Kertanegara: Raja Terakhir Singhasari dan Visi Cakrawala Mandala Dwipantara
Sejarah Nusantara dipenuhi dengan kisah-kisah raja-raja besar yang membentuk peradaban dan geopolitik pada masanya. Di antara mereka, Kertanegara berdiri sebagai figur yang amat menarik, sekaligus tragis. Ia adalah raja terakhir Kerajaan Singhasari, sebuah kerajaan yang pernah berjaya di Jawa Timur. Masa pemerintahannya, yang berlangsung dari tahun 1268 hingga 1292 Masehi, adalah periode krusial yang ditandai oleh ambisi ekspansionis yang luar biasa, kebijakan keagamaan yang mendalam, dan intrik politik yang kompleks, hingga akhirnya berujung pada keruntuhan yang dramatis dan menjadi cikal bakal berdirinya imperium Majapahit.
Kertanegara bukan hanya seorang raja; ia adalah seorang visioner yang melihat melampaui batas-batas kerajaannya, mengimpikan sebuah "Cakrawala Mandala Dwipantara" – sebuah kesatuan wilayah kepulauan yang luas di bawah pengaruh Singhasari. Visi ini, yang melampaui zamannya, adalah respons terhadap ancaman global yang sedang membayangi Asia Tenggara saat itu: ekspansi Kekaisaran Mongol di bawah kepemimpinan Kubilai Khan. Namun, ambisinya yang besar juga mengundang banyak risiko, baik dari dalam maupun luar, yang pada akhirnya akan menjadi penyebab kejatuhannya.
Latar Belakang dan Aksesi Takhta
Singhasari didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222, sebuah kerajaan yang tumbuh dari puing-puing Kediri dan mewarisi tradisi Hindu-Buddha yang kaya. Kertanegara adalah putra dari Raja Wisnuwardhana (Ranggawuni) dan Ratu Jayawardhani. Ia naik takhta pada usia muda, menggantikan ayahnya, Wisnuwardhana, yang telah berhasil menstabilkan kerajaan setelah periode konflik internal. Meskipun Singhasari relatif stabil pada awal pemerintahannya, bibit-bibit permasalahan dari konflik suksesi sebelumnya masih ada di bawah permukaan.
Sejak awal pemerintahannya, Kertanegara menunjukkan karakter yang kuat dan tekad yang bulat. Sumber-sumber sejarah, terutama Kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada era Majapahit, menggambarkan Kertanegara sebagai seorang raja yang cerdas, berani, dan memiliki pemahaman mendalam tentang agama serta strategi politik. Ia bukan hanya seorang pemimpin militer, tetapi juga seorang ahli spiritual yang mendalami ajaran Tantrayana, sebuah cabang esoteris dalam agama Buddha dan Hindu yang menekankan pada pencapaian pencerahan melalui ritual dan praktik meditasi yang mendalam.
Pemerintahan Wisnuwardhana telah menempatkan Singhasari sebagai kekuatan regional yang signifikan di Jawa Timur. Kertanegara mewarisi fondasi yang kokoh ini, namun ia juga menyadari bahwa dunia sedang berubah. Kekuatan maritim Sriwijaya di Sumatera, yang dulunya mendominasi perdagangan di Selat Malaka, mulai melemah. Di sisi lain, ancaman dari Dinasti Yuan Mongol yang perkasa, yang telah menaklukkan sebagian besar Asia, semakin mendekat ke Asia Tenggara. Kertanegara memahami bahwa Singhasari tidak bisa berdiam diri; ia harus bertindak proaktif untuk mengamankan posisinya dan mewujudkan visinya tentang persatuan Nusantara.
Visi Cakrawala Mandala Dwipantara
Visi utama Kertanegara adalah pembentukan Cakrawala Mandala Dwipantara. Konsep "Mandala" dalam konteks politik Asia Tenggara merujuk pada sebuah sistem hubungan politik di mana kekuasaan tidak terpusat pada satu negara secara mutlak, melainkan pada serangkaian negara-kota atau kerajaan yang saling berhubungan melalui hubungan tributari, aliansi, atau hegemoni budaya. Kertanegara ingin Singhasari menjadi pusat dari mandala yang lebih besar ini, yang mencakup seluruh kepulauan Nusantara.
Ada beberapa alasan mendasar di balik visi ini:
- Ancaman Mongol: Invasi Mongol ke Tiongkok dan bagian lain Asia menunjukkan betapa berbahayanya kekuatan ini. Kertanegara kemungkinan besar melihat perlunya membangun perisai pertahanan yang kuat melalui persatuan regional untuk menghadapi potensi invasi Mongol. Dengan mengendalikan atau mempengaruhi kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, ia dapat membentuk aliansi yang lebih besar dan memperkuat posisi Singhasari.
- Penguasaan Jalur Perdagangan: Nusantara merupakan jalur perdagangan maritim yang vital antara Tiongkok, India, dan Timur Tengah. Menguasai atau setidaknya mengamankan jalur-jalur ini akan memberikan keuntungan ekonomi yang besar bagi Singhasari. Melemahnya Sriwijaya membuka peluang bagi Singhasari untuk mengambil alih dominasi di jalur perdagangan ini.
- Ambisi Kekuasaan dan Kejayaan: Seperti raja-raja besar lainnya, Kertanegara juga memiliki ambisi pribadi untuk menjadikan Singhasari sebagai kerajaan yang paling kuat dan berpengaruh di Nusantara, melanjutkan dan melampaui kejayaan pendahulunya.
- Spiritual dan Kosmologi: Sebagai penganut Tantrayana yang mendalam, Kertanegara mungkin juga melihat visi ini sebagai bagian dari tatanan kosmik atau pencarian pencerahan spiritual yang lebih tinggi, di mana penyatuan wilayah dapat mencerminkan kesatuan spiritual.
Untuk mewujudkan visi ini, Kertanegara melancarkan serangkaian ekspedisi militer dan diplomatik yang ambisius:
- Ekspedisi Pamalayu (1275-1292): Ini adalah ekspedisi paling terkenal yang dilancarkan Kertanegara. Pasukan Singhasari dikirim ke Melayu (Sumatera), yang saat itu masih berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Tujuannya adalah untuk menaklukkan atau setidaknya menjalin aliansi dengan kerajaan-kerajaan di Sumatera, terutama Dharmasraya. Ekspedisi ini dipimpin oleh Mahisa Anabrang. Meskipun berlangsung lama, Pamalayu berhasil menempatkan Sumatera di bawah pengaruh Singhasari dan bahkan mengirimkan arca Amoghapasa sebagai tanda persahabatan dan legitimasi.
- Penaklukan Bali (1284): Bali, yang seringkali menjadi basis bagi pemberontakan atau oposisi terhadap kekuasaan Jawa, berhasil ditaklukkan oleh Singhasari. Penaklukan ini memperkuat kontrol Singhasari atas wilayah timur Jawa dan mengamankan perbatasan tenggaranya.
- Hubungan dengan Sunda dan Madura: Selain itu, Kertanegara juga memperkuat hubungannya dengan kerajaan Sunda di Jawa Barat dan Madura, baik melalui diplomasi maupun demonstrasi kekuatan. Ia berusaha untuk mengikat mereka ke dalam jaring pengaruh Singhasari.
Ekspedisi-ekspedisi ini, khususnya Pamalayu, menunjukkan jangkauan militer dan diplomasi Singhasari yang luar biasa pada masanya. Kertanegara berani mengerahkan sebagian besar kekuatan militernya jauh dari ibu kota, menunjukkan kepercayaan diri yang tinggi pada stabilitas internalnya, sekaligus mengabaikan potensi ancaman yang mungkin timbul dari dalam.
Transformasi Keagamaan dan Spiritual
Salah satu aspek paling unik dari pemerintahan Kertanegara adalah transformasi spiritual dan keagamaannya yang mendalam. Ia adalah seorang penganut Tantrayana yang taat, sebuah sinkretisme antara ajaran Buddha dan Hindu Siwa. Dalam ajaran Tantrayana, seorang raja bisa mencapai tingkatan kesempurnaan spiritual yang tinggi dan bahkan diidentifikasikan sebagai manifestasi dewa atau Bodhisattva.
Kertanegara digambarkan sebagai raja yang melakukan ritual-ritual Tantrayana yang kompleks, bahkan mencapai tingkatan Adipura, di mana ia mempraktikkan Panca Makara (lima M) yang meliputi madya (minuman keras), mamsa (daging), matsya (ikan), mudra (sikap tubuh), dan maithuna (hubungan seks ritual). Praktik ini, meskipun kontroversial dalam pandangan moralitas konvensional, dianggap sebagai jalan pintas menuju pencerahan dalam beberapa aliran Tantrayana, di mana batasan antara kesucian dan kenajisan dilebur untuk mencapai realitas tertinggi.
Sinkretisme keagamaan ini juga tercermin dalam seni dan arsitektur pada masanya. Candi Jawi dan Candi Singhasari adalah contoh-contoh peninggalan budaya dari era ini, yang menunjukkan perpaduan motif Hindu dan Buddha. Patung-patung Kertanegara sendiri dibuat dalam wujud Buddha Aksobhya (di Candi Jawi dan Singhasari), yang menunjukkan bahwa ia diidentifikasi sebagai seorang Buddha yang mencapai pencerahan.
Transformasi keagamaan ini tidak hanya bersifat pribadi, tetapi juga memiliki implikasi politik. Dengan menjadi seorang Adipura dan diidentifikasi dengan dewa, Kertanegara berusaha untuk memperkuat legitimasi kekuasaannya dan mengkonsolidasikan dukungan dari berbagai kelompok agama di dalam kerajaannya. Ini adalah upaya untuk menyatukan beragam aliran kepercayaan di bawah panji monarki Singhasari, menciptakan identitas kultural dan spiritual yang kuat untuk mendukung visinya tentang mandala.
Ancaman Mongol dan Keangkuhan Raja
Di tengah ambisi ekspansionisnya, Kertanegara harus menghadapi ancaman yang lebih besar dari utara: Kekaisaran Mongol. Kubilai Khan, kaisar Dinasti Yuan yang telah menaklukkan Tiongkok dan banyak wilayah lainnya, menerapkan kebijakan ekspansi maritim ke Asia Tenggara. Ia mengirimkan utusan ke berbagai kerajaan, menuntut pengakuan kedaulatan dan penyerahan upeti.
Pada tahun 1289, Kubilai Khan mengirim utusan bernama Meng-Ki (Meng Ch'i) ke Singhasari dengan membawa surat yang menuntut Kertanegara untuk tunduk dan mengakui kedaulatan Mongol. Permintaan ini adalah sebuah provokasi langsung terhadap kedaulatan dan harga diri Singhasari.
Reaksi Kertanegara terhadap utusan Mongol ini menjadi salah satu episode paling dramatis dalam sejarahnya. Ia tidak hanya menolak tuntutan Mongol dengan tegas, tetapi juga melakukan tindakan yang sangat berani dan menantang: ia menyuruh mengiris telinga Meng-Ki dan mencoreng wajahnya, lalu memulangkannya ke Tiongkok. Tindakan ini merupakan penghinaan besar bagi Kubilai Khan, yang dikenal tidak mentolerir pembangkangan. Kitab Pararaton dan Negarakertagama mencatat peristiwa ini sebagai titik balik yang memicu kemarahan besar di istana Mongol.
Keputusan Kertanegara ini, meskipun menunjukkan keberanian dan penolakan keras terhadap dominasi asing, seringkali dianggap sebagai tindakan yang ceroboh dan kurang perhitungan. Pada saat itu, sebagian besar kekuatan militer Singhasari sedang berada di luar Jawa untuk Ekspedisi Pamalayu. Kerajaan berada dalam posisi yang rentan, dengan ibu kota yang tidak terlindungi secara maksimal.
Mungkin Kertanegara merasa terlalu percaya diri dengan kekuatan dan perlindungan spiritualnya sebagai Adipura, atau mungkin ia berharap bahwa jarak yang jauh dan kesulitan logistik akan mencegah Mongol melancarkan invasi besar-besaran. Apapun alasannya, tindakan ini memprovokasi Kubilai Khan untuk mempersiapkan invasi balasan yang sangat besar, dengan mengerahkan armada laut dan pasukan darat yang jauh lebih besar daripada yang pernah dihadapi kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Kejatuhan Singhasari: Pemberontakan Jayakatwang
Ironisnya, ancaman terbesar bagi Kertanegara tidak datang dari Mongol yang perkasa, melainkan dari dalam kerajaannya sendiri. Ambisi ekspansionis dan tindakan kerasnya terhadap utusan Mongol telah menciptakan ketegangan dan ketidakpuasan di kalangan bangsawan tertentu di Jawa.
Salah satu bangsawan yang paling merasakan ketidakpuasan adalah Jayakatwang, adipati Kediri. Jayakatwang adalah keturunan dari raja-raja Kediri kuno yang telah digulingkan oleh Ken Arok, pendiri Singhasari. Meskipun ia adalah ipar Kertanegara (saudara ipar), ia masih menyimpan dendam atas keruntuhan Kediri dan mungkin juga merasa terancam oleh kebijakan sentralisasi Kertanegara.
Jayakatwang melihat peluang emas ketika sebagian besar pasukan Singhasari dikerahkan ke luar Jawa. Ia merencanakan pemberontakan dengan cerdik. Pada tahun 1292, ia melancarkan serangan pengecoh ke arah utara Singhasari. Kertanegara, yang cenderung meremehkan ancaman internal karena fokusnya pada visi mandala, mengirimkan pasukan terbaiknya, yang dipimpin oleh menantunya, Raden Wijaya, untuk menghadapi serangan ini.
Ketika ibu kota Singhasari, Kutaraja, menjadi lengang dan tidak terlindungi, Jayakatwang melancarkan serangan utama dari arah selatan yang kurang dijaga. Serangan mendadak ini mengejutkan Kertanegara dan para pengikutnya. Pada saat itu, Kertanegara sedang melakukan ritual keagamaan Tantrayana bersama para pendeta dan pengikut setianya, mungkin dalam keadaan tidak bersenjata atau tidak siap untuk berperang.
Invasi Jayakatwang ke istana Singhasari berlangsung dengan cepat dan brutal. Kertanegara, bersama dengan Mpu Raganatha dan para pembesar istana lainnya, tewas dalam serangan tersebut. Dengan kematian Kertanegara, Kerajaan Singhasari yang perkasa pun runtuh secara mendadak. Kutaraja dihancurkan, dan Jayakatwang memproklamasikan dirinya sebagai raja Kediri yang baru.
Peristiwa ini adalah puncak dari ambisi Kertanegara yang terlalu besar dan mungkin kurangnya perhatiannya terhadap ancaman domestik. Visi Cakrawala Mandala Dwipantara yang gemilang harus berakhir dengan tragis di tangan pemberontak dari dalam.
Raden Wijaya dan Cikal Bakal Majapahit
Meskipun Singhasari telah runtuh dan Kertanegara tewas, benih-benih visinya tidak sepenuhnya hilang. Raden Wijaya, menantu Kertanegara yang berhasil melarikan diri dari pembantaian di Kutaraja, memainkan peran krusial dalam kebangkitan kembali kekuasaan Jawa. Dengan bantuan penguasa Madura, Arya Wiraraja, Raden Wijaya berhasil mendapatkan pengampunan dari Jayakatwang dan diberi izin untuk membangun desa baru di hutan Tarik, yang kemudian dikenal sebagai Majapahit.
Pada saat yang bersamaan, armada besar Mongol yang dikirim Kubilai Khan untuk menghukum Kertanegara akhirnya tiba di Jawa pada tahun 1293. Pasukan Mongol, yang dipimpin oleh Shi-bi, Ike Mese, dan Kau Hsing, mendarat di Tuban dan berbaris menuju Kediri. Mereka terkejut menemukan bahwa Kertanegara telah tewas dan Singhasari telah runtuh, digantikan oleh Jayakatwang.
Raden Wijaya, dengan kecerdikan politiknya, melihat peluang dalam situasi ini. Ia berpura-pura tunduk kepada Mongol dan menawarkan aliansi untuk mengalahkan Jayakatwang, musuh bersama mereka. Mongol, yang tidak terlalu memahami politik internal Jawa, menyetujui tawaran tersebut. Bersama-sama, pasukan Raden Wijaya dan Mongol berhasil mengalahkan dan membunuh Jayakatwang, membalaskan dendam Kertanegara dan mengakhiri dominasi Kediri.
Setelah Jayakatwang dikalahkan, Raden Wijaya dengan licik membalikkan keadaan. Ia memanfaatkan kelelahan pasukan Mongol dan kurangnya kewaspadaan mereka. Saat perayaan kemenangan, Raden Wijaya menyusun rencana untuk menyerang pasukan Mongol yang sedang beristirahat. Pasukan Jawa menyerang Mongol secara mendadak, mengusir mereka kembali ke kapal-kapal mereka, dan memaksa mereka untuk mundur dari Jawa.
Dengan Jayakatwang tewas dan Mongol terusir, Raden Wijaya memproklamasikan berdirinya Kerajaan Majapahit pada tahun 1293, melanjutkan visi Kertanegara, meskipun dengan fondasi dan strategi yang berbeda. Majapahit kelak akan tumbuh menjadi imperium maritim terbesar di Nusantara, mewujudkan sebagian dari impian Cakrawala Mandala Dwipantara yang Kertanegara telah mulai rintis.
Warisan dan Relevansi Sejarah
Meskipun pemerintahan Kertanegara berakhir dengan tragis, warisannya sangat signifikan dalam sejarah Nusantara. Ia adalah seorang raja yang berani melampaui batas-batas konvensional pada zamannya, dengan visi yang jauh ke depan. Berikut adalah beberapa poin penting dari warisannya:
- Pendahulu Majapahit: Kebijakan ekspansionisnya, terutama Pamalayu, meletakkan dasar bagi penyatuan Nusantara yang kelak akan dicapai oleh Majapahit di bawah Gajah Mada. Ia membuka jalan bagi dominasi Jawa atas wilayah-wilayah lain di kepulauan.
- Anti-Hegemoni Asing: Penolakannya yang tegas terhadap tuntutan Mongol menunjukkan semangat kemandirian dan penolakan terhadap dominasi asing, sebuah sikap yang akan terus berulang dalam sejarah Indonesia.
- Sinkretisme Keagamaan: Kertanegara adalah salah satu contoh paling jelas dari sinkretisme agama Hindu-Buddha di Jawa, yang mencapai puncaknya pada periode Singhasari dan Majapahit. Praktik Tantrayana-nya menunjukkan kedalaman dan kompleksitas spiritualitas Jawa kuno.
- Inspirasi Politik: Visi Cakrawala Mandala Dwipantara-nya menjadi inspirasi bagi para pemimpin Majapahit, dan bahkan dapat dilihat sebagai cikal bakal konsep "Nusantara" dalam arti geografis dan geopolitik modern Indonesia.
Namun, Kertanegara juga mengajarkan pelajaran berharga tentang risiko dari ambisi yang berlebihan dan pengabaian terhadap ancaman internal. Fokusnya yang terlalu besar pada proyek-proyek luar dan provokasi kekuatan global telah mengabaikan kerentanan di dalam istananya sendiri, yang pada akhirnya fatal.
Analisis Sumber Sejarah
Kisah Kertanegara sebagian besar bersumber dari dua naskah utama: Kitab Pararaton dan Kitab Negarakertagama. Keduanya memberikan perspektif yang berbeda namun saling melengkapi.
- Pararaton: Ditulis kemungkinan besar pada abad ke-16, Pararaton cenderung lebih fokus pada silsilah raja-raja dan peristiwa-peristiwa dramatis dengan sentuhan mitos dan legenda. Pararaton memberikan rincian tentang silsilah Ken Arok dan peristiwa-peristiwa kunci seperti pembunuhan Kertanegara oleh Jayakatwang. Namun, akurasinya dalam hal tanggal dan rincian tertentu seringkali dipertanyakan karena sifatnya yang lebih seperti "hikayat" atau "kronik" yang bersifat lisan.
- Negarakertagama: Ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365, pada masa keemasan Majapahit di bawah Hayam Wuruk, Negarakertagama dianggap sebagai sumber yang lebih andal dari sudut pandang sejarah. Mpu Prapanca adalah seorang pujangga istana yang memiliki akses ke arsip kerajaan. Ia menggambarkan Kertanegara sebagai raja yang saleh, bijaksana, dan ambisius, yang melakukan ritual-ritual Tantrayana. Namun, sebagai pujangga istana, Prapanca mungkin cenderung menyajikan gambaran yang idealis tentang Kertanegara, terutama karena Majapahit adalah penerus Singhasari, dan legitimasi Majapahit sangat bergantung pada legitimasi leluhur-leluhurnya, termasuk Kertanegara.
Perbedaan dalam penyajian antara kedua sumber ini seringkali menjadi tantangan bagi sejarawan. Misalnya, Pararaton cenderung memberikan rincian yang lebih dramatis tentang kematian Kertanegara, sementara Negarakertagama lebih fokus pada pencapaian dan aspek spiritualnya. Meskipun demikian, dengan membandingkan dan menginterpretasikan kedua sumber ini secara kritis, sejarawan dapat merekonstruksi gambaran yang relatif lengkap tentang pemerintahan Kertanegara.
Selain itu, penemuan arca Amoghapasa di Padangroco, Sumatera Barat, yang memiliki prasasti bertuliskan tahun 1286, adalah bukti konkret dari Ekspedisi Pamalayu dan pengaruh Singhasari di Sumatera. Prasasti ini juga mengindikasikan bahwa arca tersebut adalah hadiah dari Kertanegara kepada Kerajaan Dharmasraya, yang menunjukkan sifat diplomatik dari ekspedisi tersebut, bukan hanya penaklukan militer.
Kesimpulan
Kertanegara adalah sosok yang kompleks, sebuah paradoks dalam sejarah Jawa kuno. Ia adalah seorang raja yang visioner, spiritualis yang mendalam, sekaligus strategis yang berani. Ambisinya untuk menyatukan Nusantara di bawah panji Singhasari adalah visi yang jauh melampaui masanya, sebuah respons yang brilian terhadap ancaman global dari Mongol dan peluang yang diciptakan oleh melemahnya Sriwijaya.
Namun, kegemilangan visinya juga diiringi oleh keangkuhan dan pengabaian terhadap ancaman internal. Kematian tragisnya di tangan Jayakatwang adalah pengingat pahit bahwa bahkan raja yang paling visioner sekalipun harus menjaga keseimbangan antara ambisi eksternal dan stabilitas internal.
Meskipun demikian, kejatuhan Singhasari bukanlah akhir dari impian Kertanegara. Melalui keberanian dan kecerdikan Raden Wijaya, benih-benih Cakrawala Mandala Dwipantara bertumbuh menjadi Majapahit, sebuah imperium yang pada puncaknya berhasil mewujudkan sebagian besar dari visi Kertanegara. Kertanegara tetap dikenang sebagai raja terakhir Singhasari, seorang pionir yang berani bermimpi besar, dan perancang takdir yang tanpa sengaja menjadi arsitek bagi kejayaan yang akan datang.