Dalam bentangan waktu yang tak terbatas, di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, ada satu kata sederhana dalam bahasa kita yang mengandung bobot filosofis yang luar biasa: lagi. Kata ini bukan sekadar penanda pengulangan; ia adalah cerminan dari seluruh siklus keberadaan manusia, mulai dari keinginan terdalam untuk mengulang momen bahagia hingga dorongan primal untuk bangkit dan mencoba lagi setelah terjatuh. Ia mewakili janji, potensi, dan pengakuan bahwa perjalanan belum selesai.
Kita terperangkap dalam sebuah narasi berkelanjutan di mana kata lagi menjadi jangkar. Setiap pagi, kita memulai hari lagi. Kita belajar lagi. Kita mencintai lagi. Kita gagal lagi, dan yang paling penting, kita berharap lagi. Eksplorasi mendalam terhadap makna tunggal ini membawa kita pada pemahaman tentang sifat dasar manusia—bahwa kita adalah makhluk siklus, yang terus mencari, terus mencoba, dan terus berevolusi dalam pengulangan yang konstan.
Secara linguistik, lagi mengacu pada tindakan atau keadaan yang berulang. Namun, secara psikologis, ia jauh lebih kompleks. Kata ini berhubungan langsung dengan konsep kebiasaan, neuroplastisitas, dan perjuangan abadi antara keinginan untuk stabilitas dan kebutuhan akan pertumbuhan. Mengapa kita selalu ingin melakukan sesuatu lagi? Jawabannya terletak pada cara otak kita memproses pengulangan.
Kebiasaan adalah fondasi dari kehidupan kita, dan kebiasaan pada dasarnya adalah tindakan yang kita putuskan untuk dilakukan lagi dan lagi hingga menjadi otomatis. Charles Duhigg, dalam studinya tentang pembentukan kebiasaan, menjelaskan adanya sebuah loop: Pemicu (Cue) - Rutinitas (Routine) - Hadiah (Reward). Ketika kita merasakan hadiah dari sebuah tindakan (seperti kenikmatan dari secangkir kopi pagi), otak mencatatnya dan mendesak kita untuk mengulanginya lagi di hari berikutnya. Ini adalah efisiensi evolusioner—otak berusaha menghemat energi dengan menjadikan tindakan yang berhasil dilakukan secara otomatis.
Namun, loop ini juga bisa menjadi jebakan. Kita cenderung memilih apa yang kita kenal dan telah berhasil kita lakukan lagi sebelumnya, meskipun hal itu tidak lagi melayani pertumbuhan kita. Kenyamanan adalah hasil dari pengulangan yang berhasil. Kita makan makanan yang sama lagi. Kita mencari pola hubungan yang familier lagi. Kita menonton acara TV yang sama lagi, bukan karena itu yang terbaik, tetapi karena itu adalah yang paling sedikit menuntut energi mental. Inilah inti dari tantangan untuk berubah: untuk berkembang, kita harus melawan dorongan untuk melakukan apa yang nyaman lagi, dan sebaliknya, memilih tindakan baru yang menantang dan asing.
Salah satu penggunaan kata lagi yang paling emosional adalah dalam konteks memori dan nostalgia. Ketika kita berkata, "Saya ingin merasakan momen itu lagi," kita sedang memproyeksikan masa lalu yang ideal ke masa kini. Nostalgia adalah keinginan mendalam untuk mengulang suasana hati, rasa aman, atau kebahagiaan yang pernah dialami. Pengulangan ini, meskipun hanya di benak, memberikan rasa kontinuitas dalam identitas diri kita. Mengunjungi tempat lama lagi, mendengarkan lagu lama lagi—ini semua adalah upaya untuk menambal fragmentasi waktu, membuktikan bahwa kita masih diri kita yang dulu.
Psikologi memandang pengulangan memori sebagai mekanisme koping. Ketika dunia saat ini terasa terlalu kacau atau tidak pasti, kita mencari stabilitas dengan menarik ingatan yang telah teruji dan terverifikasi. Kita mengulang cerita tentang masa muda kita lagi, bukan hanya untuk hiburan, tetapi untuk memperkuat fondasi siapa kita di tengah perubahan yang tak terhindarkan. Keinginan untuk mengulang kebahagiaan adalah kekuatan pendorong yang fundamental dalam perencanaan masa depan; kita merancang hidup kita agar peluang merasakan hal baik itu muncul lagi.
Kehidupan manusia dapat dilihat sebagai serangkaian siklus yang terus berputar, di mana setiap siklus menuntut kita untuk berinvestasi, mengalami kemunduran, dan kemudian memulai lagi, seringkali dengan pengetahuan yang lebih kaya namun energi yang berbeda.
Pendidikan adalah contoh paling jelas dari pengulangan yang disengaja dan terstruktur. Setiap semester, kita harus belajar mata pelajaran baru lagi. Kita harus menghadapi ujian lagi. Pada tingkat makro, setiap kali seseorang memutuskan untuk mengambil kursus baru, beralih profesi, atau mengejar gelar lanjutan, mereka secara sadar memilih untuk kembali ke posisi 'siswa' lagi. Ini adalah pengakuan bahwa pengetahuan tidak pernah statis; apa yang diketahui hari ini mungkin perlu diperbarui atau diganti besok. Dorongan untuk belajar lagi adalah mesin kemajuan intelektual.
Dalam konteks modern, di mana laju teknologi sangat cepat, konsep belajar lagi (reskilling dan upskilling) telah menjadi keharusan. Seorang profesional yang sukses harus secara periodik meninggalkan zona keahlian yang nyaman dan dengan rendah hati kembali memulai dari nol lagi di bidang yang baru. Proses ini menuntut kerentanan, mengakui bahwa meskipun kita sudah ahli, kita harus menjadi pemula lagi untuk bertahan di pasar yang kompetitif.
Dunia kerja penuh dengan inisiasi dan pengulangan. Kita mengajukan lamaran kerja lagi setelah dipecat. Kita memulai proyek dari awal lagi setelah prototipe pertama gagal. Para inovator dan pengusaha secara fundamental adalah orang-orang yang merangkul siklus kegagalan dan memulai lagi. Edison mencoba ribuan kali; kegigihannya adalah manifestasi nyata dari kekuatan kata lagi.
Konsep ketahanan (resilience) tidak lain adalah kemampuan untuk secara sukarela dan efektif memilih untuk berjuang lagi. Jika kita tidak memiliki kemampuan untuk bangkit lagi setelah pukulan, kita akan stagnan. Kegagalan bukanlah akhir, melainkan titik istirahat yang mengharuskan analisis dan rekalibrasi, diikuti oleh tindakan yang sama, namun dengan penyesuaian yang vital. Setiap kali kita gagal, kita belajar mengapa tindakan spesifik itu tidak berhasil, dan ketika kita mencoba lagi, kita membawa pemahaman yang lebih baik tentang medan pertempuran.
Pengalaman kerja sering kali terasa seperti mengulangi hal yang sama dalam level kesulitan yang berbeda. Kita menghadiri rapat yang terasa seperti mengulang diskusi sebelumnya lagi. Kita menangani masalah yang memiliki resonansi dengan masalah yang kita selesaikan bulan lalu lagi. Keberhasilan profesional terletak pada kemampuan untuk melihat pengulangan ini bukan sebagai kebosanan, tetapi sebagai kesempatan untuk menyempurnakan respons kita, menjadikan setiap pengulangan sedikit lebih efisien, sedikit lebih bijaksana, dan sedikit lebih berhasil daripada yang sebelumnya. Ini adalah spiral naik, bukan lingkaran tertutup.
Mungkin aspek kehidupan yang paling rentan terhadap siklus lagi adalah cinta dan hubungan. Ketika hati hancur, tindakan yang paling berani bukanlah menghindar, melainkan mengambil keputusan untuk membuka diri terhadap potensi rasa sakit lagi, dengan harapan mengalami kegembiraan lagi. Ini adalah pertaruhan eksistensial.
Dalam hubungan jangka panjang, tantangan terbesar adalah menjaga agar rutinitas sehari-hari tidak membunuh gairah. Pasangan harus secara konstan memilih untuk berinvestasi lagi pada pasangannya, menemukan cara baru untuk berkomunikasi lagi, dan jatuh cinta pada orang yang sama lagi seiring mereka berdua berubah. Cinta yang dewasa adalah komitmen yang diulang setiap hari, keputusan yang diambil lagi dan lagi untuk tetap hadir dalam dinamika hubungan tersebut. Perayaan ulang tahun, peringatan, dan tradisi lainnya adalah pengulangan yang disengaja yang berfungsi untuk memperkuat ikatan dan mengingatkan kedua belah pihak mengapa mereka memilih untuk memulai perjalanan ini lagi dan tetap berada di dalamnya.
Bahkan setelah perpisahan yang menyakitkan, proses penyembuhan pada dasarnya adalah menemukan kemampuan untuk mempercayai lagi. Kita harus belajar mempercayai niat baik orang lain lagi. Kita harus belajar mempercayai penilaian kita sendiri lagi. Tanpa kemampuan untuk berkata 'lagi' di tengah kerentanan, manusia akan mengisolasi diri, membeku dalam ketakutan akan pengulangan rasa sakit masa lalu.
Filosofi telah lama bergumul dengan makna pengulangan. Dua aliran pemikiran utama memberikan pandangan yang kontras namun saling melengkapi tentang bagaimana kita harus menghadapi kenyataan bahwa hidup menuntut kita untuk melakukan berbagai hal lagi.
Friedrich Nietzsche memperkenalkan konsep ‘Pengulangan Abadi’ (Eternal Recurrence). Ide ini menanyakan: Apa yang akan terjadi jika Anda tahu bahwa Anda harus menjalani kehidupan yang sama persis, setiap kegembiraan, setiap kesedihan, setiap detail kecil, secara tak terbatas, lagi dan lagi? Reaksi Anda terhadap pemikiran ini menentukan apakah Anda telah menjalani hidup Anda dengan nilai yang sesungguhnya.
Jika respons Anda adalah kengerian, itu berarti Anda memiliki banyak hal yang ingin Anda ubah. Tetapi jika respons Anda adalah kegembiraan dan antusiasme—sebuah teriakan, "Ya! Mari kita jalani itu semua lagi!"—maka Anda telah mencapai Amor Fati, atau 'Cinta pada Takdir'. Ini adalah penerimaan total terhadap semua yang telah terjadi dan semua yang akan terjadi, termasuk semua kesalahan dan penyesalan. Konsep ini memposisikan lagi sebagai ujian tertinggi bagi autentisitas hidup. Jika Anda mencintai hidup Anda secara keseluruhan, maka Anda akan dengan senang hati menyambut pengulangan abadi itu lagi.
Nietzsche tidak hanya menantang kita untuk menerima masa lalu, tetapi juga untuk hidup sedemikian rupa di masa kini sehingga setiap tindakan yang kita lakukan adalah tindakan yang kita ingin abadikan, yang kita rela lakukan secara tak terbatas lagi. Ini memaksa kita untuk memberikan bobot moral dan eksistensial pada setiap pilihan kecil, mengubah setiap hari menjadi karya seni yang kita ingin lihat berulang lagi dan lagi di galeri waktu kosmik.
Sebaliknya, Stoikisme tidak berfokus pada pengulangan abadi, tetapi pada bagaimana kita mengelola pengulangan kesulitan. Para Stoik, seperti Marcus Aurelius dan Epictetus, mengajarkan pentingnya 'pra-meditasi' (premeditatio malorum)—latihan mental untuk membayangkan hal-hal buruk yang mungkin terjadi. Mereka melakukan ini bukan untuk pesimis, melainkan untuk mempersiapkan diri sehingga ketika kesulitan itu datang lagi (karena pasti akan datang lagi, sesuai siklus alam), kita tidak terkejut dan dapat merespons dengan kebajikan.
Dalam pandangan Stoik, penderitaan dan ketidaknyamanan adalah bagian dari nasib manusia yang akan berulang lagi seiring waktu. Oleh karena itu, kebijaksanaan sejati adalah membangun benteng mental sehingga ketika kehilangan terjadi lagi, atau ketika pengkhianatan muncul lagi, kita memiliki alat untuk mempertahankan ketenangan batin. Fokus mereka adalah pada apa yang dapat kita kendalikan: respons kita. Dengan demikian, setiap kali tantangan berulang, itu adalah kesempatan lagi untuk mempraktikkan kebajikan kita.
Konsep lagi telah bermetamorfosis secara radikal dalam lanskap teknologi saat ini. Pengulangan digital sering kali terjadi dengan kecepatan dan intensitas yang belum pernah terjadi sebelumnya, namun ironisnya, ia bisa mengikis kedalaman pengalaman.
Media sosial adalah mesin pengulangan utama. Kita memeriksa ponsel kita lagi. Kita menggulir umpan (feed) yang secara algoritmik telah dikonfigurasi untuk menampilkan konten yang serupa lagi. Tindakan ini memicu pelepasan dopamin kecil yang membuat kita ketagihan pada proses pengulangan itu sendiri. Ini adalah pengulangan yang dangkal—kita melakukan hal yang sama lagi, namun tanpa pertumbuhan atau penyempurnaan yang signifikan.
Loop dopamin yang dipicu oleh notifikasi dan konten singkat menciptakan rasa urgensi untuk terus mengulang tindakan pengecekan. Kita tidak mencari informasi baru; kita mencari konfirmasi emosional yang telah kita terima sebelumnya lagi. Hal ini berlawanan dengan pengulangan yang produktif, seperti latihan musik atau praktik meditasi, di mana pengulangan membawa pada penguasaan dan pemahaman yang lebih dalam. Pengulangan digital seringkali membuat kita merasa sibuk, namun pada akhirnya, kita hanya mengulang pola konsumsi tanpa menciptakan apa pun yang berarti.
Meskipun ada jebakan, teknologi juga memberikan kita kesempatan tak terbatas untuk memulai lagi. Gagal dalam suatu usaha di masa lalu tidak lagi mendefinisikan masa depan seseorang dalam cara yang permanen. Sebuah identitas online dapat diperbarui lagi dan lagi. Kita dapat mengikuti kursus online lagi setelah gagal yang pertama. Kita dapat mencoba ide bisnis yang berbeda lagi. Kebebasan digital untuk memulai lagi telah mengurangi beban stigma yang melekat pada kegagalan, membuat proses bangkit lagi menjadi lebih mudah diakses.
Namun, kita harus berhati-hati agar kebebasan untuk memulai lagi tidak disalahartikan sebagai alasan untuk tidak berkomitmen pada apa pun. Jika kita terus-menerus memulai lagi tanpa pernah mencapai penguasaan, kita hanya akan menjadi master dari permulaan. Pengulangan yang bermakna memerlukan dedikasi jangka panjang, bahkan ketika rasa kebaruan telah hilang. Kita harus memaksa diri untuk melakukan hal yang sulit lagi, bahkan setelah motivasi awal memudar.
Jika hidup pada dasarnya adalah rangkaian tindakan yang kita lakukan lagi, bagaimana kita memastikan bahwa pengulangan ini mengarah pada pertumbuhan, bukan stagnasi? Jawabannya terletak pada kualitas dari setiap tindakan yang diulang.
Pengulangan yang bermakna harus berupa ‘latihan yang disengaja’. Ini berbeda dengan hanya melakukan sesuatu lagi. Latihan yang disengaja melibatkan:
Konsep penguasaan (mastery) didasarkan pada akumulasi pengulangan yang sadar dan kritis. Seorang atlet tidak hanya melempar bola lagi; ia melempar bola 10.000 kali dengan fokus pada penyesuaian sudut pergelangan tangan, posisi kaki, dan lintasan angin. Hasilnya, tindakan yang diulang menjadi seni yang efisien dan hampir tanpa cela.
Agar pengulangan harian tidak terasa membosankan, kita harus menanamkan ritual ke dalam rutinitas kita. Rutinitas adalah serangkaian tindakan yang dilakukan lagi dan lagi; ritual adalah tindakan yang dilakukan lagi dengan makna dan kesadaran yang tinggi.
Misalnya, mandi adalah rutinitas. Tetapi jika kita menjadikannya ritual dengan menambahkan kesadaran penuh (mindfulness) terhadap suhu air, aroma sabun, dan sensasi membersihkan diri, itu menjadi saat meditasi dan pelepasan. Ketika kita melakukan tindakan yang sama lagi, tetapi dengan niat yang diperbaharui, kita memecahkan monoton dan menemukan keindahan dalam kontinuitas. Ritual pagi—minum teh, menulis jurnal, membaca buku—adalah cara kita secara sadar memilih untuk memulai hari lagi dengan tujuan yang jelas, bukan sekadar respons otomatis terhadap alarm.
Pengulangan adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia adalah mekanisme untuk mencapai penguasaan; di sisi lain, ia adalah pintu menuju obsesi atau stagnasi. Kita harus belajar membedakan kapan harus mengulang lagi dan kapan harus menghentikan pengulangan itu sama sekali.
Stagnasi terjadi ketika pengulangan kita menghasilkan hasil yang sama namun kita berharap pada hasil yang berbeda. Ini adalah definisi Albert Einstein tentang kegilaan: melakukan hal yang sama lagi dan mengharapkan perbedaan. Dalam hubungan, ini mungkin berarti mengulangi argumen yang sama lagi tanpa pernah mengubah pola komunikasi. Dalam karier, ini mungkin berarti melamar jenis pekerjaan yang sama lagi dengan resume yang sama, meskipun selalu ditolak.
Untuk keluar dari stagnasi, kita harus mengubah variabel pada pengulangan berikutnya. Kita harus mencoba metode baru lagi. Kita harus berbicara dengan orang yang berbeda lagi. Stagnasi adalah tanda bahwa kita telah berhenti belajar dari pengulangan kita. Kita melakukan tindakan fisik lagi, tetapi tanpa memasukkan umpan balik mental yang diperlukan untuk perbaikan.
Di sisi lain spektrum, obsesi muncul ketika kita mengulang tindakan secara kompulsif, mengejar kesempurnaan yang tidak realistis. Perfeksionis merasa harus mengulang tugas lagi dan lagi karena hasil yang pertama (atau kesepuluh) tidak pernah cukup baik. Obsesi menghambat kemajuan karena mencegah kita untuk bergerak maju. Kita terjebak dalam detail kecil dari satu tugas, mengulang koreksi minor, alih-alih menyelesaikan dan memulai tugas yang lebih besar lagi.
Kunci di sini adalah mengetahui kapan pengulangan telah mencapai titik pengembalian yang menurun (diminishing returns). Jika pengulangan ke-100 hanya memberikan peningkatan 0.01%, mungkin lebih bijaksana untuk menerima hasil saat ini dan memulai tantangan yang berbeda lagi. Pertumbuhan sejati terletak pada siklus menyelesaikan, menerima, dan kemudian berinovasi lagi.
Di luar ranah individu, kata lagi sangat mendominasi struktur ekonomi kita. Seluruh sistem kapitalisme didasarkan pada pengulangan konsumsi dan permintaan.
Pemasaran modern bekerja untuk meyakinkan kita bahwa kita membutuhkan versi terbaru dari produk yang sudah kita miliki lagi. Model tahunan telepon pintar, tren mode yang berputar lagi setiap dekade, dan makanan cepat saji yang dirancang untuk dikonsumsi lagi dan lagi, semuanya mendorong siklus permintaan yang tak pernah puas. Kita membeli lagi bukan karena kebutuhan, tetapi karena keinginan yang diciptakan oleh dorongan untuk memiliki yang terbaru, yang terbaik, atau yang paling nyaman.
Siklus konsumsi ini menciptakan sebuah dilema etika. Apakah kita benar-benar menginginkan barang tersebut lagi, atau apakah kita hanya merespons pemicu yang dibuat untuk mengulang tindakan pembelian? Kesadaran dalam mengonsumsi berarti memutuskan pengulangan yang dipaksakan dan hanya memilih untuk membeli lagi apa yang benar-benar menambah nilai pada hidup kita.
Dalam skala yang lebih besar, ekonomi bergerak dalam siklus yang berulang: boom, bust, pemulihan, dan boom lagi. Meskipun para ekonom dan regulator berusaha mencegah krisis, sejarah menunjukkan bahwa pola-pola spekulasi, euforia pasar, dan kehancuran finansial selalu terulang lagi, hanya dalam bentuk dan teknologi yang berbeda.
Setiap krisis adalah ujian bagi sistem untuk belajar dari kegagalan sebelumnya. Namun, siklus ini berulang karena faktor manusia (keserakahan, ketakutan, dan optimisme berlebihan) tidak pernah benar-benar berubah. Kita akan selalu mencoba trik lama lagi, berharap bahwa kali ini, kita akan mendapatkan hasil yang berbeda—sebuah demonstrasi tragis dari loop stagnasi yang disebutkan sebelumnya, tetapi pada skala global.
Pengulangan sering dikaitkan dengan kemonotonan dan kebosanan. Namun, dalam banyak tradisi spiritual dan praktik kreatif, pengulangan yang disengaja adalah jalan menuju pencerahan dan keindahan.
Meditasi adalah tindakan yang dilakukan lagi dan lagi: kembali ke napas. Pikiran akan mengembara (selalu mengembara lagi), dan tugas kita adalah secara lembut membawa perhatian kita kembali ke napas lagi. Ini adalah pengulangan yang paling fundamental dalam kesadaran. Pengulangan mantra—kata atau frasa yang diulang ribuan kali—bukanlah upaya untuk mencapai makna yang berbeda, tetapi untuk melampaui makna verbal sama sekali, mencapai keadaan kesadaran murni.
Dalam praktik ini, kata lagi adalah tindakan pengampunan diri. Kita mengizinkan diri kita untuk gagal fokus lagi, karena setiap kegagalan memberi kita kesempatan lagi untuk melakukan tindakan sadar, yaitu kembali. Semakin kita mengulang tindakan kembali, semakin kuat otot mental kita, dan semakin dalam pemahaman kita tentang sifat pikiran yang terus berulang.
Dalam seni, pengulangan adalah teknik dasar. Musik pop yang sukses mengulang chorus lagi untuk menciptakan daya tarik emosional. Dalam seni visual, pola berulang (seperti batik atau karya seni geometris) menciptakan ritme visual dan rasa harmoni. Komedian mengulang lelucon (running gag) lagi untuk mendapatkan tawa yang lebih besar karena penonton sekarang berada dalam 'lingkaran dalam' dari referensi tersebut.
Seniman yang bekerja dengan pengulangan menunjukkan bahwa tidak ada dua pengulangan yang benar-benar identik. Setiap goresan kuas yang diulang lagi membawa variasi kecil, kesalahan manusia, dan perubahan cahaya yang membuat setiap elemen unik. Keindahan dalam pengulangan artistik adalah perayaan ritme dan variasi halus dalam uniformitas.
Pada akhirnya, kekuatan terbesar dari kata lagi adalah kemampuannya untuk menawarkan pengampunan dan masa depan.
Kita dihadapkan pada peringatan sejarah berulang lagi dan lagi: perang, pandemi, ketidakadilan. Tujuan kita mengingat sejarah bukanlah untuk tenggelam di masa lalu, tetapi untuk menyadari bahwa kesalahan manusia cenderung berulang. Ketika kita melihat ketidakadilan yang sama terjadi lagi di era baru, itu adalah panggilan untuk bertindak, bukan hanya observasi. Kita harus belajar lagi mengapa kita gagal melindungi yang rentan sebelumnya, sehingga ketika tantangan itu muncul lagi, kita lebih siap.
Mengingat lagi adalah tugas kolektif untuk memastikan bahwa pengulangan yang merusak (seperti konflik dan intoleransi) tidak diizinkan untuk mendapatkan pijakan baru. Ini adalah perjuangan yang harus diulang oleh setiap generasi.
Aspek yang paling intim dari lagi adalah memaafkan diri sendiri. Kita akan membuat keputusan buruk lagi. Kita akan mengecewakan diri kita sendiri lagi. Perjuangan untuk pertumbuhan diri bukanlah proses linear; itu adalah rangkaian jatuh dan bangkit lagi.
Setiap pagi adalah kesempatan lagi. Setiap kesalahan adalah pelajaran lagi. Kemampuan untuk mengatakan pada diri sendiri, "Saya gagal kemarin, tetapi hari ini saya akan mencoba lagi dengan pemahaman yang lebih baik," adalah inti dari kesehatan mental dan ketahanan emosional. Kita harus mengizinkan diri kita sendiri untuk menjadi rentan lagi, untuk berharap lagi, dan untuk memulai lagi tanpa membawa beban penuh dari pengulangan masa lalu.
Pengulangan bukanlah kutukan, melainkan hadiah, sebab ia selalu memberikan kesempatan untuk kalibrasi ulang, penyempurnaan, dan pada akhirnya, penguasaan. Kita tidak ditakdirkan untuk mengulang kesalahan yang persis sama, tetapi kita ditakdirkan untuk mengulang proses mencoba. Ini adalah janji abadi dari kata lagi—bahwa selama kita masih bernapas, potensi untuk memulai adalah tak terbatas.
Tindakan kecil yang dilakukan dengan konsisten—seperti mencoba untuk menjadi sedikit lebih sabar lagi, menulis satu paragraf lagi, atau menelepon seseorang yang kita cintai lagi—adalah cara kita merajut permadani kehidupan yang kompleks dan berkelanjutan ini. Kita melanjutkan perjalanan, bukan karena kita harus, tetapi karena dalam setiap pengulangan, kita menemukan kembali siapa kita, apa yang kita hargai, dan apa yang kita harapkan. Kita hidup, dan kita memilih untuk hidup lagi, besok, dan hari-hari setelahnya.
Untuk memahami sepenuhnya bobot kata lagi, kita harus melihat bagaimana ia berinteraksi dengan konsep waktu. Orang Yunani kuno membedakan antara dua jenis waktu: Kronos, waktu linier dan sekuensial (detik, menit, jam), dan Kairos, waktu yang tepat atau momen yang signifikan.
Dalam bingkai Kronos, kata lagi sering terasa memberatkan. Kita bekerja lagi dari pukul 9 pagi hingga 5 sore. Kita makan malam pada waktu yang sama lagi. Pengulangan Kronos menciptakan rutinitas yang, jika tidak dihidupkan dengan tujuan, dapat terasa seperti treadmill yang tak berujung. Kualitas dari pengulangan Kronos ini sering kali menentukan apakah kita mengalami kehidupan sebagai penjara atau sebagai struktur yang stabil. Ketika kita terjebak dalam pengulangan Kronos tanpa Kairos, kita mengalami kebosanan eksistensial, yaitu perasaan bahwa setiap hari adalah salinan identik dari hari sebelumnya, hanya mengulang siklus yang sama lagi.
Sebaliknya, lagi yang kita inginkan terkait dengan Kairos. Ketika kita jatuh cinta, kita tidak ingin waktu berlalu, kita hanya ingin merasakan momen itu lagi. Ketika kita mencapai terobosan kreatif, kita mendambakan kondisi mental yang membawa kita ke sana lagi. Kairos adalah momen di mana waktu terasa berhenti karena makna dan intensitasnya begitu besar. Dorongan untuk mengulang momen Kairos adalah dorongan untuk menemukan kembali makna hidup di tengah kekosongan Kronos yang terus berputar.
Oleh karena itu, tindakan yang paling bernilai dalam hidup adalah upaya sadar untuk mengubah pengulangan Kronos (rutinitas harian) menjadi serangkaian potensi Kairos. Melakukan pekerjaan yang sama lagi, tetapi dengan perhatian penuh, dapat mengubah rutinitas menjadi ritual Kairos. Dalam proses ini, kita tidak hanya mengulang tindakan, tetapi kita mengulang penemuan.
Dari sudut pandang biologi, konsep lagi adalah mekanisme dasar pembelajaran dan kelangsungan hidup. Otak kita dirancang untuk mengulang.
Prinsip Hebbian, yang sering diringkas sebagai "neurons that fire together, wire together" (neuron yang aktif bersama akan terhubung bersama), menjelaskan mengapa pengulangan sangat kuat. Setiap kali kita melakukan tindakan, memikirkan pikiran, atau merasakan emosi lagi, kita memperkuat jalur saraf yang terlibat. Pengulangan ini membuat jalur tersebut lebih efisien dan lebih cepat diakses di masa depan.
Inilah mengapa keterampilan menjadi otomatis. Seorang pianis yang mengulang skala musik ribuan kali tidak perlu lagi memikirkan gerakan jarinya—jalur saraf telah diaspal dan diotomatisasi. Efek ini bekerja untuk kebiasaan baik dan buruk. Jika kita mengulang pikiran negatif lagi, kita memperkuat jalur depresi atau kecemasan. Jika kita mengulang tindakan belas kasih lagi, kita memperkuat jalur empati. Kata lagi adalah alat pahat biologis kita yang membentuk arsitektur otak kita seiring waktu.
Pengulangan adalah kunci transformasi memori jangka pendek menjadi memori jangka panjang (konsolidasi). Ketika kita meninjau materi pelajaran lagi, kita memicu proses di hippocampus yang menstabilkan memori tersebut. Tanpa pengulangan, informasi akan memudar. Ini bukan hanya berlaku untuk fakta, tetapi juga untuk pelajaran hidup. Kita harus mengulang refleksi tentang suatu peristiwa traumatis (melalui terapi atau jurnal) lagi dan lagi, bukan untuk menyakiti diri sendiri, tetapi untuk mengkonsolidasikan pelajaran dan mengurangi beban emosional yang melekat padanya. Proses penyembuhan, pada dasarnya, adalah pengulangan penerimaan.
Selain individu, masyarakat juga beroperasi dalam siklus pengulangan yang besar. Kita mengulang ritual budaya, perayaan, dan perjuangan sosial.
Perayaan keagamaan dan budaya adalah tindakan yang diulang lagi setiap periode waktu (Idul Fitri, Natal, panen). Pengulangan ini tidak hanya menghormati tradisi, tetapi juga menegaskan kembali identitas kolektif. Ketika suatu komunitas berkumpul untuk melakukan hal yang sama lagi, ikatan sosial diperkuat. Mereka mengingatkan diri mereka lagi mengapa mereka adalah satu kelompok, dan apa nilai-nilai fundamental yang mereka pegang bersama. Pengulangan ritual memberikan rasa keamanan dan prediktabilitas dalam dunia yang kacau.
Perjuangan untuk keadilan sosial sering kali terasa seperti siklus yang menyakitkan, di mana isu-isu diskriminasi, kesetaraan, dan hak asasi manusia harus diperjuangkan lagi oleh setiap generasi. Aktivis harus mengangkat suara mereka lagi. Demonstran harus turun ke jalan lagi. Hukum yang sudah disahkan mungkin ditantang lagi. Perjuangan ini adalah manifestasi dari lagi yang tak kenal lelah, sebuah penolakan untuk menerima status quo sebagai akhir cerita.
Optimisme sejati dalam perjuangan sosial bukan terletak pada harapan bahwa perjuangan akan berakhir, tetapi pada keyakinan bahwa kita akan selalu memiliki energi untuk mencoba lagi untuk mencapai masyarakat yang lebih adil, bahkan ketika kemunduran terjadi lagi. Ini adalah pengulangan yang diinformasikan oleh harapan yang kuat terhadap kemajuan moral.
Seorang penulis adalah master pengulangan. Seluruh kerangka narasi sering kali dibangun di sekitar motif, tema, dan konflik yang berulang.
Dalam sastra, pengulangan motif—seperti simbol, warna, atau frasa tertentu—memperkuat tema. Pembaca melihat simbol itu lagi, tetapi dalam konteks yang berbeda, dan pemahaman mereka semakin dalam. Ini adalah pengulangan yang memberikan tekstur dan kedalaman pada cerita. Karakter utama sering menghadapi konflik yang sama lagi, tetapi setiap kali, mereka membawa pengalaman dari pengulangan sebelumnya, yang akhirnya memungkinkan mereka untuk mencapai resolusi.
Proses menulis itu sendiri adalah serangkaian 'lagi.' Penulis harus menulis draf pertama. Kemudian, mereka harus merevisi lagi. Mereka mengedit lagi. Mereka membaca keras-keras lagi untuk mendengarkan ritmenya. Penolakan terhadap pengulangan ini adalah penolakan terhadap kualitas. Karya seni yang hebat hampir tidak pernah lahir dari upaya tunggal; mereka adalah hasil dari pengulangan yang sabar dan terkadang menyakitkan, hingga kata-kata itu terasa benar lagi.
Penulis harus menerima bahwa kegagalan untuk mendapatkan kalimat yang sempurna pada kali pertama adalah normal. Yang tidak normal adalah berhenti mencoba lagi. Mereka harus kembali ke meja kerja lagi, bahkan ketika rasa frustrasi memuncak, karena mereka tahu bahwa penguasaan hanya datang melalui iterasi yang tak terhitung jumlahnya.
Meskipun sebagian besar dari eksplorasi kita berfokus pada sisi positif dari lagi, adalah vital untuk membahas bagaimana kita mengakhiri siklus pengulangan yang tidak sehat. Ini adalah tentang mengatakan "tidak lagi" dengan tegas.
Langkah pertama untuk mengakhiri pengulangan yang merusak—seperti pola hubungan yang buruk, sabotase diri, atau penundaan kronis—adalah kesadaran. Kita harus melihat pola itu terjadi lagi, bukan sebagai takdir, tetapi sebagai pilihan. Ketika pemicu kebiasaan lama muncul lagi, kita harus secara sadar menciptakan jeda (gap) antara pemicu dan respons kita. Dalam jeda kecil itu, terletak kebebasan kita untuk memilih respons yang berbeda. Ini adalah momen di mana kita memutuskan untuk tidak mengulang rutinitas lama lagi.
Mengakhiri sebuah pengulangan lama seringkali berarti menggantinya dengan pengulangan baru. Manusia tidak suka kekosongan. Jika kita berhenti merokok lagi, kita perlu mengganti ritual merokok itu dengan ritual baru lagi, mungkin dengan berjalan kaki atau minum air. Penggantian yang disengaja ini—mengganti kebiasaan lama yang diulang lagi dengan kebiasaan baru yang diulang lagi—adalah cara paling efektif untuk restrukturisasi diri. Kita tidak menghindari pengulangan; kita hanya memilih pengulangan mana yang ingin kita abadikan.
Kata lagi adalah nafas. Setiap tarikan napas adalah tindakan mengulang proses dasar kehidupan. Di dalamnya terkandung seluruh spektrum pengalaman manusia: kegagalan yang harus kita hadapi lagi, cinta yang kita harap akan kita temukan lagi, dan pengetahuan yang harus kita pelajari lagi.
Kehidupan tidak menuntut kesempurnaan pada kali pertama, tetapi menuntut ketekunan pada kata lagi. Ketika kita melihat anak kecil jatuh saat belajar berjalan dan bangkit lagi, kita melihat manifestasi murni dari semangat manusia. Ketika seorang seniman mengulang sketsa yang sama lagi dan lagi, kita melihat dedikasi pada keindahan. Dan ketika seorang individu menghadapi trauma masa lalu dan memilih untuk membuka diri terhadap harapan lagi, kita melihat keberanian yang mendefinisikan eksistensi kita.
Semua yang berharga dalam hidup ini harus diulang: kebaikan, perhatian, dan rasa syukur. Kita harus mencari alasan untuk tersenyum lagi. Kita harus berupaya melakukan hal yang benar lagi, bahkan jika itu sulit. Kita adalah makhluk yang dibangun di atas fondasi pengulangan, dan makna hidup kita ditemukan di dalam kualitas dan kesadaran dari setiap 'lagi' yang kita pilih.
Hidup terus berjalan. Siklus berputar. Kita akan kembali ke titik ini, mungkin dalam bentuk yang berbeda, dengan tantangan yang berbeda. Dan ketika saat itu tiba, satu hal yang pasti: kita akan memiliki kesempatan lagi untuk memulai, lagi untuk mencintai, dan lagi untuk menjadi yang terbaik dari diri kita. Ini adalah janji abadi yang tersemat dalam satu kata sederhana: lagi.