Ilustrasi sederhana perahu jungkung, mencerminkan konstruksi dasar lambung kayu dan penggunaan layar.
Di antara riak gelombang dan gemuruh ombak pantai Nusantara, terdapat sebuah entitas maritim yang kecil namun memiliki makna sejarah dan budaya yang sangat besar: jungkung. Perahu tradisional ini, yang sering kali identik dengan kehidupan nelayan skala kecil, adalah representasi nyata dari keahlian leluhur dalam menaklukkan lautan dengan sumber daya alam yang sederhana. Jungkook bukan hanya sekadar alat transportasi atau mata pencaharian; ia adalah perpanjangan tangan dari komunitas pesisir, sebuah artefak hidup yang mewarisi teknik konstruksi purba dan kearifan lokal yang mendalam.
Penelusuran tentang jungkung membawa kita jauh melampaui deskripsi fisik sebuah perahu kayu. Kita akan menyelami etimologi nama, perbedaan tipologi regional yang mencerminkan adaptasi ekologis, hingga peran esensialnya dalam menjaga ketahanan pangan dan kesinambungan budaya di berbagai kepulauan. Dari Madura yang ramping hingga varian di Kalimantan yang lebih kokoh, setiap jungkung menceritakan kisah tersendiri tentang kayu yang dipilih, ritual pembangunan, dan hubungan spiritual antara manusia, perahu, dan samudera yang mereka arungi.
Istilah "jungkung" merujuk pada jenis perahu tradisional yang umumnya bercadik (memiliki penyeimbang samping) atau tanpa cadik, berukuran relatif kecil, dan digerakkan oleh layar atau dayung, kini sering dilengkapi mesin tempel. Perannya utama adalah sebagai perahu penangkap ikan harian (fishing canoe) di perairan dangkal atau pesisir. Meskipun ukurannya sederhana, konstruksinya sering kali mencerminkan teknik pembuatan perahu purba yang sangat efisien.
Kata "jungkung" memiliki akar kata yang mungkin terkait dengan bahasa Austronesia, merujuk pada bentuk atau fungsi perahu yang ramping dan cepat. Di beberapa daerah, seperti di Jawa dan Madura, istilah ini digunakan secara spesifik untuk perahu kecil yang biasanya digunakan oleh satu atau dua orang untuk kegiatan menangkap ikan jarak dekat. Namun, penting untuk dicatat bahwa dalam konteks yang lebih luas di Kalimantan, jungkung terkadang bisa merujuk pada perahu kecil yang dibuat dari satu batang kayu utuh (perahu lesung atau dugout canoe) yang dimodifikasi dengan papan tambahan (sekoci) di bagian atas untuk menambah ketinggian lambung dan daya angkut.
Jungkung berdiri di tengah tipologi perahu Nusantara. Ia lebih besar dan lebih canggih daripada sekadar rakit (getek) atau perahu lesung murni, tetapi jauh lebih kecil dan lebih sederhana dari kapal niaga besar seperti pinisi, lambo, atau prahu padewakang. Ia menempati ceruk ekologis di mana kecepatan, manuverabilitas, dan biaya rendah menjadi faktor utama, menjadikannya tulang punggung ekonomi mikro pesisir selama berabad-abad.
Sejarah jungkung tidak bisa dipisahkan dari sejarah migrasi maritim bangsa Austronesia. Teknik dasar pembuatan perahu lesung yang kemudian ditingkatkan dengan penambahan papan (teknik sambungan pasak atau ikatan tali), serta penggunaan cadik penyeimbang, adalah warisan yang tersebar luas dari Madagaskar hingga Pasifik. Jungkook modern mewarisi cetak biru ini, menunjukkan kontinuitas dalam adaptasi desain terhadap lingkungan laut tropis. Keberadaan cadik (penyeimbang) adalah fitur krusial yang memungkinkan perahu kecil ini tetap stabil bahkan saat diterjang ombak pesisir yang tidak terduga, sebuah inovasi vital bagi nelayan yang beroperasi di wilayah yang tidak terlindungi.
Pembangunan jungkung adalah sebuah ritual yang melibatkan pengetahuan mendalam tentang sifat-sifat kayu dan kekuatan alam. Tidak seperti kapal modern yang bergantung pada cetakan fiberglass atau baja, jungkung dibangun berdasarkan pengalaman yang diturunkan, di mana setiap sambungan dan bentuk lambung memiliki alasan fungsional dan terkadang spiritual.
Kualitas dan ketahanan jungkung sangat bergantung pada jenis kayu yang dipilih, yang harus tahan terhadap air laut, serangan organisme laut (seperti teredo worm), dan perubahan cuaca. Di berbagai wilayah, jenis kayu yang digunakan sangat spesifik:
Proses pemotongan kayu sering kali dilakukan dengan pertimbangan bulan atau pasang surut, dipercaya memengaruhi kualitas kayu. Pande (pembuat perahu) tradisional memiliki kearifan yang memungkinkan mereka memilih bagian batang pohon yang paling sesuai untuk masing-masing komponen perahu: lambung, lunas, gading, atau tiang.
Pada jungkung purba, dan masih dipraktikkan di beberapa komunitas terpencil, lambung utama sering disambung tanpa menggunakan paku besi. Teknik-teknik ini mencakup:
Lambung jungkung dicirikan oleh lunasnya yang sederhana dan bentuknya yang ramping. Bentuk V-nya yang moderat memungkinkan perahu untuk memotong gelombang dengan lebih efisien, sekaligus mempertahankan draft (kedalaman rendaman) yang dangkal, vital untuk beroperasi di perairan estuari atau dekat terumbu karang.
Cadik adalah fitur yang paling membedakan jungkung Nusantara. Cadik terdiri dari dua balok kayu ringan yang dipasang sejajar dengan lambung utama di kedua sisi, dihubungkan ke lambung melalui palang penyeimbang (jajang atau katir). Fungsi cadik sangat krusial. Tanpa cadik, perahu yang ramping dan berlayar di laut terbuka akan sangat mudah terbalik. Cadik memberikan lebar stabilitas tambahan, memungkinkan jungkung membawa layar yang lebih besar dan berlayar di angin yang lebih kencang daripada perahu lesung tanpa cadik. Desain cadik sendiri bervariasi, dari cadik tunggal (lebih jarang, biasanya untuk perahu sungai) hingga cadik ganda yang menjadi standar bagi jungkung penangkap ikan di laut.
Meskipun memiliki nama dan fungsi dasar yang sama, jungkung bukanlah satu model tunggal. Desainnya sangat dipengaruhi oleh kondisi laut setempat, target penangkapan ikan, dan tradisi arsitektur kapal komunitas pembuatnya. Perbedaan regional ini menunjukkan betapa adaptifnya keahlian maritim Nusantara.
Di wilayah ini, jungkung dikenal karena bentuknya yang sangat ramping dan elegan. Mereka seringkali dihiasi dengan cat berwarna cerah dan memiliki haluan yang tinggi. Jungkook Madura (terkadang disebut juga *jollor* kecil) biasanya digunakan untuk:
Di Kalimantan, terutama di muara sungai besar dan pesisir Selatan dan Barat, jungkung memiliki lambung yang lebih dalam dan sering kali merupakan perahu lesung yang dimodifikasi. Keunikan jungkung Kalimantan adalah kemampuannya bergerak mulus dari air tawar ke air asin.
Fungsi utamanya bergeser dari sekadar penangkapan ikan menjadi alat transportasi logistik ringan. Mereka sering digunakan untuk mengangkut hasil hutan, hasil perkebunan, atau sebagai perahu patroli sungai. Penggunaan mesin tempel pada jungkung Kalimantan menjadi sangat umum, menggantikan peran layar sepenuhnya. Kayu Ulin yang keras mendominasi, menghasilkan perahu yang sangat berat namun luar biasa tahan terhadap kondisi air payau yang korosif.
Di wilayah timur, seperti Sulawesi, jungkung sering kali bersaing dengan perahu yang lebih besar dan spesifik seperti *sopi* atau *katinting* (perahu bermesin tempel sederhana). Namun, jungkung tradisional tetap bertahan di komunitas nelayan terpencil. Di sini, penekanan diletakkan pada kemampuan melaut di perairan yang lebih dalam dan berombak besar.
Varian di timur cenderung memiliki cadik yang lebih panjang dan kuat, dirancang untuk menghadapi ombak samudra. Layar yang digunakan adalah layar persegi atau layar segitiga (lateen) yang memungkinkan pelayaran yang efektif melawan arah angin. Fungsi utamanya adalah menangkap ikan pelagis kecil (ikan yang berenang di kolom air), seperti kembung atau tongkol, menggunakan pancing ulur atau jaring.
Jungkung adalah fondasi ekonomi nelayan mikro. Ia mewakili investasi minimal dengan potensi hasil yang berkelanjutan, menjadikannya kunci keberlangsungan hidup bagi jutaan keluarga di Indonesia.
Jungkung secara tradisional memaksa penggunaan alat tangkap yang lebih selektif dan berkelanjutan karena keterbatasan daya tampung dan jangkauan. Nelayan jungkung umumnya menggunakan:
Keterbatasan jangkauan jungkung (kebanyakan hanya beroperasi beberapa mil dari pantai) secara alami membatasi eksploitasi berlebihan di laut dalam, mendukung model perikanan yang lebih tradisional dan ramah lingkungan dibandingkan dengan kapal-kapal besar bermotor.
Kepemilikan jungkung sering kali melambangkan kemandirian dalam komunitas pesisir. Perahu ini adalah warisan yang sering diturunkan dari ayah ke anak. Pengetahuan tentang perawatan, navigasi tradisional (menggunakan bintang dan arah angin), dan teknik perbaikan lambung adalah keterampilan yang diwariskan secara lisan, mengikat kuat generasi baru pada tradisi maritim leluhurnya. Dalam banyak ritual adat penangkapan ikan, jungkung adalah subjek utama dari upacara keselamatan dan keberkahan laut, menunjukkan kedudukan spiritualnya.
Ketika seorang anak laki-laki di komunitas nelayan mulai bisa mendayung sendiri dan memperbaiki cadik perahu, ia dianggap telah mencapai kedewasaan maritim. Jungkook bukan sekadar properti; ia adalah entitas hidup yang menemani nelayan dalam setiap tantangan dan rezeki yang diberikan laut.
Peran jungkung sangat vital dalam rantai pasok lokal. Ikan yang ditangkap oleh jungkung sering kali langsung dijual di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) kecil atau bahkan langsung di pantai, menjamin ikan yang sangat segar bagi konsumen lokal. Kecepatan dan frekuensi operasional jungkung, meskipun hasilnya tidak sebanyak kapal pukat, memastikan pasokan harian yang stabil ke pasar-pasar kecil di sepanjang pantai.
Bagi pembuat dan pengguna jungkung, perahu adalah makhluk hidup yang memiliki jiwa. Keharmonisan antara nelayan dan perahunya dianggap mutlak untuk keselamatan dan kesuksesan menangkap ikan. Oleh karena itu, pembangunan dan pelayaran perdana jungkung selalu disertai serangkaian ritual yang kaya.
Sebelum kayu ditebang, seringkali dilakukan upacara permohonan izin kepada penjaga hutan atau roh pepohonan (di Kalimantan). Kayu yang dipilih harus "baik" dan tidak memiliki "cacat spiritual." Setelah jungkung selesai dibangun, ia tidak akan diluncurkan sebelum diberikan nama dan diresmikan dalam sebuah upacara yang dikenal dengan nama yang berbeda-beda di setiap daerah, namun intinya sama: mendoakan perahu agar selamat dari badai dan membawa rezeki.
Pemberian nama seringkali didasarkan pada harapan, seperti "Pelita Samudra" atau "Bintang Laut," dan disertai dengan sesajen (persembahan) yang diletakkan di haluan perahu, biasanya berupa kepala ayam atau kambing, sebagai simbol persembahan untuk 'darah' perahu, memastikan ia menjadi kuat dan tangguh di lautan.
Di banyak kebudayaan maritim, haluan (bagian depan) perahu dianggap sebagai wajah atau mata perahu. Pada jungkung, meskipun desainnya sederhana, seringkali ditemukan ornamen kecil atau lukisan mata. Mata ini dipercaya membantu perahu "melihat" bahaya dan menemukan jalan pulang saat kabut atau badai. Ornamen ini juga berfungsi sebagai penanda identitas suku atau keluarga nelayan.
Nelayan jungkung memiliki seperangkat pantangan yang ketat. Misalnya, dilarang bersiul di atas perahu (dianggap memanggil badai), dilarang membawa jeruk atau buah-buahan tertentu (dianggap membawa sial), atau dilarang menyebutkan nama binatang buas tertentu saat melaut. Pelanggaran terhadap pantangan ini dipercaya akan menyebabkan perahu mogok, jaring sobek, atau bahkan kecelakaan fatal. Kepatuhan pada pantangan ini menunjukkan betapa intimnya hubungan antara nelayan, perahu, dan alam tak terlihat.
Sejak pertengahan abad ke-20, jungkung tradisional menghadapi tantangan besar yang mengancam eksistensinya: modernisasi alat tangkap dan ketergantungan pada mesin.
Penemuan dan penyebaran mesin tempel (outboard motor) pada paruh kedua abad ke-20 mengubah wajah perikanan pesisir secara drastis. Jungkook yang dulunya digerakkan oleh layar dan dayung, kini hampir seluruhnya ditenagai oleh mesin. Keuntungan utamanya adalah jangkauan yang lebih jauh, waktu tempuh yang lebih cepat, dan kemampuan untuk melawan arus atau angin yang kuat.
Namun, transisi ini juga membawa konsekuensi. Ketergantungan pada mesin berarti ketergantungan pada bahan bakar fosil dan suku cadang impor, meningkatkan biaya operasional nelayan skala kecil. Selain itu, kecepatan yang lebih tinggi memungkinkan nelayan untuk mencapai area penangkapan yang sebelumnya merupakan 'zona aman' bagi populasi ikan lokal, meningkatkan tekanan penangkapan ikan di zona pesisir. Secara estetika dan budaya, penambahan mesin tempel mengubah keseimbangan dan desain murni jungkung tradisional.
Ketersediaan kayu berkualitas, terutama Ulin yang legendaris, semakin menurun. Hal ini memaksa pande (pembuat perahu) untuk menggunakan jenis kayu yang kurang ideal atau beralih ke material modern seperti fiberglass. Penggunaan fiberglass, meskipun mengurangi biaya pemeliharaan dan mempercepat produksi, menghilangkan dimensi kultural dan ritual dalam pembuatan perahu. Selain itu, pengetahuan tentang teknik pembuatan jungkung tradisional (seperti teknik pasak dan ikatan tali) semakin terkikis, karena generasi muda lebih memilih teknik pengaplikasian paku dan dempul modern yang lebih cepat.
Menyadari pentingnya jungkung sebagai warisan budaya, berbagai pihak mulai melakukan upaya konservasi:
Pelestarian jungkung bukan hanya tentang menyelamatkan perahu, tetapi menyelamatkan seluruh ekosistem pengetahuan maritim yang meliputi navigasi bintang, pengenalan cuaca, pemilihan kayu, dan filosofi hidup berdampingan dengan laut.
Meskipun dibangun tanpa perhitungan insinyur modern, jungkung menunjukkan keunggulan hidrodinamika yang luar biasa, hasil dari adaptasi empiris selama ribuan tahun. Bentuknya yang ramping dan penambahan cadik adalah kunci efisiensinya.
Jungkung tradisional memiliki rasio Panjang terhadap Lebar (L/B) yang sangat tinggi, seringkali 5:1 atau bahkan lebih. Rasio tinggi ini menunjukkan bahwa perahu tersebut dirancang untuk mengurangi hambatan air (drag) dan meningkatkan kecepatan. Bentuk ramping memungkinkan jungkung untuk bergerak cepat di permukaan air yang tenang dan memotong gelombang yang datang dari depan (head seas).
Dalam kondisi berlayar, bentuk lambung jungkung yang cenderung bulat atau U-dangkal (dibandingkan V-dalam) memberikan daya angkat yang baik dan meminimalkan area basah, yang berarti perahu dapat meluncur dengan sedikit tenaga, baik dari layar maupun dayung.
Cadik adalah faktor utama dalam keseimbangan dinamis. Cadik tidak hanya memberikan stabilitas saat perahu diam atau bergerak lambat, tetapi juga berperan penting saat berlayar kencang. Ketika angin mendorong layar, perahu akan cenderung miring (heeling). Pada jungkung, cadik di sisi yang terangkat akan keluar dari air, sementara cadik di sisi yang menurun akan menekan air, menghasilkan gaya balik (restoring force) yang kuat. Inilah yang memungkinkan jungkung membawa layar yang lebih besar daripada perahu tanpa cadik dengan ukuran lambung yang sama, memaksimalkan kecepatan pelayaran.
Bahan cadik harus ringan dan memiliki daya apung yang sangat baik, seperti bambu atau kayu balsa lokal, untuk memastikan bahwa mereka dapat memberikan efek penyeimbangan yang optimal tanpa menambah beban mati yang signifikan pada perahu secara keseluruhan.
Sistem layar pada jungkung umumnya sederhana, seperti layar lug (kotak) atau layar lateen (segitiga). Kesederhanaan ini memungkinkan pengoperasian oleh awak kapal yang minimal (seringkali hanya satu atau dua orang). Nelayan jungkung mengandalkan pengetahuan navigasi yang bersifat alami: membaca pola ombak, warna air, arah penerbangan burung, dan posisi bintang di malam hari. Pengetahuan ini adalah kurikulum yang diajarkan secara lisan, memungkinkan mereka mencapai tujuan dan kembali dengan selamat tanpa kompas atau GPS modern, kecuali di era kontemporer.
Kehadiran jungkung yang tak terpisahkan dari lanskap pesisir Nusantara telah menjadikannya subjek yang kaya dalam berbagai bentuk ekspresi budaya. Perahu ini sering menjadi metafora bagi perjuangan, harapan, dan keterikatan manusia dengan alam.
Dalam seni lukis tradisional dan modern Indonesia, jungkung sering digambarkan di tengah matahari terbit atau terbenam, melambangkan ketenangan namun juga perjuangan keras nelayan. Garis rampingnya dan layarnya yang terkembang memberikan komposisi visual yang dramatis. Fotografi dan sinematografi memanfaatkan jungkung untuk menggambarkan kehidupan yang autentik dan belum tersentuh modernitas industri.
Dalam puisi dan prosa, jungkung sering digunakan sebagai simbol perjalanan hidup. Bentuknya yang kecil dan rentan melambangkan keterbatasan manusia dalam menghadapi kekuatan alam yang maha dahsyat (samudra). Namun, kemampuannya untuk bertahan, berkat kearifan dan keterampilan pembuatnya, menjadi metafora bagi harapan dan kegigihan. Perahu ini mewakili gagasan bahwa dengan bekal yang cukup, bahkan entitas yang paling sederhana pun dapat menyeberangi lautan tantangan.
Model miniatur jungkung adalah kerajinan tangan populer di banyak daerah pesisir, dijual sebagai suvenir. Pembuatan miniatur ini sering kali sangat detail, meniru setiap sambungan kayu, tali temali, dan bahkan ornamen spiritual di haluan. Ini adalah cara lain bagi jungkung untuk terus hidup di luar fungsi utamanya, menjadi pengingat abadi akan warisan maritim yang kaya.
Di tengah dorongan global untuk mengembangkan 'Ekonomi Biru'—yaitu ekonomi laut yang berkelanjutan dan ramah lingkungan—jungkung tradisional memiliki relevansi baru yang signifikan.
Ketergantungan pada BBM telah menjadi beban ekonomi bagi nelayan jungkung. Saat ini, ada inisiatif yang mencoba mengintegrasikan teknologi ramah lingkungan pada desain jungkung, seperti mesin hibrida atau bahkan kembali mengoptimalkan desain layar tradisional (modernisasi layar) agar lebih efisien. Kembalinya penggunaan layar, ditambah dengan efisiensi lambung yang sudah teruji, dapat mengurangi jejak karbon perikanan skala kecil secara signifikan.
Selain itu, desain jungkung yang relatif kecil dan membutuhkan sedikit bahan baku menjadikannya pilihan yang berkelanjutan dibandingkan kapal industri besar. Jungkook adalah perahu yang secara inheren cocok untuk perikanan berkelanjutan, karena ia tidak memungkinkan penangkapan ikan dalam jumlah masif yang merusak ekosistem.
Meskipun penting untuk melestarikan pengetahuan navigasi tradisional, integrasi teknologi modern seperti GPS sederhana dan perangkat komunikasi yang terjangkau sangat penting untuk meningkatkan keselamatan nelayan jungkung di laut. Perpaduan antara desain tradisional yang teruji dan teknologi keselamatan modern memastikan bahwa perahu ini tetap relevan dan aman untuk digunakan di perairan yang semakin padat.
Jungkung harus diakui sebagai alat pendidikan maritim. Mempelajari cara membangun dan mengoperasikan jungkung mengajarkan prinsip-prinsip fisika dasar, hidrodinamika, dan kearifan ekologis yang tidak dapat ditransfer melalui buku teks. Program-program pendidikan yang berfokus pada pelestarian jungkung dapat menumbuhkan rasa bangga dan keterikatan pada identitas bahari bangsa Indonesia.
Dari ribuan tahun yang lalu hingga hari ini, jungkung telah membuktikan dirinya bukan sekadar kapal, melainkan sebuah manifestasi dari kecerdasan adaptasi budaya maritim Nusantara. Ia adalah saksi bisu dari pasang surut sejarah, penjaga setia komunitas pesisir, dan kendaraan utama dalam perjalanan pencarian rezeki di tengah lautan.
Keberadaannya yang sederhana, berbanding lurus dengan keandalannya yang tak tertandingi, menempatkan jungkung sebagai warisan budaya yang tak ternilai harganya. Melestarikan jungkung berarti melestarikan keahlian pande tua, menghormati ritual yang mengikat manusia dengan laut, dan memastikan bahwa prinsip-prinsip perikanan berkelanjutan tetap hidup. Di masa depan, di mana keberlanjutan menjadi kunci, jungkung akan terus berlayar, membawa tidak hanya hasil tangkapan, tetapi juga kisah abadi tentang hubungan harmonis antara manusia dan samudera.
Sebagai simbol ketahanan dan kesederhanaan, perahu kecil ini terus melaju di bawah naungan langit tropis, sebuah pengingat bahwa kekayaan sejati sebuah bangsa tidak hanya diukur dari teknologi terbarunya, tetapi juga dari kearifan leluhurnya yang termaktub dalam setiap lekuk kayu sebuah jungkung.
***
(Lanjutan artikel ini akan membahas detail teknis konstruksi di setiap varian regional, melibatkan analisis mendalam terhadap sambungan pasak, teknik penambalan lambung, hingga studi kasus komunitas nelayan spesifik yang masih bergantung penuh pada jungkung, memastikan kedalaman pembahasan yang diperlukan.)
Jungkung di Madura, khususnya yang beroperasi di Sumenep dan sekitarnya, dirancang untuk kecepatan tinggi dan manuver yang lincah. Lambungnya cenderung memiliki kelengkungan yang lebih tajam di bagian bawah (V-shape mendekati) untuk mengurangi area kontak air, memfasilitasi kecepatan. Teknik pembangunan di sini sering menggunakan papan yang relatif tipis dan memprioritaskan penggunaan paku tembaga atau besi modern (meskipun dulunya menggunakan pasak) untuk mempercepat perakitan. Ketergantungan pada cadik ganda sangat tinggi karena lambung yang ramping kurang stabil secara inheren. Papan samping (sekoci) ditambahkan dengan kemiringan keluar, yang disebut flare, untuk mengurangi air masuk saat gelombang menerpa. Setiap elemen, dari bentuk haluan yang meruncing tajam hingga pemasangan kemudi dayung, dioptimalkan untuk performa aerodinamis di air yang cenderung tenang hingga sedang.
Detail penting dalam konstruksi Madura adalah bagian kemudi. Berbeda dengan kapal besar yang menggunakan kemudi di buritan, jungkung Madura sering menggunakan dayung kemudi yang besar, dipegang oleh jurumudi. Dayung ini berfungsi ganda sebagai pendorong dan pengendali arah, membutuhkan keahlian fisik yang luar biasa dari nelayan. Kecepatan adalah rezeki; oleh karena itu, pengurangan berat struktural dan minimalisasi awak adalah filosofi utama di balik desain jungkung ini. Bahkan tiang layarnya pun sering dibuat dari bambu yang sangat fleksibel dan ringan, bukan dari kayu keras yang berat, menunjukkan fokus pada efisiensi bobot.
Sebaliknya, jungkung Kalimantan (misalnya, di daerah Banjarmasin atau Kotabaru) mencerminkan kebutuhan yang berbeda. Mereka harus mampu menahan beban berat, mengatasi arus sungai yang kuat, dan tahan terhadap air payau yang fluktuatif. Lambungnya cenderung lebih rata di bagian bawah (U-shape lebar) untuk stabilitas beban dan kedangkalan rendaman (draft) yang minimal saat beroperasi di sungai dangkal atau rawa. Material wajibnya adalah Kayu Ulin.
Karena Ulin sangat keras, teknik pembuatannya jauh lebih menantang. Pembuatan lesung utama dari sebatang pohon utuh memerlukan ketelitian tinggi dalam proses pengerokan interior. Papan tambahan di sisi-sisi (sekoci) disambung dengan pasak yang lebih tebal dan seringkali diperkuat dengan penopang silang (gading) yang lebih banyak dan lebih masif dibandingkan jungkung Madura. Bagian penyegelan lambung sangat kritis; digunakan campuran dempul alami (getah damar dan kapur) yang harus diaplikasikan dengan hati-hati untuk memastikan tidak ada celah mikroskopis pun yang dapat dimasuki air. Daya tahan adalah filosofi utama di sini. Jungkook Kalimantan adalah alat angkut multifungsi yang harus melayani masyarakat desa dalam berbagai kapasitas, dari penangkapan ikan hingga pengangkutan material konstruksi.
Peran Pande atau Undagi (master pembuat perahu) dalam masyarakat jungkung adalah sentral. Pande bukanlah sekadar tukang kayu; mereka adalah insinyur, peramal cuaca, dan pemimpin spiritual. Keahlian mereka mencakup pengetahuan turun-temurun tentang proporsi ideal (rasio emas lokal), yang dipelajari bukan dari cetak biru tertulis, melainkan dari memori visual dan sentuhan tangan.
Proses menjadi pande memakan waktu puluhan tahun. Magang dimulai sejak usia muda, seringkali hanya sebagai pembantu yang bertugas membersihkan atau membawa peralatan. Seiring waktu, pemuda tersebut akan diizinkan membantu dalam pekerjaan yang lebih sensitif, seperti mengukur, memotong, dan akhirnya menyambung papan. Pengetahuan ini ditransmisikan melalui pengamatan langsung (learning by doing) dan jarang sekali ada dokumentasi tertulis.
Aspek paling sulit yang harus dikuasai adalah "membaca kayu." Pande harus mampu melihat serat kayu gelondongan dan menentukan bagaimana serat tersebut harus dipotong dan diposisikan di perahu agar memberikan kekuatan maksimum. Misalnya, serat kayu untuk lunas harus sejajar dengan tekanan air, sementara serat untuk gading-gading harus mampu menahan tegangan lateral saat perahu miring. Kesalahan dalam pembacaan serat dapat mengakibatkan perahu cepat retak atau melengkung.
Bagi pande, pembuatan jungkung adalah proses spiritual. Mereka percaya bahwa perahu yang dibuat dalam kondisi batin yang tidak baik akan membawa sial. Oleh karena itu, pande sering kali berpuasa atau melakukan ritual tertentu sebelum memulai pembangunan. Ukuran dan proporsi perahu sering kali dikaitkan dengan ukuran tubuh manusia (misalnya, sejengkal tangan pande), yang memberikan dimensi personal dan manusiawi pada kapal tersebut. Ini adalah contoh sempurna bagaimana pengetahuan teknis dan metafisika menyatu dalam kebudayaan maritim Indonesia.
Selain fungsi utamanya sebagai penangkap ikan, ketahanan dan desain jungkung menjadikannya alat penting dalam situasi darurat di wilayah pesisir. Dalam konteks Indonesia yang rawan bencana alam (tsunami, banjir rob, badai), kecepatan dan kemudahan manuver jungkung menjadikannya aset tak ternilai.
Dalam kasus banjir pesisir atau rob, jungkung yang memiliki draft dangkal dapat dengan mudah memasuki area yang sulit dijangkau oleh kapal besar atau bahkan perahu karet bermesin. Nelayan jungkung sering menjadi garda terdepan dalam proses evakuasi, memanfaatkan pengetahuan mendalam mereka tentang arus lokal dan kondisi medan.
Jalan darat sering terputus pasca-bencana. Jungkook, terutama varian Kalimantan yang kuat, sering digunakan untuk mengangkut bantuan logistik dasar (makanan, obat-obatan, terpal) melalui jalur sungai atau perairan pesisir yang tersumbat puing. Kapasitas angkutnya yang meskipun terbatas, didukung oleh kemampuannya untuk beroperasi di perairan berlumpur dan dangkal, menjadikannya solusi vital dalam jam-jam kritis pasca-kejadian.
Ini menunjukkan bahwa nilai jungkung melampaui perhitungan ekonomi semata; ia adalah bagian integral dari sistem ketahanan sosial dan manajemen risiko komunitas pesisir. Pelestarian dan pemeliharaannya sama pentingnya dengan pelestarian infrastruktur fisik lainnya, karena ia mewakili alat penyelamat nyawa yang telah teruji oleh waktu dan alam.
Meskipun banyak jungkung kini bermesin, pemahaman tentang sistem layar tradisionalnya sangat penting untuk memahami desain aslinya. Sistem tali temali (rigging) jungkung relatif sederhana, namun membutuhkan pemahaman yang cermat tentang fisika layar.
Jungkung sering menggunakan layar tipe *lug* (layar persegi panjang asimetris) atau *lateen* (layar segitiga). Layar lateen, yang umum ditemukan di Mediterania dan menyebar ke timur, sangat efektif untuk berlayar melawan angin (upwind sailing) karena bentuknya yang memungkinkan aliran udara yang baik. Layar ini didukung oleh tiang dan sebuah andang (yard) yang terbuat dari bambu. Andang ini sering kali sangat panjang, melebihi panjang perahu, yang memerlukan keterampilan tinggi dalam menyeimbangkan perahu saat berlayar.
Tali temali pada jungkung umumnya minimalis. Tali utama yang digunakan adalah tali ijuk atau serat tanaman lokal, yang harus kuat dan tahan air laut. Fungsi tali meliputi:
Kekuatan dan ketahanan tali ini secara langsung memengaruhi keselamatan pelayaran. Nelayan tradisional memiliki pengetahuan tentang kapan harus mengganti tali, biasanya berdasarkan tekstur dan perubahan warna serat, sebuah kearifan yang kini sering digantikan oleh jadwal penggantian tali sintetis modern.
Pemilihan dan penempatan tiang layar (mast) sangat krusial. Tiang harus diposisikan di tengah lambung (atau sedikit ke depan) untuk memastikan titik pusat layar (Center of Effort) berada dekat dengan titik pusat resistensi lateral (Center of Lateral Resistance), sehingga perahu tidak terlalu condong ke samping saat berlayar, sebuah prinsip yang dipahami secara intuitif oleh pande perahu tanpa perlu rumus matematika modern.
***
Jungkung, dalam segala keindahan konstruksi dan kesederhanaan fungsinya, adalah sebuah mikrokosmos dari kebudayaan maritim Indonesia. Ia bukan hanya peninggalan masa lalu, tetapi model masa depan untuk keberlanjutan. Setiap lekuk lambung, setiap cadik yang menyeimbangkan, dan setiap helai tali yang mengikat adalah kisah yang tak pernah usai tentang interaksi abadi antara manusia, kayu, dan lautan.