Kwashiorkor: Malnutrisi Akut Parah Akibat Defisiensi Protein Mendasar

Ilustrasi anak penderita Kwashiorkor dengan pembengkakan (edema) pada perut dan kaki, menunjukkan kekurangan protein akut. Kwashiorkor: Edema Parah

Fokus utama Kwashiorkor adalah pembengkakan (edema), yang seringkali menutupi hilangnya massa otot yang parah.

Kwashiorkor merupakan salah satu bentuk paling akut dan berbahaya dari Malnutrisi Akut Parah (Severe Acute Malnutrition/SAM), yang secara historis sering diidentifikasi di wilayah di mana pola makan dominan sangat kekurangan protein, meskipun kalori secara keseluruhan mungkin memadai. Istilah “Kwashiorkor” sendiri berasal dari bahasa Ga di Ghana, yang secara kasar diterjemahkan sebagai “penyakit yang menimpa anak ketika anak berikutnya lahir,” menyoroti bagaimana penghentian menyusui dini (dan transisi ke makanan pokok yang berbasis karbohidrat rendah protein) memicu kondisi ini.

Berbeda tajam dengan Marasmus, yang ditandai oleh defisit energi total dan gambaran klinis yang kering dan kurus, Kwashiorkor ditandai oleh edema atau pembengkakan yang luas, terutama pada ekstremitas dan wajah. Kehadiran edema inilah yang sering kali membuat anak Kwashiorkor terlihat montok atau gemuk di mata awam, padahal di balik pembengkakan tersebut tersembunyi atrofi otot dan organ yang parah. Pemahaman mendalam tentang patofisiologi Kwashiorkor—dari ketidakseimbangan tekanan onkotik hingga kerusakan radikal bebas dan disfungsi hati—sangat penting untuk implementasi protokol penanganan yang efektif dan kritis.

I. Definisi dan Klasifikasi Malnutrisi Protein-Energi

Malnutrisi Protein-Energi (MPE) merujuk pada spektrum kondisi defisiensi nutrisi yang disebabkan oleh asupan energi atau protein yang tidak memadai, atau kombinasi keduanya. Kwashiorkor menduduki posisi ekstrem dalam spektrum ini. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan Kwashiorkor sebagai bentuk SAM di mana terdapat edema bilateral, yang dimulai dari bagian bawah tubuh (kaki) dan dapat menyebar hingga ke wajah dan kelopak mata.

A. Perbedaan Kunci antara Kwashiorkor dan Marasmus

Meskipun keduanya adalah bentuk SAM, etiologi dan manifestasi klinis mereka berbeda secara substansial, yang mempengaruhi pendekatan terapeutik.

  1. Kwashiorkor (Predominan Defisiensi Protein): Ditandai oleh edema bilateral; hati berlemak (hepatomegali); perubahan kulit dan rambut yang khas (dermatosis, hipopigmentasi); dan sifat apatis atau iritabel. Pengukuran berat badan seringkali menyesatkan karena adanya cairan edema yang signifikan.
  2. Marasmus (Defisiensi Energi Total): Ditandai oleh kurus kering yang ekstrem (wasting); hilangnya lemak subkutan dan massa otot yang jelas terlihat; anak tampak seperti "orang tua" atau "tengkorak hidup"; dan umumnya tidak ada edema.
  3. Kwashiorkor Marasmik: Merupakan kombinasi dari keduanya, di mana anak menunjukkan tanda-tanda wasting yang parah (Marasmus) sekaligus memiliki edema (Kwashiorkor). Kondisi ini memiliki prognosis terburuk dan memerlukan manajemen yang paling hati-hati.

Signifikansi klinis perbedaan ini terletak pada tatalaksana cairan. Pasien Kwashiorkor dengan edema memerlukan pembatasan cairan yang sangat ketat dan pengawasan ketat terhadap tanda-tanda gagal jantung, suatu risiko yang jauh lebih rendah pada Marasmus murni.

II. Etiologi dan Mekanisme Patofisiologi Kwashiorkor

Kwashiorkor bukan sekadar masalah asupan protein yang rendah; ini adalah sindrom kompleks yang melibatkan respons inflamasi sistemik, disfungsi seluler, dan kegagalan adaptasi tubuh terhadap stres gizi berkepanjangan. Pemahaman mekanisme ini esensial untuk memahami mengapa manifestasinya begitu unik.

A. Peran Sentral Defisiensi Protein dan Tekanan Onkotik

Protein, terutama albumin, diproduksi di hati dan bertanggung jawab untuk mempertahankan tekanan onkotik dalam plasma darah. Tekanan onkotik adalah gaya yang menarik air kembali ke kapiler dari jaringan interstisial.

Pada Kwashiorkor, defisiensi protein yang parah, ditambah dengan gangguan fungsi hati, menyebabkan penurunan drastis kadar albumin serum (hipoalbuminemia). Ketika tekanan onkotik plasma turun, cairan tidak lagi ditarik kembali ke pembuluh darah secara efisien, menyebabkan cairan bocor keluar ke ruang interstisial. Akumulasi cairan ini memanifestasikan diri sebagai edema, tanda klinis utama Kwashiorkor.

B. Disfungsi Hati dan Lemak Hati (Fatty Liver)

Salah satu ciri khas Kwashiorkor adalah hepatomegali (pembesaran hati) yang disebabkan oleh steatosis (penumpukan lemak). Protein sangat penting untuk sintesis lipoprotein (seperti VLDL) yang bertindak sebagai kendaraan untuk mengangkut trigliserida keluar dari hati menuju jaringan perifer.

Ketika protein sangat kurang, sintesis apoprotein yang dibutuhkan untuk VLDL terhambat. Akibatnya, lemak—yang terus dimobilisasi dari cadangan tubuh oleh respons stres—terperangkap di dalam hepatosit (sel hati). Akumulasi lemak ini mengganggu fungsi hati secara lebih lanjut, memperburuk hipoalbuminemia, dan menciptakan lingkaran setan disfungsi organ.

C. Stres Oksidatif dan Kerusakan Seluler

Penelitian modern menunjukkan bahwa Kwashiorkor melibatkan kerusakan seluler yang signifikan yang disebabkan oleh stres oksidatif yang tidak terkontrol. Gizi buruk sering dikaitkan dengan defisiensi mikronutrien antioksidan penting seperti vitamin E, selenium, dan zinc.

Kekurangan antioksidan ini, ditambah dengan adanya infeksi yang meningkatkan produksi radikal bebas, menyebabkan lipid peroksidasi dan kerusakan membran sel. Kerusakan oksidatif ini diyakini berkontribusi pada perubahan kulit dan rambut yang khas, serta disfungsi mitokondria yang mendasari kelemahan otot dan apatis.

D. Perubahan Hormonal dan Imunodefisiensi

Pada Kwashiorkor, terjadi perubahan dramatis dalam profil endokrin:

  1. Insulin: Kadar insulin cenderung rendah atau fungsinya terganggu, karena protein yang dibutuhkan untuk respons insulin berkurang.
  2. Kortisol: Kadar kortisol (hormon stres) seringkali tinggi, yang mendorong katabolisme (pemecahan) protein otot untuk menyediakan asam amino esensial. Ironisnya, katabolisme ini menyediakan bahan baku yang dibutuhkan untuk respons imun dan sintesis protein vital, tetapi juga mempercepat kehilangan massa tubuh tanpa lemak (Lean Body Mass/LBM).
  3. Sistem Imun: Kwashiorkor menyebabkan imunosupresi berat. Penurunan kadar protein, terutama imunoglobulin dan komplemen, melemahkan respons kekebalan humoral dan seluler. Walaupun respons inflamasi awal mungkin tampak kuat (ditunjukkan dengan kadar sitokin tertentu yang tinggi), kemampuan tubuh untuk membersihkan infeksi dan menghasilkan memori imun terganggu parah. Inilah sebabnya mengapa infeksi (seperti sepsis, diare, dan pneumonia) adalah penyebab kematian utama pada anak Kwashiorkor.

III. Manifestasi Klinis Kwashiorkor: Tanda Khas

Pengenalan klinis Kwashiorkor bergantung pada identifikasi tanda-tanda spesifik yang membedakannya dari bentuk malnutrisi lain. Edema adalah kriteria wajib, tetapi manifestasi lain memberikan petunjuk penting tentang keparahan dan kebutuhan nutrisi spesifik.

A. Edema Bilateral (Tanda Kardinal)

Edema biasanya dimulai dari punggung kaki dan pergelangan kaki. Jika edema terdeteksi pada kaki, pemeriksaan harus dilanjutkan ke tangan, lengan, kelopak mata, dan, dalam kasus yang parah, skrotum atau vulva. Edema dinilai menggunakan sistem '+' berdasarkan lokasinya:

Edema ini sering kali menutupi wasting otot yang mendasarinya, memberikan gambaran yang menyesatkan tentang status gizi total anak. Pengukuran berat badan yang akurat harus memperhitungkan pengurangan berat cairan setelah stabilisasi.

B. Perubahan Kulit dan Dermatosis

Kwashiorkor menghasilkan dermatosis yang khas, sering disebut sebagai ‘dermatosis cat terkelupas’ (flaky paint dermatosis). Daerah yang mengalami tekanan atau gesekan (seperti lipatan paha, bokong, dan di belakang lutut) awalnya menjadi hiperpigmentasi (gelap) dan kemudian pecah atau mengelupas, meninggalkan area merah muda, halus, dan rentan terhadap infeksi sekunder.

Defisiensi zinc dan asam lemak esensial berperan besar dalam patogenesis dermatosis ini, yang dapat menyebabkan kehilangan cairan dan risiko sepsis yang tinggi.

C. Perubahan Rambut

Rambut menjadi tipis, jarang, mudah rontok, dan memiliki tekstur yang kasar atau seperti jerami. Kekurangan pigmen protein menyebabkan hipopigmentasi, menciptakan pita berwarna terang pada rambut yang tumbuh selama periode malnutrisi, dan pita berwarna normal yang tumbuh selama periode nutrisi yang lebih baik. Fenomena ini, yang disebut ‘tanda bendera’ (flag sign), menunjukkan riwayat fluktuasi gizi.

D. Perubahan Perilaku dan Psikologis

Anak-anak penderita Kwashiorkor hampir selalu menunjukkan apatis yang parah. Mereka pasif, kurang memiliki rasa ingin tahu, tidak responsif terhadap stimulasi sosial, dan seringkali terlalu lelah untuk menangis atau menunjukkan emosi yang wajar. Mereka juga cenderung mengalami anoreksia (kehilangan nafsu makan), yang menambah tantangan dalam proses rehabilitasi nutrisi.

E. Gastrointestinal dan Hati

Pembengkakan abdomen (perut buncit) sering terlihat, sebagian karena edema, dan sebagian karena hepatomegali (hati yang membesar dan berlemak). Mereka juga sering menderita diare, baik karena infeksi atau karena atrofi mukosa usus, yang merusak kemampuan penyerapan nutrisi (malabsorpsi).

IV. Diagnosis dan Penilaian Komprehensif

Diagnosis Kwashiorkor terutama bersifat klinis, didasarkan pada adanya edema bilateral. Namun, penilaian komprehensif diperlukan untuk mengidentifikasi komplikasi yang mengancam jiwa, yang seringkali tersembunyi.

A. Kriteria WHO untuk Malnutrisi Akut Parah (SAM)

Seorang anak didiagnosis SAM jika memenuhi salah satu dari kriteria berikut:

  1. Wasting berat (Berat badan menurut tinggi badan/PB < -3 SD).
  2. Lingkar Lengan Atas (LILA/MUAC) < 11.5 cm.
  3. Adanya edema bilateral (Kwashiorkor).

B. Penilaian Klinis dan Laboratorium

Karena Kwashiorkor adalah keadaan katabolik yang kritis, penilaian awal harus fokus pada komplikasi yang mematikan:

Penilaian elektrolit menunjukkan defisit total tubuh yang besar pada kalium dan magnesium, meskipun kadar serum mungkin tampak normal karena adanya pergeseran ke ruang ekstraseluler. Kekurangan ini sangat penting karena dapat menyebabkan aritmia jantung yang fatal selama fase awal pengobatan.

V. Tatalaksana Kwashiorkor Berdasarkan Protokol WHO

Manajemen Kwashiorkor harus dibagi menjadi tiga fase klinis terpisah, yang masing-masing memiliki tujuan nutrisi dan medis yang sangat spesifik. Protokol WHO menekankan pendekatan bertahap, menghindari overfeeding yang dapat menyebabkan gagal jantung, dan menghindari pemberian diuretik yang dapat memperburuk ketidakseimbangan elektrolit.

Fase 1: Stabilisasi (Hari 1–7)

Fase ini bertujuan untuk menstabilkan kondisi mengancam nyawa. Ini adalah fase kritis di mana risiko kematian sangat tinggi.

1. Penanganan Hipoglikemia

Hipoglikemia (gula darah < 3.0 mmol/L atau 54 mg/dL) harus segera diatasi, karena dapat menyebabkan kerusakan otak permanen atau kematian. Protokol standar melibatkan pemberian bolus glukosa 50 mL larutan glukosa 10% secara oral atau melalui pipa nasogastrik (NGT), diikuti dengan pemberian makan setiap 2 jam.

2. Pencegahan dan Penanganan Hipotermia

Suhu tubuh harus dijaga di atas 36.5°C. Anak harus dihangatkan dengan pakaian berlapis, selimut hangat, atau kontak kulit-ke-kulit dengan ibu (Kangaroo Mother Care/KMC). Anak Kwashiorkor sering tidak mampu mempertahankan suhu karena kurangnya lemak subkutan dan disfungsi metabolisme.

3. Penanganan Dehidrasi dan Syok

Penanganan dehidrasi harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Edema membuat penilaian dehidrasi sulit. Cairan IV seringkali kontraindikasi kecuali ada syok yang jelas, karena risiko gagal jantung. Jika syok ada, berikan cairan IV perlahan (misalnya 10 ml/kg Ringer Laktat selama 1 jam, diulangi jika perlu) sambil memantau tanda-tanda gagal jantung.

Untuk dehidrasi tanpa syok, digunakan ReSoMal (Rehydration Solution for Malnutrition), yang memiliki konsentrasi natrium rendah dan kalium tinggi, sesuai dengan kebutuhan elektrolit anak malnutrisi. Pemberian cairan harus sangat terbatas (5 mL/kg setiap 30 menit selama 2 jam pertama, diikuti 5-10 mL/kg setiap 4-6 jam).

4. Koreksi Elektrolit dan Mikronutrien

Semua pasien Kwashiorkor mengalami defisiensi kalium dan magnesium, yang merupakan kunci untuk pemulihan fungsi seluler. Kalium ditambahkan ke semua formula nutrisi (seperti F-75) dan magnesium sulfat diberikan harian.

Suplemen mikronutrien (termasuk zinc, tembaga, dan vitamin A—jika tidak ada keracunan vitamin A) harus diberikan segera, kecuali zat besi, yang ditunda sampai Fase 2 karena dapat memperburuk stres oksidatif dan infeksi selama fase akut.

5. Pengobatan Infeksi

Infeksi seringkali asimtomatik pada anak Kwashiorkor karena respons inflamasi yang tumpul. Oleh karena itu, pengobatan antibiotik spektrum luas (misalnya Ampisilin dan Gentamisin) diberikan secara rutin pada semua kasus SAM saat rawat inap, tanpa menunggu konfirmasi bakteriologis.

6. Pemberian Formula Awal (F-75)

Selama stabilisasi, energi dan protein harus diberikan dalam jumlah yang sangat konservatif (100 kkal/kgBB/hari dan 1-1.5 g protein/kgBB/hari). Tujuannya adalah membangun kembali fungsi seluler dan metabolisme tanpa membebani hati atau jantung. Formula F-75 (75 kkal/100 mL) digunakan untuk tujuan ini, diberikan dalam porsi kecil, sering (setiap 2-3 jam), karena kapasitas lambung anak yang terbatas dan risiko muntah.

Fase 2: Rehabilitasi (Transisi dan Pertumbuhan Cepat)

Fase rehabilitasi dimulai ketika nafsu makan anak kembali (dicek menggunakan tes nafsu makan), edema mulai berkurang, dan anak menjadi lebih waspada dan interaktif. Ini biasanya terjadi setelah 7 hari perawatan awal.

1. Transisi ke Formula F-100 atau RUTF

Asupan energi ditingkatkan secara progresif, sering kali hingga 150-200 kkal/kgBB/hari dan protein 4-6 g/kgBB/hari, untuk memungkinkan pertumbuhan cepat (catch-up growth).

2. Pemantauan Pertumbuhan dan Edema

Berat badan harus dipantau setiap hari. Edema harus diukur dan didokumentasikan. Penurunan edema (diukur dari penurunan berat badan yang cepat) adalah tanda bahwa terapi nutrisi berjalan dengan baik. Begitu edema hilang, penambahan berat badan yang konsisten (>10 g/kg/hari) adalah tujuan utama. Kegagalan mencapai penambahan berat badan yang memadai menandakan infeksi yang tidak diobati atau asupan yang tidak cukup.

3. Pengobatan Anemia dan Zat Besi

Suplemen zat besi, yang sebelumnya ditunda di Fase 1, kini mulai diberikan karena cadangan antioksidan tubuh telah diperbaiki dan risiko stres oksidatif akibat zat besi telah menurun. Zat besi diperlukan untuk pemulihan anemia dan sintesis hemoglobin.

4. Stimulasi Sensorik dan Emosional

Karena apatis adalah ciri khas Kwashiorkor, stimulasi psikososial sangat penting untuk perkembangan kognitif dan perilaku. Anak harus diajak bermain, diberi perhatian, dan didorong untuk berinteraksi. Peran ibu atau pengasuh sangat penting dalam fase ini.

Fase 3: Tindak Lanjut dan Pencegahan Relaps

Anak dianggap pulih dan siap dipulangkan ketika edema telah hilang total, berat badan telah mencapai setidaknya 85-90% dari berat badan target (berat badan menurut tinggi badan/PB > -2 SD), dan anak aktif serta waspada.

Nutrisi harus diprioritaskan di rumah, termasuk edukasi tentang menyusui yang berkelanjutan (jika usia memungkinkan), pola makan keluarga yang diperkaya protein dan energi, dan tindak lanjut rutin di klinik.

VI. Komplikasi Utama dan Tantangan Penanganan

Kwashiorkor penuh dengan komplikasi yang meningkatkan mortalitas. Bahkan dengan penanganan yang optimal, angka kematian masih dapat mencapai 5-15%.

A. Gagal Jantung Kongestif

Miokardium (otot jantung) anak Kwashiorkor seringkali atrofi dan lemah. Pemberian cairan yang berlebihan, terutama melalui infus IV, atau pemberian diet tinggi energi yang terlalu cepat di Fase 1, dapat menyebabkan kelebihan volume mendadak dan gagal jantung akut. Edema Kwashiorkor bukan disebabkan oleh gagal jantung, tetapi gagal jantung adalah komplikasi serius dari penanganan yang salah.

B. Sepsis dan Infeksi Oportunistik

Imunodefisiensi yang parah membuat anak Kwashiorkor sangat rentan terhadap infeksi. Diagnosis sepsis sulit karena kurangnya respons demam (pireksia) yang normal. Oleh karena itu, pengobatan infeksi secara empiris adalah aturan baku.

C. Gangguan Fungsi Ginjal

Pada kasus yang parah, hipovolemia (walaupun tersembunyi oleh edema) dan syok dapat menyebabkan Nekrosis Tubular Akut (ATN), yang memerlukan manajemen cairan yang lebih kompleks dan ketat.

D. Konsekuensi Jangka Panjang pada Perkembangan Otak

Masa-masa kritis perkembangan otak terjadi selama tahun-tahun awal kehidupan, periode yang sering tumpang tindih dengan Kwashiorkor. Malnutrisi parah dapat menyebabkan atrofi otak, penurunan myelinisasi, dan penurunan jumlah sel glial. Konsekuensinya dapat berupa defisit kognitif, masalah belajar, dan masalah perilaku yang menetap seumur hidup, bahkan setelah pemulihan fisik yang sukses.

VII. Pencegahan dan Intervensi Tingkat Komunitas

Mengatasi Kwashiorkor memerlukan intervensi multilevel yang melampaui perawatan klinis, berfokus pada akar penyebab sosial, ekonomi, dan lingkungan.

A. Promosi Menyusui Eksklusif dan Pemberian Makanan Pelengkap yang Tepat

Menyusui eksklusif selama enam bulan pertama kehidupan memberikan perlindungan protein dan antibodi yang optimal. Penghentian menyusui dini, terutama ketika digantikan oleh bubur berbasis karbohidrat yang tidak diperkaya, adalah pemicu utama Kwashiorkor. Edukasi mengenai pemberian makanan pelengkap (MPASI) yang kaya protein, mikronutrien, dan kepadatan energi setelah usia enam bulan sangat vital.

B. Peningkatan Keamanan Pangan dan Akses Nutrisi

Kwashiorkor adalah penyakit kemiskinan dan ketidakamanan pangan. Program intervensi harus mencakup:

C. Sanitasi, Higiene, dan Pengendalian Penyakit

Infeksi berulang mempercepat onset Kwashiorkor. Peningkatan akses ke air bersih dan sanitasi, serta imunisasi rutin (terutama campak, yang sering memicu SAM), secara signifikan mengurangi beban penyakit ini. Lingkaran setan antara infeksi dan malnutrisi harus diputus melalui praktik kesehatan masyarakat yang kuat.

VIII. Perspektif Penelitian Terkini dan Tantangan Masa Depan

Meskipun protokol WHO telah menyelamatkan jutaan nyawa, pemulihan Kwashiorkor masih memiliki tantangan besar, mendorong penelitian baru untuk memahami faktor-faktor yang memperburuk kondisi ini.

A. Peran Mikrobioma Usus

Penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa anak-anak dengan Kwashiorkor memiliki mikrobioma usus yang imatur atau tidak sehat, yang menghambat penyerapan nutrisi, memperburuk kerusakan mukosa usus, dan mungkin berkontribusi pada edema. Intervensi yang melibatkan probiotik dan prebiotik spesifik (Simbiotik) sedang diuji untuk melihat apakah perbaikan flora usus dapat mempercepat pemulihan dan mengurangi relaps.

B. Penargetan Kerusakan Oksidatif

Mengingat peran sentral stres oksidatif, penelitian sedang mengeksplorasi penggunaan antioksidan dosis tinggi di Fase 1 pengobatan. Ada upaya untuk mengidentifikasi biomaker yang lebih spesifik untuk menilai tingkat kerusakan oksidatif dan menyesuaikan terapi mikronutrien secara lebih individual.

C. Biokimia Edema yang Lebih Dalam

Meskipun hipoalbuminemia adalah penyebab utama edema, penelitian terus mengeksplorasi faktor-faktor sekunder, termasuk regulasi hormon antidiuretik (ADH) dan peran sitokin pro-inflamasi dalam meningkatkan permeabilitas kapiler, yang dapat menjelaskan mengapa edema seringkali sulit dihilangkan bahkan setelah kadar protein mulai membaik.

Tantangan terbesar dalam penanganan global Kwashiorkor tetaplah implementasi yang konsisten dan pemantauan yang ketat di fasilitas kesehatan primer. Keberhasilan dalam memerangi Kwashiorkor akan diukur tidak hanya dari tingkat kelangsungan hidup anak-anak di rumah sakit, tetapi juga dari kemampuan masyarakat untuk mencegahnya terjadi lagi melalui keamanan pangan, edukasi nutrisi, dan lingkungan yang sehat.

IX. Rincian Lanjutan Patofisiologi Seluler Kwashiorkor

Untuk memahami sepenuhnya mengapa tubuh merespons defisiensi protein dengan edema dan perubahan kulit yang parah, kita harus melihat lebih dekat pada tingkat seluler dan biokimia, khususnya bagaimana defisit protein memengaruhi sintesis enzim, integritas mitokondria, dan komunikasi antar sel.

A. Gangguan Sintesis Protein Struktural dan Enzimatik

Protein diet adalah sumber asam amino, yang merupakan bahan baku untuk segala sesuatu mulai dari hemoglobin hingga enzim pencernaan dan hormon. Pada Kwashiorkor, prioritas tubuh bergeser dramatis: asam amino yang tersedia diarahkan untuk mempertahankan fungsi-fungsi vital yang paling penting (misalnya, beberapa aspek respons imun dan sintesis protein koagulasi). Namun, protein yang kurang vital, termasuk protein struktural otot, protein yang bertanggung jawab atas perbaikan DNA, dan banyak enzim metabolisme, dikorbankan.

Kekurangan enzim pencernaan, seperti lipase dan amilase, menyebabkan malabsorpsi nutrisi yang parah. Walaupun anak mungkin mengonsumsi makanan yang tersedia, kemampuan usus untuk memecah dan menyerap nutrisi tersebut sangat terganggu. Atrofi vili usus, akibat kekurangan protein untuk pembaruan sel epitel yang cepat, semakin memperburuk malabsorpsi dan diare kronis, menciptakan lingkaran umpan balik negatif yang mempercepat wasting.

B. Disfungsi Mitokondria dan Energi Seluler

Protein adalah komponen penting dari rantai transpor elektron di mitokondria, yang merupakan pembangkit tenaga sel. Defisiensi protein dan stres oksidatif pada Kwashiorkor secara langsung merusak mitokondria, mengurangi produksi ATP (energi seluler).

Penurunan energi ini menjelaskan sebagian besar manifestasi klinis yang tampak: Apatis terjadi karena otak tidak memiliki energi yang cukup untuk mempertahankan kesadaran dan interaksi normal. Kelemahan otot bukan hanya karena kehilangan massa, tetapi juga karena otot yang tersisa tidak dapat berfungsi secara efisien tanpa ATP yang memadai. Penurunan fungsi pompa natrium-kalium yang membutuhkan ATP pada membran sel juga berkontribusi pada edema, karena kegagalan mekanisme ini menyebabkan retensi natrium dan air di dalam sel dan ruang interstisial.

C. Peran Mikronutrien dalam Patogenesis Kulit

Dermatosis ‘cat terkelupas’ pada Kwashiorkor bukan sekadar kekurangan vitamin A, tetapi lebih kompleks. Defisiensi Zinc (Zn) adalah faktor kunci. Zinc adalah kofaktor untuk ratusan enzim, termasuk enzim yang terlibat dalam sintesis DNA, perbaikan jaringan, dan integritas membran sel.

Kekurangan zinc menghambat pembaruan cepat sel epitel, menyebabkan lapisan atas kulit (epidermis) tidak dapat diperbaiki dengan cepat. Ketika sel-sel ini mati, mereka terkelupas dalam bentuk yang khas, meninggalkan luka terbuka yang sangat rentan terhadap infeksi bakteri dan jamur. Koreksi cepat defisiensi zinc adalah komponen vital dalam mengobati dermatosis ini, meskipun koreksi harus dilakukan sebagai bagian dari paket mikronutrien yang hati-hati.

X. Protokol Rinci Manajemen Cairan dan Elektrolit dalam SAM

Pengelolaan cairan pada Kwashiorkor adalah salah satu aspek yang paling berbahaya dan rawan kesalahan dalam pengobatan. Kesalahan dalam keseimbangan natrium dan kalium dapat berakibat fatal.

A. Bahaya Pemberian Cairan IV Standar

Pada anak yang malnutrisi, terutama Kwashiorkor, total air tubuh seringkali meningkat (edema), tetapi air intraseluler (di dalam sel) dan volume plasma efektif seringkali menurun (dehidrasi intraseluler). Tubuh secara total kelebihan natrium, meskipun kadar natrium serum mungkin rendah (hiponatremia dilusional).

Pemberian cairan IV yang mengandung natrium tinggi, seperti normal saline, akan memperburuk edema, membebani jantung yang sudah lemah, dan menyebabkan gagal jantung kongestif atau komplikasi jantung fatal.

B. Penggunaan ReSoMal (Rehydration Solution for Malnutrition)

ReSoMal diformulasikan untuk mengatasi kebutuhan unik Kwashiorkor:

  1. Natrium Rendah: Mencegah retensi air lebih lanjut.
  2. Kalium Tinggi: Mengoreksi defisit kalium total tubuh yang parah.
  3. Gula Rendah: Mengurangi risiko hiperglikemia yang dapat menyebabkan diuresis osmotik.
  4. Zinc dan Magnesium: Ditambahkan untuk mendukung pemulihan seluler.

Pemberian ReSoMal dilakukan secara perlahan, sering, dan dalam jumlah yang sangat terbatas, diawasi ketat untuk menghindari memicu edema paru atau gagal jantung. Hanya 5 mL/kg berat badan selama 30 menit, dan anak terus dipantau untuk tanda-tanda gagal jantung (seperti peningkatan denyut jantung atau takipnea).

C. Koreksi Kalium dan Magnesium Secara Taktis

Defisiensi kalium (hipokalemia) bertanggung jawab atas kelemahan otot, termasuk miokardium, dan juga berkontribusi pada ileus paralitik (kelumpuhan usus). Kalium harus ditambahkan ke semua formula nutrisi (F-75 dan F-100) dengan konsentrasi yang tinggi (misalnya, 3-4 mmol K+/100 mL formula). Koreksi ini dilakukan secara bertahap selama dua minggu pertama, bukan dengan bolus cepat. Demikian pula, magnesium sulfat harus diberikan karena kekurangan magnesium mengganggu kemampuan sel untuk menahan kalium, memperburuk defisit kalium.

XI. Mekanisme Edema yang Refrakter dan Penggunaan Diuretik

Edema pada Kwashiorkor biasanya akan hilang secara spontan dalam beberapa hari atau minggu setelah inisiasi diet F-75/F-100 dan koreksi mikronutrien, tanpa perlu diuretik. Diuretik seperti Furosemide umumnya kontraindikasi.

A. Kontraindikasi Diuretik

Pemberian diuretik akan menghilangkan cairan dari ruang ekstraseluler, tetapi juga dapat memicu kehilangan elektrolit lebih lanjut, terutama kalium, memperburuk ketidakseimbangan yang sudah ada. Penghilangan cairan yang cepat juga dapat menyebabkan penurunan volume plasma yang drastis, meningkatkan risiko syok hipovolemik (meskipun anak terlihat bengkak).

B. Kapan Diuretik Dipertimbangkan?

Diuretik hanya dipertimbangkan dalam situasi yang sangat spesifik dan jarang, yaitu jika edema sangat masif sehingga mengganggu fungsi pernapasan atau jika edema tidak menunjukkan penurunan sama sekali setelah 10-14 hari perawatan stabilisasi, mengindikasikan mungkin ada komplikasi ginjal atau jantung yang mendasarinya (edema refrakter). Bahkan dalam kasus ini, diuretik harus diberikan dalam dosis sangat rendah dan bersamaan dengan suplemen kalium dan magnesium.

XII. Dampak Sosial, Ekonomi, dan Kebijakan Publik

Kwashiorkor tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial-ekonomi di mana ia terjadi. Ini adalah penanda ekstrem dari kesenjangan pangan dan akses terhadap pendidikan kesehatan.

A. Siklus Kemiskinan dan Malnutrisi

Keluarga yang hidup dalam kemiskinan sering kali hanya mampu membeli makanan pokok yang murah, yang cenderung tinggi karbohidrat (seperti singkong atau ubi jalar) tetapi sangat rendah protein. Ketika anak kedua lahir, sumber protein utama (ASI) dihentikan, dan anak pertama dialihkan ke makanan pokok keluarga yang tidak memadai, langsung memicu Kwashiorkor.

Selain itu, penyakit pada anak Kwashiorkor membutuhkan perawatan intensif yang memakan waktu dan biaya, memaksa orang tua mengambil cuti dari pekerjaan, dan menghabiskan sumber daya keluarga yang langka, sehingga memperkuat siklus kemiskinan.

B. Krisis Lingkungan dan Konflik

Kwashiorkor memiliki prevalensi yang jauh lebih tinggi di zona konflik, di mana rantai pasokan makanan terputus, sanitasi hancur, dan akses ke layanan kesehatan minimal. Perubahan iklim yang menyebabkan kekeringan atau banjir juga menghancurkan hasil panen, mengurangi ketersediaan protein dan memperburuk kualitas diet, secara tidak langsung meningkatkan insiden Kwashiorkor di masyarakat agraris yang rentan.

C. Peran Pendidikan Gizi

Pendidikan gizi yang efektif harus berfokus pada solusi lokal. Ini melibatkan pengajaran tentang bagaimana menggabungkan makanan lokal yang terjangkau (misalnya, kacang-kacangan, telur, ikan kecil) untuk menciptakan diet pelengkap yang seimbang. Program-program ini juga harus menargetkan penghilangan mitos budaya terkait makanan, seperti larangan memberikan jenis makanan tertentu kepada anak kecil atau ibu hamil, yang seringkali membatasi asupan protein.

Kwashiorkor mewakili kegagalan sistemik, baik biologis maupun sosial. Secara biologis, tubuh gagal beradaptasi dengan defisit protein yang parah, yang berujung pada kerusakan hati dan edema. Secara sosial, ini adalah cerminan kegagalan masyarakat dalam menyediakan akses merata terhadap nutrisi berkualitas dan lingkungan yang bersih. Tatalaksana yang berhasil memerlukan intervensi medis yang teliti, fokus pada stabilisasi metabolik, diikuti oleh rehabilitasi nutrisi yang intensif, serta komitmen jangka panjang untuk mengatasi akar masalah melalui kebijakan keamanan pangan dan pembangunan kesehatan masyarakat.

Dengan menerapkan secara ketat protokol manajemen SAM (Fase Stabilisasi, Fase Rehabilitasi, dan Fase Tindak Lanjut) yang dikembangkan oleh WHO, dan memastikan bahwa suplemen mikronutrien vital (terutama zinc, kalium, dan magnesium) diberikan secara tepat waktu, prognosis Kwashiorkor dapat ditingkatkan secara signifikan. Namun, pencegahan tetap menjadi benteng pertahanan utama, yang menuntut investasi berkelanjutan dalam pendidikan kesehatan, air bersih, dan pengentasan kemiskinan global.

Pemulihan dari Kwashiorkor adalah proses yang panjang dan seringkali rentan terhadap kekambuhan. Oleh karena itu, periode setelah pemulangan pasien memerlukan pengawasan gizi yang intensif, termasuk pemberian RUTF berbasis komunitas, pemantauan berat badan, dan dukungan psikososial yang berkelanjutan untuk memastikan anak mencapai potensi pertumbuhan dan perkembangan kognitif penuh mereka, memutus rantai dampak malnutrisi pada generasi berikutnya. Fokus pada nutrisi 1000 hari pertama kehidupan, dimulai dari konsepsi hingga usia dua tahun, adalah strategi pencegahan yang paling kuat terhadap Kwashiorkor dan semua bentuk malnutrisi kronis.

XIII. Riwayat Penemuan dan Evolusi Pemahaman Kwashiorkor

Meskipun kondisi malnutrisi telah ada sepanjang sejarah manusia, Kwashiorkor sebagai entitas klinis yang terpisah baru secara formal diakui pada awal abad ke-20. Penemuan dan deskripsi oleh Dr. Cicely Williams pada tahun 1930-an di Ghana (saat itu bernama Gold Coast) merupakan titik balik yang krusial. Williams mengamati sekelompok anak yang menunjukkan gejala unik: perut buncit dan pembengkakan, berbeda dengan anak-anak yang hanya kurus kering akibat kelaparan total. Dia dengan tepat menghubungkan kondisi ini dengan defisiensi protein setelah penyapihan dini, bertepatan dengan kedatangan saudara kandung yang baru.

Selama beberapa dekade berikutnya, terjadi perdebatan akademis intensif mengenai etiologi pasti. Awalnya, teori difokuskan murni pada kekurangan protein. Namun, penelitian lebih lanjut di tahun 1960-an dan 1970-an mulai mengungkapkan bahwa Kwashiorkor adalah sindrom yang lebih kompleks, diperburuk oleh infeksi, stres oksidatif, dan defisiensi mikronutrien. Studi ini menggeser fokus dari protein murni ke kebutuhan akan diet yang seimbang, diperkaya dengan mineral dan vitamin penting. Pemahaman bahwa infeksi dan malnutrisi membentuk sinergi mematikan (infeksi memperburuk malnutrisi, dan malnutrisi memperburuk infeksi) menjadi landasan bagi protokol WHO modern, yang mewajibkan pengobatan infeksi secara rutin, bahkan tanpa gejala klinis yang jelas.

A. Pergeseran Paradigma dari Protein ke Mikronutrien

Pergeseran besar dalam penanganan terjadi ketika disadari bahwa memberikan protein tinggi terlalu cepat kepada pasien Kwashiorkor di fase akut justru meningkatkan mortalitas. Ini karena hati yang berlemak dan rusak tidak mampu memetabolisme protein dalam jumlah besar, menyebabkan uremia dan komplikasi metabolik lainnya. Pengenalan F-75 (formula rendah protein/energi untuk stabilisasi) dan F-100 (formula tinggi protein/energi untuk rehabilitasi) oleh protokol WHO merupakan adaptasi klinis terhadap pemahaman bahwa pemulihan fungsi organ harus didahulukan sebelum upaya pertumbuhan cepat dilakukan.

XIV. Detil Mengenai Atrofi dan Disfungsi Organ

Kwashiorkor, meskipun tampak terpusat pada edema, pada intinya adalah kegagalan organ multisistem yang disebabkan oleh kekurangan protein untuk pemeliharaan sel.

A. Atrofi Timus dan Sistem Limfatik

Timus adalah organ utama dalam pematangan sel T, komponen kunci dari imunitas seluler. Pada Kwashiorkor, timus mengalami atrofi yang parah dan cepat. Hal ini sangat merusak kemampuan tubuh untuk melawan patogen intraseluler (seperti virus dan beberapa bakteri). Ini adalah alasan mendasar mengapa anak Kwashiorkor sangat rentan terhadap infeksi oportunistik dan seringkali gagal menunjukkan respons yang memadai terhadap vaksinasi atau pengobatan infeksi standar.

B. Dampak pada Jantung dan Sirkulasi

Kardiomiopati gizi adalah komplikasi yang kurang dihargai namun mematikan. Kurangnya protein menyebabkan atrofi miokardial (otot jantung), mengurangi kekuatan kontraktil jantung. Jantung yang sudah lemah ini sangat rentan terhadap beban volume. Penurunan albumin juga mengurangi volume darah efektif karena kebocoran cairan ke ruang interstisial. Akibatnya, pasien memiliki volume plasma yang rendah dan output jantung yang rendah, membuat mereka rentan terhadap syok. Ketika cairan rehidrasi diberikan, jantung yang lemah tidak dapat menanganinya, yang menyebabkan gagal jantung kongestif mendadak, ditandai dengan peningkatan tiba-tiba pada laju pernapasan (takipnea) dan rales paru.

C. Perubahan Ginjal dan Retensi Cairan

Walaupun edema disebabkan oleh hipoalbuminemia, ginjal juga memainkan peran aktif dalam memperburuk retensi cairan. Tekanan darah rendah akibat volume plasma yang rendah memicu sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (RAAS). Aldosteron menyebabkan retensi natrium dan air oleh ginjal. Karena ginjal tidak memiliki mekanisme yang memadai untuk membuang natrium yang berlebihan (terutama karena kerusakan pada pompa natrium), tubuh tetap dalam keadaan retensi cairan yang parah, semakin memperkuat edema. Ini adalah salah satu alasan mengapa diuretik standar tidak hanya tidak efektif tetapi juga berbahaya, karena mereka tidak mengatasi akar masalah natrium/kalium intraseluler dan tekanan onkotik.

XV. Manajemen Anoreksia dan Pemberian Makan Terapeutik

Anoreksia (keengganan untuk makan) adalah salah satu penghalang terbesar menuju pemulihan dan tanda klinis yang harus diatasi segera di Fase 1.

A. Menilai dan Mengatasi Anoreksia

Nafsu makan harus dinilai secara rutin. Jika anak menolak makan F-75, ini adalah indikasi bahwa kondisi klinisnya terlalu kritis. Anoreksia pada tahap awal sering kali berarti anak menderita infeksi yang tidak terdiagnosis atau komplikasi metabolik (seperti syok atau hipoglikemia).

Jika anoreksia parah, F-75 harus diberikan melalui selang nasogastrik (NGT). Pemberian NGT harus lambat dan terbagi dalam porsi kecil untuk mencegah aspirasi atau distensi lambung. Pemberian makan yang dipaksakan atau dalam jumlah besar harus dihindari sama sekali.

B. Transisi ke RUTF Berbasis Komunitas

Setelah anak mencapai Fase 2 dan nafsu makan telah pulih, penggunaan RUTF (seperti Plumpy’Nut) memungkinkan transisi perawatan dari rumah sakit ke komunitas. RUTF ideal karena:

Penggunaan RUTF dalam program perawatan rawat jalan (Community-based Management of Acute Malnutrition/CMAM) telah merevolusi kemampuan global untuk mengobati Kwashiorkor, memungkinkan sebagian besar anak dengan Kwashiorkor tanpa komplikasi dirawat di rumah, mengurangi beban pada fasilitas kesehatan, dan meningkatkan tingkat kelangsungan hidup secara keseluruhan.

XVI. Kesimpulan Komprehensif

Kwashiorkor, bentuk paling dramatis dari malnutrisi protein-energi, tetap menjadi tantangan kesehatan masyarakat yang serius, terutama di negara-negara berkembang dan wilayah rawan bencana. Patofisiologinya yang kompleks—melibatkan hipoalbuminemia, disfungsi hati, stres oksidatif, dan imunosupresi—menuntut pendekatan pengobatan yang sangat berhati-hati, bertahap, dan didukung oleh protokol berbasis bukti yang ketat.

Tiga fase perawatan (stabilisasi, rehabilitasi, dan tindak lanjut) dirancang untuk mengatasi kondisi mengancam jiwa terlebih dahulu (hipoglikemia, hipotermia, infeksi) sebelum fokus pada pertumbuhan kembali. Koreksi defisit elektrolit (terutama kalium dan magnesium) dan penundaan pemberian zat besi selama fase akut adalah langkah-langkah kritis yang membedakan manajemen Kwashiorkor dari pengobatan penyakit anak lainnya.

Melalui implementasi program CMAM dan edukasi gizi yang kuat, masyarakat global berupaya untuk tidak hanya menyelamatkan anak-anak yang sudah sakit tetapi juga mencegah Kwashiorkor melalui peningkatan keamanan pangan dan dukungan terhadap praktik menyusui yang optimal.