Konsep Kadah, atau sering ditransliterasikan sebagai Qada (القضاء), merupakan salah satu pilar fundamental dalam struktur pemerintahan dan sistem hukum peradaban Islam. Istilah ini melampaui makna sempit peradilan, menyentuh dimensi ketuhanan, administratif, dan sosiologis. Dalam penggunaannya yang paling umum dan historis, Kadah merujuk pada kekuasaan atau institusi yang bertanggung jawab untuk memutuskan sengketa, menegakkan keadilan, dan menerapkan syariat di tengah masyarakat. Evolusi institusi Kadah mencerminkan kompleksitas perkembangan politik, sosial, dan hukum dari masa kenabian hingga kekhalifahan modern, menawarkan studi kasus yang kaya tentang bagaimana prinsip-prinsip keagamaan diterjemahkan menjadi prosedur hukum yang berfungsi secara efektif dalam skala kekaisaran yang luas.
Untuk memahami kedalaman fungsi Kadah, penting untuk mengupasnya dari berbagai sudut pandang linguistik dan teologis sebelum masuk ke ranah hukum praktis. Perbedaan antara interpretasi Kadah sebagai Ketetapan Ilahi dan Kadah sebagai Yurisdiksi Manusia sangat krusial dalam kajian ini.
Secara etimologi, akar kata triliteral Qaf-Dal-Ya (ق ض ي) dalam bahasa Arab mengandung beberapa makna dasar yang semuanya berkaitan dengan penyelesaian dan penentuan:
Dengan demikian, Kadah dalam konteks institusional adalah mekanisme yang digunakan untuk menyelesaikan perselisihan berdasarkan otoritas hukum yang diakui, memastikan bahwa suatu masalah benar-benar mencapai penuntasan yang adil dan berlandaskan Syariat.
Dalam akidah (teologi Islam), Kadah (Qada) sering dikaitkan erat dengan Qadar (Takdir). Kadah, dalam konteks ini, merujuk pada Ketentuan Ilahi yang absolut dan kekal, yaitu pengetahuan dan kehendak Allah SWT mengenai segala sesuatu yang akan terjadi sebelum penciptaan alam semesta. Qadar, di sisi lain, adalah perwujudan atau pelaksanaan ketentuan tersebut di dunia nyata pada waktu yang telah ditetapkan. Pentingnya pemisahan antara Kadah teologis dan Kadah yurisprudensial adalah untuk membatasi ruang lingkup pembahasan. Meskipun Hakim (Qadi) dalam sistem hukum adalah perwakilan dari otoritas Ilahi di bumi, tindakannya tetap terikat oleh metodologi hukum (Fiqh) dan bukti empiris, bukan oleh pengetahuan metafisik tentang takdir.
Dalam disiplin Fiqh (jurisprudensi Islam), Kadah didefinisikan secara operasional. Para fuqaha (ahli hukum) mendefinisikannya sebagai: Kewenangan untuk memberikan ketetapan yang mengikat (hukm) dalam suatu perselisihan atau klaim hukum, menggunakan metodologi Syariat. Fungsi ini menuntut tidak hanya pengetahuan yang mendalam tentang hukum tetapi juga integritas moral, kekuasaan eksekutif untuk menegakkan keputusan, dan kemampuan untuk memastikan ketertiban sosial. Institusi yang menjalankan fungsi Kadah adalah Dā’irat al-Qadā’ (Departemen Peradilan), yang dipimpin oleh seorang Qadi (Hakim).
Institusi Kadah tidak lahir secara formal dan terstruktur, melainkan berkembang secara organik, bergerak dari model penyelesaian sengketa berbasis karisma personal menjadi sistem birokrasi peradilan yang kompleks di bawah kekhalifahan.
Pada masa awal Islam di Madinah, Rasulullah SAW bertindak sebagai pemutus sengketa tertinggi. Fungsi Kadah pada dasarnya terintegrasi dengan fungsi legislatif, eksekutif, dan spiritual beliau. Keputusan-keputusan yang beliau keluarkan bersifat mutlak dan mengikat, bersumber langsung dari wahyu (Al-Qur'an) atau inspirasi (Sunnah). Pada periode ini, sistem Kadah bersifat terpusat dan personal. Ketika komunitas Muslim meluas, Nabi menunjuk delegasi (Qadi) ke wilayah-wilayah yang jauh, seperti penunjukan Mu'adh bin Jabal ke Yaman. Ini menjadi model awal desentralisasi peradilan.
Gambar 1: Simbolisasi Kadah sebagai keputusan yang adil, berbasis pada hukum yang tertulis (Kitab).
Setelah wafatnya Nabi, para Khalifah (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali) melanjutkan peran peradilan, tetapi tekanan administratif dari kekaisaran yang meluas memaksa pemisahan fungsi. Umar bin Khattab dikenal sebagai Khalifah yang paling berperan dalam pelembagaan Kadah. Beliau secara resmi memisahkan yurisdiksi Qadi dari yurisdiksi Wali (Gubernur).
Pada masa ini, Kadah adalah entitas yang independen dari militer dan administrasi fiskal, meskipun Qadi masih ditunjuk dan diberhentikan oleh Khalifah atau Gubernurnya.
Perluasan kekaisaran Umayyah dan kemudian Abasiah (pusat di Damaskus dan Baghdad) membawa tantangan baru: keragaman populasi, kompleksitas transaksi, dan kebutuhan akan standardisasi hukum yang lebih besar.
Pencapaian birokrasi terbesar dalam sejarah Kadah terjadi pada masa Abasiah dengan pembentukan jabatan Qadi al-Qudat (Hakim Agung atau Kepala Hakim). Jabatan ini konon pertama kali dilembagakan oleh Khalifah Harun ar-Rasyid, yang menunjuk Abu Yusuf (murid Imam Abu Hanifah) sebagai Qadi al-Qudat pertama.
Peran Qadi al-Qudat adalah vital:
Pelembagaan ini menandai transisi penuh dari sistem peradilan yang diselenggarakan secara ad-hoc menjadi sistem hierarkis birokratis yang menjadi model bagi negara-negara Muslim selanjutnya, termasuk di Andalusia, Mesir Fathimiyyah, dan Kekaisaran Utsmaniyah.
Meskipun Kadah adalah lembaga peradilan utama, dalam praktik Abasiah yang kompleks, Kadah tidak menangani semua jenis perselisihan. Tiga yurisdiksi utama berkembang:
Sistem tiga pilar ini menunjukkan bahwa peradaban Islam klasik memahami bahwa keadilan memerlukan pendekatan berlapis, di mana Qadi fokus pada hukum Syariat murni, sementara Mazalim dan Hisbah menangani aspek tata kelola dan eksekutif.
Qadi adalah jantung dari institusi Kadah. Tugasnya dianggap sebagai fardhu kifayah—kewajiban kolektif yang jika tidak dipenuhi akan menanggung dosa bagi seluruh komunitas—dan merupakan amanah yang sangat berat, membutuhkan kualitas moral dan intelektual yang tinggi.
Para fuqaha menetapkan standar yang sangat ketat untuk seseorang yang dapat memegang jabatan Qadi. Meskipun ada sedikit perbedaan antar madzhab (terutama mengenai jenis kelamin), kriteria intinya meliputi:
Pengangkatan Qadi adalah hak prerogatif Khalifah atau wakilnya. Sebelum menjabat, Qadi harus menerima surat tugas (mandat) yang menentukan wilayah yurisdiksinya dan batasan kekuasaannya. Etika (Adab al-Qadi) merupakan sub-disiplin ilmu Fiqh yang sangat terperinci:
Pelanggaran etika ini dapat menyebabkan pencopotan, karena integritas peradilan adalah fondasi legitimasi Kadah itu sendiri.
Proses peradilan Kadah, yang dikenal sebagai Muhakamah, didasarkan pada prinsip yang terstruktur dan sangat menekankan peran bukti. Prosedur ini bervariasi sedikit di antara madzhab-madzhab, tetapi kerangka dasarnya sama.
Proses dimulai ketika seorang individu mengajukan klaim (Da'wa) kepada Qadi. Tahap-tahapnya adalah:
Sistem Kadah klasik sangat ketat dalam menerima bukti, menekankan pada kesaksian langsung dan sumpah.
Kesaksian adalah bentuk bukti yang paling kuat dalam Kadah. Kualitas saksi sangat diutamakan, bukan kuantitas semata. Syarat saksi adalah harus adil (integritas tinggi), tidak memiliki hubungan kepentingan dengan pihak yang bersengketa, dan menyaksikan peristiwa secara langsung.
Jika penggugat tidak dapat memberikan bukti yang memadai, Qadi akan mengalihkan sumpah kepada tergugat. Jika tergugat bersumpah bahwa klaim tersebut salah, ia dibebaskan. Jika tergugat menolak bersumpah, penolakan tersebut dapat dianggap sebagai pengakuan, meskipun ada perbedaan pendapat madzhab mengenai efek penolakan sumpah.
Dokumen (misalnya, kontrak, akta, catatan harta wakaf) diakui, tetapi seringkali memerlukan kesaksian untuk membuktikan keasliannya. Iqrar (pengakuan) oleh salah satu pihak adalah bentuk bukti yang sangat kuat dan sering dianggap final.
Dengan runtuhnya kekhalifahan klasik dan munculnya negara-bangsa modern, institusi Kadah mengalami transformasi dramatis. Di banyak negara, peran Qadi dikurangi, sementara sistem hukum positif (civil law) yang terinspirasi Barat diadopsi.
Di sebagian besar negara Muslim kontemporer, sistem hukum memiliki dualisme:
Institusi Kadah di sini masih mempertahankan akar historisnya, tetapi kekuasaannya telah dibatasi dan dikodifikasi. Kodifikasi hukum keluarga di negara-negara seperti Mesir, Indonesia, dan Malaysia telah menggantikan otoritas independen Qadi untuk ber-ijtihad, menjadikannya lebih sebagai hakim yang menerapkan undang-undang yang sudah ada (yaitu, undang-undang yang berasal dari Fiqh, tetapi sudah disistematisasi oleh negara).
Meskipun sering digantikan oleh sistem hukum Barat, konsep dan prosedur Kadah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan pada perkembangan hukum global, khususnya di bidang:
Institusi Kadah tidak hanya berfungsi sebagai mekanisme peradilan tetapi juga sebagai penyeimbang kekuasaan eksekutif (Khalifah/Sultan). Namun, Kadah juga memiliki keterbatasan inheren yang perlu dianalisis secara kritis.
Kekuatan terbesar Kadah terletak pada legitimasi agama dan moralnya. Karena Qadi menegakkan Syariat, putusannya dianggap memiliki otoritas yang lebih tinggi daripada sekadar dekrit politik. Dalam sejarah, banyak Qadi yang berani menantang otoritas Khalifah ketika merasa tindakan Khalifah melanggar Syariat, menggunakan Kadah sebagai benteng perlindungan terhadap absolutisme politik. Contoh terkenal adalah Qadi yang menolak bersaksi mendukung Khalifah Ma'mun ar-Rasyid selama peristiwa Mihna (Inkuisisi), meskipun menghadapi ancaman eksekusi.
Meskipun kuat, kekuasaan Qadi dibatasi oleh dua hal utama:
Penting untuk dibedakan bahwa Fiqh adalah ilmu teoretis dan metodologi interpretasi hukum (ilmu hukum Syariat), sementara Kadah adalah praktik penerapan hukum oleh otoritas yang ditunjuk. Fiqh menyediakan kerangka kerja dan norma-norma, sedangkan Kadah adalah institusi yang mengimplementasikan norma-norma tersebut di dunia nyata melalui putusan yang mengikat.
Untuk mengilustrasikan kompleksitas Kadah, mari kita tinjau bagaimana institusi ini menangani jenis perkara yang berbeda.
Sebagian besar waktu Qadi klasik dihabiskan untuk menyelesaikan sengketa properti, kontrak (al-’Uqūd), dan warisan (al-Farā’id). Dalam hal ini, Kadah berfungsi sebagai kantor catatan sipil dan pengadilan sengketa.
Ketika terjadi sengketa kepemilikan tanah, Qadi harus meninjau hujjaj (dokumen legal atau akta) yang ada. Apabila dokumen bertentangan, ia akan mencari saksi yang adil yang dapat mengkonfirmasi siapa yang memiliki tasarruf (penggunaan aktual) yang berkelanjutan atas tanah tersebut. Keputusan Kadah mengenai properti adalah final dan seringkali didokumentasikan dalam format yang sangat rinci untuk mencegah sengketa di masa depan.
Hukum Keluarga adalah area di mana Kadah mempertahankan yurisdiksi terbesarnya bahkan hingga hari ini. Kadah memastikan bahwa pernikahan (Nikah) dilangsungkan dengan memenuhi rukun-rukun Syariat (ijab, qabul, wali, mahar, saksi). Dalam kasus perceraian (Talaq), Qadi memiliki peran krusial dalam memastikan hak-hak perempuan terpenuhi, khususnya dalam hal nafkah iddah dan pembagian harta. Meskipun suami memiliki hak untuk mentalak, Qadi memiliki wewenang untuk Faskh an-Nikah (pembatalan pernikahan) jika ada pelanggaran hak mendasar, seperti kegagalan suami memberikan nafkah.
Secara teori, Qadi berwenang mengadili semua kasus pidana (Jinayat). Namun, dalam praktik, kasus-kasus Hudud (hukuman yang ditetapkan Syariat, seperti pencurian atau perzinaan) seringkali sulit dibuktikan karena standar kesaksian yang sangat tinggi. Oleh karena itu, di banyak kekhalifahan, kasus pidana yang lebih berat, khususnya yang melibatkan kekerasan dan kepentingan publik, sering dialihkan ke pengadilan Mazalim, yang memiliki otoritas lebih besar untuk menggunakan bukti tidak langsung atau pengakuan paksa (yang tidak diizinkan dalam pengadilan Kadah murni) dan menerapkan hukuman Ta'zir (hukuman diskresioner oleh penguasa).
Warisan Kadah meluas melampaui ruang sidang, membentuk disiplin ilmu hukum, administrasi publik, dan historiografi.
Institusi Kadah sangat terkenal karena penekanannya pada dokumentasi. Qadi dibantu oleh Katib (juru tulis) yang mencatat semua proses persidangan, kesaksian, dan keputusan dalam Sijill (register). Sijill ini tidak hanya berfungsi sebagai arsip legal tetapi juga sebagai sumber sejarah sosial dan ekonomi yang tak ternilai. Studi Sijill dari periode Utsmaniyah dan Mamluk memberikan wawasan mendalam tentang kehidupan sehari-hari, harga pasar, dan struktur keluarga di wilayah tersebut.
Gambar 2: Sijill dan Pena, melambangkan pentingnya dokumentasi resmi dalam Kadah.
Pengembangan etika peradilan (Adab al-Qadi) merupakan warisan Kadah yang paling berharga. Karya-karya klasik tentang Adab al-Qadi membahas setiap aspek perilaku seorang hakim, mulai dari cara ia berinteraksi dengan petugas pengadilan, hingga cara ia harus memandang bukti. Standar etika ini jauh lebih maju dibandingkan banyak sistem hukum kontemporer pada masanya. Ini memastikan bahwa keadilan tidak hanya diterapkan tetapi juga terlihat diterapkan, meminimalkan potensi korupsi dan bias.
Hubungan antara Kadah (penerapan putusan) dan Ijtihad (penalaran hukum independen) adalah kunci untuk memahami dinamika yurisprudensi Islam klasik.
Pada masa awal Islam dan selama periode keemasan Abasiah, Qadi yang ideal adalah seorang Mujtahid. Ketika dihadapkan pada kasus yang belum ada presedennya dalam Al-Qur'an atau Sunnah, Qadi tersebut diharapkan menggunakan keahliannya dalam Ijtihad untuk merumuskan keputusan berdasarkan prinsip-prinsip Syariat (misalnya, melalui Qiyas, Istihsan, atau Maslahah Mursalah).
Namun, setelah abad ke-10 Masehi, muncul kecenderungan untuk menyatakan "tertutupnya pintu Ijtihad". Hal ini berarti Qadi didorong atau diwajibkan untuk menjadi Muqallid, yaitu mengikuti secara ketat ajaran dari madzhab hukum yang dominan. Meskipun hal ini mengurangi variabilitas hukum dan mempromosikan konsistensi, ia juga mengurangi fleksibilitas Kadah untuk beradaptasi dengan perubahan sosial yang cepat.
Madzhab hukum (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) memiliki pengaruh besar pada proses Kadah di berbagai wilayah. Misalnya:
Dengan demikian, Kadah bukanlah sistem monolitik, melainkan sebuah institusi yang keputusan-keputusannya dibentuk oleh interaksi antara teks Syariat, tradisi lokal (Urf), dan afiliasi Madzhab Qadi.
Kadah, sebagai institusi peradilan, adalah manifestasi praktis dari tujuan Syariat (Maqāsid as-Syarī'ah), yaitu pemeliharaan lima hal fundamental: Agama (Dīn), Jiwa (Nafs), Akal (Aql), Keturunan (Nasl), dan Harta (Māl).
Melalui fungsi adjudikasi yang adil, Kadah menyediakan mekanisme untuk menyelesaikan konflik tanpa kekerasan, melindungi hak milik, dan memastikan stabilitas struktur keluarga. Meskipun sistem Kadah klasik telah banyak berevolusi atau digantikan oleh sistem hukum modern, prinsip-prinsip dasarnya—integritas hakim, kesetaraan di hadapan hukum, dan kewajiban untuk mendasarkan keputusan pada otoritas yang diakui—tetap menjadi tolok ukur fundamental bagi keadilan di seluruh dunia Islam.
Kisah Kadah adalah kisah tentang upaya peradaban manusia untuk mentransformasikan cita-cita spiritual menjadi sistem tata kelola yang fungsional dan adil, sebuah upaya yang terus berlanjut hingga hari ini dalam berbagai bentuk pengadilan Syariah di seluruh dunia.
***