Diagram skematis konektivitas Legok sebagai pusat penghubung.
Kawasan Legok, yang secara administratif termasuk dalam Kabupaten Tangerang, Banten, telah bertransformasi dari daerah agraris dan permukiman pinggiran menjadi salah satu zona pertumbuhan terpenting di wilayah metropolitan Jakarta (Jabodetabek). Perkembangan pesat ini didorong oleh sejumlah faktor fundamental, mulai dari ketersediaan lahan yang relatif luas, hingga implementasi proyek-proyek infrastruktur strategis berskala nasional. Analisis mendalam terhadap Legok tidak hanya memerlukan tinjauan demografi dan ekonomi, tetapi juga pemahaman komprehensif mengenai bagaimana interaksi antara perencanaan tata ruang pemerintah daerah dan investasi sektor swasta telah membentuk wajah baru kawasan ini.
Legok kini bukan lagi sekadar wilayah penyangga; ia adalah destinasi investasi. Kedekatannya dengan megaproyek pengembangan kota mandiri seperti BSD City dan Gading Serpong menempatkannya pada jalur lintasan migrasi penduduk kelas menengah yang mencari hunian terjangkau namun memiliki aksesibilitas prima ke pusat-pusat aktivitas perkotaan. Perubahan paradigma ini menuntut peninjauan ulang terhadap kapasitas lingkungan, sosial, dan ekonomi lokal di Legok untuk menopang laju urbanisasi yang kian masif.
Secara historis, sebagian besar wilayah Legok dikenal sebagai area pertanian subsisten dengan dominasi perkebunan dan sawah. Citra ini mulai bergeser secara signifikan pada akhir abad ke-20, ketika tekanan urbanisasi dari Jakarta mulai menjangkau batas-batas luar Tangerang. Proses ini dipercepat oleh pembangunan jalan tol Jakarta-Merak, meskipun Legok sendiri tidak terletak persis di lintasan tol tersebut, namun dampaknya terasa melalui pergeseran harga tanah dan masuknya industri ke koridor Cikupa dan Curug yang berdekatan.
Kecamatan Legok berbatasan langsung dengan kawasan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Di sebelah utara, berbatasan dengan Curug dan Panongan, dan di sebelah timur, berbatasan langsung dengan area pengembangan Serpong (Kota Tangerang Selatan) dan Pagedangan. Kedekatan ini menjadikan Legok sebagai "halaman belakang" strategis bagi Serpong, menyediakan lahan yang lebih murah untuk pengembangan residensial dan komersial yang bersifat mendukung.
Struktur geografis Legok yang relatif datar sangat mendukung percepatan pembangunan infrastruktur. Ketersediaan sumber daya air, meskipun kini menghadapi tantangan akibat masifnya penutupan lahan terbuka untuk perumahan, masih menjadi salah satu penopang kehidupan. Transformasi lahan pertanian menjadi lahan terbangun merupakan ciri utama dinamika tata ruang di Legok dalam dua dekade terakhir.
Laju pertumbuhan penduduk di Legok jauh melampaui rata-rata nasional dan bahkan rata-rata Kabupaten Tangerang. Fenomena ini didorong oleh migrasi masuk (in-migration) dari berbagai daerah di Indonesia, khususnya dari Jakarta dan sekitarnya, serta dari daerah Jawa Barat dan Sumatera. Para migran ini didominasi oleh pekerja usia produktif yang mencari tempat tinggal yang dapat dijangkau dari tempat kerja mereka di Jakarta Barat, Tangerang Selatan, atau Serpong. Dampak demografi ini meliputi:
Akselerasi pembangunan di Legok mustahil terjadi tanpa adanya dukungan jaringan transportasi yang memadai. Pemerintah dan swasta telah menggarap proyek-proyek vital yang menempatkan Legok pada peta konektivitas Jabodetabek.
Kehadiran dan operasional Stasiun Legok pada jalur KRL Commuter Line (Rangkasbitung Line) adalah katalisator utama perkembangan kawasan ini. Jalur kereta listrik ini menghubungkan Legok secara langsung dengan Tanah Abang (Jakarta Pusat), memberikan akses cepat dan relatif murah bagi puluhan ribu komuter setiap hari. Dampak dari stasiun ini sangat terasa:
Proyek Jalan Tol Serpong–Balaraja (Serbaraja) merupakan infrastruktur penentu masa depan Legok. Tol ini dirancang untuk menghubungkan Serpong ke Balaraja, melewati jantung Kabupaten Tangerang. Meskipun Legok tidak memiliki gerbang tol Serbaraja di tahap awal, kedekatannya dengan beberapa simpang susun memberikan keuntungan aksesibilitas luar biasa. Tol Serbaraja, yang terbagi dalam beberapa seksi, menjanjikan integrasi yang lebih cepat menuju Jakarta melalui tol JORR W2 atau menuju Pelabuhan Merak di masa depan.
Implikasi dari Tol Serbaraja terhadap Legok bersifat transformatif:
Diagram pertumbuhan sektor kunci di Legok.
Sektor properti adalah mesin penggerak utama yang mengubah Legok. Kawasan ini diposisikan sebagai alternatif hunian yang lebih terjangkau dibandingkan kota-kota satelit premium di sekitarnya. Masuknya pengembang-pengembang besar dan menengah telah memicu ledakan konstruksi yang mengubah lanskap pedesaan menjadi kota satelit baru. Fenomena ini menciptakan dua kutub pembangunan di Legok: properti premium yang berdekatan dengan Serpong, dan properti subsidi/menengah di area yang lebih jauh.
Setelah kawasan Ciledug dan Cibubur mencapai titik jenuh, Legok muncul sebagai salah satu koridor terbaik untuk pengembangan rumah bersubsidi dan rumah tapak kelas menengah. Harga tanah yang belum mencapai puncaknya memberikan margin yang memadai bagi pengembang untuk menawarkan produk dengan harga yang kompetitif bagi pekerja yang ingin keluar dari kontrak rumah di Jakarta.
Meskipun pertumbuhan properti di Legok membawa manfaat ekonomi, ia juga menimbulkan tantangan serius terkait tata ruang. Konversi lahan sawah yang cepat mengancam ketahanan pangan lokal (meskipun Legok bukan lumbung padi utama, namun kontribusinya ada). Selain itu, masalah banjir dan drainase semakin diperparah oleh hilangnya daerah resapan air alami. Pemerintah Kabupaten Tangerang harus memastikan bahwa setiap izin pembangunan di Legok menyertakan kewajiban pengembangan fasilitas penampungan air dan sistem drainase yang terpadu.
Isu Legok terkait air bersih juga krusial. Ketergantungan pada air tanah, jika tidak dikelola, dapat menyebabkan penurunan permukaan tanah. Perlunya investasi besar dalam jaringan PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) yang menjangkau seluruh kawasan Legok menjadi prioritas utama. Kawasan residensial yang baru dibangun sering kali memiliki sistem pengolahan air mandiri, namun integrasi jangka panjang memerlukan solusi regional.
Perekonomian Legok telah bertransformasi dari sektor primer menjadi didominasi oleh sektor tersier (jasa dan perdagangan). Masuknya ribuan keluarga baru menciptakan pasar konsumen yang besar, mendorong pertumbuhan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta investasi di sektor ritel modern.
Perdagangan di Legok kini ditandai dengan dualisme. Di satu sisi, pasar tradisional yang menjual hasil bumi dan kebutuhan pokok tetap eksis dan berfungsi sebagai pusat interaksi sosial masyarakat lama. Di sisi lain, munculnya ruko-ruko modern, minimarket, dan pusat perbelanjaan skala kecil melayani kebutuhan masyarakat urban baru. Jasa transportasi online, kuliner, dan pendidikan swasta menjadi sektor yang paling cepat tumbuh.
Mengingat tantangan lingkungan yang dihadapi Legok, terdapat potensi besar untuk mengarahkan pembangunan ekonomi menuju konsep hijau. Penerapan tata kelola pembangunan berbasis lingkungan, seperti kewajiban Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang lebih ketat, dapat meningkatkan kualitas hidup dan menarik investasi yang berwawasan lingkungan. Konsep permukiman berkelanjutan dapat menjadi nilai jual properti di Legok di masa mendatang.
Potensi ekonomi hijau di Legok mencakup pengembangan energi terbarukan skala rumah tangga (solar panel), pengelolaan sampah terpadu (Waste-to-Energy), dan pembangunan infrastruktur sepeda/pejalan kaki yang terintegrasi dengan Stasiun Legok. Implementasi kebijakan ini memerlukan kolaborasi erat antara Pemerintah Kabupaten Tangerang dan pengembang properti besar yang beroperasi di wilayah Legok.
Transformasi fisik di Legok juga membawa implikasi signifikan pada struktur sosial dan budaya masyarakat. Legok kini menjadi titik temu antara tradisi Banten/Sundanese yang diwariskan oleh penduduk asli dengan modernitas yang dibawa oleh migran urban.
Migrasi massal selalu menimbulkan tantangan integrasi. Penduduk asli Legok harus beradaptasi dengan harga kebutuhan pokok yang meningkat, perubahan tata krama sosial, dan persaingan lapangan kerja. Di sisi lain, migran urban harus menghormati kearifan lokal. Kunci keberhasilan integrasi terletak pada keberadaan ruang publik dan lembaga kemasyarakatan yang mampu menjembatani perbedaan ini, seperti melalui kegiatan keagamaan, olahraga, dan kerja bakti bersama.
Peran pemerintah desa dan kelurahan di Legok sangat vital dalam memediasi potensi konflik sosial yang timbul akibat perbedaan ekonomi dan budaya. Peningkatan program pemberdayaan masyarakat yang menyasar kelompok rentan, terutama penduduk asli yang kehilangan mata pencaharian akibat konversi lahan, menjadi prioritas pembangunan sosial di Legok.
Kualitas hidup di Legok sangat bergantung pada ketersediaan fasilitas publik yang proporsional dengan jumlah penduduk. Meskipun sektor swasta telah banyak membangun fasilitas penunjang di dalam klaster perumahan, kebutuhan akan fasilitas publik non-profit (sekolah negeri, puskesmas, taman kota, gelanggang olahraga) yang diakses oleh seluruh lapisan masyarakat Legok masih sangat tinggi. Peningkatan alokasi anggaran daerah untuk pembangunan fasilitas-fasilitas ini adalah investasi jangka panjang dalam keberlanjutan Legok sebagai kota satelit yang layak huni.
Pengembangan Legok tidak berhenti pada pembangunan perumahan dan infrastruktur dasar. Rencana tata ruang wilayah Kabupaten Tangerang menempatkan Legok sebagai koridor strategis yang akan terus didorong menjadi pusat permukiman dan jasa.
Legok diproyeksikan menjadi penghubung utama antara kawasan Tangerang bagian Tengah (Serpong, Cisauk) dan kawasan Tangerang bagian Barat (Balaraja, Tigaraksa). Integrasi ini diperkuat oleh jaringan tol Serbaraja yang melintasi kedua wilayah tersebut. Fokus pengembangan Legok di masa depan harus diarahkan pada peningkatan konektivitas horizontal dan vertikal, memastikan arus barang dan manusia bergerak efisien.
Dalam konteks pengembangan kota modern, Legok memiliki kesempatan untuk mengadopsi prinsip-prinsip *Smart City*. Ini mencakup penggunaan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan efisiensi layanan publik, seperti manajemen lalu lintas, pengawasan lingkungan, dan sistem keamanan terintegrasi. Karena sebagian besar pembangunannya masih baru, implementasi teknologi sejak awal dapat meminimalkan masalah yang dialami oleh kota-kota tua di sekitarnya.
Aspek penting dari *Smart City* di Legok adalah:
Memahami nilai ekonomi jangka panjang Legok memerlukan analisis yang melampaui harga properti sesaat. Nilai fundamental Legok terletak pada posisinya yang unik sebagai *buffer zone* antara kawasan industri berat di barat dan kawasan perkantoran/jasa premium di timur.
Meskipun pasar properti dapat mengalami fluktuasi, permintaan hunian di Legok cenderung stabil karena didorong oleh kebutuhan dasar (end-user demand) alih-alih spekulasi murni. Mayoritas pembeli adalah komuter muda dan keluarga baru yang benar-benar membutuhkan tempat tinggal terjangkau dekat akses transportasi. Stabilitas ini menjadikan Legok lokasi yang resilient terhadap guncangan ekonomi.
Analisis tren menunjukkan bahwa ketika harga properti di Serpong/Tangsel mengalami koreksi atau stagnasi, Legok seringkali tetap menunjukkan pertumbuhan harga yang moderat, terutama di sub-sektor rumah tapak dengan harga di bawah Rp 800 juta. Hal ini menegaskan peran Legok sebagai pasar penyeimbang dalam ekosistem properti Tangerang Raya.
Lahan di Legok yang dulunya memiliki nilai marginal sebagai lahan pertanian kini diintensifkan menjadi zona komersial dan residensial dengan kepadatan tinggi. Peningkatan koefisien lantai bangunan (KLB) di titik-titik strategis, terutama yang dekat dengan Stasiun Legok, akan meningkatkan nilai tanah secara eksponensial. Kebijakan tata ruang harus mengantisipasi hal ini, memastikan bahwa peningkatan nilai tersebut juga memberikan kontribusi yang adil bagi peningkatan kualitas infrastruktur publik.
Pemerintah daerah perlu mengeluarkan regulasi yang ketat mengenai penggunaan lahan campuran (*mixed-use development*) di pusat Legok. Mengizinkan pembangunan vertikal di sekitar stasiun (apartemen, ruko empat lantai) dapat memaksimalkan pemanfaatan lahan dan mengurangi penyebaran pembangunan horizontal yang tidak efisien.
Seiring berkembangnya permukiman, Legok menarik profesional dan tenaga kerja terampil yang bekerja di berbagai sektor di Jabodetabek. Konsentrasi sumber daya manusia ini adalah aset ekonomi yang berharga. Potensi ini dapat dioptimalkan melalui pengembangan kawasan perkantoran atau *business park* skala kecil yang spesifik di Legok, mengurangi kebutuhan komuter untuk bepergian jauh ke pusat kota dan menciptakan lapangan kerja lokal.
Jika Legok berhasil menahan sebagian tenaga kerja terampilnya untuk bekerja di Legok sendiri, maka siklus ekonomi lokal akan semakin kuat, mengurangi beban infrastruktur transportasi dan meningkatkan pendapatan daerah dari pajak dan retribusi bisnis. Ini adalah visi transformatif yang harus dikejar oleh otoritas Legok.
Keberhasilan transformasi Legok sangat bergantung pada efektivitas kebijakan publik dan kolaborasi antar tingkat pemerintahan. Kebijakan yang relevan harus mencakup aspek mitigasi bencana, pemenuhan hak-hak dasar, dan transparansi pengelolaan anggaran.
Salah satu ancaman terbesar terhadap keberlanjutan Legok adalah risiko banjir, terutama karena lokasinya yang dilewati beberapa aliran sungai kecil dan konversi lahan yang masif. Pemerintah Kabupaten Tangerang harus memprioritaskan proyek mitigasi banjir di Legok, termasuk:
Walaupun banyak sekolah swasta berkualitas tinggi tersedia, pemerintah harus menjamin akses yang merata ke pendidikan negeri yang berkualitas bagi seluruh penduduk Legok, tanpa terkecuali. Peningkatan jumlah sekolah negeri, mulai dari SD hingga SMA, serta peningkatan kualifikasi guru di Legok, adalah investasi sosial yang tidak boleh ditawar.
Tantangan yang sering muncul adalah ketidakseimbangan antara jumlah siswa yang masuk karena migrasi dan kapasitas fisik sekolah negeri yang sudah ada. Kebijakan zonasi di Legok memerlukan tinjauan ulang yang berkala untuk mengakomodasi pertumbuhan penduduk yang dinamis.
Peningkatan populasi di Legok secara langsung berkorelasi dengan peningkatan volume sampah harian. Jika tidak dikelola dengan baik, ini dapat merusak estetika dan kualitas lingkungan. Solusi yang harus didorong di Legok adalah sistem pengelolaan sampah terpadu yang mencakup:
Intervensi sektor swasta, terutama dari pengembang properti raksasa, telah menjadi kekuatan dominan yang membentuk Legok. Peran mereka melampaui sekadar pembangunan hunian; mereka seringkali menjadi penyedia infrastruktur primer dan sekunder.
Di banyak kasus, jalan utama, saluran drainase, dan bahkan fasilitas air bersih di kawasan-kawasan baru Legok dibangun oleh pengembang. Hal ini meringankan beban anggaran daerah, namun memerlukan pengawasan ketat untuk memastikan kualitas infrastruktur tersebut memenuhi standar publik dan dapat diserahkan serta diintegrasikan ke dalam sistem pemerintah daerah di masa mendatang.
Kontribusi pengembang properti juga terlihat dalam penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan fasilitas komersial, yang secara tidak langsung meningkatkan nilai kawasan Legok secara keseluruhan. Pengembang yang sukses adalah mereka yang mampu membangun tidak hanya rumah, tetapi juga ekosistem komersial yang mandiri di dalam Legok.
Model KPS sangat penting untuk proyek infrastruktur besar di Legok, terutama yang terkait dengan akses tol dan transportasi massal. Misalnya, pendanaan untuk pembangunan *exit toll* atau perpanjangan jaringan KRL ke area Legok yang lebih dalam dapat diwujudkan melalui skema KPS, di mana sektor swasta berperan aktif dalam investasi awal, dan pemerintah menjamin regulasi serta pengelolaan jangka panjang.
KPS juga relevan dalam pengembangan pusat-pusat penelitian atau teknologi di Legok, memanfaatkan kedekatan dengan institusi pendidikan tinggi dan menjadikannya sebagai basis inovasi regional.
Legok telah melewati fase transisi dari desa menjadi kota satelit. Keberhasilan Legok di masa depan akan ditentukan oleh kemampuannya untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi yang cepat dengan pembangunan infrastruktur sosial dan mitigasi lingkungan yang berkelanjutan. Legok tidak ditakdirkan hanya menjadi "tempat tidur" bagi Jakarta, melainkan harus berkembang menjadi kota mandiri yang memiliki pusat ekonomi, sosial, dan budaya sendiri.
Penting bagi seluruh pemangku kepentingan, dari Pemerintah Kabupaten Tangerang, pengembang properti, hingga masyarakat penghuni, untuk memiliki visi bersama mengenai Legok yang inklusif, berkelanjutan, dan resilien. Dengan fondasi infrastruktur yang kuat (KRL dan Serbaraja) serta dorongan demografi yang masif, Legok berada di jalur yang tepat untuk menjadi salah satu kawasan urban paling strategis dan berpengaruh di bagian barat Jabodetabek.
Pengembangan yang berfokus pada integrasi transportasi, penataan ruang yang bijaksana, serta investasi pada kualitas hidup masyarakat adalah kunci untuk memastikan bahwa Legok bukan hanya tumbuh secara kuantitas, tetapi juga matang dalam kualitas sebagai pusat pertumbuhan baru di Tangerang Raya. Nilai fundamental Legok sebagai koridor penghubung akan terus meningkat, menjadikannya titik fokus pembangunan di Indonesia bagian barat.
Posisi Legok dalam konteks geopolitik regional Tangerang sangatlah unik. Ia adalah wilayah yang berada di persimpangan kepentingan antara tiga entitas administratif besar: Kota Tangerang Selatan, Kota Tangerang, dan Kabupaten Tangerang sendiri. Legok berfungsi sebagai katup pengaman demografi dan ekonomi yang menyerap limpahan aktivitas dari Serpong dan Karawaci. Kedinamisan ini menciptakan kebutuhan akan koordinasi lintas-batas yang kompleks.
Misalnya, penanganan masalah transportasi publik seperti rute angkutan umum lokal dari Stasiun Legok menuju permukiman di Pagedangan (yang notabene adalah Kabupaten Tangerang tetapi lebih dekat ke Tangsel) membutuhkan persetujuan dan koordinasi antara tiga dinas perhubungan yang berbeda. Kerumitan birokrasi ini sering menjadi hambatan kecil namun signifikan dalam percepatan pelayanan publik di Legok. Legok membutuhkan semacam badan koordinasi regional untuk mengatasi masalah lintas batas ini secara efisien.
Zonasi properti di Legok cenderung mengikuti pola linear, membentang dari timur ke barat, mengikuti jalur utama KRL dan rencana Tol Serbaraja. Zona di bagian timur Legok, yang berbatasan dengan BSD, didominasi oleh klaster premium dan komersial dengan nilai jual yang tinggi, seringkali mencapai angka miliaran rupiah. Sementara itu, zona tengah dan barat Legok lebih banyak didominasi oleh perumahan menengah dan subsidi, mencerminkan kemampuan daya beli yang lebih rendah namun volume permintaannya sangat tinggi.
Dalam rencana zonasi terbaru, Legok harus mengalokasikan area khusus untuk hunian vertikal (apartemen) yang terjangkau. Pembangunan vertikal di Legok ini penting untuk mencegah pembangunan horizontal yang tidak terkontrol yang menghabiskan lahan secara sia-sia. Kawasan Legok, khususnya di radius 1 km dari stasiun, harus didorong menjadi kawasan hunian kepadatan tinggi untuk memaksimalkan penggunaan infrastruktur KRL yang sudah ada.
Aspek penting lainnya adalah perlindungan terhadap zona resapan air dan sempadan sungai di Legok. Meskipun tekanan pembangunan sangat besar, penetapan zona konservasi yang tidak dapat diganggu gugat mutlak diperlukan. Pelanggaran terhadap sempadan sungai, yang sering terjadi di pinggiran Legok, harus ditindak tegas untuk mencegah kerusakan ekologis dan bencana banjir di masa depan.
Meskipun dikenal sebagai kawasan residensial, Legok juga memiliki potensi tersembunyi dalam sektor ekonomi kreatif dan wisata lokal, terutama wisata kuliner dan agro-wisata yang tersisa dari masa lalunya sebagai daerah agraris. Upaya revitalisasi pasar tradisional di Legok dan pengembangannya menjadi pusat kuliner dengan nuansa lokal dapat menarik pengunjung dari kota-kota satelit yang lebih mapan.
Pemerintah desa di Legok, dengan dukungan dana desa, dapat mempromosikan UMKM yang berbasis kerajinan tangan lokal atau produk olahan makanan khas. Mengingat populasi yang muda dan melek teknologi, pengembangan ekonomi digital dan *co-working space* di Legok juga merupakan peluang investasi yang menjanjikan. Ini akan memberdayakan kaum muda Legok dan mengurangi angka pengangguran lokal.
Inisiatif ini perlu diintegrasikan dengan fasilitas pendidikan dan pelatihan vokasi di Legok. Misalnya, SMK di Legok dapat fokus pada keahlian yang relevan dengan kebutuhan kawasan, seperti teknik konstruksi modern, logistik, atau manajemen ritel. Dengan demikian, penduduk Legok dapat menjadi pelaku utama, bukan hanya penonton, dalam pembangunan di wilayah mereka sendiri.
Dampak sosial dari kehadiran infrastruktur masif seperti KRL dan tol di Legok meluas hingga ke struktur keluarga dan pola interaksi sosial. KRL memungkinkan pekerja komuter memiliki waktu perjalanan yang lebih terprediksi, yang secara teoritis dapat meningkatkan waktu yang dihabiskan bersama keluarga. Namun, fenomena *long-distance commuting* juga menimbulkan kelelahan fisik dan mental (commuter fatigue).
Untuk mengatasi hal ini, diperlukan pembangunan fasilitas rekreasional dan ruang ketiga (third place) di Legok. Ruang ketiga adalah tempat di luar rumah dan kantor, seperti taman, perpustakaan, atau kafe komunitas, di mana masyarakat dapat berinteraksi dan membangun ikatan sosial. Pengembang dan pemerintah di Legok harus bekerja sama untuk menyediakan ruang-ruang ini agar komunitas yang heterogen dapat berintegrasi dan mengurangi isolasi sosial yang mungkin terjadi di klaster perumahan tertutup.
Pembangunan infrastruktur di Legok juga harus mempertimbangkan aksesibilitas bagi kelompok rentan. Stasiun Legok harus dilengkapi dengan fasilitas yang ramah disabilitas, dan jalan-jalan lingkungan harus memiliki trotoar yang memadai dan aman bagi pejalan kaki, bukan hanya difokuskan untuk kendaraan bermotor.
Peningkatan pesat jumlah properti dan aktivitas ekonomi di Legok menghasilkan potensi pendapatan asli daerah (PAD) yang sangat besar. Pemerintah Kabupaten Tangerang harus memastikan bahwa sistem retribusi dan pajak bumi dan bangunan (PBB) di Legok dikelola secara transparan dan efisien. Pendapatan yang diperoleh dari Legok harus dialokasikan kembali untuk pembangunan infrastruktur di Legok itu sendiri, menciptakan siklus investasi yang positif.
Penerapan pajak parkir di pusat-pusat komersial Legok, retribusi izin mendirikan bangunan (IMB) yang disesuaikan dengan nilai properti yang tinggi, dan pajak hotel/restoran (PHR) dari fasilitas-fasilitas baru adalah sumber pendapatan vital. Penguatan kelembagaan di Kecamatan Legok dan penambahan staf ahli dalam bidang perencanaan dan keuangan diperlukan untuk mengelola pertumbuhan finansial yang kompleks ini.
Selain itu, mekanisme kompensasi sosial bagi masyarakat Legok yang terdampak pembebasan lahan untuk infrastruktur harus dilakukan dengan adil dan transparan. Pemberian ganti rugi yang memadai dan program pelatihan bagi warga yang kehilangan mata pencaharian adalah bagian dari tanggung jawab moral pembangunan di Legok.
Transformasi Legok yang menyeluruh, dari aspek historis hingga proyeksi *smart city* di masa depan, menegaskan bahwa kawasan ini lebih dari sekadar daerah pinggiran. Ia adalah laboratorium urbanisasi Indonesia yang dinamis, menunjukkan bagaimana interaksi antara investasi, infrastruktur, dan kebijakan publik dapat menciptakan sebuah metropolis baru di jantung Banten.
Pada akhirnya, nasib Legok akan menjadi cerminan dari keberhasilan tata kelola perkotaan di Indonesia. Mengintegrasikan masyarakat lama dengan penghuni baru, mengatasi tantangan lingkungan akibat konversi lahan, dan memaksimalkan potensi infrastruktur transportasi yang ada, adalah tugas kolektif yang harus diemban. Legok berdiri tegak sebagai contoh bagaimana pinggiran kota dapat berubah menjadi pusat gravitasi ekonomi baru yang menjanjikan kemakmuran dan konektivitas bagi jutaan penduduknya. Keberlanjutan Legok terletak pada keseimbangan harmonis antara pembangunan fisik dan pembangunan manusia. Area ini akan terus menjadi sorotan utama dalam dekade-dekade mendatang, mengukuhkan posisinya sebagai simpul vital di Tangerang Raya.