Di jantung Pulau Borneo, tersembunyi sebuah warisan kuliner yang tidak hanya kaya rasa tetapi juga menyimpan sejarah panjang kearifan lokal dalam memanfaatkan hasil alam. Makanan ini adalah **mandai**, sebuah olahan fermentasi yang berasal dari bagian yang sering diabaikan, yaitu kulit buah cempedak (Artocarpus integer). Bagi masyarakat Kalimantan, terutama di wilayah Selatan dan Tengah, mandai bukan sekadar lauk pauk; ia adalah identitas, simbol penghematan, dan demonstrasi keahlian pengolahan makanan tradisional yang diwariskan turun-temurun. Keunikan mandai terletak pada transformasinya: kulit buah yang awalnya keras dan tawar diubah melalui proses fermentasi sederhana menjadi bahan makanan yang kenyal, sedikit asam, dan sangat gurih ketika dimasak.
Cempedak, buah tropis yang kulit tebalnya menjadi bahan dasar mandai.
Secara etimologi, mandai merujuk pada produk fermentasi yang dibuat dari bagian mesokarp tebal dari cempedak. Proses pembuatannya sangat sederhana namun esensial: kulit cempedak yang telah dibersihkan dari sisa-sisa daging buah dan bagian luarnya yang kasar, direndam dalam larutan air garam. Metode ini, yang merupakan salah satu bentuk pengawetan makanan tertua di dunia, memungkinkan bakteri asam laktat (Lactobacillus) bekerja, mengubah gula alami menjadi asam laktat, yang memberikan karakteristik rasa asam khas dan tekstur kenyal pada mandai.
Mandai memiliki sinonim regional yang beragam. Di beberapa daerah di Kalimantan Selatan, khususnya Banjar, ia dikenal luas sebagai Mandai Cempedak. Namun, di daerah pedalaman atau di Kalimantan Timur, variasi nama seperti dami atau damai mungkin muncul, meskipun produk intinya sama. Meskipun cempedak juga populer di Sumatera, khususnya Riau dan Jambi, olahan mandai ini paling kuat mengakar dalam tradisi kuliner Dayak dan Banjar.
Cempedak adalah kerabat dekat nangka, namun memiliki aroma yang jauh lebih tajam dan kuat. Jika pada nangka, kulitnya (atau jangek) tidak umum dimanfaatkan sebagai olahan fermentasi besar-besaran, pada cempedak justru kulitnya lah yang menjadi primadona kedua setelah daging buahnya. Kulit cempedak memiliki tekstur yang sangat tebal, berserat, dan mengandung kadar pati dan gula yang cukup untuk menopang proses fermentasi yang sukses. Penggunaan kulit buah ini mencerminkan filosofi ‘tidak ada yang terbuang’ dalam budaya pangan tradisional, memaksimalkan setiap bagian dari hasil panen yang melimpah.
Fakta Menarik: Fermentasi mandai dilakukan bukan hanya untuk menciptakan rasa baru, tetapi secara historis merupakan cara efektif untuk menyimpan stok makanan dari musim panen cempedak yang melimpah, sehingga dapat dinikmati di luar musim panen buah.
Pembuatan mandai adalah sebuah ritual yang menggabungkan ketelitian dan kesabaran. Kualitas mandai sangat bergantung pada tiga faktor utama: kualitas kulit cempedak yang digunakan, kadar garam yang tepat, dan durasi fermentasi yang ideal. Mari kita telaah langkah demi langkah proses tradisional ini yang menghasilkan tekstur dan rasa yang sempurna.
Idealnya, buah cempedak yang digunakan untuk membuat mandai adalah buah yang sudah matang sempurna. Semakin matang buahnya, semakin tebal dan semakin sedikit serat kasarnya kulit bagian luar yang tersisa, meskipun kulit luar (eksokarp) yang keras dan berduri halus tetap harus dibuang. Kulit cempedak yang baik memiliki ketebalan minimal 1 hingga 2 cm.
Proses fermentasi ini adalah kuncinya. Garam berperan ganda; ia menarik air keluar dari serat kulit (osmotik) dan menciptakan lingkungan anaerobik yang selektif, mendukung pertumbuhan bakteri asam laktat (BAL) yang kita inginkan, sambil menghambat bakteri pembusuk.
Kulit cempedak dipotong-potong sesuai selera, bisa berbentuk kotak besar atau memanjang. Kemudian, potongan-potongan ini dilumuri atau direndam dalam larutan garam. Konsentrasi garam biasanya berkisar antara 5% hingga 10% dari berat kulit cempedak. Penggunaan garam yang kurang tepat akan menghasilkan produk yang cepat busuk, sementara garam yang terlalu banyak dapat memperlambat proses fermentasi secara drastis.
Potongan kulit yang sudah digarami ditempatkan dalam wadah tertutup rapat. Secara tradisional, wadah yang digunakan adalah tempayan tanah liat atau guci. Kini, wadah plastik atau toples kaca kedap udara sering digunakan. Tujuannya adalah memastikan kondisi anaerobik (tanpa oksigen). Kulit cempedak kemudian harus dipadatkan di dalam wadah, dan jika perlu, ditambahkan sedikit air garam lagi hingga semua potongan terendam sempurna. Beban (pemberat) sering diletakkan di atas kulit untuk memastikan mereka tetap di bawah permukaan cairan.
Waktu yang dibutuhkan sangat bervariasi tergantung suhu lingkungan. Di daerah tropis seperti Kalimantan, fermentasi dapat berlangsung cepat, antara 3 hingga 7 hari untuk mendapatkan mandai muda. Untuk mandai dengan rasa asam yang lebih dalam dan tekstur yang lebih kenyal, proses bisa diperpanjang hingga 14 hari. Mandai yang siap masak akan mengeluarkan aroma asam yang kuat, namun tidak berbau busuk. Teksturnya berubah menjadi lembut, namun tetap kenyal, dan warnanya sedikit memudar menjadi putih gading.
Setelah fermentasi selesai, mandai dapat disimpan dalam wadah tertutup di dalam air garamnya selama berbulan-bulan, asalkan wadah tetap kedap udara dan terhindar dari kontaminasi silang. Ini menunjukkan betapa efektifnya fermentasi sebagai teknik pengawetan di iklim panas. Ketika akan dimasak, mandai harus dibilas berkali-kali untuk menghilangkan kelebihan garam dan rasa asam yang terlalu kuat.
Pembilasan ini adalah langkah kritis. Jika mandai tidak dibilas, hasil masakan akan sangat asin dan terlalu keras. Pembilasan yang ideal melibatkan perendaman sebentar dalam air bersih, diikuti dengan pemerasan lembut. Proses pembilasan harus diulang hingga rasa asin berkurang drastis dan hanya menyisakan sedikit rasa asam fermentasi yang dikehendaki.
Fleksibilitas mandai dalam masakan membuatnya menjadi lauk favorit. Teksturnya yang unik – kenyal seperti daging namun berserat seperti sayuran – memungkinkannya menyerap bumbu dengan sangat baik. Berikut adalah beberapa metode pengolahan mandai yang paling populer dan otentik di Kalimantan.
Ini mungkin adalah bentuk mandai yang paling dikenal dan dicintai. Mandai digoreng hingga teksturnya sedikit renyah di luar, lalu dicampur dengan sambal pedas manis yang kental. Proses pengolahan ini memerlukan perhatian khusus pada langkah pra-masak, yaitu pembilasan mandai yang mendalam, karena bumbu sambal yang kaya gula dan minyak akan mengunci rasa asin yang tersisa.
Bahan-bahan Utama:
Langkah Pembuatan yang Detail:
Mandai goreng kering ini sering dijadikan bekal perjalanan karena daya tahannya yang cukup lama, mengingat kandungan airnya yang sangat minim setelah digoreng dan dicampur dengan bumbu yang berminyak.
Berbeda dengan versi goreng kering, tumis mandai memanfaatkan tekstur kenyal dan lembab mandai secara maksimal. Penggunaan bumbu kuning (kunyit) memberikan aroma harum dan warna yang menarik, menjadikannya lauk harian yang populer.
Bumbu Kuning Khas: Bumbu ini terdiri dari kunyit, jahe, bawang merah, bawang putih, dan sedikit kemiri. Seringkali ditambahkan daun salam, serai, dan lengkuas untuk memperkaya aroma hutan tropis yang khas.
Dalam resep tumisan, mandai biasanya diiris lebih tebal. Sebelum ditumis, mandai muda seringkali direbus sebentar untuk memastikan teksturnya benar-benar empuk. Tumisan ini juga sering dipadukan dengan bahan lain seperti udang kecil (ebi) atau ikan asin untuk menambah dimensi rasa umami, menciptakan keseimbangan sempurna antara rasa asam mandai, gurihnya bumbu kuning, dan asinnya protein tambahan.
Di beberapa daerah, terutama dalam tradisi kuliner Banjar, mandai diolah menjadi sayur berkuah santan kental, mirip dengan gulai atau lodeh. Dalam masakan ini, mandai bertindak sebagai pengganti daging atau nangka muda. Rasa asam mandai akan berpadu dengan kekayaan rasa santan dan pedasnya cabai, menghasilkan hidangan yang kompleks dan menghangatkan.
Kunci keberhasilan gulai mandai adalah memastikan mandai benar-benar bersih dari garam agar tidak bentrok dengan rasa gurih santan. Mandai direbus perlahan bersama bumbu gulai dan santan hingga bumbu meresap sempurna. Keunikan tekstur mandai, yang tetap utuh meski dimasak lama, membuatnya ideal untuk hidangan berkuah seperti ini.
Jauh melampaui sekadar hidangan, mandai mencerminkan sistem pangan berkelanjutan dan kearifan lokal (local wisdom) masyarakat Kalimantan dalam memanfaatkan sumber daya hutan yang melimpah. Pengolahan cempedak secara utuh—dagingnya dimakan segar, bijinya direbus, dan kulitnya difermentasi—adalah contoh sempurna dari konsep zero waste cooking yang telah dipraktikkan secara turun-temurun.
Cempedak adalah buah musiman. Ketika musim panen tiba, jumlah buah sangat melimpah. Jika semua buah dikonsumsi segar, akan terjadi surplus besar. Mandai muncul sebagai solusi logistik pangan. Dengan mengubah kulit yang seharusnya terbuang menjadi produk yang dapat disimpan lama, masyarakat desa mampu mengamankan pasokan makanan dan bahkan menciptakan peluang ekonomi kecil.
Di pasar-pasar tradisional di Banjarmasin, Samarinda, atau Palangkaraya, mandai dijual dalam keadaan mentah, sudah terfermentasi, dan siap olah. Penjual seringkali menyimpannya dalam toples besar yang berisi air garam keruh. Pembeli dapat memilih tingkat keasaman mandai yang diinginkan, yang berhubungan langsung dengan durasi fermentasinya. Mandai yang dijual di pasar ini biasanya merupakan hasil fermentasi kolektif dari buah-buah yang dikumpulkan dari kebun-kebun lokal.
Walaupun mandai umumnya adalah makanan sehari-hari, kehadirannya seringkali menjadi bagian dari hidangan pelengkap dalam perayaan adat atau kenduri. Hal ini menunjukkan statusnya sebagai lauk yang dihargai. Karena teksturnya yang menyerupai daging, mandai sering disajikan sebagai alternatif protein nabati dalam acara-acara besar yang melibatkan banyak orang, menjadikannya pilihan inklusif bagi tamu yang mungkin menghindari konsumsi daging tertentu.
Mandai yang diolah menjadi hidangan utama, menunjukkan teksturnya yang padat dan berserat.
Meskipun Mandai Cempedak adalah istilah yang paling umum, variasi bahan baku dan pengolahannya memberikan nuansa rasa yang berbeda di berbagai sub-etnis di Kalimantan. Pemahaman mendalam tentang variasi ini memperkaya apresiasi kita terhadap keragaman kuliner Nusantara.
Secara teknis, istilah mandai dikaitkan erat dengan cempedak. Namun, prinsip fermentasi kulit tebal ini juga diterapkan pada kerabat cempedak, yaitu nangka. Olahan kulit nangka fermentasi, yang di Jawa sering disebut jangek atau gori (jika masih muda), di beberapa daerah di Kalimantan juga dapat diproses mirip mandai, meskipun teksturnya cenderung lebih kasar dan kurang kenyal dibandingkan cempedak.
Kulit nangka yang difermentasi membutuhkan waktu yang lebih lama dan proses pengupasan yang lebih teliti karena strukturnya yang lebih berserat dan kurang padat. Rasa yang dihasilkan dari fermentasi kulit nangka juga cenderung lebih netral, sehingga bumbu yang digunakan harus lebih kuat dan mendominasi.
Masyarakat lokal sering membedakan mandai berdasarkan usia fermentasinya, yang secara langsung memengaruhi tingkat keasaman:
Pengenalan akan tingkat keasaman ini adalah salah satu indikasi kearifan lokal. Seorang juru masak yang mahir akan memilih mandai yang tepat sesuai dengan bumbu yang akan digunakan. Mandai tua sangat tidak dianjurkan untuk tumisan ringan karena akan mendominasi rasa secara keseluruhan.
Dari sudut pandang modern, proses fermentasi mandai tidak hanya berfungsi sebagai pengawetan, tetapi juga meningkatkan nilai gizi dan pencernaan makanan. Ini adalah aplikasi bioteknologi tradisional yang menghasilkan manfaat kesehatan signifikan.
Kulit cempedak sendiri kaya akan serat makanan, yang sangat baik untuk kesehatan pencernaan. Proses fermentasi, yang didominasi oleh Bakteri Asam Laktat (BAL), membantu memecah serat dan senyawa kompleks menjadi bentuk yang lebih mudah diserap oleh tubuh. Meskipun mandai umumnya dianggap sebagai sumber karbohidrat dan serat, proses fermentasi juga menghasilkan:
Tingkat keasaman (pH rendah) yang diciptakan oleh asam laktat dalam larutan mandai merupakan mekanisme pengawetan yang sangat efektif. Lingkungan asam ini sangat tidak ramah bagi sebagian besar patogen pembusuk makanan dan bakteri berbahaya. Ini menjelaskan mengapa mandai dapat disimpan dalam suhu ruangan selama berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan tanpa pengawet kimia.
Penting: Walaupun fermentasi adalah proses pengawetan, kebersihan wadah dan penggunaan garam yang steril sangat penting untuk mencegah pertumbuhan jamur atau bakteri yang tidak diinginkan, yang dapat merusak rasa dan keamanan mandai.
Meskipun memiliki akar budaya yang kuat, mandai menghadapi tantangan dalam upaya modernisasi dan komersialisasi. Konsistensi rasa dan aroma yang kuat seringkali menjadi hambatan utama untuk penerimaan yang lebih luas di pasar nasional dan internasional.
Karena mandai dibuat secara tradisional, tingkat keasaman dan teksturnya sangat bergantung pada variabel lingkungan (suhu, kelembaban) dan keterampilan individu pembuatnya. Untuk skala industri, diperlukan standardisasi proses fermentasi menggunakan kultur starter yang terkontrol, bukan lagi fermentasi spontan. Ini dapat menjamin bahwa setiap kemasan mandai memiliki pH, tekstur, dan rasa yang seragam.
Cempedak terkenal dengan aromanya yang sangat kuat, dan aroma ini tetap ada, meskipun sedikit berubah, dalam produk mandai. Bagi konsumen yang tidak terbiasa, aroma ini dapat menjadi penghalang. Inovasi perlu dilakukan untuk "menjinakkan" aroma ini tanpa menghilangkan karakteristik rasa fermentasinya. Misalnya, melalui proses pencucian dengan air berkarbonasi atau perendaman dengan bahan-bahan penghilang bau alami sebelum pengolahan akhir.
Beberapa koki modern mulai bereksperimen dengan mandai, membawanya keluar dari zona kuliner tradisionalnya. Inovasi yang sedang dikembangkan meliputi:
Untuk benar-benar menghargai mandai, penting untuk memahami bagaimana proses pra-masak dan teknik bumbu memengaruhi produk akhir. Setiap langkah, dari pencucian hingga penambahan gula, adalah upaya menyeimbangkan keasaman, keasinan, dan tekstur yang unik.
Banyak juru masak Kalimantan memiliki metode pembilasan rahasia. Salah satu metode yang paling efektif adalah perendaman air hangat selama 15 menit diikuti dengan pengulangan perendaman air dingin. Air hangat membantu melarutkan garam yang terperangkap dalam serat, sementara air dingin membantu menjaga tekstur kenyal mandai agar tidak terlalu lembek sebelum dimasak.
Setelah direndam, mandai harus diperas sekuat tenaga. Pengurangan kadar air tidak hanya mengurangi rasa asin dan asam, tetapi juga mempercepat waktu masak dan membantu mandai menyerap minyak dan bumbu dengan lebih efisien, terutama jika mandai akan digoreng atau ditumis kering. Kelembaban berlebihan adalah musuh utama dari mandai goreng yang renyah.
Mandai memiliki rasa asam laktat yang tajam. Hampir semua resep mandai, terutama yang berasal dari Banjar, menggunakan sejumlah besar gula merah atau gula aren. Gula ini tidak hanya memberikan rasa manis, tetapi juga bertindak sebagai penyeimbang sempurna terhadap keasaman. Jika gula tidak digunakan, rasa masakan mandai akan menjadi terlalu ‘galak’ atau menusuk.
Selain itu, terkadang ditambahkan asam jawa. Ini mungkin terdengar kontradiktif (menambah asam pada makanan yang sudah asam), tetapi asam jawa memberikan nuansa asam buah yang berbeda, lebih segar, yang melengkapi keasaman fermentasi yang lebih ‘berat’.
Mandai juga sering diolah menggunakan bumbu ‘Habang’ (Merah), bumbu dasar khas Banjar yang didominasi oleh cabai merah kering yang direndam dan dihaluskan, bawang, gula merah, dan rempah-rempah seperti kayu manis. Bumbu ini terkenal karena rasa manis pedasnya yang dalam dan warna merah yang pekat tanpa terlalu pedas.
Langkah Kritis Masak Habang: Mandai dimasak dalam bumbu Habang selama periode yang panjang dengan api kecil. Tujuannya adalah agar serat mandai menyerap semua warna dan rasa dari bumbu. Tekstur akhirnya adalah mandai yang sangat lembut namun tetap berserat, berwarna merah tua, dan rasanya manis, gurih, dan sedikit asam, mencerminkan kompleksitas rasa yang sangat digemari oleh masyarakat Banjar.
Proses panjang pengolahan, mulai dari pemilihan buah cempedak yang tepat, fermentasi yang sabar, hingga teknik pembilasan yang cermat, menjadikan mandai lebih dari sekadar makanan. Ia adalah cerminan ketahanan pangan, inovasi tradisional, dan warisan budaya yang tak ternilai harganya dari bumi Kalimantan. Mandai adalah kisah tentang bagaimana kearifan dalam memanfaatkan yang "terbuang" dapat melahirkan sebuah mahakarya kuliner yang tetap relevan hingga kini.