Mandailing, sebuah entitas budaya yang kaya dan mendalam di Sumatera Utara, bukan sekadar nama geografis. Ia adalah manifestasi peradaban kuno yang memadukan ajaran Islam yang kuat dengan sistem adat istiadat yang terstruktur, menghasilkan sebuah masyarakat yang menjunjung tinggi hirarki, kekerabatan, dan nilai-nilai filosofis yang lestari. Identitas Mandailing terbentang dari Tapanuli Selatan, Padang Lawas, hingga sebagian Riau dan bahkan Malaysia, di mana jejak sejarah mereka terukir melalui aksara, arsitektur, dan terutama, melalui sistem marga yang tak terputus.
Sketsa stilasi arsitektur tradisional Mandailing yang melambangkan kemegahan dan keharmonisan.
Sejarah Mandailing tidak dapat dipisahkan dari narasi besar peradaban Batak secara umum, namun ia memiliki jalur evolusi yang unik, terutama dipengaruhi oleh interaksi intensif dengan budaya Melayu dan masuknya Islam pada periode awal. Pembentukan identitas Mandailing sering dikaitkan dengan pergerakan migrasi dan pembentukan komunitas yang dikenal sebagai *Kumpulan Marga* yang menetap di wilayah hulu sungai Batang Gadis dan sekitarnya.
Meskipun sering dikelompokkan dalam rumpun Batak (bersama Toba, Karo, Simalungun, Pakpak, dan Angkola), masyarakat Mandailing, terutama sejak abad ke-19, menekankan identitas yang berbeda. Perbedaan ini diperkuat oleh dua faktor utama: penggunaan bahasa yang berbeda (Mandailing vs. Toba), dan penerimaan Islam sebagai agama mayoritas yang hampir homogen, jauh sebelum kelompok Batak lainnya. Adat Mandailing sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam, yang terlihat jelas dalam pelaksanaan upacara, penentuan jadwal pernikahan, dan sistem pewarisan.
Sistem marga (klan) adalah tulang punggung struktur sosial Mandailing. Marga menentukan hubungan kekerabatan, hak, dan kewajiban adat. Marga utama Mandailing meliputi: Nasution, Lubis, Harahap, Pulungan, Batubara, Matondang, Daulay, Rangkuti, dan Parinduri. Namun, marga-marga ini memiliki banyak cabang atau sub-marga yang memperumit dan memperluas jaringan kekerabatan mereka di seluruh wilayah.
Penelusuran silsilah, yang dikenal sebagai *tarombo*, merupakan praktik wajib dan sangat penting. Tarombo bukan hanya sekadar daftar nama leluhur, tetapi juga peta moral dan hukum yang menetapkan posisi seseorang dalam masyarakat, memastikan keturunan tidak melanggar aturan perkawinan (eksogami marga), dan menentukan peran mereka dalam musyawarah adat. Tarombo dipertahankan secara lisan dan terkadang tertulis, sering kali dibacakan dalam upacara besar untuk mengukuhkan status sosial.
Periode paling transformatif bagi Mandailing adalah Perang Paderi di awal abad ke-19. Meskipun perang membawa penderitaan dan kerusakan, interaksi dengan kaum Paderi dari Minangkabau mengkonsolidasikan ajaran Islam yang lebih murni dan radikal. Setelah Paderi dikalahkan oleh Belanda, struktur sosial Mandailing tetap memegang teguh Islam, namun sistem adat (terutama Dalihan Na Tolu) dipertahankan melalui adaptasi yang harmonis antara agama (Syara') dan adat (Adat Salingka Hukum).
Transformasi ini memastikan bahwa Mandailing menjadi masyarakat yang unik, di mana gelar adat seperti Raja dan Namora tetap relevan, tetapi tunduk pada prinsip-prinsip keislaman. Konsistensi dalam menjaga keseimbangan ini menjadi kunci kelestarian budaya mereka hingga kini. Penekanan pada ilmu pengetahuan dan pendidikan agama juga meningkat pesat setelah periode Paderi, menjadikan Mandailing salah satu kelompok terdidik di Sumatera pada masa kolonial.
Studi mengenai silsilah Mandailing menunjukkan bahwa beberapa marga utama berasal dari migrasi dari daerah lain, khususnya dari Tanah Batak Toba, namun dalam perkembangannya, mereka membentuk identitas budaya yang sama sekali baru. Misalnya, asal-usul Marga Nasution dan Lubis seringkali ditelusuri kembali ke legenda Raja-raja yang berkuasa di masa lalu, namun mereka kemudian mengembangkan dialek, seni musik, dan hukum adat yang khas Mandailing. Kehadiran Marga-marga baru atau Marga pendatang yang berasimilasi pun memperkaya keragaman budaya, namun selalu terintegrasi dalam kerangka Dalihan Na Tolu, memastikan bahwa setiap individu memiliki tempat dan fungsi dalam jaringan kekerabatan yang luas.
Peran *Huta* (kampung) sebagai unit sosial terkecil adalah sangat penting. Setiap Huta dipimpin oleh seorang Kepala Huta atau Raja Huta yang bertanggung jawab menjaga ketertiban adat dan memastikan pelaksanaan ritual berjalan sesuai dengan tradisi. Keputusan yang diambil selalu bersifat musyawarah, melibatkan perwakilan dari tiga unsur Dalihan Na Tolu (Kahanggi, Mora, Anak Boru). Proses pengambilan keputusan yang inklusif ini adalah cerminan filosofi sosial Mandailing yang menekankan keselarasan di atas segalanya.
Selain aspek silsilah, sejarah Mandailing juga sarat dengan kisah-kisah kepahlawanan lokal melawan penjajahan Belanda. Para pemimpin adat, seringkali adalah Raja-raja Marga, memimpin perlawanan bersenjata, menunjukkan betapa eratnya ikatan antara kepemimpinan politik, spiritual, dan adat dalam masyarakat ini. Catatan sejarah kolonial mencatat kesulitan Belanda dalam menaklukkan wilayah Mandailing karena sistem kekerabatan yang kuat dan solidaritas antar-Huta yang tinggi, memungkinkan mobilisasi massa yang cepat untuk mempertahankan tanah leluhur mereka. Inilah yang menunjukkan bahwa struktur adat bukan hanya ritualistik, tetapi juga berfungsi sebagai sistem pertahanan sosial dan militer yang efektif.
Jika Tarombo adalah peta, maka Dalihan Na Tolu (Tiga Tungku) adalah kompas moral dan filosofis masyarakat Mandailing. Dalihan Na Tolu adalah inti dari semua interaksi sosial, ritual pernikahan, dan upacara kematian. Konsep ini mengatur hubungan timbal balik yang harmonis dan simetris antar kelompok marga, memastikan bahwa tidak ada satu pihak pun yang mendominasi atau terabaikan.
Visualisasi Dalihan Na Tolu, yang mengatur tiga pilar utama kekerabatan Mandailing: Mora, Kahanggi, dan Anak Boru.
Adat pernikahan (horja haroan boru) adalah arena utama di mana Dalihan Na Tolu dihidupkan. Prosesi panjang yang melibatkan *markobar* (berbicara adat) dan penyampaian *tumpak* (sumbangan) hanya dapat terlaksana jika ketiga unsur ini hadir dan menjalankan perannya masing-masing. Pernikahan bukan hanya penyatuan dua individu, tetapi penyatuan tiga kelompok marga melalui serangkaian ritual yang ketat.
Contohnya, pada saat pemberian nasehat pernikahan (patua hata), Mora memberikan wejangan yang bersifat sakral, sementara Anak Boru bertindak sebagai juru bicara yang menyampaikan pesan dari pihak yang punya hajat (Kahanggi) kepada Mora, dan juga sebaliknya. Keseimbangan ini memastikan bahwa hukum adat ditegakkan dan berkat dari leluhur dapat mengalir melalui Mora kepada mempelai.
Selain Dalihan Na Tolu, Mandailing memiliki naskah kuno yang dipercaya memuat hukum dasar dan etika, sering disebut sebagai *Surat Tumbaga Holing*. Meskipun eksistensi fisik naskah ini sering diperdebatkan, isinya yang berupa ajaran moral, etika kepemimpinan, dan panduan hidup bernegara (dalam konteks kerajaan lokal) telah tertanam dalam adat lisan. Ajaran ini menekankan pentingnya kejujuran, keadilan, dan kepatuhan terhadap hukum agama dan adat, menjadi landasan bagi kepemimpinan Raja-raja Mandailing di masa lalu.
Analisis filosofis Dalihan Na Tolu lebih jauh mengungkap bahwa sistem ini adalah mekanisme pencegah konflik sosial yang sangat efektif. Karena setiap individu atau marga selalu menempati posisi relatif (Mora bagi seseorang adalah Anak Boru bagi yang lain), ia menciptakan jaring obligasi yang saling mengikat. Tidak ada hierarki absolut, melainkan hierarki situasional yang berubah tergantung konteks upacara atau hubungan kekerabatan yang sedang dibahas. Dalam pesta pernikahan A, Marga B mungkin adalah Mora yang dihormati, tetapi dalam upacara kematian C, Marga B bisa jadi adalah Anak Boru yang harus melayani. Dinamika ini menumbuhkan sikap rendah hati dan saling menghargai.
Kewajiban Anak Boru dalam melaksanakan pekerjaan fisik seringkali diimbangi dengan peran mereka sebagai 'penentu tempo' dalam upacara. Tanpa kesigapan Anak Boru, upacara tidak akan berjalan lancar. Sementara Mora, meskipun menerima penghormatan tertinggi, memiliki tanggung jawab spiritual yang besar, yakni memastikan bahwa ucapan 'pasu-pasu' (berkat) mereka tulus dan membawa keberuntungan. Kegagalan Mora dalam memberikan berkat yang sah dapat berdampak buruk pada keluarga yang mengadakan hajatan. Dengan demikian, Dalihan Na Tolu adalah sebuah sistem checks and balances budaya yang telah teruji lintas generasi.
Penerapan Dalihan Na Tolu juga meluas hingga ke urusan agraria dan pembagian warisan. Meskipun hukum Islam (faraid) mengatur sebagian besar pewarisan formal, aspek pembagian hak ulayat atau tanah adat seringkali masih merujuk pada musyawarah adat yang dipimpin oleh Kahanggi dan disaksikan oleh Mora dan Anak Boru. Hal ini menunjukkan integrasi yang luwes antara Syara’ (hukum agama) dan Adat (hukum tradisi) yang menjadi ciri khas Mandailing. Harmonisasi ini merupakan hasil dari proses sinkretisme yang panjang, memastikan bahwa tradisi leluhur tidak sepenuhnya hilang namun termurnikan oleh nilai-nilai keagamaan.
Gordang Sambilan adalah mahakarya musik tradisional Mandailing. Secara harfiah berarti Sembilan Gendang, alat musik perkusi ini bukan hanya instrumen biasa, melainkan simbol spiritual, sosial, dan sejarah yang penting. Gordang Sambilan telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO, menegaskan kedudukannya sebagai pusaka dunia.
Satu set Gordang Sambilan terdiri dari sembilan buah gendang berkepala satu yang memiliki ukuran dan nada yang berbeda. Gendang-gendang ini disusun berurutan, dari yang terbesar (bernada rendah/bass) hingga yang terkecil (bernada tinggi/sopran). Keunikan terletak pada jumlahnya yang sembilan, melambangkan sembilan marga yang berkuasa atau sembilan elemen penting dalam kosmos Mandailing.
Gordang Sambilan dimainkan oleh setidaknya empat hingga enam orang pemain yang terbagi perannya: pemain gendang besar (penjaga tempo), pemain gendang menengah (melodi), dan pemain gendang kecil (penghias/variasi ritme). Mereka didampingi oleh instrumen melodis lain seperti *sarune* (alat tiup tradisional, mirip serunai) dan *ogung* (gong).
Secara tradisional, Gordang Sambilan tidak dimainkan untuk hiburan semata. Fungsinya sangat sakral dan terbatas pada acara-acara besar yang bersifat adat dan ritual, yang disebut *Horja Godang* (Pesta Besar). Beberapa fungsinya meliputi:
Tari Tortor dalam konteks Mandailing memiliki perbedaan signifikan dengan Tortor Batak Toba. Tortor Mandailing lebih tenang, ritmis, dan gerakannya lebih banyak melibatkan pergelangan tangan dan jari, yang melambangkan kehalusan dan kesopanan (dipengaruhi oleh Islam dan etika Melayu). Tortor selalu diiringi oleh Gordang Sambilan. Setiap gerakan memiliki makna: mengangkat tangan ke atas melambangkan permohonan berkat dari Tuhan dan leluhur, sementara gerakan maju mundur mencerminkan hubungan timbal balik Dalihan Na Tolu.
Keunikan Gordang Sambilan juga terletak pada pola ritme yang kompleks dan bervariasi, yang disebut *tabuh*. Setiap tabuh memiliki nama dan fungsi ritual tertentu. Misalnya, Tabuh Malintang dimainkan untuk menandai dimulainya musyawarah adat, sementara Tabuh Moncak digunakan untuk mengiringi pertunjukan silat tradisional yang sering menjadi bagian dari Horja Godang. Pemain Gordang Sambilan (Parogong) harus melalui pelatihan yang sangat panjang dan hanya boleh dimainkan oleh orang-orang yang memahami makna filosofis di balik setiap pukulan.
Dalam konteks modern, pelestarian Gordang Sambilan menghadapi tantangan. Meskipun sudah diakui UNESCO, frekuensi penggunaannya dalam ritual adat menurun seiring modernisasi. Sekolah-sekolah dan sanggar seni lokal kini berperan aktif dalam mengajarkan teknik memukul dan memahami filosofi instrumen ini kepada generasi muda. Inovasi dalam penyajian Gordang Sambilan juga dilakukan, misalnya dengan mengadaptasikannya ke dalam komposisi musik kontemporer tanpa menghilangkan esensi aslinya, guna memastikan relevansi dan keberlanjutannya di tengah arus globalisasi.
Detail teknis mengenai pembuatan Gordang Sambilan juga menunjukkan kearifan lokal. Kayu yang digunakan haruslah kayu pilihan yang memiliki resonansi terbaik, biasanya dari jenis kayu keras tertentu yang hanya tumbuh di hutan Mandailing. Proses pengeringan dan pemahatan gendang dilakukan dengan ritual tertentu, karena diyakini bahwa kualitas suara gendang bergantung pada proses spiritual selama pembuatannya. Kulit yang digunakan umumnya kulit kerbau atau sapi yang diproses secara tradisional. Semua ini menunjukkan bahwa Gordang Sambilan adalah produk total dari ekosistem budaya dan alam Mandailing.
Arsitektur tradisional Mandailing terwujud dalam Rumah Bolon (Rumah Besar) atau sering disebut juga *Bagas Godang*. Rumah ini bukan sekadar tempat tinggal; ia adalah representasi fisik dari struktur sosial, hierarki, dan kosmologi masyarakat Mandailing. Rumah Bolon biasanya didirikan di tengah *Huta* (kampung) dan menjadi pusat kegiatan adat dan pertemuan Raja Adat.
Rumah Bolon Mandailing memiliki ciri khas yang membedakannya dari rumah Batak Toba, terutama dalam bentuk atap dan ukirannya. Atapnya melengkung, namun tidak seserupa dengan tanduk kerbau (seperti pada Minangkabau atau Karo), melainkan lebih ramping dan lurus, sering dihiasi dengan ukiran geometris yang sederhana namun elegan. Material utama adalah kayu keras, seperti kayu ulin, yang ditopang oleh tiang-tiang besar.
Salah satu fitur yang sangat menonjol adalah tingginya kolong rumah. Kolong ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan, kandang ternak, dan juga sebagai perlindungan dari banjir. Bagian depan Rumah Bolon biasanya terdapat tangga yang tidak dilengkapi pegangan tangan, memaksa setiap orang yang naik harus membungkuk sebagai tanda penghormatan.
Seluruh permukaan Rumah Bolon, terutama pada bagian depan dan pintu, dihiasi dengan ukiran yang disebut *gorga*. Gorga Mandailing cenderung menggunakan warna-warna alami seperti merah, putih, dan hitam, yang masing-masing memiliki makna filosofis:
Motif yang paling umum adalah motif geometris, tumbuhan, dan hewan (seperti cicak, yang melambangkan kemampuan bertahan hidup dan menjaga rumah). Motif ini bukan hanya hiasan, tetapi juga doa dan penolak bala.
Tata ruang di dalam Rumah Bolon sangat teratur dan mencerminkan hirarki sosial. Ruangan terbagi menjadi dua area utama: area publik (untuk musyawarah adat) dan area privat. Konsep kosmologi tiga lapis (dunia atas, dunia tengah, dunia bawah) diimplementasikan dalam struktur rumah:
Pembangunan Rumah Bolon memerlukan upacara khusus yang melibatkan Dalihan Na Tolu secara menyeluruh, mulai dari pemilihan kayu hingga pemasangan atap terakhir, memastikan bahwa rumah tersebut diberkati dan harmonis dengan alam.
Dalam konteks desa tradisional (Huta), penataan Bagas Godang (Rumah Bolon) tidak berdiri sendiri. Ia selalu ditempatkan berhadapan dengan *Sopo Godang* (Lumbung Padi Besar). Hubungan antara kedua bangunan ini sangat simbolis. Bagas Godang melambangkan kekuasaan politik dan adat (jiwa), sementara Sopo Godang melambangkan kemakmuran ekonomi dan ketahanan pangan (raga). Keseimbangan antara jiwa dan raga ini adalah prasyarat bagi kemakmuran komunitas Mandailing. Sopo Godang juga sering digunakan sebagai tempat penginapan bagi tamu yang dihormati, menunjukkan pentingnya keramahan dalam adat Mandailing.
Teknik konstruksi Rumah Bolon juga menunjukkan kehebatan nenek moyang Mandailing. Rumah ini dibangun tanpa menggunakan paku, melainkan menggunakan sistem pasak dan ikatan tali yang rumit. Struktur yang fleksibel ini membuat rumah sangat tahan terhadap gempa bumi, sebuah fitur penting mengingat Sumatera adalah wilayah yang aktif secara seismik. Kemampuan adaptasi ini adalah bukti kearifan lokal yang menggabungkan kebutuhan spiritual dengan kebutuhan praktis.
Namun, saat ini, jumlah Rumah Bolon asli yang masih berdiri dan terawat semakin sedikit. Proses modernisasi dan kesulitan mencari bahan baku yang sama membuat pembangunan rumah adat baru menjadi sangat mahal dan sulit. Upaya pelestarian kini banyak dilakukan oleh pemerintah daerah dan komunitas adat untuk mereplikasi atau merawat sisa-sisa Bagas Godang yang masih ada, menjadikannya museum hidup sebagai warisan bagi generasi mendatang. Keberadaan Bagas Godang di setiap Huta adalah penanda identitas yang visual, sebuah pengingat abadi akan kekuatan tradisi yang mengikat masyarakat Mandailing.
Bahasa Mandailing, yang sering disebut juga sebagai Bahasa Batak Mandailing atau *Basa Mandailing*, memiliki karakteristik linguistik yang khas. Meskipun termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia dan berdekatan dengan dialek Batak lainnya, Mandailing memiliki intonasi yang lebih lembut dan kosakata yang banyak dipengaruhi oleh bahasa Melayu, hal ini dikarenakan interaksi geografis dan sejarah yang intensif dengan wilayah Pesisir Timur Sumatera dan Minangkabau.
Mandailing umumnya dibagi menjadi beberapa dialek, meskipun perbedaan utamanya terletak pada intonasi dan beberapa kosakata lokal. Bahasa ini sangat penting dalam upacara adat. Semua pidato adat (*Markobar*) harus disampaikan dalam bahasa Mandailing yang baku dan formal, menggunakan metafora dan perumpamaan yang kaya (*Umpama*).
Sastra lisan Mandailing sangat kaya, dengan Umpama (peribahasa) dan Poda (nasihat) menjadi intinya. Umpama berfungsi sebagai hukum moral dan panduan hidup. Mereka sering digunakan dalam pidato adat untuk menegaskan suatu poin tanpa menyinggung secara langsung. Poda, sebaliknya, adalah nasihat langsung dari orang tua atau tetua adat kepada generasi muda, biasanya terkait dengan etika, tata krama, dan kewajiban dalam Dalihan Na Tolu.
"Gabe Sude Manjala, Anggo Ido Poso Bulung" (Artinya: Segala sesuatu akan menyebar luas, jika itulah takdir dari pucuk yang baru tumbuh). Ini adalah contoh umpama yang menyiratkan harapan dan tanggung jawab generasi muda.
Sebelum masuknya huruf Latin, masyarakat Mandailing, seperti kelompok Batak lainnya, menggunakan aksara tradisional yang dikenal sebagai *Surat Batak* atau di Mandailing sering disebut *Surat Mandailing*. Aksara ini merupakan aksara turunan dari aksara Pallawa dan terdiri dari konsonan dasar (*ina ni surat*) dan modifikasi vokal (*anak ni surat*).
Aksara ini dulunya digunakan untuk menuliskan Pustaha Laklak, yaitu buku kulit kayu yang berisi ramalan, kalender, obat-obatan tradisional, dan silsilah (tarombo). Meskipun penggunaannya secara praktis telah digantikan oleh aksara Latin, upaya pelestarian aksara ini terus dilakukan sebagai bagian integral dari identitas budaya.
Struktur bahasa Mandailing formal (yang digunakan dalam Markobar) sangat hierarkis dan penuh dengan kosakata yang bersifat sapaan penghormatan. Sapaan kepada Mora, misalnya, harus menggunakan tingkat kehalusan bahasa yang berbeda dibandingkan sapaan kepada Kahanggi. Penguasaan bahasa adat yang tinggi merupakan penanda status sosial dan pendidikan seseorang. Orang yang mahir dalam Markobar dan menguasai ribuan Umpama dianggap sebagai ‘Parhata’ (ahli bicara) yang sangat dihormati.
Salah satu genre sastra lisan yang penting adalah Ende-ende (lagu tradisional). Ende-ende sering menceritakan kisah percintaan, kepahlawanan, atau kritik sosial yang disampaikan secara halus. Musik pengiringnya, selain Gordang Sambilan, sering menggunakan suling (*seruling*) dan alat musik petik yang menghasilkan melodi melankolis dan mendalam, mencerminkan karakter masyarakat Mandailing yang cenderung reflektif dan religius. Lagu-lagu ini berfungsi sebagai media transmisi nilai-nilai moral dari generasi ke generasi, terutama dalam konteks kekeluargaan.
Transformasi bahasa Mandailing di era digital menjadi tantangan menarik. Banyak generasi muda yang tinggal di perkotaan kehilangan kemampuan berbahasa Mandailing yang fasih, terutama bahasa formal adat. Oleh karena itu, komunitas Mandailing kini aktif menggunakan media sosial dan platform digital untuk membuat kamus daring, tutorial aksara, dan menyimpan rekaman Markobar dari tetua adat. Upaya digitalisasi ini diharapkan dapat menjadi benteng pertahanan terakhir bagi kekayaan linguistik dan sastra lisan Mandailing yang tak ternilai harganya.
Sistem kepemimpinan Mandailing di masa pra-kolonial bersifat kerajaan-kerajaan kecil (*Huta*) yang otonom, namun terikat oleh kesamaan adat dan tarombo. Kepemimpinan ini bersifat kolektif, menggabungkan peran Raja Adat (pemimpin politik dan militer), Raja Panusunan (pemimpin klan), dan Namora Natoras (tetua adat).
Raja: Gelar Raja tidak selalu menunjukkan monarki besar, melainkan pemimpin wilayah atau Huta yang berasal dari marga pendiri. Raja bertanggung jawab atas keamanan, hukum adat, dan penyelenggaraan upacara besar. Gelar ini bersifat turun-temurun, namun harus disahkan oleh dewan tetua.
Namora Natoras: Namora Natoras adalah kelompok tetua yang memiliki pengetahuan adat yang mendalam. Mereka bertindak sebagai dewan penasihat bagi Raja. Posisi ini diperoleh berdasarkan usia, kebijaksanaan, dan pemahaman yang mendalam tentang Dalihan Na Tolu. Keputusan penting selalu melewati persetujuan Namora Natoras.
Seluruh keputusan penting dalam masyarakat Mandailing diambil melalui mekanisme musyawarah yang disebut *Marsombu Sihol* (mengobati kerinduan/menyelesaikan masalah bersama). Pertemuan ini melibatkan perwakilan dari ketiga unsur Dalihan Na Tolu. Musyawarah adat ini merupakan pilar demokrasi tradisional, memastikan bahwa suara setiap kelompok kekerabatan didengar dan dipertimbangkan.
Hukum adat Mandailing sangat ketat, terutama mengenai perkawinan, pencurian, dan pelanggaran norma. Sangsi (*uhum*) adat bertujuan bukan hanya menghukum, tetapi juga memulihkan keharmonisan sosial. Pelanggaran berat seringkali dikenakan denda berupa hewan ternak atau benda berharga yang diserahkan kepada Mora, sebagai kompensasi atas keretakan hubungan kekerabatan yang disebabkan oleh pelanggar tersebut.
Dalam sejarahnya, beberapa Raja Mandailing berhasil membangun konfederasi Huta yang kuat, seperti yang terjadi di wilayah Mandailing Julu. Konfederasi ini didirikan untuk tujuan pertahanan bersama dan pengaturan perdagangan, namun selalu menjunjung tinggi otonomi Huta di tingkat lokal. Sistem pemerintahan ini sangat berbeda dengan sistem feodal yang kaku; ia lebih bersifat kontrak sosial yang didasarkan pada kekerabatan.
Proses suksesi Raja di Mandailing juga unik. Meskipun gelar Raja diwariskan dalam satu marga, penerima gelar harus memenuhi standar moral dan pemahaman adat yang sangat tinggi. Jika pewaris dianggap tidak layak, dewan Namora Natoras berhak menunjuk individu lain yang dianggap lebih bijaksana. Hal ini menjamin bahwa kepemimpinan yang dihasilkan adalah kepemimpinan yang kompeten secara adat dan moral.
Peran Raja dalam upacara ritual juga sangat sentral. Raja adalah penghubung antara dunia spiritual dan dunia manusia. Ketika Gordang Sambilan dimainkan, Raja biasanya akan memimpin ritual *Manortor* (menari Tortor) pertama, yang menunjukkan bahwa ia adalah representasi tertinggi dari masyarakat di hadapan leluhur. Kekuatan spiritual dan legitimasi politik Raja saling terkait erat, memperkuat otoritasnya di mata rakyatnya.
Sejak masa kolonial, peran Raja secara politik telah diakomodasi oleh Belanda, seringkali diangkat menjadi Kepala Negeri atau Penghulu. Meskipun terjadi perubahan struktural, masyarakat Mandailing tetap menghormati garis keturunan Raja sebagai penjaga utama adat dan tradisi, memastikan bahwa kekuasaan adat tetap berjalan paralel dengan struktur pemerintahan formal.
Pernikahan dalam Mandailing (*Haroan Boru*) adalah ritual yang paling kompleks dan menguras sumber daya, sekaligus menjadi momen penting untuk menegaskan kembali hubungan antar-marga sesuai dengan Dalihan Na Tolu. Ia melibatkan serangkaian pertemuan dan pertukaran yang sangat rinci.
Masyarakat Mandailing, seperti kelompok Batak lainnya, menganut prinsip eksogami marga patrilineal. Artinya, seseorang dilarang menikah dengan individu yang memiliki marga yang sama. Pelanggaran terhadap eksogami dianggap sebagai dosa adat yang sangat serius (*sumbang*), yang dapat menyebabkan sangsi sosial berat, meskipun modernitas kini mulai melonggarkan beberapa aturan terkait sub-marga yang telah terpisah jauh.
Dalam Haroan Boru, terjadi pertukaran hadiah simbolis yang disebut *Tumpak*. Tumpak adalah sumbangan, baik berupa uang, beras, atau ternak, yang diberikan oleh Kahanggi dan Anak Boru kepada Mora sebagai bentuk penghormatan. Jumlah tumpak yang diberikan seringkali mencerminkan status sosial dan kemampuan ekonomi keluarga yang punya hajat.
Selain tumpak, Ulos (kain tenun tradisional) juga memiliki peran sentral. Ulos yang diberikan oleh Mora kepada Anak Boru melambangkan berkat, kehangatan, dan harapan. Setiap jenis Ulos memiliki makna dan fungsi ritual yang berbeda, misalnya Ulos Sibolang yang digunakan dalam suasana suka maupun duka.
Ekonomi tradisional Mandailing sangat bergantung pada pertanian, terutama padi sawah dan perkebunan karet atau kopi. Yang menarik, ekonomi ini sangat bersifat komunal. Dalam persiapan pesta besar (Horja Godang), seluruh komunitas, terutama Anak Boru, akan bergotong royong menyediakan bahan makanan dan tenaga kerja. Konsep *Marsiadapari* (saling membantu) ini memastikan bahwa beban ekonomi dari upacara adat besar dapat ditanggung bersama.
Proses lamaran dalam Mandailing sangat bertahap dan formal. Dimulai dari *Marsukkun* (menanyakan), dilanjutkan dengan *Patua Hata* (menetapkan kesepakatan), hingga mencapai puncaknya di *Manarimo Boru* (menerima mempelai wanita). Setiap tahapan ini memerlukan serangkaian Markobar yang melibatkan negosiasi dan kesepakatan finansial serta adat yang detail. Keseluruhan proses ini dapat memakan waktu berbulan-bulan, bahkan setahun penuh, tergantung kompleksitas hubungan antar-marga.
Penting untuk dicatat bahwa dalam adat Mandailing, meskipun perempuan memiliki peran yang sangat dihormati sebagai Mora, sistem pewarisan dan garis keturunan (*patrilineal*) tetap dipegang teguh. Tanah dan gelar adat umumnya diwariskan melalui garis laki-laki. Namun, hak-hak perempuan dalam menentukan pasangan dan menyuarakan pendapat dalam musyawarah keluarga sangat dihargai, menunjukkan adanya keseimbangan kuasa yang diatur oleh nilai-nilai keislaman dan Dalihan Na Tolu.
Dalam konteks pertanian, Mandailing dikenal karena sistem irigasi tradisional mereka yang canggih yang disebut *Sampuran*. Pengelolaan air di Huta dilakukan secara komunal, diatur oleh Raja dan Namora Natoras untuk memastikan pembagian air yang adil ke seluruh sawah. Keteraturan ini mencerminkan keteraturan sosial mereka; jika air diatur dengan baik, maka kehidupan sosial pun akan harmonis. Kegagalan dalam mengelola sumber daya bersama dianggap sebagai kegagalan moral komunal.
Mandailing adalah salah satu kelompok di Sumatera Utara yang memiliki identitas Islam yang paling kuat dan puritan, warisan dari interaksi dengan ulama Minangkabau. Namun, identitas Islam ini tidak menghilangkan adat; sebaliknya, terjadi proses sinkretisme yang harmonis antara Syara' (hukum Islam) dan Adat (hukum tradisi).
Filosofi adat Mandailing, terutama yang terkait dengan Mora (sumber berkat), telah diinterpretasikan ulang dalam kerangka Islam. Berkat (pasu-pasu) kini dipahami berasal dari Allah SWT, namun disampaikan melalui perantaraan Mora sebagai wakil sosial. Upacara-upacara yang dulunya bersifat animistik telah dimurnikan atau diganti dengan doa-doa dan pembacaan Al-Qur'an.
Contoh nyata integrasi ini terlihat dalam:
Sejak abad ke-19, Mandailing telah menjadi pusat pendidikan Islam yang penting di Sumatera. *Surau* (langgar) dan *Pesantren* tradisional menjadi institusi utama penyebar ilmu agama, menghasilkan banyak ulama terkemuka. Pendidikan ini tidak hanya mengajarkan Al-Qur'an dan Fiqih, tetapi juga pentingnya memelihara adat istiadat yang tidak bertentangan dengan Syara'.
Prinsip yang dipegang teguh oleh masyarakat Mandailing adalah “Adat Bersendi Syara’, Syara’ Bersendi Kitabullah” (Adat berlandaskan hukum Islam, hukum Islam berlandaskan Al-Qur’an). Prinsip ini memastikan bahwa adat memiliki landasan yang kokoh dan tidak mudah terkikis oleh perubahan zaman, selama ia tidak melanggar prinsip tauhid (keesaan Tuhan).
Proses Islamisasi Mandailing adalah proses yang bertahap dan damai, jauh sebelum Perang Paderi. Pedagang Muslim dari Aceh dan Pesisir mulai berinteraksi dengan Raja-raja lokal sejak abad ke-16. Hal ini yang membuat Islam diterima dengan relatif terbuka. Berbeda dengan kelompok Batak di dataran tinggi yang mempertahankan kepercayaan tradisional (Parmalim/animisme) lebih lama, Mandailing telah menjadikan Islam sebagai identitas kultural utama mereka. Keislaman ini kemudian menjadi pembeda utama antara Mandailing dan Angkola (yang juga mayoritas Muslim) dengan kelompok Batak Toba (yang mayoritas Kristen).
Peran Ulama (disebut juga Sutan atau Guru dalam konteks lokal) dalam musyawarah adat sangat dihormati. Dalam setiap Marsombu Sihol, Ulama akan selalu hadir untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil tidak melenceng dari ajaran agama. Mereka bertindak sebagai penyeimbang moralitas di samping kearifan adat yang dibawa oleh Namora Natoras. Keterlibatan ulama ini mencerminkan pengakuan bahwa hukum tertinggi adalah hukum agama, namun implementasi sosialnya diserahkan kepada adat.
Kontribusi intelektual Mandailing terhadap Islam di Nusantara juga signifikan. Banyak manuskrip dan tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Mandailing yang ditulis menggunakan aksara Arab-Melayu (Jawi) ditemukan, menunjukkan tingginya tingkat literasi keagamaan. Karya-karya ini menjadi bukti nyata bagaimana masyarakat Mandailing tidak hanya menerima Islam, tetapi juga menginternalisasikan dan menyebarkannya dengan sentuhan budaya lokal.
Seiring dengan arus globalisasi dan migrasi besar-besaran ke kota, masyarakat Mandailing menghadapi tantangan pelik dalam menjaga keberlanjutan adat dan bahasa mereka. Adaptasi terhadap modernitas menuntut kreativitas dalam konservasi budaya.
Seperti masyarakat Sumatera lainnya, merantau adalah tradisi yang kuat di Mandailing. Namun, generasi muda yang lahir dan besar di luar kampung halaman seringkali kehilangan kemampuan berbahasa Mandailing yang fasih. Identitas marga tetap dipertahankan, tetapi pelaksanaan ritual Dalihan Na Tolu menjadi kurang intensif.
Untuk mengatasi tantangan ini, komunitas Mandailing modern, terutama yang berada di perantauan (seperti di Jakarta, Medan, dan Malaysia), aktif mendirikan organisasi marga dan mengadakan festival budaya. Mereka menggunakan teknologi digital untuk mendokumentasikan Tarombo, merekam Gordang Sambilan, dan mengajarkan aksara melalui media online. Digitalisasi ini penting untuk membuat tradisi tetap relevan bagi generasi Z.
Isu lingkungan dan hak atas tanah adat menjadi tantangan hukum yang signifikan. Masyarakat adat Mandailing berjuang untuk mempertahankan hak ulayat mereka dari eksploitasi perusahaan besar. Dalam konteks ini, Dalihan Na Tolu dan struktur Raja Adat kembali berperan sebagai kekuatan pemersatu untuk bernegosiasi dan membela hak-hak komunal mereka.
Organisasi-organisasi perantauan Mandailing (seperti Ikatan Keluarga Mandailing atau komunitas Marga di luar daerah) memainkan peran krusial dalam menjaga kekompakan. Mereka secara rutin mengadakan acara ‘Halal Bi Halal’ atau ‘Patambor Tali Silaturahmi’ yang secara implisit berfungsi sebagai pertemuan adat mini, di mana silsilah diperkuat, dan nasehat-nasehat Poda disampaikan. Pertemuan-pertemuan ini sering kali menjadi satu-satunya kesempatan bagi Anak Boru dan Mora di kota besar untuk menjalankan kewajiban adat mereka.
Upaya pelestarian warisan fisik juga sangat penting. Beberapa kabupaten di Mandailing Natal dan Tapanuli Selatan kini memasukkan arsitektur Rumah Bolon dalam desain gedung pemerintahan dan sekolah, sebagai simbol penghormatan terhadap identitas lokal. Kurikulum lokal di sekolah juga mulai memasukkan pelajaran tentang Gordang Sambilan dan Markobar. Ini adalah investasi jangka panjang untuk memastikan bahwa budaya Mandailing tidak hanya menjadi artefak sejarah, tetapi juga bagian hidup sehari-hari.
Salah satu aspek yang terus dipertahankan secara ketat adalah etika dalam berinteraksi. Masyarakat Mandailing sangat menjunjung tinggi etika kesopanan (*adat sopan santun*), terutama dalam berbicara kepada yang lebih tua atau kepada Mora. Tata krama ini mencakup cara duduk, cara makan, hingga cara menyampaikan kritik. Aturan-aturan tidak tertulis ini adalah benteng terakhir dari identitas Mandailing yang membedakannya secara halus dari budaya tetangga yang lebih terbuka dan ekspresif. Pelestarian etika ini di tengah budaya media sosial yang serba bebas adalah salah satu perjuangan terberat Mandailing di abad ke-21.
Mandailing berdiri sebagai contoh peradaban yang berhasil menyeimbangkan antara tradisi leluhur (adat) dan keyakinan agama (Syara’). Filosofi Dalihan Na Tolu telah berfungsi selama berabad-abad sebagai sistem operasi sosial yang adaptif dan inklusif, memastikan bahwa kekerabatan adalah fondasi bagi kehidupan politik, ekonomi, dan spiritual.
Dari ritme agung Gordang Sambilan yang memanggil roh, hingga keanggunan arsitektur Rumah Bolon yang menaungi musyawarah, setiap elemen budaya Mandailing adalah narasi yang mendalam tentang identitas, kehormatan, dan keharmonisan. Tantangan modern memang nyata, tetapi semangat Marsiadapari dan kearifan para Namora Natoras adalah modal utama untuk membawa warisan Mandailing tetap hidup, relevan, dan terus berkembang di tengah keragaman global.
Mandailing mengajarkan bahwa tradisi bukanlah beban masa lalu, melainkan kompas yang menuntun menuju masa depan yang beradab, asalkan dipegang teguh dengan kebijaksanaan dan keterbukaan terhadap perubahan. Kontinuitas budaya mereka adalah bukti nyata dari kekuatan identitas yang berakar kuat pada nilai-nilai luhur.
Hak Cipta Konten Adat Dilindungi Oleh Nilai-Nilai Leluhur Mandailing.