Dalam khazanah bahasa Indonesia sehari-hari, terdapat satu kata yang seolah menjadi jembatan antara tindakan dan pertanggungjawaban: lagian. Lebih dari sekadar kata penghubung biasa, lagian adalah manifestasi linguistik dari kebutuhan mendasar manusia untuk melakukan justifikasi, sebuah upaya instan untuk menyeimbangkan neraca kognitif ketika terjadi konflik antara apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang telah dilakukan. Kata ini begitu akrab, begitu lentur, sehingga tanpa disadari ia membentuk pola komunikasi, memengaruhi cara kita menjelaskan kegagalan, penundaan, bahkan pilihan-pilihan radikal.
Artikel ini didedikasikan untuk menyelami akar, fungsi pragmatis, dan implikasi psikologis dari kata yang sederhana namun sarat makna ini. Kita akan melihat bagaimana lagian bukan hanya sekadar penambah kalimat, melainkan sebuah pintu gerbang menuju mekanisme pertahanan diri, rasionalisasi kolektif, dan dinamika sosial yang kompleks.
Secara etimologi, lagian merupakan pengembangan dari kata dasar 'lagi' yang mendapatkan sufiks '-an'. Dalam konteks aslinya, 'lagi' merujuk pada tambahan atau pengulangan (misalnya, 'tambah lagi'). Namun, ketika disandingkan dengan '-an', fungsinya bertransformasi menjadi penekanan atau penambahan alasan sekunder yang sering kali berfungsi sebagai penolak argumen sebelumnya. Kata ini beroperasi di garis batas antara konjungsi (kata hubung) dan interjeksi (kata seru), memberikan nada pembenaran yang khas.
Ketika kita menggunakan lagian, kita hampir selalu menyiratkan adanya alasan A yang sudah diketahui atau disajikan (baik secara eksplisit maupun implisit), dan kita memperkenalkan alasan B sebagai alasan pendukung (justifikasi) atau alasan penolak (ekskulpatif). Misalnya: "Saya tidak jadi membeli baju itu, lagian sudah punya yang mirip." Dalam struktur ini, alasan sekunder ("sudah punya yang mirip") jauh lebih kuat daripada yang tersirat ("uangnya kurang" atau "bahannya tidak bagus").
Linguis sering mengategorikan lagian sebagai penanda wacana (discourse marker) yang sangat kuat. Ini bukan sekadar menghubungkan klausa; ia menandai pergeseran fokus atau penguatan perspektif pembicara. Penanda wacana seperti ini memiliki kemampuan unik untuk memanipulasi konteks percakapan. Ketika seseorang menggunakan lagian, secara implisit ia meminta lawan bicara untuk menerima alasan yang disajikan sebagai alasan final, bahkan jika alasan tersebut lemah secara logis. Ini adalah upaya untuk segera menutup celah pertanyaan atau kritik. Tanpa adanya penanda wacana ini, kalimat pembenaran mungkin terdengar canggung atau defensif. Namun, dengan tambahan lagian, pembenaran tersebut terasa lebih terlegitimasi dalam alur percakapan sehari-hari.
Penggunaan lagian juga sering kali disertai dengan intonasi tertentu—nada suara yang sedikit terangkat, terkadang disertai dengan sedikit desahan atau putar mata—yang semakin memperjelas bahwa alasan yang diberikan adalah alasan yang sudah final dan seharusnya diterima tanpa perlu dipertanyakan lebih jauh. Lagian berfungsi sebagai penanda bahwa subjek telah mempertimbangkan masalah tersebut secara mendalam, dan alasan kedua yang muncul setelahnya adalah hasil dari pertimbangan tersebut, bahkan jika dalam kenyataannya, alasan itu baru muncul secara spontan.
Selain itu, varian regional penggunaan lagian menunjukkan adaptabilitasnya. Meskipun bentuk bakunya cukup jelas, dalam dialek tertentu, kata ini bisa beresonansi dengan nada yang lebih menantang atau bahkan agak agresif. Misalnya, dalam konteks perselisihan, "Kenapa kamu melakukan itu?" dijawab dengan "Ya, lagian kamu duluan yang memulai," menunjukkan bahwa lagian di sini berfungsi sebagai serangan balik, bukan hanya justifikasi diri. Ini menggarisbawahi fleksibilitas kata ini dalam melayani berbagai kebutuhan pragmatis dalam interaksi sosial. Dalam konteks ini, lagian tidak hanya menjelaskan, tetapi juga menuntut pertanggungjawaban dari pihak lain sebagai pembenaran atas tindakannya sendiri.
Inti dari fungsi semantik lagian adalah pengenalan alasan sekunder (kedua). Alasan yang didahului oleh lagian biasanya bukan alasan utama atau pemicu, tetapi alasan yang paling mudah dikomunikasikan, atau yang paling aman untuk disajikan kepada publik. Kita jarang menggunakan lagian untuk alasan yang paling jujur dan mendalam. Misalnya, alasan utama seseorang terlambat adalah karena ia kurang disiplin (alasan utama, sulit diakui). Alasan yang diucapkan adalah: "Saya terlambat, lagian macet sekali di jalan tadi pagi" (alasan sekunder, eksternal, dan mudah diterima). Alasan sekunder inilah yang sering kali digunakan sebagai peredam rasa bersalah. Lagian membantu mengalihkan fokus dari tanggung jawab pribadi ke faktor eksternal yang berada di luar kendali subjek.
Dalam praktik komunikasi, penggunaan lagian memiliki setidaknya tiga fungsi utama yang saling terkait erat, yang semuanya bertujuan untuk mengelola citra diri dan memanipulasi persepsi lawan bicara.
Fungsi yang paling umum dari lagian adalah membebaskan diri atau setidaknya meringankan beban kesalahan atas suatu tindakan yang dianggap kurang ideal. Ketika kita dihadapkan pada kritik atau tuntutan, otak kita secara otomatis mencari alasan eksternal. Lagian adalah kata kunci untuk meluncurkan alasan eksternal tersebut. Contoh klasik: "Aku lupa membalas pesannya. Lagian dia mengirimnya saat aku sedang rapat penting." Dengan menunjuk pada rapat penting (faktor eksternal), kesalahan pribadi (kelalaian) menjadi kurang signifikan.
Pola ini menunjukkan bahwa lagian bekerja sangat efektif dalam budaya yang sensitif terhadap kritik dan hierarki sosial. Dalam lingkungan di mana mengakui kesalahan secara langsung dapat merusak status atau harga diri, lagian menawarkan jalan keluar yang sopan namun persuasif. Ini memungkinkan subjek untuk mempertahankan martabat sambil tetap memberikan penjelasan yang dapat diterima secara sosial. Kata ini menciptakan ilusi pertanggungjawaban tanpa harus menanggung beban emosional penuh dari pengakuan kesalahan murni.
Lagian sering digunakan untuk memperkuat penolakan, terutama ketika penolakan tersebut datang setelah pertimbangan panjang atau setelah menghadapi bujukan. "Mengapa kamu tidak ikut proyek itu?" Jawabannya bukan hanya "Aku sibuk," tetapi diperkuat, "Aku tidak ikut, lagian aku sudah punya proyek lain yang lebih menantang." Di sini, lagian tidak hanya membenarkan penolakan, tetapi juga menaikkan nilai alasan penolakan tersebut ("lebih menantang") dibandingkan dengan tawaran yang ditolak. Ini adalah teknik persuasif halus untuk membuat keputusan pribadi terlihat lebih superior.
Dalam konteks penolakan, lagian sering kali berfungsi sebagai finalisasi emosional. Setelah melewati pergulatan batin (harus ikut atau tidak), subjek akhirnya memilih penolakan, dan lagian digunakan untuk membenarkan pilihan tersebut, baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri. Jika seseorang menyesali suatu pilihan, ia akan kembali ke alasan yang disajikan setelah kata lagian untuk menenangkan diri, menekankan bahwa pilihan tersebut adalah yang terbaik dalam kondisi yang ada, lagian risiko yang harus dihadapi jika mengambil pilihan lain jauh lebih besar.
Ketika seseorang merasa opininya tidak diterima atau dipertanyakan, lagian dapat berfungsi sebagai penutup diskursus. Misalnya, dalam debat politik: "Saya tetap memilih kandidat A. Lagian kandidat B punya rekam jejak yang kurang bersih." Dalam situasi ini, alasan yang diberikan setelah lagian mungkin sudah menjadi kesimpulan yang ditarik sejak awal, dan penggunaan lagian hanya bertujuan untuk memproyeksikan kepastian dan kekukuhan pandangan.
Ini menunjukkan aspek lagian yang paling kuat: kemampuannya untuk mengakhiri perdebatan. Dengan mengemukakan fakta atau persepsi yang dianggap tak terbantahkan setelah lagian, pembicara secara efektif menyatakan bahwa subjek ini sudah selesai didiskusikan dari perspektifnya. Siapa yang berani membantah pernyataan yang sudah divalidasi dengan lagian? Lagian, jika kita terus memperdebatkan hal ini, kita hanya akan membuang-buang waktu, bukan?
Penggunaan lagian sangat erat kaitannya dengan dua konsep psikologi utama: rasionalisasi dan disonansi kognitif. Lagian adalah alat bantu verbal yang mempercepat proses psikologis ini.
Disonansi kognitif adalah ketidaknyamanan mental yang dialami seseorang ketika memiliki dua atau lebih nilai, keyakinan, atau ide yang saling bertentangan. Misalnya: Keyakinan 1 (Saya adalah orang yang bertanggung jawab) versus Tindakan (Saya menunda pekerjaan penting). Untuk mengurangi ketidaknyamanan ini, seseorang akan mencari cara untuk menjustifikasi tindakan mereka. Di sinilah lagian berperan.
Contohnya, seorang perokok tahu bahwa merokok buruk (Keyakinan A), tetapi ia tetap merokok (Tindakan B). Untuk meredakan disonansi, ia mungkin berkata: "Saya tahu ini buruk, tapi lagian kakek saya merokok sampai umur 90 tahun, jadi genetik lebih penting." Lagian di sini berfungsi untuk memperkenalkan kognisi ketiga ("genetik lebih penting") yang merasionalkan konflik antara A dan B, memungkinkan individu untuk melanjutkan tindakan tanpa harus menghadapi beban psikologis penuh dari inkonsistensi tersebut.
Proses rasionalisasi yang didukung oleh lagian adalah sebuah jalan pintas mental. Alih-alih melakukan perubahan perilaku yang sulit, kita memilih untuk memanipulasi persepsi kita terhadap realitas. Jika saya gagal dalam ujian, mengakui bahwa saya kurang belajar menuntut perubahan besar di masa depan. Lebih mudah untuk berkata: "Saya gagal, lagian soalnya memang terlalu sulit, dan dosennya juga pilih kasih." Dengan mengalihkan kesalahan ke faktor eksternal yang tidak dapat dikendalikan, ketidaknyamanan diri segera lenyap. Lagian memberikan perlindungan sementara dari rasa bersalah atau kurangnya kompetensi. Inilah mengapa lagian sering muncul pada saat-saat kritis, di mana ego seseorang terancam.
Ketika lagian digunakan secara berulang untuk merasionalisasi penundaan atau perilaku yang tidak produktif, ia dapat memperkuat kebiasaan buruk. Setiap kali kita menggunakan lagian untuk alasan yang sama, kita melatih otak kita untuk mencari pembenaran, bukan solusi. Jika saya selalu berkata, "Saya belum mulai berolahraga, lagian saya lelah sepulang kerja," saya sedang membangun jalur saraf yang menghubungkan "kelelahan" dengan "pembenaran untuk tidak bertindak." Jangka panjangnya, ini menciptakan budaya pribadi yang berorientasi pada pembenaran daripada pada akuntabilitas.
Siklus rasionalisasi ini menjadi berbahaya ketika ia menggerogoti kemampuan individu untuk mengakui kekurangan atau kesalahan fundamental. Lagian, sebagai perisai verbal, mencegah masukan yang membangun. Jika semua kesalahan selalu dialihkan kepada kemacetan, cuaca, atau kebijakan yang buruk (semua hal yang muncul setelah lagian), maka tidak ada insentif untuk meningkatkan manajemen waktu atau perencanaan diri. Lagian, siapa yang suka disalahkan atas hal-hal yang benar-benar bisa dihindari?
Dalam masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi harmoni dan menghindari konfrontasi langsung (budaya wajah), lagian menjadi alat sosial yang sangat penting. Penggunaannya memungkinkan individu untuk menyuarakan ketidakpuasan atau menjustifikasi pilihan yang tidak populer tanpa harus merusak hubungan atau dianggap terlalu blak-blakan.
Bayangkan situasi di mana seorang teman menolak ajakan kumpul. Jawaban lugasnya mungkin: "Aku tidak mau ikut, kalian terlalu berisik." Jawaban ini konfrontatif dan berpotensi merusak hubungan. Jawaban yang dilembutkan dengan lagian adalah: "Maaf, aku tidak bisa ikut. Lagian aku harus bangun pagi sekali besok, dan lagian juga aku sudah bertemu kalian minggu lalu." Alasan yang disajikan setelah lagian bersifat tidak menyerang dan mengalihkan fokus ke kewajiban diri sendiri, sehingga harmoni tetap terjaga. Ini adalah bentuk diplomasi linguistik.
Penggunaan lagian dalam konteks sosial juga sering kali menjadi bentuk validasi kolektif. Ketika sekelompok orang sedang mengeluh tentang kebijakan publik, setiap orang akan menambahkan pembenaran mereka setelah lagian. "Harga kebutuhan naik, lagian gaji kita tidak naik juga." Ungkapan ini berfungsi ganda: sebagai keluhan dan sebagai pengikat komunitas yang memiliki rasa ketidakadilan yang sama. Semakin banyak alasan yang disajikan setelah lagian, semakin kuat rasa solidaritas kelompok.
Di lingkungan profesional, penggunaan lagian sering kali dikaitkan dengan manajemen kesan (impression management). Seorang karyawan yang terlambat menyelesaikan laporan mungkin merasa malu, tetapi ia tidak ingin dilihat sebagai orang yang tidak kompeten. Oleh karena itu, ia akan menggunakan lagian untuk menyalahkan sumber daya, sistem, atau rekan kerja:
“Laporan ini baru selesai sekarang, Pak/Bu. Lagian data yang kami butuhkan dari departemen lain baru masuk sore hari, dan lagian juga sistem server sempat mati total selama dua jam.”
Dalam lingkungan korporat, lagian menjadi alat untuk memindahkan tanggung jawab lateral. Ini melindungi individu dari sanksi langsung dan menyebarkan kesalahan ke dalam struktur organisasi yang lebih luas. Namun, jika digunakan secara berlebihan, lagian dapat merusak kredibilitas. Seseorang yang selalu memiliki alasan sekunder yang eksternal untuk setiap kegagalan akan dicap sebagai orang yang defensif atau tidak dewasa.
Bukan hanya dalam konteks kegagalan, lagian juga digunakan untuk merasionalisasi keuntungan. Ketika seorang karyawan mendapatkan promosi yang mungkin dianggap kontroversial oleh rekan-rekannya, dia mungkin akan berkata, “Saya dapat promosi ini, lagian saya memang sudah bekerja lembur selama enam bulan terakhir dan lagian tidak ada orang lain yang mau mengambil tanggung jawab sebesar ini.” Di sini, lagian digunakan untuk memvalidasi pencapaian, menepis anggapan adanya nepotisme atau keberuntungan semata, dan menekankan bahwa kenaikan tersebut adalah hasil dari usaha yang tidak terlihat.
Kehadiran media sosial dan budaya komunikasi serba cepat telah memperkuat peran lagian sebagai alat justifikasi instan. Dalam lingkungan daring, di mana kritik datang cepat dan anonim, kebutuhan akan perisai verbal menjadi sangat mendesak.
Ketika seseorang mengunggah konten yang memicu kontroversi, tanggapan pertama mereka sering kali mengandung lagian. Ini adalah reaksi defensif yang dirancang untuk mematikan api perdebatan sebelum menyebar. "Kenapa kamu membeli produk dari merek X yang kontroversial?" Jawabannya: "Saya beli karena butuh cepat. Lagian, produk merek lain harganya jauh lebih mahal." Dalam hitungan detik, lagian telah mengubah fokus dari isu etika (merek kontroversial) ke isu pragmatis (kebutuhan dan harga).
Di platform seperti Twitter atau Instagram, di mana karakter terbatas dan perhatian cepat beralih, lagian menjadi senjata yang efisien. Ia merangkum seluruh argumen pembelaan diri menjadi satu kata yang kuat, menghemat ruang dan waktu. Lagian menjadi ekspresi dari "Aku sudah memikirkannya, dan inilah kesimpulan yang harus kamu terima."
Dalam kolom komentar, kita sering melihat rantai panjang rasionalisasi yang dipicu oleh lagian. Jika seseorang mengkritik seorang figur publik karena liburan mewah, para pendukung akan langsung menyajikan alasan-alasan pendukung: "Biarkan saja dia liburan, lagian dia sudah bekerja keras selama setahun penuh. Dan lagian itu uang dia sendiri, bukan uang rakyat." Penggunaan berulang lagian di sini bertujuan untuk membangun konsensus opini dan mereduksi validitas kritik. Fenomena ini menunjukkan bagaimana lagian beroperasi sebagai penanda persetujuan dan dukungan terhadap narasi pembenaran yang dominan. Ini adalah legitimasi massal terhadap tindakan yang mungkin secara moral ambigu.
Budaya digital juga menunjukkan bahwa lagian sangat efektif dalam menyebarkan kebencian atau ketidaksetujuan yang dijustifikasi. Seseorang dapat mengungkapkan pandangan ekstrem, tetapi kemudian meredakannya dengan lagian yang terdengar logis. "Saya tidak setuju dengan kelompok itu. Lagian mereka sudah melanggar norma sosial yang berlaku di tempat kita sejak dulu kala." Dengan menyematkan norma tradisional setelah lagian, ujaran tersebut terasa lebih berbobot, meskipun hanya merupakan pembenaran emosional.
Meskipun lagian sangat berguna dalam interaksi sosial dan manajemen citra diri, ketergantungan kronis terhadapnya dapat menimbulkan konsekuensi negatif yang mendalam bagi perkembangan pribadi dan moralitas kolektif.
Ketika setiap tindakan, terutama yang negatif, selalu dapat dinetralisasi oleh alasan sekunder yang dieksternalisasi menggunakan lagian, kemampuan seseorang untuk menerima akuntabilitas pribadi akan terkikis. Akuntabilitas membutuhkan pengakuan jujur terhadap kesalahan utama: "Saya salah karena..." Namun, lagian mengubahnya menjadi: "Saya salah, tetapi alasannya adalah faktor X, Y, Z." Seiring waktu, individu tersebut belajar bahwa ia hampir tidak pernah menjadi sumber masalah, melainkan hanya korban dari kondisi yang terjadi. Lagian secara perlahan menghapus tautan antara kehendak bebas dan konsekuensi tindakan.
Dalam kehidupan sehari-hari, ini terlihat pada orang-orang yang terus-menerus mengulang kegagalan yang sama, karena mereka tidak pernah menganalisis akar masalah yang sebenarnya. Mengapa dia selalu kehabisan uang di akhir bulan? "Saya kehabisan uang, lagian diskonnya terlalu besar, dan lagian barang-barang tersebut adalah investasi jangka panjang." Siklus pembenaran ini mencegah introspeksi finansial yang jujur.
Ketika seseorang terbiasa menggunakan lagian untuk menjustifikasi tindakan yang merugikan orang lain, empati dapat berkurang. Dalam konteks konflik interpersonal, pengucapan lagian dapat menutup pintu rekonsiliasi. Jika A menyakiti B, dan A berkata, "Saya lakukan itu karena emosi, tapi lagian kamu juga yang membuat saya marah," pesan yang diterima B adalah bahwa penderitaannya dijustifikasi oleh kesalahan B. Ini menolak validitas emosi B dan menempatkan tanggung jawab kerusakan hubungan kembali pada korban.
Kekuatan lagian dalam mengalihkan kesalahan memungkinkan pelakunya untuk tidak sepenuhnya merasakan dampak negatif dari tindakan mereka. Lagian menjadi mekanisme pertahanan moral yang dingin, menjaga jarak emosional dari konsekuensi nyata yang dialami oleh orang lain. Bagi para pelaku yang kerap menggunakan justifikasi ini, lagian adalah sebuah katup pelepas moralitas. Lagian, jika saya tidak melakukan itu, saya yang akan menderita.
Mengingat kelenturan bahasa lisan, lagian memiliki beberapa turunan dan varian kontemporer yang berfungsi serupa, namun dengan nada atau konteks yang sedikit berbeda.
Dalam konteks yang lebih formal, lagian jarang muncul, digantikan oleh frasa yang lebih baku seperti "di samping itu," "selain itu," atau "perlu dipertimbangkan bahwa." Namun, bahkan dalam bahasa baku, fungsi rasionalisasi sekunder tetap ada. Misalnya, dalam surat resmi penolakan proposal: "Kami menghargai upaya Anda; namun, perlu dipertimbangkan bahwa (alasan sekunder) sumber daya kami saat ini terbatas." Meskipun tidak menggunakan kata lagian, fungsinya—pengenalan alasan pembenaran yang lebih mudah diterima—tetap konsisten.
Di sisi lain, dalam konteks informal dan terutama di kalangan generasi muda, lagian kadang disingkat atau divariasikan untuk menekankan kejengkelan atau kelelahan dalam memberikan pembenaran. Varian-varian ini, meskipun tidak baku, memperkuat fungsi pragmatisnya sebagai penutup diskusi atau penanda penolakan. Ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan justifikasi sekunder begitu universal sehingga bahasa terus beradaptasi untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan kata-kata yang lebih ringkas dan berdaya emosional tinggi.
Salah satu penggunaan lagian yang menarik adalah sebagai ekspresi kelelahan atau sikap apatis terhadap situasi yang tidak dapat diubah. Ketika seseorang menyerah pada suatu masalah, mereka mungkin menyudahi diskusi dengan lagian. "Percuma kita membahas politik, tidak akan ada yang berubah. Lagian juga pemimpinnya sama saja dari dulu." Dalam konteks ini, lagian bukan hanya memberikan alasan sekunder (bahwa pemimpinnya sama saja), tetapi juga mencerminkan sikap fatalistik yang membebaskan subjek dari kewajiban untuk peduli atau bertindak. Ini adalah rasionalisasi terhadap kepasifan.
Kelelahan sosial yang dijustifikasi oleh lagian menjadi indikator penting dari kekecewaan masyarakat terhadap sistem. Ketika harapan terlalu tinggi dan realitas terlalu rendah, lagian menjadi tempat berlindung. Mengapa harus berusaha keras? Lagian, hasilnya sudah bisa ditebak, dan lagian, tenaga yang dikeluarkan tidak sebanding dengan imbalan yang didapatkan. Sikap lagian yang berorientasi pada kepasifan ini adalah tantangan bagi perubahan sosial yang aktif.
Penggunaan lagian dengan nuansa kelelahan ini juga sering muncul dalam narasi kegagalan kolektif. Ketika sebuah tim atau proyek tidak berhasil, alih-alih melakukan post-mortem yang jujur, anggota tim mungkin cenderung menggunakan lagian untuk menyalurkan rasa frustrasi tanpa menunjuk jari secara eksplisit. "Proyek ini gagal total. Lagian, anggarannya memang dipotong dari awal, dan lagian tenggat waktunya juga tidak realistis." Justifikasi berlapis ini memungkinkan seluruh kelompok untuk bergerak maju tanpa harus menanggung sepenuhnya beban kegagalan, karena lagian, semua orang tahu ada masalah eksternal sejak lama.
Pertanyaan mendasar yang muncul dari analisis ini adalah: Mengapa manusia, khususnya dalam budaya tertentu, memiliki kebutuhan yang begitu kuat untuk menyajikan alasan sekunder daripada hanya menerima fakta atau bertanggung jawab secara langsung? Jawabannya terletak pada konstruksi diri dan keintiman sosial.
Setiap individu secara konstan berusaha mempertahankan narasi koheren tentang siapa dirinya. Kita ingin percaya bahwa kita adalah orang yang cerdas, baik, dan bertanggung jawab. Ketika tindakan kita (misalnya, membuat kesalahan bodoh) bertentangan dengan narasi ini, muncullah ancaman terhadap ego. Lagian bertindak sebagai editor naratif yang cepat. Ia memasukkan alasan yang 'masuk akal' ke dalam alur cerita, sehingga cerita tentang diri kita tetap utuh dan positif. Jika saya cerdas, maka kesalahan saya pasti disebabkan oleh faktor luar. Lagian, siapa yang bisa bekerja di bawah tekanan sebesar itu?
Kehadiran lagian dalam narasi adalah upaya untuk menyembunyikan kontradiksi internal. Kita tidak ingin dilihat sebagai makhluk yang sembarangan, inkonsisten, atau ceroboh. Oleh karena itu, kita menggunakan lagian untuk menyingkirkan kemungkinan interpretasi negatif tersebut. Dalam banyak kasus, alasan yang muncul setelah lagian adalah alasan yang idealnya ingin kita percayai tentang diri kita sendiri, bahkan jika itu tidak sepenuhnya benar. Lagian adalah representasi dari 'diri ideal' yang berusaha kita pertahankan di hadapan dunia luar.
Jika kita menelisik lebih dalam, narasi koheren ini sangat penting untuk fungsi mental. Tanpa narasi yang stabil, kita akan terus-menerus diganggu oleh keraguan dan konflik internal. Lagian menyediakan stabilitas temporer. Ini adalah semacam plester linguistik untuk luka ego. Setiap kali kita dihadapkan pada bukti bahwa kita mungkin tidak sebaik yang kita pikirkan, lagian hadir untuk memberikan penawar. Lagian adalah sebuah janji bahwa, terlepas dari apa yang baru saja terjadi, pada dasarnya kita adalah orang baik yang hanya mengalami nasib buruk karena faktor X.
Hidup penuh dengan ketidakpastian. Banyak hal terjadi di luar kendali kita. Namun, secara psikologis, manusia membutuhkan rasa kontrol. Ketika kita gagal, sangat menakutkan untuk mengakui, "Saya gagal karena saya memang tidak mampu," atau "Saya gagal tanpa alasan yang jelas." Kedua pengakuan ini menyiratkan kerentanan dan kurangnya kontrol. Lagian menawarkan kelegaan dengan menciptakan ilusi kontrol. Jika saya gagal karena 'macet' (lagian macet), maka saya tahu penyebabnya, dan setidaknya di teori, saya bisa mengendalikannya di masa depan (misalnya, berangkat lebih awal).
Dengan mengaitkan kegagalan pada alasan spesifik yang muncul setelah lagian, kita mengubah peristiwa acak atau kegagalan internal menjadi masalah yang dapat diprediksi dan dikelola. Ini adalah mekanisme adaptasi, meskipun tidak selalu sehat. Lagian membantu kita tidur nyenyak di malam hari, yakin bahwa kegagalan kita bukanlah refleksi fundamental dari diri kita, tetapi semata-mata intervensi faktor eksternal yang kebetulan muncul saat itu.
Mengenali pola penggunaan lagian adalah langkah pertama menuju akuntabilitas yang lebih jujur. Jika kita ingin menjadi pribadi yang lebih otentik dan efektif, kita harus belajar untuk mengidentifikasi kapan lagian muncul sebagai perisai dan kapan ia muncul sebagai alasan yang sah.
Latihan yang berharga adalah mengganti frasa "lagian..." dengan frasa yang lebih langsung dan akuntabel, seperti: "Alasan utama saya adalah..." atau "Saya bertanggung jawab atas..." Ini memaksa pembicara untuk mengidentifikasi pemicu sesungguhnya di balik tindakan atau penolakan. Mengapa Anda terlambat? Alih-alih: "Saya terlambat, lagian kopi saya tumpah," ubah menjadi: "Saya terlambat, dan alasan utamanya adalah saya kurang efisien dalam manajemen waktu pagi ini." Ini adalah proses yang menyakitkan, namun esensial untuk pertumbuhan.
Ketika kita secara sadar mengurangi penggunaan lagian, kita mulai menerima bahwa tidak semua tindakan memerlukan justifikasi yang muluk-muluk, dan terkadang, yang paling jujur adalah yang paling singkat: "Saya lupa. Saya akan memperbaikinya." Mengurangi ketergantungan pada lagian berarti mengakui bahwa kelemahan manusia adalah bagian inheren dari keberadaan, dan tidak setiap kelemahan memerlukan elaborasi pertahanan diri yang berlebihan. Lagian, bukankah kejujuran pada diri sendiri adalah bentuk kekuatan tertinggi?
Tentu saja, menuntut penghapusan total kata lagian dari leksikon adalah hal yang tidak realistis dan tidak pragmatis. Dalam beberapa konteks sosial, lagian tetap diperlukan untuk menjaga kehalusan dan menghindari konflik yang tidak perlu. Kuncinya adalah kesadaran: mengenali kapan kita menggunakan lagian untuk diplomasi sosial (sehat) dan kapan kita menggunakannya untuk menipu diri sendiri (tidak sehat).
Ketika lagian digunakan untuk merasionalisasi kegagalan yang berulang, itu adalah alarm. Ketika lagian digunakan sesekali untuk meredam kekecewaan kecil atau menjaga perasaan teman, itu adalah alat sosial yang fleksibel. Seni komunikasi yang matang adalah mengetahui batas antara pembenaran diri yang merusak dan diplomasi linguistik yang konstruktif. Lagian adalah cermin yang memantulkan sejauh mana kita bersedia jujur kepada diri sendiri dan kepada dunia.
Kesadaran ini mencakup pengakuan bahwa tidak semua hal yang terjadi dalam hidup dapat dikontrol. Terkadang, alasan sekunder yang muncul setelah lagian memang merupakan faktor yang valid, dan tidak adil bagi diri sendiri untuk memikul beban penuh. Misalnya, jika pekerjaan memang menumpuk di luar batas kemampuan manusia, berkata, "Saya belum menyelesaikan semuanya, lagian pekerjaan ini setara untuk tiga orang," adalah sebuah validasi terhadap kondisi objektif, bukan hanya pembenaran malas. Penggunaan lagian yang sehat adalah ketika ia berfungsi sebagai penegasan realitas yang objektif, bukan sebagai pelarian dari tanggung jawab subjektif. Lagian, membedakan keduanya membutuhkan kebijaksanaan yang tidak sedikit.
Kata lagian, yang tampak begitu sederhana dan kasual, ternyata memegang kunci bagi pemahaman kompleksitas interaksi manusia. Ia adalah bukti linguistik akan perang abadi antara ego dan akuntabilitas. Lagian adalah pelumas sosial yang mencegah gesekan interpersonal, namun pada saat yang sama, ia adalah peredam internal yang meredakan ketidaknyamanan kognitif. Dalam setiap penggunaannya, tersembunyi sebuah cerita tentang pilihan yang dibuat, penyesalan yang diredam, dan citra diri yang coba dipertahankan.
Dengan demikian, lagian bukanlah sekadar kata. Ia adalah mekanisme pertahanan sosial, katup pelepas emosional, dan penanda wacana yang kuat yang membentuk karakter percakapan sehari-hari di Indonesia. Kita menggunakan lagian karena kita adalah makhluk yang tidak sempurna, yang selalu mencari alasan terbaik (meskipun bukan yang paling jujur) untuk menjelaskan kekurangan kita. Dan lagian, hidup akan terasa jauh lebih sulit jika kita harus jujur seratus persen, bukan?
Lagian adalah penegas bahwa komunikasi manusia selalu memiliki lapisan ganda—apa yang diucapkan dan apa yang dijustifikasi. Dan dalam ruang pembenaran sekunder itulah, kita menemukan sisi kemanusiaan kita yang paling rentan namun paling ulet.
***