Kadariah: Eksplorasi Teologi Kehendak Bebas dan Kedudukan Manusia di Hadapan Takdir Ilahi

Dalam sejarah panjang pemikiran Islam, tidak ada isu yang lebih mendalam dan memicu perdebatan sengit di antara para teolog (mutakallimun) selain persoalan relasi antara takdir (Qadar) Ilahi dan kehendak bebas (Ikhtiyar) manusia. Di tengah perbincangan filosofis dan teologis tersebut, muncullah sebuah mazhab pemikiran yang dikenal sebagai Kadariah, atau Qadariyah. Secara harfiah, Kadariah merujuk pada sekelompok orang yang berpegang teguh pada konsep Qadar, namun dalam konteks teologi Islam, istilah ini dialamatkan kepada mereka yang menegaskan bahwa manusia adalah pencipta hakiki dari perbuatan-perbuatan mereka sendiri, baik itu kebaikan maupun keburukan, dan bahwa kehendak Ilahi tidak mendahului atau memaksakan tindakan spesifik manusia.

Ajaran Kadariah menempatkan tanggung jawab moral secara penuh di pundak manusia. Konsekuensi logis dari pandangan ini adalah penegasan terhadap keadilan ('Adl) mutlak Allah SWT. Apabila Allah menghukum atau memberi pahala, hukuman atau pahala tersebut haruslah didasarkan pada pilihan sadar dan sukarela yang dibuat oleh hamba-Nya. Jika tindakan manusia telah ditetapkan sebelumnya oleh kehendak Tuhan, maka hukuman menjadi tidak adil—sebuah kesimpulan yang ditolak keras oleh para pengusung Kadariah. Eksplorasi ini akan menyelami akar historis, doktrin inti, serta implikasi teologis, etis, dan sosiologis dari ajaran Kadariah, menggali kedalaman pertarungan intelektual yang membentuk kerangka Teologi Kalam.

Simbol Pilihan dan Ikhtiyar Ilustrasi tangan yang memilih salah satu dari dua jalur, melambangkan kehendak bebas (Ikhtiyar) sebagai inti ajaran Kadariah. Jalan Kebajikan Jalan Kejahatan Tanggung Jawab

Konsep Ikhtiyar (Kehendak Bebas) yang menjadi fokus utama dalam doktrin Kadariah.

I. Definisi dan Konteks Historis Kadariah

A. Asal Usul Penamaan

Secara bahasa, Qadar berarti ketetapan, ukuran, atau kekuasaan. Kelompok Kadariah dinamakan demikian karena mereka berbicara secara mendalam tentang Qadar, namun dengan penekanan yang berbeda dari pandangan umum. Mereka sering kali dituduh (khususnya oleh kelompok anti-Kadariah seperti Jabariyah dan belakangan Asy'ariyah) sebagai kelompok yang "menafikan Qadar" karena mereka menolak bahwa perbuatan buruk manusia telah ditetapkan secara spesifik oleh Allah sebelum perbuatan itu dilakukan. Bagi Kadariah, ketaatan dan kemaksiatan adalah murni hasil Qadar (ketetapan) manusia itu sendiri, bukan Qadar Ilahi yang memaksa.

Penamaan ini sering kali diperdebatkan. Kadariah menganggap diri mereka adalah pembela sejati Qadar Allah, khususnya yang berkaitan dengan sifat keadilan-Nya, sementara lawan mereka menggunakan label tersebut untuk mengasosiasikan mereka dengan pandangan yang dianggap ekstrem. Pada intinya, Kadariah adalah antitesis langsung dari Jabariyah (kelompok fatalis) yang percaya bahwa manusia dipaksa (majbur) untuk melakukan segala tindakannya, seolah-olah mereka adalah daun yang diterbangkan angin.

B. Kemunculan Awal dan Figur Kunci

Ajaran Kadariah mulai mengemuka pada akhir abad pertama Hijriah, khususnya di wilayah Basrah dan Damaskus. Kemunculannya sering dikaitkan dengan masa gejolak politik dan polemik terkait masalah kekuasaan dan legitimasi, terutama setelah peristiwa besar dalam sejarah Islam yang memerlukan pertanggungjawaban moral atas tindakan kolektif dan individu.

  1. Ma'bad al-Juhani (Wafat sekitar 80 H): Dianggap sebagai salah satu tokoh pionir Kadariah. Ma'bad dikenal karena penekanannya yang kuat bahwa perbuatan manusia tidak dipaksa oleh Qadar Ilahi. Ia aktif di Basrah dan Damaskus, menyuarakan perlunya kebebasan penuh agar hukuman dan pahala menjadi valid secara etika. Ma'bad berargumen bahwa jika Allah telah menentukan kejahatan, maka Allah tidak berhak menghukum manusia atas kejahatan tersebut, yang mana ini bertentangan dengan sifat Maha Adil Allah.
  2. Ghaylan ad-Dimasyqi (Wafat sekitar 105 H): Tokoh Kadariah terkemuka lainnya yang memperluas argumen Ma'bad. Ghaylan menggabungkan aspek teologis dengan kritik politik, terutama terhadap para penguasa yang menggunakan konsep takdir fatalistik (Jabariyah) untuk membenarkan tindakan otoriter mereka. Ghaylan sangat vokal tentang bagaimana kebebasan manusia adalah prasyarat untuk keadilan sosial dan pertanggungjawaban politik. Argumennya, yang menyentuh ranah politik dan teologi, membuatnya berkonflik langsung dengan penguasa saat itu.

Penting untuk dicatat bahwa Kadariah awal ini, dalam banyak aspek, menjadi fondasi bagi sekolah teologi yang lebih terstruktur dan terorganisir di kemudian hari, yaitu Mu'tazilah, yang mengambil dan menyempurnakan prinsip kehendak bebas (Ikhtiyar) dan keadilan Ilahi ('Adl) sebagai dua dari lima pilar utama doktrin mereka.

II. Pilar Doktrinal Utama Kadariah: Kehendak Bebas Absolut

Doktrin Kadariah didirikan di atas keyakinan fundamental bahwa manusia adalah agen moral yang independen. Untuk memahami kedalaman ajaran ini, kita harus memeriksa konsep-konsep kunci yang mereka ajukan dalam membela kehendak bebas.

A. Manusia sebagai Pencipta Tindakannya (Khalq al-Af'al)

Inti dari doktrin Kadariah adalah penegasan bahwa manusia, melalui kehendak dan kapasitasnya, adalah pencipta yang sesungguhnya (khalik) dari perbuatan-perbuatannya sendiri. Dalam terminologi teologis, ini disebut Khalq al-Af'al, atau penciptaan tindakan. Mereka berpendapat bahwa manusia memiliki daya atau kemampuan (Istita'ah atau Qudra) yang diberikan oleh Allah sebelum tindakan itu dilakukan. Daya ini bersifat efektif, artinya daya tersebutlah yang menghasilkan perbuatan secara langsung, tanpa intervensi paksaan atau penetapan detail dari Tuhan sebelumnya.

Jika Allah menciptakan perbuatan manusia, menurut Kadariah, maka Allah akan bertanggung jawab atas kejahatan dan kemaksiatan. Ini adalah kesimpulan yang secara teologis tidak dapat diterima, karena menafikan kesucian (tanzih) Allah. Oleh karena itu, demi menjaga kesempurnaan dan keadilan Allah, manusia harus diberikan kemandirian penuh dalam bertindak. Kebebasan ini bukanlah kebebasan dari Allah—mereka tetap mengakui bahwa kapasitas bertindak (Istita'ah) itu sendiri adalah ciptaan Allah—tetapi kebebasan dalam menggunakan kapasitas tersebut untuk menciptakan hasil perbuatan yang spesifik.

Pembedaan Penting: Istita'ah (Kapasitas)

Kadariah membedakan Istita'ah (kapasitas untuk bertindak) menjadi dua jenis, meskipun ini lebih ditekankan oleh Mu'tazilah, penerus mereka: 1. Kapasitas yang mendahului tindakan (Istita'ah qabla al-fi'l), yang merupakan pemberian Allah; dan 2. Kapasitas yang menyertai tindakan (Istita'ah ma'a al-fi'l), yang merupakan penggunaan oleh manusia. Kadariah fokus pada Istita'ah yang mendahului tindakan, menyatakan bahwa begitu kemampuan diberikan, hasilnya adalah ciptaan manusia sendiri.

B. Prinsip Keadilan Ilahi ('Adl)

Prinsip keadilan adalah landasan filosofis terkuat Kadariah. Mereka berargumen bahwa keadilan Allah menuntut adanya kehendak bebas yang sejati bagi hamba-Nya. Konsep ini dibangun di atas beberapa premis:

  1. Nalar dan Wahyu: Ayat-ayat Al-Qur'an yang memerintahkan kebaikan dan melarang kejahatan, serta yang mengancam hukuman neraka atau menjanjikan pahala surga, menjadi tidak bermakna jika manusia tidak memiliki kemampuan untuk memilih. Perintah dan larangan (amr wa nahyi) hanya adil jika ditujukan kepada makhluk yang berdaya.
  2. Tanggung Jawab Moral: Hukuman atas maksiat dan pahala atas ketaatan menjadi tidak valid jika manusia hanya menjalankan skrip yang telah dituliskan oleh Tuhan. Jika Allah menentukan seseorang menjadi kafir, kemudian menghukumnya dengan Neraka, itu akan menjadi zalim (tidak adil), dan zalim tidak mungkin berasal dari Allah SWT.
  3. Kebijaksanaan Tuhan: Kadariah percaya bahwa Tuhan Maha Bijaksana (Hakim) dan mustahil Dia memerintahkan sesuatu yang mustahil dilakukan manusia, atau menghukum atas sesuatu yang tidak dapat dihindari. Kehendak bebas memastikan bahwa setiap tindakan Tuhan (pahala/hukuman) selaras dengan kebijaksanaan-Nya yang sempurna.

Untuk Kadariah, Allah tidak mungkin menginginkan kemaksiatan, karena Dia adalah Maha Baik (Mustahil Tuhan menciptakan kejahatan). Dengan kata lain, kehendak (Iradah) Allah hanya terfokus pada kebaikan dan ketaatan. Kemaksiatan terjadi *di luar* kehendak spesifik Allah, meskipun dalam kerangka izin umum-Nya yang memungkinkan adanya kebebasan.

C. Argumen Berdasarkan Dalil Naqli (Al-Qur'an dan Sunnah)

Para pengusung Kadariah menggunakan sejumlah ayat Al-Qur'an untuk mendukung posisi mereka, khususnya ayat-ayat yang menekankan peran manusia sebagai pelaku tindakan:

Keseluruhan argumen ini menegaskan bahwa wahyu Ilahi secara eksplisit mengakui dan bahkan menuntut adanya kehendak bebas sebagai fondasi interaksi antara Tuhan dan manusia.

III. Kadariah dan Polemik Kalam: Kontras dengan Jabariyah dan Asy'ariyah

Posisi Kadariah paling jelas terlihat ketika dikontraskan dengan dua mazhab teologis besar lainnya: Jabariyah (Fatalis) dan Asy'ariyah (Jalan Tengah).

A. Pertarungan Melawan Jabariyah (Fatalisme)

Jabariyah, yang dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Jahm bin Shafwan, memegang pandangan bahwa manusia tidak memiliki kehendak bebas sama sekali. Mereka berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan sepenuhnya oleh Allah, dan manusia hanyalah wadah pasif yang bertindak tanpa kemauan sendiri, seperti dahan yang digerakkan angin. Tangan manusia, menurut Jabariyah, bergerak hanya karena dorongan Ilahi, bukan karena kekuatan internal yang mandiri.

Tabel Perbedaan Esensial

Jabariyah: Manusia dipaksa. Perbuatan (kebaikan & kejahatan) diciptakan Allah. Hukuman dan pahala bersifat misteri dan bukan berdasarkan keadilan yang dapat dipahami akal manusia.

Kadariah: Manusia memiliki kehendak bebas penuh. Manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Hukuman dan pahala sepenuhnya berdasarkan keadilan yang menuntut pertanggungjawaban atas pilihan bebas.

Kadariah melihat Jabariyah sebagai ancaman terhadap keimanan itu sendiri, karena fatalisme akan menghilangkan motivasi untuk berbuat baik dan menghilangkan rasa bersalah atas kejahatan. Jika semua sudah ditetapkan, mengapa harus berjuang? Kadariah menekankan bahwa menerima fatalisme berarti menuduh Allah tidak adil, karena Dia menghukum hamba atas dosa yang justru Dia tetapkan.

B. Kritik dan Respons dari Asy'ariyah (Teori Al-Kasb)

Seiring berjalannya waktu, teologi Asy'ariyah (didirikan oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari) muncul sebagai upaya untuk mencari jalan tengah, mengakui peran Tuhan sebagai Pencipta segala sesuatu sambil tetap memberikan ruang bagi tanggung jawab manusia. Asy'ariyah menolak Kadariah dan Jabariyah, dan mengajukan teori Al-Kasb (Akuisisi atau Perolehan).

Menurut teori Kasb:

  1. Allah adalah satu-satunya Pencipta (Khalik) dari segala sesuatu di alam semesta, termasuk tindakan manusia.
  2. Manusia tidak menciptakan perbuatannya. Manusia hanya "memperoleh" atau "mengakuisisi" tindakan yang telah diciptakan Allah dengan menggunakan kehendak bebas yang bersifat sementara (Ikhtiyar Juz’i).
  3. Kehendak manusia hanya berfungsi untuk mengaitkan dirinya dengan tindakan yang diciptakan Tuhan. Walaupun manusia merasa bebas memilih, kekuatan efektif penciptaan tetap milik Allah.

Bagi Asy'ariyah, Kasb memungkinkan adanya pertanggungjawaban moral (karena manusia memilih untuk mengakuisisi tindakan tersebut) tanpa mengkompromikan tauhid Allah sebagai satu-satunya Pencipta. Kadariah, dan Mu'tazilah yang mengikuti mereka, mengkritik teori Kasb sebagai solusi yang tidak memadai, menganggapnya sebagai fatalisme yang disamarkan. Mereka berargumen bahwa jika Allah yang menciptakan tindakan secara efektif, Kasb hanyalah formalitas belaka, dan manusia tetap tidak benar-benar bebas.

Perdebatan ini berlanjut selama berabad-abad, dengan Kadariah dan Mu'tazilah bersikeras bahwa Ikhtiyar harus mutlak agar keadilan Ilahi dapat dipertahankan. Mereka melihat Asy'ariyah gagal dalam mempertahankan prinsip keadilan, karena teori Kasb tetap menempatkan Tuhan sebagai pencipta efektif dari kejahatan, meskipun manusia bertanggung jawab atas "pilihannya" terhadap kejahatan tersebut.

IV. Implikasi Etis, Hukum, dan Eksistensial dari Kehendak Bebas Kadariah

Penerimaan terhadap doktrin Kadariah memiliki konsekuensi yang jauh melampaui batas-batas teologi murni; ia membentuk pandangan dunia, etika, sistem hukum, dan bahkan psikologi individu.

A. Etika dan Kewajiban Manusia

Jika manusia adalah pencipta tindakan mereka, maka implikasi etisnya sangat besar. Setiap individu dibebani tanggung jawab yang mendalam untuk memilih kebaikan. Ajaran Kadariah mendorong aktivisme moral dan sosial, karena kegagalan atau kesuksesan komunitas tidak dapat disandarkan pada takdir yang tidak terhindarkan, melainkan pada usaha, pilihan, dan kebijakan manusia.

Dalam pandangan Kadariah, etika bersifat universal dan rasional. Karena keadilan adalah atribut yang wajib bagi Allah, dan karena akal manusia dapat memahami apa itu adil dan zalim, manusia memiliki kewajiban untuk bertindak sesuai dengan standar etika yang dapat dicapai secara rasional, bahkan sebelum wahyu datang. Ini adalah salah satu titik temu Kadariah dengan Mu'tazilah yang dikenal dengan doktrin al-Hasan wa al-Qubh al-'Aqliyyain (Kebaikan dan Keburukan yang Diketahui Akal).

Kewajiban (taklif) yang diberikan Allah kepada manusia, dari perspektif Kadariah, adalah bukti paling nyata dari kebebasan. Taklif hanya dapat dibebankan kepada pihak yang memiliki kemampuan penuh untuk melaksanakan atau meninggalkannya. Oleh karena itu, hukum Ilahi dan hukum manusia harus beroperasi dengan asumsi bahwa pelaku memiliki kapasitas penuh untuk memilih perbuatan mereka.

B. Pengaruh terhadap Fiqh (Hukum Islam)

Dalam ranah fiqh, pandangan tentang kehendak bebas sangat memengaruhi interpretasi terhadap niat (niyyah) dan pertanggungjawaban kriminal. Jika Kadariah dianut:

  1. Niat yang Murni: Niat menjadi elemen yang sangat kuat dan murni dari kehendak individu. Kejahatan yang dilakukan harus dianggap sebagai produk dari niat jahat yang diciptakan sepenuhnya oleh pelaku.
  2. Hukuman (Hudud): Penerapan hukuman, khususnya hudud, menjadi sepenuhnya dibenarkan karena pelaku telah menggunakan kebebasan yang diberikan Tuhan untuk secara sadar melanggar batasan-Nya. Tidak ada alasan fatalistik yang dapat digunakan untuk mengurangi hukuman.
  3. Tanggung Jawab Kolektif: Pemikiran Kadariah mendorong pertanggungjawaban yang lebih besar terhadap penguasa dan komunitas. Jika suatu komunitas gagal, kegagalan itu bukanlah takdir, melainkan hasil dari pilihan politik dan sosial yang dibuat oleh para pemimpin dan rakyat. Ini sejalan dengan kritik politik yang dilancarkan oleh tokoh-tokoh awal Kadariah seperti Ghaylan ad-Dimasyqi.

Pandangan yang berlawanan, seperti Jabariyah atau bahkan Asy'ariyah yang menekankan Kasb, cenderung menghadapi kesulitan filosofis dalam membenarkan hukuman absolut (seperti hukuman mati atau potong tangan) jika tindakan tersebut pada dasarnya diciptakan oleh Tuhan, meskipun "diakuisisi" oleh manusia.

Neraca Keadilan Ilahi Ilustrasi neraca yang seimbang, melambangkan konsep Keadilan ('Adl) yang mutlak, yang menjadi dasar argumen teologis Kadariah. Ikhtiyar 'Adl

Keadilan Ilahi ('Adl) hanya dapat terwujud melalui adanya Kehendak Bebas (Ikhtiyar).

V. Memperluas Ranah Kadariah: Hubungan dengan Mu'tazilah dan Kritik Filosofis

Meskipun Kadariah sering dianggap sebagai pendahulu langsung Mu'tazilah, dan ajaran kehendak bebas mereka hampir identik, Mu'tazilah kemudian menyusunnya menjadi sistem teologis yang lebih komprehensif. Pemahaman tentang Kadariah membutuhkan analisis terhadap bagaimana Mu'tazilah mengintegrasikan prinsip ini ke dalam lima prinsip (Usul al-Khamsah) mereka.

A. Kadariah sebagai Fondasi Mu'tazilah

Mu'tazilah menjadikan 'Adl (Keadilan Ilahi) dan Tawhid (Keesaan Tuhan) sebagai dua pilar utama mereka. Prinsip 'Adl Mu'tazilah adalah ekspansi logis dari Kadariah. Mereka berpendapat bahwa karena Allah itu adil, Dia hanya akan melakukan yang terbaik (al-Aslah) bagi hamba-Nya dan tidak akan pernah menciptakan kejahatan. Mu'tazilah juga mengadopsi penuh konsep Khalq al-Af'al, yaitu manusia adalah pencipta perbuatannya sendiri.

Namun, Mu'tazilah melangkah lebih jauh daripada Kadariah awal dalam hal rasionalisme. Mereka menggunakan akal (aql) secara ekstensif untuk menyimpulkan kebenaran teologis, termasuk kebenaran kehendak bebas. Bagi mereka, kebebasan bukanlah sekadar kesimpulan etis, tetapi juga kebenasan logis yang tak terhindarkan dari sifat-sifat Allah.

B. Polemik tentang Sifat-sifat Tuhan

Pandangan Kadariah tentang kehendak bebas juga terkait erat dengan bagaimana mereka memahami sifat-sifat Allah (Sifat al-Lah). Jika tindakan manusia diciptakan sepenuhnya oleh manusia, ini melindungi Allah dari sifat Zalim. Namun, pandangan ini juga memicu pertanyaan: Apakah kehendak Allah mutlak (Iradah kulliyyah) mencakup segala sesuatu, atau hanya hal-hal baik?

Kadariah cenderung membatasi Iradah Allah pada hal-hal yang baik dan sesuai dengan perintah-Nya. Mereka berpendapat bahwa mustahil Allah menghendaki (Iradah) kemaksiatan, karena Iradah Ilahi tidak boleh bertentangan dengan perintah (Amr) Ilahi. Jika Allah menghendaki kemaksiatan dan pada saat yang sama melarangnya, ini akan menimbulkan kontradiksi dalam Dzat Ilahi.

Kontrasnya, Asy'ariyah dan mazhab Sunni lainnya berpendapat bahwa Iradah Allah bersifat universal dan meliputi segala sesuatu—baik ketaatan maupun kemaksiatan. Meskipun Allah memerintahkan kebaikan (Amr), Iradah-Nya mencakup semua yang terjadi. Pembatasan Iradah oleh Kadariah dianggap oleh lawan mereka sebagai pembatasan kekuasaan (Qudra) Allah.

VI. Elaborasi Historis dan Perkembangan Doktrin Kadariah

Untuk memahami sepenuhnya dampak Kadariah, kita perlu menelusuri bagaimana ajaran ini berevolusi dan dikritik sepanjang era Abbasiyah dan seterusnya, khususnya di pusat-pusat intelektual seperti Baghdad dan Basrah.

A. Tahap Konsolidasi dan Kritisisme

Setelah periode Kadariah awal (Ma'bad dan Ghaylan), pemikiran ini diserap dan disistematisasi oleh para teolog Mu'tazilah. Pada masa keemasan Mu'tazilah (periode awal Abbasiyah), doktrin kehendak bebas Kadariah mendominasi wacana intelektual, bahkan di kalangan pemerintahan (seperti pada masa Mihnah). Pada titik ini, Kadariah bukan lagi sekadar kelompok, melainkan prinsip teologis yang terintegrasi.

Namun, kritisisme terhadap Kadariah/Mu'tazilah sangat kuat. Lawan mereka, khususnya Ahmad bin Hanbal dan kemudian Abu al-Hasan al-Asy'ari, menuduh bahwa Kadariah telah:

  1. Menyekutukan dalam Kekuasaan: Dengan mengatakan bahwa manusia menciptakan tindakannya, Kadariah dianggap telah memberikan atribut ketuhanan (penciptaan) kepada manusia, yang merupakan pelanggaran tauhid.
  2. Menafikan Ilmu Allah: Jika Allah tidak menentukan perbuatan buruk, apakah ini berarti Allah tidak mengetahui perbuatan buruk itu sebelum terjadi? Kadariah menjawab bahwa Allah mengetahui segalanya (Ilmu Allah), tetapi Ilmu Allah tidak sama dengan Iradah (kehendak yang memaksa). Ilmu Allah hanya mengetahui apa yang akan dipilih manusia secara bebas, tidak memaksanya.

Meskipun demikian, kritikus terus berargumen bahwa perbedaan antara Ilmu yang mendahului dengan Iradah yang tidak memaksa adalah pembedaan yang terlalu halus dan secara praktis menggeser kekuasaan Ilahi. Dalam pandangan Sunni ortodoks (Asy'ariyah dan Maturidiyah), tidak ada satupun entitas yang dapat bertindak independen dari Qudra Ilahi.

B. Upaya Penyelarasan Konsep: Qada dan Qadar

Dalam upaya untuk menanggapi kritikus sambil tetap mempertahankan kebebasan, beberapa pemikir yang selaras dengan Kadariah berusaha membuat pembedaan yang sangat ketat antara Qada (keputusan akhir atau penghakiman) dan Qadar (ketetapan atau takdir). Mereka berargumen bahwa Allah telah menetapkan secara umum hukum-hukum alam dan kapasitas manusia (Qadar), tetapi keputusan spesifik yang dibuat oleh manusia dalam konteks hukum tersebut adalah kehendak manusia itu sendiri (Ikhtiyar).

Qadar Ilahi, bagi mereka, adalah penyediaan sarana, bukan penetapan hasil. Misalnya, Allah menetapkan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk bergerak (Qadar), tetapi apakah manusia menggunakan kemampuan itu untuk berjalan menuju masjid atau menuju tempat maksiat, itu adalah pilihan bebas manusia.

Perbedaan ini menjadi kunci. Jika Kadariah tidak membedakan Qada dan Qadar, mereka akan dituduh sepenuhnya menolak takdir. Namun, dengan mengakui Qadar umum sebagai pemberian kapasitas dari Tuhan, mereka menjaga kekuasaan Tuhan, sambil membatasi Qadar dari aspek memaksa atau menciptakan kejahatan spesifik.

VII. Resonansi Modern dan Perspektif Filosofis

Meskipun Kadariah sebagai mazhab teologi independen mungkin telah meredup setelah dominasi Asy'ariyah dan Maturidiyah, prinsip inti kehendak bebasnya tetap hidup dan relevan dalam filsafat Islam modern dan kontemporer.

A. Kadariah dan Filsafat Eksistensialisme

Dalam filsafat modern, Kadariah menemukan resonansi yang kuat dengan pemikiran eksistensialisme, khususnya gagasan bahwa "eksistensi mendahului esensi." Eksistensialisme menekankan bahwa manusia pada dasarnya bebas dan harus bertanggung jawab penuh atas tindakan mereka, yang pada gilirannya mendefinisikan siapa mereka.

Kadariah, dengan penekanannya pada manusia sebagai pencipta perbuatannya, mendahului gagasan ini. Jika perbuatan manusia (amal) adalah ciptaan manusia itu sendiri, maka identitas moral dan spiritual seseorang sepenuhnya dibangun oleh pilihan-pilihan yang dibuat, bukan oleh takdir Ilahi yang telah ditentukan sejak kekekalan. Hal ini memberikan martabat yang besar kepada upaya manusia (ijtihad) dan peran individu dalam sejarah.

B. Psikologi dan Motivasi Diri

Dalam konteks psikologi agama dan motivasi, doktrin Kadariah menawarkan kerangka kerja yang mempromosikan optimisme dan usaha. Jika kegagalan adalah akibat dari pilihan buruk dan kesuksesan adalah hasil dari usaha yang baik, maka manusia memiliki kekuatan inheren untuk mengubah nasib mereka. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan fatalistik yang mungkin menyebabkan kepasrahan (tawakkul) pasif.

Kadariah mengajarkan bahwa kepasrahan yang benar (Tawakkul) harus didahului oleh Ikhtiyar yang aktif. Seseorang harus berusaha sekuat tenaga, menggunakan kebebasan yang diberikan Allah, baru kemudian hasilnya diserahkan kepada-Nya. Tawakkul tanpa usaha dianggap sebagai penolakan terhadap tanggung jawab yang diberikan Tuhan.

VIII. Detail Mendalam: Istilah Kunci dalam Polemik Qadar

Untuk memahami perdebatan Kadariah secara komprehensif, penting untuk mengulangi dan mendalami istilah-istilah teologis yang sering digunakan dalam polemik ini, dan bagaimana Kadariah memaknainya berbeda dari lawan-lawannya.

A. Qudra (Kekuatan/Daya) dan Ikhtiyar (Pilihan)

Bagi Kadariah, Qudra adalah daya efektif yang diberikan Allah kepada manusia yang memungkinkan manusia menjadi pelaku hakiki dari perbuatan. Daya ini, begitu diberikan, berada di bawah kendali penuh manusia. Manusia kemudian menggunakan Ikhtiyar, yaitu kehendak memilih, untuk mengarahkan Qudra tersebut.

Lawan Kadariah, terutama Asy'ariyah, berpendapat bahwa Qudra manusia bersifat temporal dan tidak efektif dalam menciptakan. Qudra manusia hanyalah wadah untuk menerima perbuatan yang diciptakan Allah. Perbedaan ini adalah garis pemisah teologis yang paling tajam. Kadariah mempertahankan bahwa jika Qudra tidak efektif, maka istilah Qudra itu sendiri menjadi tidak bermakna dalam konteks pertanggungjawaban moral.

B. Qada, Qadar, dan Hubungan Masa Depan

Perdebatan juga menyentuh masalah apakah takdir harus dilihat sebagai sesuatu yang telah selesai (final) atau sebagai proses yang terus berlangsung (dinamis). Kadariah cenderung melihat Qadar sebagai sesuatu yang sebagian besar dinamis, terbuka bagi kehendak bebas manusia, meskipun dalam kerangka hukum-hukum alam yang statis. Mereka berargumen bahwa fokus pada takdir masa lalu (semua sudah ditulis) dapat mematikan kebebasan masa kini.

Mereka menggunakan perumpamaan tentang guru dan murid. Seorang guru mengetahui bahwa muridnya akan lulus atau gagal (Ilmu Allah), tetapi pengetahuan guru tersebut tidak memaksa murid untuk belajar atau tidak belajar (Ikhtiyar manusia). Namun, Kadariah melangkah lebih jauh, menyatakan bahwa murid sendirilah yang menulis hasil ujiannya, bukan guru, meskipun guru sudah tahu hasilnya. Guru (Allah) hanya memberikan pena dan kertas (Qudra).

IX. Rangkuman Ekspansif: Warisan Intelektual Kadariah

Kadariah mewakili puncak pemikiran rasionalis awal dalam Islam, sebuah upaya fundamental untuk menyelaraskan konsep Tauhid (Keesaan Allah) dengan 'Adl (Keadilan Allah). Upaya ini menuntut pembelaan terhadap kebebasan individu secara mutlak, bahkan jika itu berarti membatasi cakupan kehendak spesifik Allah terhadap tindakan manusia.

Meskipun Kadariah dalam bentuk awalnya sebagai gerakan independen mungkin telah usai, warisan intelektual mereka terus memengaruhi wacana teologis hingga kini. Doktrin kehendak bebas mereka, yang kemudian disistematisasi oleh Mu'tazilah, memainkan peran penting dalam:

Kadariah mengajarkan kita bahwa manusia bukanlah sekadar boneka di panggung takdir. Manusia adalah aktor utama, dan setiap pilihan yang diambil, dari sekecil apa pun, adalah hasil dari Ikhtiyar yang diberikan oleh Allah SWT sebagai ujian terbesar. Beban kebebasan ini sekaligus merupakan kehormatan terbesar yang diberikan Tuhan kepada makhluk-Nya. Dengan demikian, Kadariah adalah seruan abadi untuk tanggung jawab, usaha, dan penegakan keadilan, diyakini sebagai satu-satunya jalan yang konsisten dengan atribut Allah sebagai Maha Adil dan Maha Bijaksana.

Eksplorasi mendalam ini menegaskan bahwa perdebatan tentang Qadar dan Ikhtiyar bukanlah sekadar perdebatan akademis yang steril, melainkan refleksi mendasar tentang hakikat kemanusiaan, tujuan penciptaan, dan sifat hubungan yang intim dan menantang antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya yang diberi amanah berupa akal dan kehendak. Kadariah, melalui ketegasan doktrinnya, memaksa setiap Muslim untuk bertanya: sejauh mana saya bertanggung jawab atas nasib dan perbuatan saya?

Penyelidikan berkelanjutan mengenai Kadariah juga membuka cakrawala pemikiran baru tentang bagaimana Islam dapat berinteraksi dengan isu-isu kontemporer mengenai otonomi, agensi, dan penentuan nasib sendiri. Dengan menempatkan kehendak bebas pada posisi sentral, Kadariah memberikan landasan bagi etika personal yang kuat dan etika sosial yang menuntut pertanggungjawaban tanpa kompromi. Kebebasan, dalam pandangan Kadariah, adalah esensi dari ibadah yang tulus; tanpa pilihan bebas, ketaatan hanyalah kepatuhan mekanis tanpa makna spiritual yang mendalam.

Oleh karena itu, meskipun pandangan teologis Kadariah tidak menjadi doktrin arus utama dalam Sunni ortodoks (yang didominasi oleh Asy'ariyah dan Maturidiyah dengan teori Kasb mereka), semangat dan prinsip-prinsip utamanya—terutama penekanan pada Keadilan Ilahi dan tanggung jawab penuh—terus menjadi kontributor penting dalam dialektika teologis Islam yang kaya dan kompleks. Warisan mereka adalah pengingat konstan bahwa keimanan yang sejati harus mampu mengatasi konflik antara keagungan kekuasaan Tuhan dan tuntutan moral atas akal budi manusia.

Analisis lebih jauh mengenai Kadariah menuntut kita untuk memahami perdebatan mengenai konsep takdir mu'allaq (takdir yang bergantung pada sebab) versus takdir mubram (takdir yang mutlak). Para pengikut Kadariah cenderung menekankan takdir mu'allaq dalam konteks tindakan moral. Mereka berargumen bahwa banyak aspek kehidupan dan hasil perbuatan manusia yang bergantung pada sebab-akibat (sunnatullah) yang dipicu oleh pilihan manusia itu sendiri. Ini berarti bahwa keputusan yang kita ambil hari ini secara harfiah membentuk takdir kita besok. Pandangan ini memperkuat kembali posisi mereka bahwa kepasrahan tidak boleh menjadi alasan untuk kemalasan intelektual atau moral.

Dalam konteks teologi modern, Kadariah seringkali disalahartikan sebagai sekadar penolakan terhadap takdir. Namun, yang mereka tolak adalah takdir fatalistik yang menghilangkan keadilan. Mereka tetap percaya pada pengetahuan (Ilmu) Allah yang maha luas, yang meliputi segala sesuatu dari awal hingga akhir zaman. Pengetahuan ini tidak sama dengan paksaan. Sebagai contoh, seorang arsitek yang merancang sebuah bangunan (mengetahui hasil akhirnya) tidak berarti memaksa material bangunan untuk runtuh atau bertahan; ketahanan material tergantung pada kualitas yang dimilikinya, dan kualitas tersebut tergantung pada pilihan material yang dibuat oleh arsitek dan tukang. Dalam analogi Kadariah, Allah menciptakan potensi (Istita'ah) dan kebebasan (Ikhtiyar), dan hasilnya sepenuhnya adalah hasil dari penggunaan potensi tersebut oleh manusia.

Perluasan wacana Kadariah juga menyentuh aspek maslahah (kemaslahatan umum). Jika Allah Maha Adil dan Maha Bijaksana, Dia pasti menghendaki yang terbaik bagi umat manusia. Oleh karena itu, hukum-hukum Allah dan tindakan Ilahi lainnya harus dapat dimengerti sebagai tindakan yang mengarah pada kemaslahatan mutlak. Jika manusia bertindak bebas, mereka juga harus didorong untuk mengejar maslahah, yang merupakan cerminan dari kehendak Ilahi yang universal. Jika Kadariah diterima, masyarakat memiliki insentif yang jauh lebih besar untuk melakukan reformasi sosial dan politik, karena kegagalan reformasi hanya dapat disalahkan pada kurangnya usaha kolektif dan bukan pada skenario takdir yang sudah ditentukan.

Doktrin kebebasan ini juga memiliki dampak pada isu-isu eskatologis (akhirat). Kadariah bersikeras bahwa jika Allah telah menentukan siapa yang masuk surga dan siapa yang masuk neraka secara mutlak, maka proses hari penghakiman (Yaumul Hisab) menjadi hanya sebuah drama tanpa substansi. Kebebasan yang diberikan di dunia menjamin bahwa Hisab adalah proses yang benar-benar adil dan perlu. Setiap pertanyaan yang diajukan di hari perhitungan adalah pertanyaan tentang pilihan bebas yang dibuat oleh individu, yang tidak mungkin dihindari atau dibenarkan dengan alasan fatalisme.

Sejumlah besar literatur teologi klasik, khususnya yang ditulis oleh para penulis Mu'tazilah, didedikasikan untuk membela kebebasan dari sudut pandang logika. Mereka berargumen bahwa tidak mungkin untuk memiliki dua kehendak yang bertentangan—kehendak Allah yang menyuruh beribadah, dan kehendak Allah yang menciptakan kemaksiatan—di dalam Dzat yang sama. Oleh karena itu, mereka harus menyimpulkan bahwa kemaksiatan dan kejahatan diciptakan oleh manusia dalam rangka Istita'ah yang diberikan Tuhan, sehingga Allah tetap suci dari segala keburukan.

Perdebatan ini, yang dimulai oleh Kadariah, secara mendalam membentuk cara umat Islam memahami Tawhid al-Af'al (Keesaan Allah dalam Perbuatan). Mazhab Sunni ortodoks bersikeras bahwa Tauhid al-Af'al menuntut bahwa Allah adalah satu-satunya pelaku (Fa'il) dan pencipta segala perbuatan. Kadariah/Mu'tazilah, di sisi lain, berpendapat bahwa mengakui manusia sebagai pelaku sejati dari tindakannya sendiri tidak melanggar Tauhid al-Af'al, karena kapasitas bertindak itu sendiri adalah ciptaan Allah. Mereka menegaskan bahwa Tauhid al-Af'al tidak boleh mengorbankan sifat keadilan (Adl) Allah.

Dalam sejarah Islam, Kadariah dan perdebatan yang dipicunya merupakan manifestasi dari ketegangan abadi antara transendensi Ilahi (kekuasaan mutlak Tuhan yang meliputi segala sesuatu) dan imanensi Ilahi (kedekatan Tuhan yang memberikan manusia martabat dan tanggung jawab). Kadariah memilih untuk menekankan martabat dan tanggung jawab manusia, menempatkan beban moral secara tegas pada pilihan individu, dan dengan demikian menawarkan pandangan dunia yang memberdayakan dan menuntut pertanggungjawaban etis yang tinggi di setiap aspek kehidupan.

Ajaran Kadariah, jika dipahami dalam konteksnya yang penuh, menuntut keberanian intelektual dan moral. Ia menantang dogma kemudahan dan kepasrahan buta. Ia mengajak individu untuk menghadapi realitas pilihan bebas dengan segala konsekuensinya, memastikan bahwa ibadah dan amal saleh dilakukan bukan karena keterpaksaan takdir, melainkan sebagai manifestasi murni dari Ikhtiyar yang bertanggung jawab dan didorong oleh cinta serta akal yang jernih. Kontribusi ini, yang begitu mendasar bagi pengembangan teologi Islam, menjadikan Kadariah sebagai topik yang tak terhindarkan dalam studi tentang pemikiran Islam.

Keberlanjutan perdebatan ini, bahkan setelah Kadariah meredup, membuktikan bahwa isu kehendak bebas adalah isu yang fundamental bagi eksistensi manusia beragama. Kadariah telah meletakkan batu pertama filosofis dan teologis yang memaksa seluruh mazhab teologi untuk memberikan jawaban yang koheren mengenai bagaimana manusia dapat dianggap bertanggung jawab atas tindakannya jika Tuhan adalah maha kuasa dan maha tahu. Jawaban yang ditawarkan Kadariah—bahwa manusia adalah pencipta perbuatannya sendiri—adalah jawaban yang paling tegas dan paling kuat dalam membela keadilan dan martabat manusia di hadapan Tuhan.

Penting untuk menggarisbawahi lagi bahwa pemikiran Kadariah, khususnya yang berkaitan dengan tanggung jawab individu atas perbuatan jahat, adalah kunci utama dalam pemahaman mereka tentang kebaikan. Mereka berpendapat bahwa kebaikan (ketaatan) harus dilihat sebagai usaha keras manusia untuk mencapai kesempurnaan moral dan spiritual, yang dimungkinkan oleh karunia Ilahi berupa kapasitas dan kebebasan. Jika kebaikan itu ditetapkan oleh takdir, nilainya akan berkurang. Sebaliknya, karena kebaikan adalah hasil pilihan yang sulit, pahalanya menjadi sah dan berlipat ganda. Demikian pula, kejahatan adalah penyalahgunaan kebebasan yang mulia ini, dan oleh karena itu, hukuman yang diterima sepenuhnya adil. Inilah inti etika Kadariah yang tak tergoyahkan.

Dalam kerangka pemikiran Kadariah, konsep tawbah (pertobatan) juga memiliki makna yang lebih mendalam. Pertobatan adalah tindakan Ikhtiyar yang revolusioner. Seseorang secara bebas memilih untuk meninggalkan jalan yang telah ia ciptakan sendiri (jalan dosa) dan memilih jalan yang baru (jalan kebaikan). Jika dosa adalah takdir yang tak terhindarkan, maka pertobatan hanyalah formalitas. Namun, jika dosa adalah ciptaan manusia, pertobatan adalah perubahan arah yang nyata, sebuah penciptaan baru atas diri sendiri, yang hanya mungkin terjadi karena anugerah kebebasan sejati yang diyakini oleh Kadariah. Kebebasan ini memberikan harapan sekaligus ketakutan—harapan akan potensi kebaikan yang tak terbatas, dan ketakutan akan tanggung jawab atas setiap kesalahan yang disengaja.

Akhirnya, memahami Kadariah adalah memahami bahwa teologi Islam bukan hanya tentang kepatuhan, tetapi juga tentang penyelidikan rasional yang mendalam mengenai misteri kekuasaan Tuhan dan hakikat kebebasan manusia. Meskipun mazhab ini menghadapi kritik keras dan seringkali dianggap menyimpang dari ortodoksi, sumbangsihnya dalam menuntut kejelasan mengenai keadilan Ilahi telah memperkaya dan memperkuat kerangka berpikir teologis Islam secara keseluruhan, memastikan bahwa konsep takdir tidak pernah diartikan sebagai lisensi untuk fatalisme yang pasif atau justifikasi untuk ketidakadilan.