Alt text: Simbol Mada: Lingkaran Kontemplasi dan Ketidakpastian.
Dalam kamus mentalitas modern, ada sebuah kata yang sering luput dari perhatian namun mendefinisikan pengalaman kolektif kita: Mada. Kata ini bukanlah sekadar kebosanan superfisial yang muncul karena kurangnya aktivitas, melainkan sebuah kondisi eksistensial yang lebih dalam—sebuah kelesuan jiwa, sebuah kehampaan yang samar namun persisten, yang membayangi pencapaian dan kemajuan kita. Mada adalah sensasi terputus dari makna, terperangkap dalam rutinitas tanpa vitalitas, di mana segala sesuatu terasa datar, hambar, dan tidak penting.
Di era banjir informasi dan stimulasi tiada henti, di mana setiap detik diisi oleh notifikasi dan tuntutan untuk 'selalu produktif', paradoksnya, kelesuan eksistensial ini justru semakin merajalela. Kita memiliki segalanya, namun kita merasa kekosongan. Artikel ini akan menjelajahi fenomena Mada secara komprehensif, menarik garis hubung antara psikologi, filsafat, dan dinamika sosial kontemporer untuk memahami mengapa kondisi ini menjadi epikentrun dari kegelisahan modern, dan bagaimana kita dapat bertransformasi melaluinya.
Untuk memahami Mada, kita harus membedakannya dari rasa bosan biasa atau kelelahan klinis. Bosan adalah kebutuhan akan stimulasi eksternal baru. Kelelahan adalah defisit energi fisik. Mada, sebaliknya, adalah defisit makna internal. Ini adalah keadaan di mana jiwa tidak lagi bereaksi terhadap stimulus, bukan karena kelelahan, tetapi karena hilangnya resonansi terhadap nilai-nilai inti kehidupan. Ini adalah kebosanan tingkat tinggi, yang merayap dari periferi pikiran menuju inti eksistensi.
Meskipun gejalanya tumpang tindih—kurangnya motivasi, anhedonia (ketidakmampuan merasakan kesenangan)—Mada biasanya tidak disertai dengan keputusasaan klinis atau gangguan tidur/makan yang parah seperti depresi mayor. Penderita Mada seringkali mampu berfungsi secara sosial dan profesional, namun mereka melakukannya dalam mode otomatis. Hidup mereka terstruktur, sukses di mata dunia, tetapi terasa 'palsu' atau 'tidak nyata' bagi diri mereka sendiri. Mereka terus berjalan, tetapi mereka tidak merasakan arah. Keadaan Mada ini sering dijuluki sebagai 'depresi fungsional' atau 'acedia modern'.
Konsep Mada bukanlah hal baru. Para biarawan abad pertengahan mengenalnya sebagai Acedia, yang diartikan sebagai 'kemalasan spiritual' atau 'penyakit siang hari'. Acedia bukan sekadar malas melakukan pekerjaan fisik, melainkan penolakan jiwa untuk terlibat dengan pekerjaan spiritual atau makna yang lebih tinggi. Bagi para biarawan, Acedia adalah dosa karena ia mengabaikan rahmat Tuhan; bagi kita, Mada adalah krisis karena ia mengabaikan potensi diri kita. Ini adalah keadaan ketika jiwa berkata, "Apa gunanya semua ini?" bahkan sebelum upaya dimulai. Fenomena Mada selalu berakar pada krisis nilai, bukan krisis kegiatan.
Kelesuan spiritual ini, yang kini kita sebut Mada, mewujudkan dirinya dalam beberapa gejala modern yang halus. Yang paling menonjol adalah apa yang disebut 'doomscrolling' atau konsumsi media yang pasif dan tak berujung. Individu yang terjangkit Mada mencari stimulasi ringan untuk mengusir kehampaan, namun stimulasi tersebut, alih-alih mengisi, justru memperkuat kekosongan karena ia hanya bersifat transaksional dan temporer.
Salah satu penyebab utama Mada kontemporer adalah lingkungan hiperstimulasi yang kita ciptakan. Otak manusia tidak dirancang untuk menerima hadiah dopamin instan yang tak terbatas. Media sosial, video pendek, dan permainan instan memberikan hadiah yang cepat namun dangkal, yang secara efektif 'mempersingkat' siklus penghargaan otak. Akibatnya, kegiatan yang membutuhkan usaha berkelanjutan—membaca buku, mempelajari keterampilan baru, membangun hubungan yang mendalam—menjadi tidak menarik. Tingkat dasar kegembiraan (baseline excitement) kita meningkat drastis. Ketika aktivitas normal kehidupan sehari-hari (pekerjaan, tugas rumah tangga, interaksi biasa) tidak mencapai ambang batas dopamin yang tinggi ini, otak meresponsnya dengan sensasi Mada.
Ini adalah jebakan produktivitas palsu. Kita sibuk, tetapi kita tidak terlibat. Kita terus bergerak, tetapi kita stagnan. Kesenjangan antara harapan akan kehidupan yang spektakuler—seperti yang sering diproyeksikan di media digital—dan realitas kehidupan sehari-hari yang monoton menciptakan ruang hampa yang diisi oleh Mada. Kehampaan ini menuntut pengisian, tetapi pengisian yang dicari selalu bersifat eksternal dan sesaat, bukan intrinsik dan abadi.
Penting untuk ditekankan bahwa Mada bukanlah kegagalan moral; ia adalah respons adaptif yang menyimpang terhadap lingkungan yang terlalu kaya akan pilihan namun miskin akan konteks makna. Saat kita memiliki terlalu banyak jalan untuk dipilih, tanpa peta nilai yang jelas, kita seringkali berakhir di titik nol, lumpuh oleh kelimpahan—sebuah kondisi yang semakin memperparah Mada.
Maka, fase pertama dalam mengatasi Mada adalah pengakuan: ini bukan hanya kebosanan, melainkan peringatan bahwa jiwa telah kehilangan arah. Ini adalah sinyal merah bahwa kita telah mengorbankan kedalaman demi kecepatan, substansi demi tampilan luar. Kelesuan yang mendalam ini, kelesuan Mada, adalah undangan untuk melakukan inventarisasi nilai yang radikal. Kita harus berhenti menanyakan "Apa yang harus saya lakukan sekarang?" dan mulai bertanya, "Apa yang benar-benar penting bagi saya?" Kegagalan menjawab pertanyaan kedua ini adalah pintu gerbang menuju Mada.
Fenomena Mada tidak terpisahkan dari perjalanan filosofis manusia. Setiap zaman memiliki nama untuk kekosongan kolektifnya. Memahami Mada memerlukan penelusuran kembali ke pemikir-pemikir yang telah bergulat dengan Absurditas dan Ketiadaan.
Filsafat eksistensialisme memberikan kerangka yang paling tajam untuk memahami Mada sebagai krisis makna. Bagi Albert Camus, inti dari penderitaan manusia adalah konfrontasi antara keinginan kita akan makna dan kebisuan alam semesta yang dingin. Keadaan ini disebut Absurditas. Ketika seseorang hidup dengan kesadaran penuh akan Absurditas—bahwa hidup tidak memiliki makna bawaan yang diberikan oleh Tuhan atau alam—ia berisiko jatuh ke dalam Mada yang melumpuhkan.
Pahlawan Camus, Sisyphus, dihukum untuk mendorong batu ke puncak gunung, hanya untuk melihatnya bergulir turun lagi, selamanya. Pekerjaan ini adalah definisi dari kebosanan dan ketiadaan makna. Namun, Camus mengajukan solusi yang radikal: kebahagiaan terletak pada momen pengakuan, ketika Sisyphus turun dari gunung. Ia tidak lagi menipu dirinya sendiri bahwa ada tujuan akhir; kebahagiaannya terletak pada penerimaan takdir yang Absurd. Mada adalah hasil dari penolakan untuk menerima ketiadaan makna ini. Menerima Mada sebagai kondisi awal eksistensi, menurut eksistensialis, adalah langkah pertama menuju kebebasan sejati, di mana kita sendiri yang harus menciptakan makna.
Søren Kierkegaard, dalam karyanya Enten-Eller (Either/Or), menggambarkan ‘Tahap Estetika’ sebagai kehidupan yang dijalani demi kesenangan sesaat dan menghindari komitmen. Ini adalah kondisi Mada purba. Esteta terus-menerus mencari hal baru untuk mengusir kebosanan. Namun, pencarian tanpa henti ini menghasilkan 'kebosanan universal'—kebosanan terhadap diri sendiri. Semakin seseorang menghindari kedalaman dan komitmen, semakin besar kehampaan yang ia rasakan. Kehidupan Esteta adalah kehidupan yang terjangkit Mada karena ia menolak untuk memilih, menolak untuk mendefinisikan diri, dan hanya hidup dari reaksi.
Jika filsafat abad ke-19 berjuang dengan ketiadaan Tuhan, filsafat abad ke-21 berjuang dengan kelebihan benda. Kapitalisme modern menjanjikan kebahagiaan melalui konsumsi dan akumulasi. Segala sesuatu dapat dibeli, termasuk pengalaman. Namun, begitu hasrat dipenuhi, objek tersebut dengan cepat kehilangan kilaunya. Siklus konsumsi yang tak berujung ini menciptakan Mada yang sistemik. Kita terus didorong untuk mengejar 'hal berikutnya' karena, secara ekonomi, kita harus terus menjadi konsumen yang aktif.
Teori hiper-realitas Jean Baudrillard menjelaskan bahwa kita hidup di dunia di mana simulasi (citra, representasi) telah menggantikan realitas. Kita mengonsumsi citra kehidupan yang sempurna, bukan kehidupan itu sendiri. Ketika realitas kita sehari-hari gagal menyamai simulasi yang kita lihat di layar, kita merasakan disonansi kognitif yang menghasilkan Mada. Hidup kita terasa tidak cukup, tidak 'layak Instagram', dan kelesuan ini meracuni kepuasan kita terhadap hal-hal yang otentik dan sederhana. Mada di sini adalah efek samping dari hidup di dalam cermin, di mana diri kita yang sebenarnya menjadi kabur dan tidak relevan.
Masyarakat pra-modern memiliki narasi kolektif yang kuat—agama, ideologi nasional, atau kelas sosial—yang memberikan makna siap pakai kepada individu. Di era pasca-modern, narasi-narasi besar ini telah runtuh. Kita ditinggalkan sebagai individu yang harus membangun narasi kita sendiri di tengah miliaran narasi lain. Beban untuk menciptakan makna ini sangat berat, dan bagi banyak orang, respons yang paling mudah adalah menyerah pada pencarian tersebut. Keengganan ini, atau kelumpuhan menghadapi pilihan yang tak terbatas, adalah manifestasi lain dari Mada.
Ketika kita kehilangan kepercayaan pada cerita besar yang menyatukan, kita beralih ke cerita kecil: karier, hobi ekstrem, atau identitas digital. Ketika cerita-cerita kecil ini gagal menahan beban eksistensi, kehampaan besar dari Mada segera mengisi kekosongan tersebut. Kelesuan ini adalah ratapan jiwa yang mendambakan konteks dan struktur, namun terpaksa hidup dalam anarki makna.
Fenomena Mada tidak terbatas pada pergulatan filosofis di dalam ruangan; ia termanifestasi dalam cara kita bekerja, berinteraksi, dan mengonsumsi informasi. Kehidupan kontemporer menyediakan lahan subur bagi kelesuan eksistensial ini.
Tempat kerja modern seringkali menjadi episentrum Mada. Konsep Burnout (kelelahan kerja) yang diakui secara luas memiliki akar yang dalam pada Mada. Seseorang tidak hanya lelah secara fisik, tetapi mereka mengalami demotivasi parah karena tidak melihat nilai intrinsik dalam pekerjaan yang mereka lakukan. Ketika pekerjaan tidak selaras dengan nilai pribadi, atau ketika tujuan perusahaan terasa kosong dan didorong oleh metrik yang absurd, jiwa akan merespons dengan penolakan pasif—yaitu Mada.
Quiet Quitting—fenomena di mana karyawan melakukan pekerjaan minimal yang diperlukan tanpa inisiatif atau antusiasme tambahan—adalah ekspresi Mada yang paling jelas dalam lingkungan profesional. Ini adalah bentuk perlawanan pasif terhadap sistem yang menuntut keterlibatan total namun hanya menawarkan imbalan transaksional. Karyawan yang 'quiet quitting' tidak benar-benar malas; mereka diserang oleh Mada karena mereka merasa bahwa upaya ekstra mereka tidak akan pernah membuahkan hasil yang bermakna, baik bagi mereka maupun bagi dunia.
Pekerjaan yang repetitif, birokrasi yang tak berarti, dan budaya rapat yang tak berujung semuanya berkontribusi pada penumpulan jiwa. Dalam keadaan Mada, pekerjaan yang dulunya memberikan identitas kini terasa seperti beban yang harus dipikul tanpa imbalan psikologis. Kelesuan ini menuntut peninjauan kembali atas etika kerja kita: apakah kita bekerja untuk hidup, atau kita hidup untuk bekerja dalam keadaan kehampaan?
Teknologi, yang seharusnya menghubungkan dan memperkaya, justru menjadi salah satu penyebar terbesar Mada. Kita menderita Infobesity—kelebihan informasi yang membuat kita kekenyangan namun kurang nutrisi. Kita tahu sedikit tentang segalanya, tetapi kita tidak memiliki pengetahuan mendalam yang dapat memberikan konteks atau makna. Hal ini menghasilkan kelesuan intelektual.
Interaksi sosial di dunia digital seringkali bersifat superfisial, didorong oleh performativitas. Kita terlibat dalam pertunjukan identitas, menampilkan versi yang dikurasi dari diri kita sendiri. Namun, interaksi dangkal ini gagal memuaskan kebutuhan mendalam kita akan keintiman dan pengakuan otentik. Kita dikelilingi oleh ribuan 'teman', namun kita merasa sangat sendirian. Kontras antara konektivitas tinggi dan kedalaman rendah inilah yang menghasilkan Mada sosial—sebuah perasaan terputus meskipun terus-menerus terhubung.
Mekanisme utama di balik Mada digital adalah kebutuhan akan pelarian konstan. Setiap kali rasa bosan atau kehampaan muncul, respons otomatis kita adalah meraih perangkat dan membanjiri diri dengan stimulasi acak. Tindakan ini mencegah kita untuk duduk dengan ketidaknyamanan Mada, sehingga mencegah kita untuk memahami pesan yang ingin disampaikan oleh kelesuan tersebut. Jika kita terus-menerus menghindari kekosongan, kita tidak akan pernah menemukan apa yang hilang di dalamnya.
Di masyarakat yang menekankan individualisme ekstrem, tekanan untuk membuat 'pilihan yang optimal' di setiap bidang (karir, pasangan, gaya hidup, hobi) sangat besar. Kelimpahan pilihan ini, yang dikenal sebagai Paradox of Choice, ironisnya, membuat kita lebih tidak bahagia dan lebih terjangkit Mada. Ketika kita memilih, kita selalu dihantui oleh pilihan yang tidak kita ambil. Kepuasan kita terhadap pilihan yang dibuat berkurang karena kita tahu bahwa opsi 'sempurna' mungkin ada di luar sana.
Mada muncul dari kelumpuhan analisis ini. Daripada memilih dan berkomitmen, kita tetap berada di tengah, dalam keadaan ragu-ragu yang kronis. Kita tidak benar-benar hidup; kita hanya menunggu momen yang 'tepat' untuk mulai hidup. Keengganan untuk mengambil risiko dan menerima ketidaksempurnaan adalah mekanisme pertahanan terhadap kegagalan, tetapi harganya adalah kehilangan vitalitas dan jatuhnya jiwa ke dalam kelesuan Mada.
Seseorang yang mengalami Mada seringkali merasa tertekan oleh potensi mereka sendiri. Mereka tahu mereka bisa melakukan banyak hal, tetapi ironisnya, mengetahui semua yang bisa dilakukan membuat mereka tidak melakukan apa-apa sama sekali. Fokus bergeser dari tindakan ke potensi, dan potensi, jika tidak diwujudkan, hanyalah bentuk lain dari kehampaan.
Mengatasi Mada bukan berarti mengisinya dengan kegiatan baru, tetapi mengubah hubungan kita dengannya. Jika Mada adalah sinyal bahwa kita hidup tanpa koneksi ke nilai-nilai inti, maka solusinya adalah membangun kembali koneksi tersebut, bahkan jika prosesnya terasa lambat dan menyakitkan. Transformasi dari Mada menuju makna menuntut keberanian untuk diam dan menerima ketidaknyamanan.
Kita harus berhenti melihat Mada sebagai musuh yang harus dihilangkan segera. Sebaliknya, kita harus melihatnya sebagai guru. Kelesuan ini adalah indikator bahwa jiwa membutuhkan kalibrasi ulang. Langkah pertama adalah menciptakan ruang untuk kebosanan dan kehampaan. Ketika dorongan untuk meraih perangkat atau mencari gangguan muncul, kita harus menahan diri dan duduk dengan perasaan itu. Ini adalah latihan mindfulness (kesadaran penuh) yang esensial.
Dalam keheningan yang dipaksakan oleh Mada, kita mulai mendengar suara batin yang selama ini teredam oleh hiruk pikuk eksternal. Kelesuan ini memaksa kita untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan sulit: Apakah saya bahagia dengan pilihan hidup saya? Apakah pekerjaan ini selaras dengan hati nurani saya? Apakah hubungan ini memelihara saya? Ketika kita berhasil menoleransi ketidaknyamanan Mada, kita menemukan energi yang tersembunyi di baliknya—energi untuk perubahan radikal.
Ini adalah konsep yang kontraintuitif bagi masyarakat yang berorientasi pada tindakan, tetapi penerimaan pasif terhadap Mada seringkali merupakan tindakan paling revolusioner. Dengan merangkul kehampaan, kita menciptakan ruang bagi sesuatu yang baru dan otentik untuk tumbuh, sesuatu yang tidak didikte oleh ekspektasi sosial atau algoritma digital. Kita mengakui bahwa sebagian besar hidup adalah transisi, menunggu, dan kehampaan yang tenang; dan itu adalah hal yang normal. Kelesuan Mada adalah kanvas yang kosong, dan hanya dengan menerimanya sebagai kanvas, kita dapat mulai melukis makna yang kita inginkan.
Konsep Flow, yang dipopulerkan oleh psikolog Mihaly Csikszentmihalyi, adalah antitesis sempurna dari Mada. Flow adalah keadaan psikologis di mana seseorang sepenuhnya tenggelam dalam suatu aktivitas, sedemikian rupa sehingga waktu, diri, dan segala masalah eksternal menghilang. Ini terjadi ketika tantangan dari suatu tugas seimbang dengan keterampilan yang dimiliki seseorang. Jika tantangan terlalu rendah, hasilnya adalah kebosanan; jika terlalu tinggi, hasilnya adalah kecemasan.
Untuk melawan Mada, kita harus secara aktif mencari aktivitas yang memungkinkan kita mencapai keadaan flow. Aktivitas ini harus memiliki tujuan yang jelas, umpan balik langsung, dan membutuhkan konsentrasi penuh. Ini bisa berupa kerajinan tangan, musik, pemrograman kompleks, atau bahkan memasak dengan penuh kesadaran. Kunci untuk memerangi kelesuan Mada di sini adalah fokus yang disengaja. Flow menunjukkan bahwa makna tidak ditemukan secara pasif, tetapi diciptakan melalui keterlibatan aktif dan terampil dengan dunia.
Dengan mengabdikan diri pada aktivitas yang menantang namun dapat dicapai, kita mengisi kehampaan Mada dengan pengalaman nyata yang memberikan kepuasan intrinsik, bukan sekadar pelarian sementara. Kualitas hidup meningkat, bukan karena kita memiliki lebih banyak hal, tetapi karena kita terlibat lebih dalam dengan apa yang kita lakukan. Ini adalah transisi dari konsumsi pasif menuju kreasi aktif.
Mada sering muncul karena kita membangun hidup kita di atas pasir, yaitu di atas nilai-nilai yang rapuh (uang, status, persetujuan orang lain). Untuk mengatasinya, kita perlu fondasi yang kokoh, yang terdiri dari tiga pilar utama kebermaknaan:
Inti dari transisi dari Mada ke makna terletak pada kesediaan untuk berkomitmen pada hal-hal yang tidak memberikan imbalan instan dan menerima bahwa proses pencarian makna itu sendiri adalah makna. Menerima bahwa hidup tidak selalu harus spektakuler adalah penerimaan yang membebaskan. Kelesuan mendalam, atau Mada, adalah hadiah yang memaksa kita untuk menggali lebih dalam, untuk mencari emas yang tersembunyi di bawah permukaan rutinitas.
Penyebaran luas Mada dalam masyarakat kontemporer tidak hanya bersifat individual; ia juga merupakan indikasi adanya keretakan dalam struktur sosial kita. Sosiolog Émile Durkheim menyebut kondisi hilangnya norma dan ikatan sosial yang kuat sebagai Anomie. Anomie adalah lingkungan sosial di mana Mada berkembang biak. Ketika aturan main tidak jelas, dan nilai-nilai kolektif menghilang, individu kehilangan jangkar dan hanyut dalam kelesuan eksistensial.
Masyarakat modern menekankan mobilitas dan individualisme, seringkali mengorbankan komunitas yang mendalam. Orang berpindah-pindah, berganti pekerjaan, dan koneksi sosial menjadi cair. Meskipun ini memberikan kebebasan, ia juga menciptakan isolasi yang akut. Mada kolektif muncul ketika orang tidak lagi merasa menjadi bagian integral dari sesuatu yang lebih besar. Komunitas adalah tempat di mana tindakan kita diakui dan diberi nilai di luar lingkup pribadi; hilangnya komunitas berarti hilangnya validasi eksternal terhadap nilai kita, yang kemudian memperkuat kehampaan Mada.
Tekanan untuk menjadi 'diri yang unik' di era digital juga berkontribusi pada Mada. Jika setiap orang harus luar biasa, maka kebiasaan adalah kegagalan. Tuntutan untuk diferensiasi tanpa henti ini menciptakan kelelahan performatif. Orang merasa bahwa mereka harus terus-menerus mendefinisikan dan mendefinisikan ulang diri mereka, sebuah proyek yang tak pernah selesai dan, akibatnya, memicu kelesuan dan rasa kegagalan yang menjadi inti dari Mada.
Sistem pendidikan seringkali berfokus pada hasil (nilai, ijazah) daripada proses (rasa ingin tahu, cinta belajar). Hal ini menciptakan generasi yang terampil dalam menyelesaikan tugas tetapi seringkali tidak tahu mengapa mereka melakukannya. Pendidikan yang berorientasi pada kepatuhan dan ujian, alih-alih eksplorasi dan pertanyaan filosofis, gagal menumbuhkan rasa keajaiban yang merupakan penangkal alami terhadap Mada.
Ketika proses belajar menjadi tugas yang harus ditaklukkan, bukan perjalanan yang harus dinikmati, siswa mengalami Mada akademik. Mereka berhasil, tetapi merasa kosong. Kurangnya keterlibatan mendalam dengan materi—hanya menghafal untuk sesaat—menciptakan ilusi penguasaan, yang dengan cepat runtuh, meninggalkan kelesuan intelektual dan skeptisisme terhadap nilai pengetahuan itu sendiri. Mereka lulus dengan gelar, tetapi jiwa mereka terjangkit Mada.
Untuk melawan Mada di lingkungan pendidikan, kita harus mengembalikan penekanan pada pertanyaan terbuka, pada seni kontemplasi, dan pada pemahaman bahwa pengetahuan yang sebenarnya tidak berfungsi sebagai alat untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi sebagai sarana untuk memahami tempat kita di alam semesta. Pembelajaran yang otentik adalah obat terkuat melawan Mada.
Jika Mada adalah penyakit kecepatan, maka obatnya adalah perlambatan. Dalam budaya kita, kecepatan diagungkan—kecepatan internet, kecepatan pengiriman, kecepatan karier. Perlambatan dianggap sebagai kegagalan atau kemalasan. Namun, praktik perlambatan yang disengaja, seperti berjalan tanpa tujuan, memasak dengan kesadaran penuh, atau membaca tanpa terburu-buru, menciptakan jeda yang dibutuhkan oleh jiwa.
Perlambatan memberi waktu bagi pikiran untuk memproses dan mengintegrasikan pengalaman, sebuah proses yang dihambat oleh ritme hidup modern. Tanpa integrasi, pengalaman hanya berlalu, menyisakan jejak kehampaan—yaitu Mada. Perlambatan memungkinkan kita untuk menikmati apa yang oleh para filsuf disebut kairos—waktu kualitatif yang diukur berdasarkan maknanya, bukan chronos—waktu kuantitatif yang diukur dengan jam. Ketika kita hidup di kairos, kelesuan Mada jarang muncul karena setiap momen terasa penuh dan berbobot.
Salah satu latihan radikal adalah 'berhenti sejenak' dari konsumsi. Ini bukan hanya detoks digital sesekali, tetapi praktik berkelanjutan untuk membatasi masukan informasi dan stimulasi. Dengan mengurangi kebisingan eksternal, kita memaksa diri kita untuk mendengar kebisingan internal—termasuk suara Mada itu sendiri—yang kemudian dapat kita analisis dan tanggapi dengan kebijaksanaan, alih-alih dengan pelarian.
Pada tingkat yang paling dalam, Mada dapat dipahami sebagai krisis kehendak, atau hilangnya kemampuan untuk bertindak secara mandiri dan bermakna. Ketika seseorang jatuh ke dalam Mada, mereka mungkin masih melakukan banyak hal, tetapi tindakan mereka terasa terlepas dari pusat kehendak mereka sendiri.
Agensi adalah kemampuan untuk bertindak secara independen dan membuat pilihan bebas. Di dunia yang semakin kompleks dan dikendalikan oleh algoritma, banyak keputusan sehari-hari kita diambil secara otomatis atau didorong oleh sistem. Rekomendasi media sosial menentukan apa yang kita konsumsi; jalur karier ditentukan oleh ekspektasi pasar; dan bahkan hobi kita disaring melalui tren yang ada. Hilangnya agensi ini, betapapun nyamannya, secara perlahan melumpuhkan kehendak.
Jika segala sesuatu terasa diprogram, mengapa harus berusaha? Pertanyaan ini adalah inti dari Mada. Ketika individu merasa bahwa tindakan mereka tidak memiliki dampak nyata pada dunia yang besar, mereka mundur ke dalam kelesuan internal. Kebutuhan untuk menegaskan kehendak kita—untuk memilih secara sadar, bahkan dalam hal-hal kecil—adalah perlawanan langsung terhadap Mada.
Cara paling efektif untuk menegaskan agensi dan melawan Mada adalah melalui komitmen jangka panjang. Komitmen—baik pada suatu proyek, hubungan, atau filosofi—memaksa kita untuk melewati fase kebosanan dan keraguan. Komitmen adalah janji pada masa depan yang melampaui perasaan sesaat.
Seringkali, fase awal dari upaya bermakna (misalnya, menulis buku, belajar bahasa) terasa menarik, tetapi diikuti oleh 'lembah' yang monoton dan membosankan. Fase ini adalah ujian sejati. Seseorang yang terjangkit Mada akan meninggalkan proyek di titik ini, mencari hal baru yang menarik. Seseorang yang melawan Mada menggunakan komitmen sebagai disiplin untuk melewati kebosanan dan mencapai kepuasan mendalam yang hanya datang dari penyelesaian. Kepuasan ini, yang berasal dari mengatasi Mada melalui kerja keras, adalah sumber daya kebermaknaan yang paling kuat.
Komitmen mengajar kita bahwa makna tidak selalu terasa baik; terkadang terasa sulit, repetitif, dan ya, bahkan membosankan (mada). Namun, komitmen adalah jembatan yang menghubungkan kebosanan saat ini dengan kepuasan jangka panjang. Ia menuntut kita untuk beroperasi dengan keyakinan, bukan hanya berdasarkan emosi.
Filsafat Stoikisme menawarkan alat praktis untuk menghadapi Mada. Stoik mengajarkan bahwa kita harus membedakan antara apa yang ada di bawah kendali kita (penilaian, tindakan) dan apa yang tidak (peristiwa eksternal, opini orang lain). Mada seringkali muncul karena kita secara keliru mencoba mengendalikan dunia agar selalu menarik dan memuaskan.
Latihan stoik untuk memerangi Mada adalah amor fati—mencintai takdir. Ini berarti tidak hanya menerima realitas sehari-hari yang mungkin membosankan atau repetitif, tetapi juga mencintainya sebagai satu-satunya kanvas tempat kita dapat bertindak. Menerima bahwa hidup akan memiliki bagian-bagian yang hambar adalah penerimaan yang membebaskan. Kelesuan Mada berkurang ketika kita berhenti menuntut agar setiap detik harus menjadi petualangan sinematik.
Stoikisme mendorong fokus pada kebajikan (keadilan, keberanian, kebijaksanaan, moderasi) sebagai satu-satunya hal yang benar-benar bernilai. Ketika tindakan kita didorong oleh kebajikan, bahkan tugas yang paling biasa pun (mencuci piring, merapikan meja) dapat diresapi dengan makna. Ini adalah cara mengubah pengalaman Mada menjadi latihan moralitas dan kehadiran penuh. Ini adalah transisi dari menunggu kebahagiaan datang dari luar, menjadi menciptakannya melalui etos internal.
Dalam konteks Stoik, Mada adalah sinyal bahwa kita terlalu fokus pada hal-hal yang tidak penting. Ketika kita menyelaraskan kehendak kita dengan kebajikan, maka rasa kelesuan eksistensial itu menghilang karena kita tahu bahwa, pada dasarnya, kita melakukan hal yang benar. Ini adalah pertahanan paling ampuh terhadap kehampaan yang ditimbulkan oleh Mada.
Mada adalah istilah yang kuat, lebih dari sekadar kebosanan; ia adalah resonansi dari zaman yang kaya akan sarana tetapi miskin akan tujuan. Kelesuan eksistensial ini adalah cerminan dari masyarakat yang terlalu sibuk mengonsumsi dan menghasilkan sehingga lupa untuk hidup. Kita telah melihat bahwa Mada berakar pada hilangnya narasi kolektif, disfungsi dopamin yang disebabkan oleh hiperstimulasi, dan kelumpuhan analisis akibat kelimpahan pilihan.
Namun, Mada bukanlah vonis mati. Sebaliknya, ia adalah alarm spiritual yang keras. Ia memaksa kita untuk berhenti, merenung, dan menyadari bahwa mesin otomatis yang kita bangun untuk kehidupan kita tidak lagi melayani jiwa kita. Pergulatan dengan Mada adalah bagian inheren dari perjalanan menjadi manusia dewasa; ini adalah proses yang melelahkan namun penting untuk membuang nilai-nilai yang dipinjam dan mengklaim kembali otoritas atas makna hidup kita sendiri.
Transformasi sejati terjadi ketika kita berani merangkul Mada, duduk di keheningan yang tidak nyaman, dan menggunakannya sebagai katalis untuk bertindak dengan otentik. Dengan memprioritaskan komitmen, mencari flow, dan membangun fondasi makna yang transenden, kita mengubah kelesuan pasif menjadi inisiatif aktif. Melalui proses ini, kita tidak hanya mengalahkan Mada; kita menggunakannya untuk mendefinisikan kembali apa artinya menjadi hidup, terlibat, dan bermakna di dunia yang penuh dengan gangguan dan janji-janji kosong. Kehampaan Mada, pada akhirnya, adalah ruang yang harus kita isi dengan kehadiran dan kehendak kita yang sesungguhnya.