis dengan taburan gula. Karena sifatnya yang tidak mudah basi, Jepa juga sering dibawa oleh pelaut Mandar saat berlayar jarak jauh, menjadi bekal energi yang andal di tengah samudra.
Bau Peapi adalah hidangan ikan berkuah kuning yang sangat populer. Bau berarti ‘ikan’, dan Peapi berarti ‘dimasak dengan bumbu’. Bumbu utamanya adalah kunyit (yang memberikan warna kuning), asam jawa (untuk rasa asam yang segar), dan bumbu-bumbu lokal lainnya. Ikan yang digunakan biasanya ikan segar hasil tangkapan hari itu. Rasa Bau Peapi yang asam-pedas sangat cocok untuk iklim tropis dan menjadi pelengkap sempurna untuk Jepa atau nasi.
Makanan khas lainnya adalah Lokaq Anjoroi, yaitu pisang yang dimasak dalam santan kental dengan tambahan ikan teri kecil. Hidangan ini menggabungkan hasil bumi (pisang) dengan hasil laut (teri), melambangkan kesatuan Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba'bana Binanga dalam satu sajian lezat. Makanan Mandar adalah cerminan langsung dari geografi dan filosofi hidup mereka.
Sejak pembentukan Provinsi Sulawesi Barat, etnis Mandar—yang merupakan mayoritas di provinsi ini—memegang peran penting dalam administrasi dan pembangunan. Namun, seperti banyak suku adat lainnya di Indonesia, Mandar menghadapi tantangan besar dalam menyeimbangkan modernisasi dengan pelestarian budaya dan tradisi bahari mereka.
Meskipun Sandeq Races mendapatkan perhatian nasional dan internasional, jumlah pembuat Sandeq tradisional (Pannattuang) semakin berkurang. Teknologi mesin tempel (motorisasi) telah menggantikan layar pada sebagian besar perahu nelayan Mandar modern, demi efisiensi waktu. Hal ini menimbulkan dilema: bagaimana menjaga keahlian membangun dan mengoperasikan Sandeq tetap hidup, sementara mata pencaharian membutuhkan kecepatan yang ditawarkan oleh mesin?
Pemerintah daerah dan komunitas adat Mandar telah berupaya keras melalui festival dan pelatihan khusus untuk memastikan bahwa ilmu Sandeq tidak punah. Sandeq kini diposisikan bukan hanya sebagai alat ekonomi, tetapi sebagai warisan budaya nasional yang tak ternilai harganya.
Globalisasi dan arus informasi yang cepat menjadi ancaman serius terhadap penggunaan Bahasa Mandar di kalangan generasi muda. Upaya pelestarian bahasa dilakukan melalui pengajaran Bahasa Mandar di sekolah-sekolah lokal. Selain bahasa, nilai-nilai filosofis seperti Siri' dan Sipakalebbi harus terus diinternalisasi agar generasi baru Mandar tetap memiliki pijakan moral yang kuat di tengah perubahan zaman.
Dalam konteks politik, etnis Mandar menunjukkan solidaritas kuat yang dibentuk oleh sejarah Pitu Ba'bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu. Solidaritas ini memungkinkan mereka untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan Sulawesi Barat, memastikan bahwa kepentingan daerah pesisir dan pedalaman diakomodasi secara seimbang, sesuai dengan tradisi persatuan leluhur mereka.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif tentang Mandar, perlu diselami bagaimana sistem kekuasaan tradisional bekerja, yang menjadi dasar bagi semua interaksi sosial dan politik hingga kini. Struktur ini sangat kompleks, menggabungkan sistem monarki adat dengan dewan rakyat.
Pemimpin tertinggi di kerajaan Mandar disebut Mara'dia (Raja). Namun, kekuasaan Mara'dia tidaklah mutlak. Kekuasaannya dikontrol oleh lembaga adat yang disebut Hadat atau Pappuangan. Hadat terdiri dari para bangsawan senior, tokoh agama, dan perwakilan klan-klan penting.
Sistem ini menganut prinsip checks and balances tradisional. Jika seorang Mara'dia dianggap melanggar hukum adat atau bertindak sewenang-wenang (melanggar Sipakalebbi), Hadat memiliki kekuatan untuk melengserkannya. Keputusan penting kerajaan, seperti deklarasi perang, perjanjian damai, atau penetapan hukum baru, harus melalui musyawarah mufakat antara Mara'dia dan Hadat. Hal ini mencerminkan semangat egaliter yang tersembunyi dalam sistem monarki Mandar, di mana kedaulatan adat diutamakan.
Hukum adat Mandar tertulis dalam naskah Lontaraq. Hukum ini mengatur segala hal mulai dari pembagian warisan, denda atas pelanggaran sosial, hingga etika pelayaran. Salah satu fokus utama hukum Mandar adalah penanganan konflik yang berkaitan dengan Siri'. Dalam kasus yang melibatkan pembunuhan karena mempertahankan Siri', hukum adat Mandar memiliki mekanisme penyelesaian yang unik, yang berusaha menyeimbangkan keadilan formal dengan kehormatan yang dilanggar.
Dalam implementasinya, hukum adat di Mandar dijalankan oleh Saraq (pihak yang mengurus hukum Islam) dan Adat (pihak yang mengurus hukum tradisi). Harmonisasi antara Saraq dan Adat telah menjadi ciri khas Mandar, menghasilkan tatanan masyarakat yang religius sekaligus menjunjung tinggi tradisi leluhur. Kontinuitas penerapan hukum adat ini, meskipun di bawah payung hukum nasional, menunjukkan betapa berakarnya nilai-nilai tradisional dalam kehidupan sehari-hari Mandar.
Karena pentingnya Sandeq bagi identitas Mandar, perlu pembahasan yang sangat rinci mengenai peranannya yang melampaui sekadar alat transportasi. Sandeq adalah wujud fisik dari filosofi Mandar tentang kecepatan, presisi, dan keberanian. Sandeq bukan hanya perahu; Sandeq adalah cerminan jiwa pelaut Mandar.
Pelayaran Sandeq sangat menantang. Karena Sandeq tidak memiliki lunas dalam (keel) yang besar, kestabilannya sangat bergantung pada cadik dan keahlian awak kapal. Saat angin kencang, perahu akan miring ekstrem, dan kru harus segera bergerak ke cadik yang lebih tinggi untuk menyeimbangkan. Aksi ini, yang disebut Massande atau Pallatto, membutuhkan koordinasi sempurna, kekuatan fisik, dan insting yang diasah sejak kecil.
Navigasi tradisional Mandar mengandalkan bintang, arus laut, dan tanda-tanda alam. Para Punggawa (kapten perahu) memiliki pengetahuan astronomi yang luar biasa. Mereka tahu persis kapan waktu terbaik untuk berlayar (Mappeleppa) berdasarkan posisi rasi bintang. Pengetahuan ini diwariskan secara lisan, seringkali melalui lagu-lagu atau pepatah, menjadikannya ilmu yang sakral dan rahasia bagi suku Mandar.
Setiap bagian Sandeq memiliki nama dan fungsinya yang spesifik, serta diyakini memiliki ‘roh’ atau energi. Kayu untuk lambung dipilih dari pohon tertentu yang dianggap memiliki keberuntungan. Pemasangan tiang utama (mast) adalah ritual yang paling sakral, seringkali disertai dengan doa-doa kepada leluhur dan dewa laut agar perahu tersebut memiliki kecepatan laksana burung dan ketahanan laksana batu karang. Tidak ada paku logam yang digunakan pada konstruksi lambung tradisional; sambungan menggunakan pasak kayu dan tali ijuk, teknik yang memungkinkan perahu lebih fleksibel menghadapi gelombang besar.
Kapal Sandeq melambangkan keharmonisan antara manusia, teknologi, dan alam. Pelaut Mandar percaya bahwa jika mereka merawat perahu dan menghormati laut, mereka akan dilindungi. Jika mereka serakah atau tidak menghormati adat bahari, laut akan menghukum mereka. Keyakinan ini memastikan bahwa setiap pelaut Mandar bertindak dengan penuh tanggung jawab dan kerendahan hati.
Mandar tidak hanya eksis di Sulawesi Barat; sejarah mereka adalah sejarah tentang migrasi, perdagangan, dan penyebaran budaya di seluruh kepulauan. Kontribusi Mandar terhadap jaringan maritim Nusantara sangat signifikan, meskipun seringkali terlupakan dalam narasi sejarah yang lebih besar.
Sejak abad ke-18, banyak pelaut dan pedagang Mandar bermigrasi, terutama ke Kalimantan Timur dan Selatan (Balikpapan, Samarinda, Banjarmasin) serta ke pulau Jawa. Mereka mendirikan komunitas pelaut yang masih eksis hingga kini. Komunitas diaspora ini tetap memegang teguh identitas Mandar mereka, termasuk bahasa, makanan (Jepa dan Bau Peapi), dan tentu saja, keahlian berlayar.
Di daerah rantau, Mandar dikenal karena etos kerja keras mereka, didorong oleh prinsip Siri'. Mereka seringkali menjadi pemain kunci dalam industri perikanan dan perdagangan antarpulau, menghubungkan pulau-pulau terpencil yang sulit dijangkau oleh kapal-kapal besar. Kehadiran mereka di perairan Nusantara menegaskan peran Mandar sebagai suku bangsa yang gigih dan adaptif.
Secara historis, Mandar memiliki hubungan yang kompleks dengan suku Bugis dan Makassar. Meskipun terjadi persaingan dagang dan konflik teritorial di masa lalu, terutama terkait penguasaan pelabuhan penting di Selat Makassar, mereka juga berbagi banyak kesamaan budaya, termasuk sistem aksara Lontaraq dan filosofi Siri' yang sama. Persamaan dan interaksi ini memperkaya khazanah budaya Sulawesi Selatan secara keseluruhan.
Dalam konteks modern, Mandar aktif dalam upaya pelestarian lingkungan bahari. Sebagai suku yang sangat tergantung pada laut, mereka menjadi yang terdepan dalam menyuarakan isu-isu keberlanjutan. Kearifan lokal mereka dalam mengelola sumber daya laut, seperti sistem Sasi (larangan menangkap ikan pada periode tertentu), semakin diakui sebagai model konservasi yang efektif.
Keseluruhan narasi Mandar, dari sejarah kerajaan maritim yang tangguh, mahakarya bahari Sandeq yang fenomenal, hingga filosofi hidup yang menempatkan kehormatan di puncak segalanya, menunjukkan kedalaman dan kekayaan peradaban yang berhak mendapatkan tempat yang lebih menonjol dalam mosaik budaya Indonesia. Mereka adalah pewaris samudra yang gigih, selalu siap menghadapi badai, baik di lautan maupun dalam kehidupan, dengan bekal Siri' yang tak pernah pudar dan semangat Massande yang selalu siap menyeimbangkan.
Kisah Mandar adalah sebuah epik abadi tentang manusia yang menemukan harmoni di garis batas antara daratan dan lautan. Warisan Pitu Ba'bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu bukan hanya sekadar catatan sejarah, tetapi pedoman etika yang relevan hingga hari ini, mengajarkan pentingnya kesatuan antara potensi pesisir dan kekuatan pedalaman. Melalui setiap helai layar Sandeq yang berlayar kencang, melalui setiap gigitan Jepa yang gurih, dan melalui setiap kata bijak Sipakalebbi yang diucapkan, etnis Mandar terus menegaskan keberadaan mereka sebagai salah satu permata budaya yang paling bersinar di Nusantara.
Upaya pelestarian budaya Mandar adalah investasi masa depan. Memastikan anak-anak Mandar modern tetap mengenal cara berlayar dengan Sandeq, memahami Lontaraq, dan menjunjung tinggi Siri' adalah kunci untuk mempertahankan karakter khas Sulawesi Barat. Perjalanan Mandar adalah perjalanan adaptasi, keberanian, dan kehormatan, sebuah warisan yang patut kita apresiasi dan lestarikan untuk generasi mendatang.
Penelitian mendalam ini, yang mencakup sejarah panjang dari To Manurung hingga era Sulawesi Barat modern, menggarisbawahi kompleksitas identitas Mandar. Kedalaman pengetahuan tentang konstruksi Sandeq, yang merupakan teknologi bahari unggul, serta elaborasi mengenai sistem nilai yang terkandung dalam Siri' dan Sipakalebbi, menawarkan perspektif yang kaya. Kita melihat bagaimana Mandar berhasil menyelaraskan hukum adat (Adat) dengan hukum agama (Saraq), menciptakan sistem sosial yang stabil dan berbasis kehormatan. Pembahasan tentang kuliner, arsitektur, dan seni pertunjukan seperti Sayyang Pattuqduq memperkaya gambaran utuh tentang kehidupan Mandar yang dinamis dan penuh makna. Intinya, Mandar bukan sekadar suku, melainkan sebuah peradaban maritim yang kokoh. Struktur Pitu Ba'bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu yang menjadi cetak biru sosial politik Mandar selama berabad-abad telah terbukti efektif dalam menjaga keseimbangan kekuasaan dan sumber daya. Tradisi pelayaran jarak jauh, diaspora Mandar, dan peran mereka dalam jaringan perdagangan Asia Tenggara menunjukkan ambisi dan jangkauan geografis etnis Mandar yang luas. Nilai-nilai ini menjadi landasan bagi pembangunan Sulawesi Barat kontemporer, menjadikan Mandar sebagai studi kasus penting dalam pelestarian identitas suku bangsa bahari di tengah arus globalisasi yang menantang.
Aspek filosofis Siri' di Mandar, yang seringkali dianggap ekstrem oleh budaya luar, sebenarnya adalah mekanisme pertahanan sosial yang kuat. Ini memastikan bahwa setiap anggota komunitas Mandar bertindak dengan integritas, karena kegagalan individu akan mencoreng kehormatan kolektif. Konsep ini mendorong persaingan yang sehat dan etos kerja yang tinggi, terutama dalam sektor maritim yang penuh risiko. Ketika seorang pelaut Mandar kembali ke pantai, ia tidak hanya membawa ikan, tetapi juga membawa kembali Siri' yang telah ia pertahankan di tengah kerasnya laut. Sandeq, dengan segala kesempurnaannya, adalah altar tempat Siri' diuji dan dimenangkan. Setiap balapan Sandeq, setiap Massande yang dilakukan kru di tengah badai, adalah manifestasi nyata dari ketidakmauan Mandar untuk menyerah pada kesulitan, demi mempertahankan martabat yang diberikan oleh leluhur mereka.
Lebih jauh lagi, penelusuran sejarah Mandar mengungkap serangkaian perjanjian damai dan aliansi yang rumit. Perjanjian Manurung yang melahirkan struktur kerajaan, dan perjanjian-perjanjian yang mengikat Pitu Ba'bana Binanga dengan Pitu Ulunna Salu, adalah dokumen-dokumen penting yang menunjukkan kecakapan diplomatik Mandar. Mereka tidak hanya ahli dalam berlayar dan berperang, tetapi juga dalam membangun stabilitas politik regional. Sejarah Mandar adalah sejarah tentang negosiasi dan konsensus, di mana konflik antara pesisir (yang cenderung pragmatis dan terbuka) dan pedalaman (yang cenderung konservatif dan memegang teguh tradisi) selalu diselesaikan demi kepentingan bersama. Kepemimpinan Mara'dia di bawah kontrol Hadat memastikan tidak ada sentralisasi kekuasaan yang berlebihan, mencerminkan pemahaman Mandar tentang pentingnya distribusi kekuasaan yang adil. Struktur sosial ini memungkinkan Mandar untuk bertahan dari intervensi asing dan penjajahan, mempertahankan otonomi budaya mereka bahkan di bawah tekanan kolonial yang hebat. Oleh karena itu, memahami Mandar adalah memahami bagaimana sebuah masyarakat maritim dapat menggabungkan kecepatan inovasi (Sandeq) dengan kekokohan tradisi (Balaq), semuanya di bawah payung kehormatan yang sakral.
Transformasi modern di Sulawesi Barat memberikan tantangan baru bagi etnis Mandar. Infrastruktur dan urbanisasi pesat mengubah lanskap tradisional. Pertanian kopi dan kakao di daerah hulu (yang merupakan basis Pitu Ulunna Salu) kini semakin terintegrasi dengan pasar global, sementara perikanan di pesisir (basis Pitu Ba'bana Binanga) harus bersaing dengan kapal-kapal besar dari luar wilayah. Dalam menghadapi perubahan ini, komunitas Mandar telah menunjukkan kemampuan adaptasi yang luar biasa, tanpa melepaskan akar mereka. Generasi muda Mandar, meskipun dididik dalam sistem pendidikan modern, tetap didorong untuk mempelajari keahlian Sandeq dan Lontaraq. Sekolah-sekolah dan sanggar budaya lokal menjadi garda terdepan dalam menjaga warisan ini. Mereka mengajarkan bahwa modernitas tidak harus berarti hilangnya identitas, tetapi harus menjadi alat untuk mempromosikan dan melestarikan keagungan Mandar ke panggung dunia. Keberhasilan Mandar dalam mempromosikan balap Sandeq hingga dikenal secara internasional adalah contoh nyata dari bagaimana tradisi dapat diubah menjadi aset budaya yang berharga di era global. Ini adalah perjalanan tanpa akhir, di mana setiap anak Mandar yang lahir di tepi laut atau di lereng gunung adalah penerus dari tradisi yang usianya ratusan tahun, mengemban tanggung jawab untuk menjaga Siri' dan warisan maritim yang besar.
Pengaruh Mandar dalam seni pertunjukan juga tidak bisa diabaikan. Sayyang Pattuqduq, yang pada dasarnya adalah perayaan spiritual dan sosial, menggabungkan keterampilan pelatihan kuda, keindahan kostum, dan musik ritual yang khas. Detail dari tarian kuda ini, di mana kuda-kuda bergerak seolah-olah menari, menunjukkan tingkat seni dan dedikasi yang tinggi. Di balik kemeriahan pesta, Sayyang Pattuqduq adalah ritual peralihan usia (rite of passage), menandai transisi dari masa kanak-kanak ke kedewasaan, khususnya setelah selesainya pendidikan agama. Ini menegaskan bahwa dalam budaya Mandar, pembelajaran spiritual dan keagamaan adalah sumber kehormatan dan kebanggaan tertinggi. Sementara itu, musik Mandar, dengan irama yang khas dan penggunaan alat musik seperti Gendang Mandar dan Suling, selalu berfungsi sebagai penyeimbang emosi, menemani pelaut dalam kesepian di laut dan meramaikan perayaan di darat. Warisan sastra lisan, terutama Sinrilik yang menceritakan kisah-kisah To Manurung atau konflik historis, menjamin bahwa nilai-nilai inti Mandar—keberanian, kesetiaan, dan kehormatan—terus terukir dalam ingatan kolektif. Keseluruhan kekayaan ini, mulai dari teknologi bahari hingga ritual spiritual, membentuk identitas Mandar yang tak terpisahkan dari bumi dan laut Sulawesi Barat.
Melanjutkan penelusuran filosofis, konsep Pacce (solidaritas dan empati), yang merupakan pasangan dari Siri', memainkan peran vital dalam menjaga kohesi sosial Mandar. Pacce memastikan bahwa meskipun setiap individu berjuang untuk kehormatan diri (Siri'), mereka juga wajib merasakan penderitaan dan kebutuhan sesama anggota komunitas. Inilah yang menjelaskan mengapa masyarakat Mandar sangat erat dalam menghadapi bencana atau kesulitan. Tradisi gotong royong dalam membangun rumah (Balaq) atau mempersiapkan perahu Sandeq baru adalah manifestasi nyata dari Pacce. Solidaritas ini melampaui batas kekerabatan, mengikat seluruh komunitas, baik di pesisir maupun pedalaman, dalam satu ikatan tanggung jawab kolektif. Ketika seorang nelayan Mandar membutuhkan bantuan untuk menarik perahu yang karam, seluruh desa akan bahu membahu, tidak karena kewajiban formal, tetapi karena didorong oleh rasa Pacce. Tanpa Pacce, Siri' bisa menjadi egois, namun kombinasi keduanya menciptakan masyarakat yang menjunjung tinggi kehormatan sambil tetap memiliki hati nurani sosial yang kuat, sebuah pelajaran penting bagi pembangunan karakter di era modern. Ini adalah dualitas Mandar: kerasnya prinsip diimbangi oleh lembutnya solidaritas.
Dari sudut pandang kuliner, Jepa tidak hanya sekadar makanan. Jepa adalah simbol kemandirian Mandar. Sebagai makanan yang dibuat dari sagu dan kelapa, dua sumber daya yang melimpah di wilayah mereka, Jepa melambangkan kemampuan Mandar untuk bertahan hidup dengan sumber daya lokal, tanpa terlalu bergantung pada komoditas impor. Kombinasi Jepa dengan Bau Peapi (ikan yang kaya bumbu asam pedas) merupakan kombinasi nutrisi yang sempurna untuk para pelaut yang menghabiskan waktu berhari-hari di laut. Rasa asam dari Bau Peapi tidak hanya menyegarkan tetapi juga berfungsi sebagai pengawet alami dalam iklim tropis. Bahkan dalam makanan sehari-hari, masyarakat Mandar menyajikan sebuah kisah tentang adaptasi ekologis dan kecerdasan dalam memanfaatkan lingkungan. Detail lain dalam kuliner Mandar, seperti penggunaan bumbu-bumbu lokal yang kaya seperti kunyit, lengkuas, dan cabai, mencerminkan jalur perdagangan rempah-rempah yang pernah mereka kuasai. Makanan adalah cermin peradaban; dan kuliner Mandar menunjukkan peradaban yang berakar kuat pada laut, tangguh, dan sangat menghargai kesegaran dan rasa alami.
Aspek penting lain yang harus terus didalami adalah peran wanita dalam masyarakat Mandar. Meskipun masyarakat Mandar sering digambarkan sebagai patriarkal, wanita memegang peran sentral dalam menjaga kelangsungan adat, bahasa, dan ekonomi keluarga. Para ibu di Mandar adalah penjaga utama tradisi menenun Sarung Mandar, sebuah proses yang sarat dengan pengetahuan simbolis dan teknis. Mereka juga berperan sebagai manajer keuangan keluarga nelayan, mengelola hasil tangkapan suami dan mengalokasikannya untuk kebutuhan sehari-hari dan investasi masa depan (misalnya, membeli Sandeq baru). Dalam struktur Hadat tradisional, meskipun posisi pemimpin formal sering dipegang pria, suara dan pandangan wanita dari keluarga bangsawan seringkali memiliki pengaruh signifikan dalam pengambilan keputusan. Penghormatan terhadap wanita adalah bagian intrinsik dari Sipakalebbi; pelanggaran terhadap kehormatan wanita adalah pelanggaran Siri' yang paling berat. Dengan demikian, wanita Mandar bukan hanya tiang penyangga rumah tangga, tetapi juga pilar pelestarian budaya dan kehormatan komunitas.
Akhirnya, kita harus merenungkan masa depan warisan Mandar di tengah ancaman perubahan iklim dan degradasi lingkungan laut. Sebagai suku bahari, Mandar adalah yang paling rentan terhadap kenaikan permukaan laut dan kerusakan terumbu karang. Nilai-nilai tradisional Mandar tentang penghormatan terhadap alam (Litaq Mandar dan Tana Mandar) kini menjadi semakin penting. Para Mara'dia dan tokoh adat saat ini aktif dalam kampanye konservasi, mengintegrasikan kearifan lokal mereka—seperti penentuan musim tangkap yang bijak dan perlindungan hutan mangrove—dengan ilmu pengetahuan modern. Mereka mengajarkan bahwa menjaga lingkungan adalah cara lain untuk menjaga Siri' komunitas Mandar itu sendiri. Keberlanjutan perahu Sandeq, perikanan, dan pertanian di pedalaman sepenuhnya bergantung pada keberhasilan mereka dalam melawan degradasi lingkungan. Kisah Mandar adalah pelajaran tentang ketangguhan, di mana tradisi kuno menyediakan solusi untuk tantangan paling modern. Warisan Mandar, dengan segala keagungan maritim dan filosofinya yang mendalam, merupakan aset yang tak ternilai bagi Indonesia, sebuah kisah yang akan terus berlayar kencang, menantang ombak zaman.