Di jantung arsitektur istana-istana agung Dinasti Joseon (1392–1897), terdapat sebuah prinsip tata ruang yang jarang disorot namun memegang peranan krusial: Jongang. Istilah ini, yang secara harfiah merujuk pada "pusat dan sumbu utama", bukan sekadar garis imajiner di atas denah. Jongang adalah manifestasi fisik dan filosofis dari mandat surgawi raja, sebuah sumbu tunggal yang membentang dari gerbang terluar hingga ke ruang tidur pribadi penguasa, mengatur setiap langkah, setiap ritual, dan setiap pandangan yang terjadi di dalam kompleks istana.
Mengabaikan Jongang berarti mengabaikan dasar pemikiran kosmologis yang membentuk seluruh peradaban Joseon. Prinsip Konfusianisme dan teori Feng Shui (Pungsu Jiri) berpadu dalam pembentukan sumbu ini, menjadikannya lebih dari sekadar jalur, tetapi sebuah koridor sakral yang menghubungkan Raja, yang dipandang sebagai Putra Langit (Cheonja), dengan alam semesta yang lebih luas. Melalui Jongang, keseimbangan antara yin dan yang, antara dunia profan dan dunia suci, dipertahankan. Sumbu ini adalah urat nadi kekuasaan, keadilan, dan tata tertib.
Dinasti Joseon didirikan di atas fondasi Konfusianisme yang ketat. Dalam pandangan Konfusian, tata ruang fisik harus mencerminkan tata ruang moral dan sosial. Jongang memastikan bahwa semua bangunan penting, mulai dari Gerbang Gwanghwamun (di Gyeongbokgung) atau sejenisnya di istana lain, hingga Aula Singgasana (Jeongjeon), dan hingga kediaman raja (Chimjeon), berada dalam keselarasan sempurna. Keselarasan ini melambangkan kekuasaan sentral yang tak tergoyahkan dan kewajiban raja untuk memerintah dengan kebajikan, selalu menatap ke selatan, menghadap rakyatnya, dan menerima energi kosmis dari utara (Gunung Bugaksan).
Prinsip arsitektur ini memaksa pembangunan istana bukan hanya sebagai tempat tinggal atau kantor, melainkan sebagai mandala kosmologis yang rumit. Garis tengah ini, Jongang, membagi istana menjadi sisi Timur (Yang, tempat Putra Mahkota) dan sisi Barat (Yin, tempat Ratu dan kediaman internal), menciptakan dikotomi terstruktur yang mengatur hierarki istana secara keseluruhan. Ketaatan terhadap sumbu ini begitu mutlak sehingga bahkan penyimpangan terkecil dari keselarasan dianggap sebagai pertanda buruk bagi nasib kerajaan.
Konsep Jongang tidak dapat dipahami tanpa menelaah dua pilar utama yang menyokongnya: Konfusianisme Neo-Zhuxi dan Pungsu Jiri (geomansi Korea). Kedua sistem pemikiran ini menuntut ketepatan dan keseimbangan, yang pada gilirannya harus tercermin dalam arsitektur kerajaan. Sumbu pusat ini adalah titik temu di mana kekuatan Langit dan Bumi berinteraksi, dan di mana Raja bertindak sebagai perantara, menjaga harmoni antara tiga entitas tersebut.
Sesuai dengan ajaran Tiongkok kuno yang diadaptasi oleh Joseon, raja harus selalu menghadap ke selatan. Orientasi ini adalah ciri khas Jongang. Mengapa selatan? Selatan dikaitkan dengan Yang (maskulin, terang, aktif, panas), musim panas, dan kekuasaan yang penuh kebajikan. Ketika raja duduk di atas singgasananya, menghadap ke selatan, dia menerima energi Yang yang paling kuat, yang penting untuk pemerintahan yang kuat dan adil. Sementara itu, utara dikaitkan dengan Yin (feminin, gelap, pasif), musim dingin, dan area istana yang bersifat pribadi dan tersembunyi.
Dalam Istana Gyeongbokgung, misalnya, Jongang memproyeksikan garis tak terputus dari Gunung Bugaksan di utara, melewati Gerbang Gwanghwamun, melalui Aula Geunjeongjeon, hingga ke bukit-bukit di selatan. Sumbu ini adalah representasi nyata dari keteraturan kosmik, memastikan bahwa setiap upacara yang dilakukan di atasnya memiliki validitas spiritual yang maksimal.
Konsistensi orientasi ini bukan hanya simbolis; ia juga praktis. Tata letak bangunan sepanjang Jongang memastikan pencahayaan alami yang optimal di aula-aula utama dan perlindungan struktural terhadap angin dingin dari utara. Namun, lebih dari sekadar fungsi, arsitektur Jongang mengajarkan kepada rakyat bahwa raja adalah pusat dunia mereka—titik poros di mana segala sesuatu berputar.
Pemilihan lokasi istana dan penentuan sumbu Jongang sangat bergantung pada Pungsu Jiri. Seorang ahli geomansi akan memastikan bahwa Jongang berjalan melalui jalur Qi (energi kehidupan) yang paling kuat di lokasi tersebut. Energi ini, yang mengalir melalui pegunungan (naga) dan air, harus disalurkan dengan tepat melalui istana untuk memastikan kemakmuran dan umur panjang dinasti. Jongang adalah saluran utama Qi ini.
Studi mendalam tentang Pungsu Jiri di Seoul menunjukkan bahwa Jongang Gyeongbokgung adalah hasil dari perhitungan yang cermat. Sumbu tersebut ditempatkan sedemikian rupa untuk memanfaatkan energi gunung pelindung (Bugaksan di belakang) dan menyalurkannya ke area Jeongjeon (Aula Singgasana). Penempatan Gerbang Samjeongmun, Gerbang Heungnyemun, dan Gerbang Geunjeongmun, semuanya tepat di atas Jongang, berfungsi sebagai "katup" atau "pintu gerbang energi" yang menyaring dan memusatkan kekuatan kosmik menuju takhta raja.
Lebih jauh lagi, penempatan kolam atau sungai buatan, seperti Geumcheon (Sungai Terlarang) yang biasanya melintasi sumbu utama di depan Jeongjeon, juga dihitung secara geomansi. Air melambangkan kekayaan dan vitalitas. Jembatan yang melintasi air tersebut (seperti Jembatan Yeongjegyo) harus berada di atas Jongang, memastikan bahwa ketika raja melintasi jembatan—sebuah tindakan metaforis menyeberang dari dunia profan ke dunia suci kerajaan—dia membawa serta vitalitas air yang disalurkan oleh sumbu tersebut.
Sumbu Jongang selalu ditandai dengan serangkaian gerbang bertingkat yang menandakan peningkatan kesucian. Struktur tiga gerbang (Samjeongmun) adalah umum dan simbolis. Gerbang utama di tengah adalah gerbang yang murni Jongang—hanya raja dan utusan Langit yang diizinkan menggunakannya. Dua gerbang di samping digunakan oleh pejabat atau anggota istana.
Setiap gerbang harus sejajar sempurna. Gangguan terkecil pada sumbu ini dapat merusak seluruh aliran Qi. Filsafat ini begitu mendalam sehingga desain batu paving di sepanjang Jongang juga diatur; terdapat batu jalur yang ditinggikan (Eodo) yang benar-benar eksklusif untuk kereta atau langkah kaki raja, simbol bahwa raja berjalan di atas sumbu kosmik yang berbeda dari manusia biasa.
Jongang adalah tulang punggung Istana Joseon, dan komponen fisiknya dirancang dengan presisi yang menghabiskan waktu bertahun-tahun dalam perencanaan dan pembangunan. Memahami Jongang berarti meneliti setiap elemen yang dilaluinya, dari batu gerbang hingga puncak atap istana.
Gerbang utama adalah titik awal sumbu, sering kali menjadi struktur paling megah setelah Jeongjeon. Gerbang ini harus memiliki tiga pintu, yang terbesar dan paling tinggi adalah yang berada tepat di sumbu Jongang. Pintu ini hanya dibuka pada saat-saat paling seremonial, seperti penobatan, perayaan tahun baru, atau prosesi khusus. Kehadiran tiga pintu ini melambangkan Trilogi Langit, Bumi, dan Manusia (Cheon Ji In), dan raja yang melewatinya secara simbolis menyelaraskan ketiga kekuatan tersebut.
Detail ukiran pada balok gerbang di atas Jongang sering kali menggambarkan simbol-simbol pelindung seperti naga, kura-kura hitam (Hyunmu), atau burung phoenix (Bonghwang). Makhluk-makhluk ini bukan hanya dekorasi; mereka adalah penjaga spiritual yang memastikan bahwa energi negatif atau roh jahat tidak dapat menyeberangi sumbu suci ini. Warna cat yang digunakan—seringkali warna merah terang—juga melambangkan Yang dan perlindungan, menggarisbawahi keagungan titik nol ini.
Setelah melewati gerbang kedua, Jongang membentang melintasi halaman luar yang luas (Oemadang). Halaman ini, di mana para pejabat akan berdiri berbaris berdasarkan pangkat selama audiensi besar, merupakan ruang transisi antara dunia luar dan aula singgasana. Di sinilah Jongang menjadi paling terlihat.
Sumbu ini ditandai oleh Eodo—jalur batu yang ditinggikan dan diukir dengan relief yang halus. Jalur ini hanya untuk raja dan benda-benda ritual tertinggi. Di kedua sisi Eodo, terdapat jalur batu yang lebih rendah untuk para pejabat, dan di sepanjang jalur ini, diatur berdasarkan sumbu, terdapat batu-batu penanda pangkat (Pumgyeok Seok). Penempatan batu-batu ini sejajar sempurna dengan Jongang, menegaskan hierarki yang kaku dan memastikan bahwa setiap pejabat berdiri dalam hubungan yang benar dan terstruktur dengan pusat kekuasaan.
Kerapian halaman Oemadang yang monumental, dan penyelarasan ketat dari Eodo, berfungsi sebagai pengingat visual yang konstan akan tata tertib kosmik. Bahkan ketika tidak ada upacara, kehadiran Eodo adalah jaminan filosofis bahwa pusat negara—raja—tetap tak tergoyahkan.
Aula Singgasana, seperti Geunjeongjeon di Gyeongbokgung atau Injeongjeon di Changdeokgung, adalah puncak fisik dan spiritual dari Jongang. Ini adalah titik di mana sumbu tersebut mencapai intensitas tertingginya. Singgasana raja diletakkan tepat di atas Jongang. Di belakang singgasana terdapat lukisan layar yang terkenal, Iltwol Obongdo (Lukisan Matahari, Bulan, dan Lima Puncak Gunung).
Iltwol Obongdo ini adalah kunci penting dalam memahami Jongang. Matahari (Yang) dan Bulan (Yin) mewakili keseimbangan kosmik; Lima Puncak mewakili Lima Elemen (Wu Xing). Ketika Raja duduk di hadapan lukisan ini, dia tidak hanya berhadapan dengan rakyatnya, tetapi secara metaforis, dia mengambil tempat di antara Langit dan Bumi, dikelilingi oleh seluruh alam semesta. Lukisan itu sendiri, serta singgasana, harus sejajar sempurna dengan Jongang, memastikan raja adalah pusat absolut dari dunia yang tertata.
Keseimbangan di Jeongjeon begitu rumit sehingga bahkan langkah-langkah batu yang menuju ke aula (Woldae) diatur berdasarkan nomor ganjil (angka Yang), dan ukiran pada pagar Woldae harus mencerminkan empat arah kardinal dan dua belas zodiak. Seluruh struktur Jeongjeon berfungsi sebagai kotak resonator filosofis yang memperkuat energi kosmik Jongang, menerjemahkannya menjadi kekuasaan duniawi.
Setelah melewati Jeongjeon, Jongang berlanjut ke area Chimjeon, atau kediaman pribadi raja dan ratu. Ini adalah bagian terakhir dari sumbu sakral sebelum mencapai area taman belakang yang lebih santai. Berbeda dengan Jeongjeon yang formal dan terbuka, Chimjeon dirancang untuk privasi, namun Jongang memastikan bahwa bahkan kehidupan pribadi raja tetap terstruktur secara kosmik.
Di Chimjeon (seperti Gangnyeongjeon di Gyeongbokgung), kamar tidur raja terletak tepat di atas Jongang. Penempatan ini memastikan bahwa bahkan saat beristirahat, raja tetap berada di pusat energi Langit. Salah satu keunikan arsitektur Chimjeon yang mempertahankan prinsip Jongang adalah ketiadaan bubungan atap yang terlihat (Yongmaru). Dalam kepercayaan Joseon, jika raja tidur langsung di bawah bubungan yang merupakan tempat bersemayamnya roh naga langit (roh kerajaan), itu bisa menimbulkan konflik atau bahaya. Oleh karena itu, atap yang menyembunyikan bubungan tetap menjaga keselarasan sumbu Jongang sambil melindungi raja dari kontak spiritual yang terlalu kuat.
Jongang bukan hanya cetak biru arsitektur; ia adalah panggung utama bagi semua upacara kenegaraan. Setiap ritual besar yang menegaskan otoritas raja harus dilakukan di atas atau sejajar dengan sumbu ini. Penggunaan Jongang selama upacara adalah cara fisik untuk memanifestasikan kedaulatan raja yang diberikan oleh Langit dan menjaga legitimasi dinasti.
Selama upacara-upacara penting, seperti penobatan, perayaan tahun baru (Seolnal), atau upacara pengiriman pasukan, Jongang menjadi jalur prosesi. Raja harus berjalan, atau dibawa, tepat di atas Eodo. Prosesi ini sangat lambat dan khidmat, karena setiap langkah di atas Jongang adalah tindakan spiritual. Ketika raja bergerak, dia memproyeksikan kekuatan sumbu tersebut ke seluruh istana, dan secara metaforis, ke seluruh kerajaan.
Pejabat dan prajurit, yang berdiri di kedua sisi sumbu, berlutut menghadap ke Jongang. Orientasi mereka yang ketat terhadap sumbu ini, dan pada akhirnya terhadap raja di ujungnya, menunjukkan bahwa seluruh struktur pemerintahan berada dalam subordinasi total terhadap pusat kekuasaan kosmik yang diwakili oleh sumbu tersebut.
Audiensi harian atau pertemuan penting antara raja dan para menteri (Jocheon) sering diadakan di halaman Jongang, tepat di depan Jeongjeon. Posisi raja di Jeongjeon, dan posisi menteri di Oemadang, diatur oleh Jongang. Sumbu ini bertindak sebagai pemisah dan sekaligus penghubung.
Ketika seorang menteri mengajukan petisi atau laporan, ia harus bergerak menuju Jongang tanpa menginjak Eodo, berhenti di posisi peringkatnya. Garis imajiner yang menghubungkan menteri dengan raja adalah garis otoritas yang terstruktur. Keputusan yang dibuat di sepanjang sumbu ini dianggap memiliki bobot moral dan kosmik yang lebih besar, karena dibuat di titik paling suci istana. Jika terjadi ketidakadilan, itu dapat dianggap sebagai gangguan terhadap keseimbangan Jongang, mengancam harmoni seluruh alam.
Kerapian absolut dari halaman selama Jocheon adalah wajib. Bahkan sehelai daun yang jatuh di Eodo dianggap mengganggu kesucian Jongang. Para pelayan khusus ditugaskan untuk menjaga jalur raja ini agar tetap bersih, mencerminkan ketelitian yang dituntut dalam tata kelola negara: segala sesuatu harus tertib, terpusat, dan sempurna.
Meskipun Jongang secara utama bersifat sipil dan ritualistik, ia juga berfungsi sebagai garis pertahanan simbolis. Ketika pasukan dikerahkan dari istana, mereka akan berbaris menjauhi Jongang, seolah-olah kekuatan sentral telah memancarkan energi militernya ke luar. Pintu gerbang Jongang dipertahankan dengan sangat ketat, karena jatuh atau dilanggarnya sumbu ini oleh musuh akan berarti keruntuhan total kekuasaan kerajaan.
Selama invasi Jepang pada akhir abad ke-16, ketika Gyeongbokgung dibakar, kehancuran Jeongjeon dan Gerbang Gwanghwamun adalah pukulan psikologis yang dahsyat, karena itu adalah penghancuran fisik dari Jongang itu sendiri—sumbu kosmik yang diyakini menopang dinasti. Restorasi selanjutnya selalu dimulai dengan pemulihan sumbu ini.
Untuk memenuhi tuntutan kedalaman arsitektur Jongang, kita harus kembali fokus pada Eodo dan batu pangkat (Pumgyeok Seok). Eodo, yang secara harfiah berarti "Jalan Raja," sering kali dibangun dari batu granit putih atau abu-abu gelap. Teksturnya lebih halus dan lebih tinggi sekitar 15-20 cm dari jalur di sekitarnya. Ketinggian ini memastikan bahwa setiap orang harus melihat ke atas untuk melihat jalur tersebut, sebuah pengakuan visual atas keunggulan raja.
Di sepanjang Eodo, terukir detail yang sangat halus, seringkali pola awan atau naga. Naga melambangkan raja dan air. Pola awan menunjukkan hubungan raja dengan Langit. Setiap batu penyusun Eodo memiliki berat dan dimensi yang seragam, melambangkan kekonsistenan dan stabilitas pemerintahan. Pengaturan batu ini mengikuti prinsip Konfusian tentang kesempurnaan dan keteraturan. Tidak ada celah yang tidak perlu, tidak ada keretakan yang diabaikan. Kesempurnaan fisik ini harus mencerminkan kesempurnaan moral yang diharapkan dari raja.
Pumgyeok Seok, yang berdiri tegak di kedua sisi Eodo, adalah penanda hierarki yang tak terhindarkan. Batu-batu ini menandai posisi untuk peringkat 1A, 1B, 2A, 2B, dan seterusnya, hingga peringkat kesembilan. Penempatan mereka di sepanjang sumbu Jongang berarti bahwa bahkan jarak fisik dari raja diatur secara ketat. Semakin tinggi pangkat, semakin dekat ke sumbu. Menteri senior berdiri di dekat Eodo, sementara pejabat junior berdiri di tepian halaman. Ini bukan hanya masalah tata krama; ini adalah manifestasi Jongang sebagai alat kontrol sosial dan administratif yang mutlak. Ketaatan terhadap Jongang adalah ketaatan terhadap sistem sosial.
Dalam analisis yang lebih mendalam, jumlah Pumgyeok Seok sering kali mencerminkan bilangan ganjil (Yang), misalnya 9 batu di setiap sisi, sesuai dengan sembilan tingkat pangkat yang merupakan bilangan sempurna dalam kosmologi Konfusian. Selama upacara audiensi, ketika ratusan pejabat berkumpul, mereka membentuk dua garis rapi yang paralel dengan Jongang, menciptakan sebuah koridor energi manusia yang memperkuat jalur kosmik tersebut, mengarahkan semua perhatian dan penghormatan ke titik tunggal: singgasana.
Untuk memahami keunikan Jongang, penting untuk membandingkannya dengan area lain di istana: area timur (Donggung, tempat Putra Mahkota) dan area barat (Seogung, tempat Ratu). Sumbu Jongang bersifat eksklusif bagi Raja yang memerintah dan urusan pemerintahan sentral.
Sementara Jongang adalah sumbu Yang utama, sumbu sekunder yang menuju ke Donggung dan Seogung memiliki karakteristik Yin yang lebih menonjol. Donggung (Timur) sering memiliki sumbu yang menyimpang sedikit ke timur, melambangkan pertumbuhan, musim semi, dan peran Putra Mahkota sebagai pewaris masa depan (Yang yang berkembang). Namun, sumbu ini tidak boleh menyaingi atau memotong Jongang.
Sebaliknya, Seogung (Barat) atau kediaman Ratu, yang terkait dengan Yin, sering kali memiliki tata letak yang lebih organik, dipenuhi dengan taman dan kolam air (melambangkan feminin dan kelembutan). Bangunan di area ini sering tidak mengikuti garis lurus yang ketat seperti Jongang, menekankan bahwa kekuasaan sentral dan ritual resmi berakar pada garis lurus dan keteraturan Jongang. Penyimpangan ini adalah cara arsitektur untuk menunjukkan pembagian kerja dan peran gender dalam istana.
Tidak semua istana Joseon (seperti Changdeokgung) memiliki sumbu Jongang yang lurus sempurna. Changdeokgung, yang dibangun di medan yang lebih menantang, menunjukkan adaptasi Jongang yang unik. Sumbu utama masih ada, menghubungkan gerbang dan Jeongjeon, tetapi karena topografi, sumbu ini "membengkok" atau "terputus" menjadi segmen-segmen yang menyesuaikan diri dengan bukit dan lembah.
Adaptasi ini menunjukkan fleksibilitas Pungsu Jiri: meskipun garis lurus Konfusianisme diidealkan, harmoni dengan alam (Pungsu Jiri) harus diutamakan. Bahkan ketika Jongang tidak lurus, aliran Qi yang seharusnya melewati sumbu tersebut tetap dipertahankan, memastikan bahwa raja, meskipun dalam lingkungan yang tidak konvensional, tetap berada di pusat kosmik yang optimal. Ini adalah kontras yang halus—idealnya lurus, namun secara praktis disesuaikan dengan alam, selalu menjaga keseimbangan.
Dalam studi mendalam mengenai tata letak istana, dapat dilihat bahwa di Gyeonghuigung, sumbu Jongang jauh lebih pendek dan lebih tersembunyi, mencerminkan perannya sebagai istana sekunder (Igung). Kontras ini semakin mempertegas bahwa panjang, ketegasan, dan kejelasan Jongang secara langsung berkorelasi dengan status istana sebagai pusat kekuasaan utama dinasti.
Fokus Jongang meluas hingga ke detail terkecil. Di sepanjang sumbu, kusen pintu pada semua bangunan yang dilalui Jongang memiliki dimensi yang paling akurat dan proporsi yang paling suci (sering kali berdasarkan angka 3 atau 9). Balok atap utama (Yongmaru) di Jeongjeon dan gerbang di sepanjang Jongang sering dihiasi dengan Japsang (patung-patung penjaga kecil) dalam jumlah ganjil. Patung-patung ini, yang menghadap ke luar dari Jongang, berfungsi untuk mengusir roh jahat dari sumbu suci ini, memastikan bahwa semua yang mengalir melalui Jongang adalah murni dan positif.
Bahkan bahan bangunan Jongang memiliki hierarki. Kayu pinus berkualitas tertinggi, batu granit yang paling keras, dan cat mineral yang paling cerah diperuntukkan bagi struktur yang berada di atas Jongang, sedangkan area di luarnya menggunakan bahan yang lebih sederhana. Ini adalah penegasan material terhadap supremasi filosofis sumbu tersebut.
Jika kita telaah kembali area Jeongjeon, kita akan menemukan bahwa tangga utama menuju teras (Woldae) selalu terbagi tiga. Tangga tengah adalah bagian integral dari Jongang, digunakan hanya oleh raja. Dua tangga di sampingnya digunakan oleh para pejabat. Tangga tengah ini dihiasi dengan relief naga dan phoenix (untuk raja dan ratu), sedangkan tangga samping seringkali polos atau dihiasi dengan motif yang lebih sederhana, sekali lagi memisahkan jalur Jongang dari jalur duniawi.
Perbedaan yang paling mencolok antara Jongang dan sumbu lainnya adalah sifatnya yang tidak terganggu. Meskipun lorong-lorong dan halaman-halaman lain mungkin memiliki dinding atau jalur yang memutar untuk tujuan pertahanan atau privasi, Jongang harus tetap lurus dan terbuka, melambangkan kejujuran dan transparansi kekuasaan raja terhadap Langit. Keutuhan Jongang adalah cermin dari keutuhan moral dinasti.
Sejarah Joseon penuh dengan gejolak, dan istana sering kali menjadi korban peperangan dan bencana. Dalam setiap kehancuran, Jongang menjadi simbol utama yang harus dipulihkan untuk mengembalikan legitimasi kerajaan.
Ketika Gyeongbokgung dibakar habis selama Invasi Imjin (akhir abad ke-16), istana itu dibiarkan menjadi puing-puing selama hampir tiga abad. Raja-raja Joseon pindah ke Changdeokgung dan Changgyeonggung. Namun, ketika Heungseon Daewongun memulai proyek restorasi Gyeongbokgung yang masif pada tahun 1860-an, fokus utamanya adalah memulihkan Jongang.
Restorasi ini tidak dimulai dari bangunan terluar, tetapi dari sumbu Jongang itu sendiri. Gerbang-gerbang harus dibangun kembali tepat di lokasi aslinya, Eodo harus ditata ulang dengan batu-batu yang diambil dari lokasi yang dianggap murni, dan Jeongjeon harus didirikan kembali di titik sentral kosmik yang sama. Restorasi Jongang adalah tindakan politik yang menyatakan: Dinasti telah kembali ke pusat kekuasaan dan harmoni kosmiknya yang sah. Proses ini menelan biaya besar-besaran karena ketelitian pengukuran dan penempatan yang harus sesuai dengan catatan geomansi kuno.
Tragedi terbesar Jongang terjadi selama periode kolonial Jepang (1910–1945). Jepang dengan sengaja menghancurkan sebagian besar struktur Gyeongbokgung dan, yang paling ofensif secara simbolis, membangun Gedung Pemerintahan Jenderal Korea tepat di atas Jongang yang melintasi halaman utama. Tindakan ini bertujuan untuk secara harfiah memotong dan menekan sumbu kosmik Joseon, menggantikannya dengan garis kekuasaan kolonial.
Penghancuran Jongang ini merupakan strategi untuk menghapus identitas Korea dan legitimasi sejarahnya. Dalam pandangan Jepang, jika sumbu kosmik istana Korea dihancurkan, maka roh nasional akan terputus dari langit. Upaya restorasi besar-besaran yang dimulai pada tahun 1990-an dan berlanjut hingga kini selalu berfokus pada pembersihan dan pemulihan Jongang ke kondisi aslinya. Pembongkaran Gedung Pemerintahan Jenderal adalah tindakan pemulihan Jongang paling signifikan dalam sejarah modern Korea, sebuah penegasan kembali kedaulatan Korea yang kembali selaras dengan prinsip-prinsip kosmik kuno.
Proses pemulihan Jongang hari ini melibatkan penggunaan teknologi modern untuk memastikan akurasi milimeter, membandingkan temuan arkeologi dengan peta kuno dan catatan geometris era Joseon. Tujuannya bukan hanya membangun ulang bangunan, tetapi juga memastikan bahwa aliran energi Qi yang dibayangkan oleh para geomancer lima abad lalu kini dapat mengalir kembali tanpa hambatan di sepanjang sumbu utama istana. Setiap batu yang diletakkan di Eodo hari ini adalah penghormatan terhadap prinsip Jongang.
Saat ini, Jongang berfungsi sebagai alat edukasi. Ketika pengunjung berjalan di sepanjang Eodo (meskipun dilarang menginjaknya di masa lalu), mereka merasakan skala dan ketertiban yang mendefinisikan negara Joseon. Jongang mengajarkan bahwa kepemimpinan bukanlah masalah kebetulan, melainkan hasil dari harmoni yang cermat antara manusia, alam, dan kosmos.
Jongang adalah pengingat abadi bahwa arsitektur adalah teks. Sumbu ini adalah kalimat terpanjang dan paling penting dalam teks istana Joseon—sebuah pernyataan tentang kekuasaan, moralitas, dan keteraturan alam semesta. Melalui pelestariannya, Korea modern tidak hanya menjaga monumen, tetapi juga mempertahankan sebuah filosofi tata kelola dan kehidupan yang mendalam.
Sumbu ini, yang lurus, tidak terputus, dan tak tergoyahkan, tetap menjadi simbol aspirasi tertinggi dinasti untuk keadilan dan stabilitas. Meskipun zaman telah berubah, pelajaran yang diwariskan oleh Jongang tentang pentingnya pusat yang kuat, teratur, dan berorientasi pada prinsip-prinsip universal tetap relevan. Keberadaannya di tengah hiruk pikuk Seoul modern adalah jangkar spiritual yang menghubungkan masa lalu yang agung dengan masa depan yang teratur.
Dalam konteks pemahaman yang lebih luas, Jongang mencerminkan keinginan terdalam para pendiri dinasti untuk menciptakan masyarakat yang stabil dan hirarkis. Stabilitas tidak hanya datang dari kekuatan militer atau ekonomi, tetapi dari keselarasan fundamental dengan tata ruang kosmik. Jika sumbu Jongang stabil, maka negara stabil. Jika sumbu itu terganggu, seperti yang terjadi selama masa penjajahan, maka harmoni Langit dan Bumi dalam Joseon terputus. Oleh karena itu, perjuangan untuk memulihkan Jongang adalah perjuangan untuk mengembalikan roh dan kedaulatan bangsa.
Bahkan dalam upacara modern yang kadang diadakan di kompleks istana, para pejabat sering kali secara tidak sadar tetap mengikuti garis Jongang ketika mereka bergerak melintasi halaman. Sumbu ini telah meresap ke dalam memori institusional dan budaya sedemikian rupa sehingga pergerakan di istana terasa tidak lengkap jika tidak mengikuti pola yang telah ditetapkan oleh sumbu suci tersebut. Jongang adalah garis tak terlihat yang memandu sejarah, arsitektur, dan spiritualitas bangsa Korea.
Jongang, sumbu arsitektural dan filosofis istana Joseon, merupakan salah satu pencapaian tata ruang paling signifikan dalam sejarah Korea. Ini bukan sekadar garis lurus, tetapi garis suci yang merangkum keyakinan mendalam Joseon: bahwa kekuasaan manusia harus tunduk pada, dan berfungsi sebagai cerminan dari, keteraturan kosmik.
Dari Gerbang Utama yang menantang dunia luar, melalui Eodo yang suci, hingga Singgasana di Jeongjeon yang menghadap ke kosmos, Jongang adalah manifestasi fisik dari Mandat Surgawi. Prinsip ini menentukan desain, material, penggunaan ritual, dan bahkan etika pemerintahan. Ketepatan penempatan setiap batu, setiap tiang, dan setiap bangunan di sepanjang sumbu ini menegaskan komitmen dinasti pada Konfusianisme dan geomansi.
Jongang adalah tulang rusuk kekuasaan, tempat semua energi, keadilan, dan tata krama kerajaan bersatu. Sumbu ini adalah narasi abadi tentang pencarian harmoni dalam kekacauan, dan warisan visual yang megah dari peradaban yang percaya bahwa kesempurnaan di Bumi hanya mungkin dicapai melalui keselarasan total dengan Langit. Ketika kita mengunjungi istana-istana Joseon, kita tidak hanya melihat bangunan tua, tetapi kita berjalan di sepanjang garis di mana raja-raja pernah berinteraksi dengan alam semesta. Sumbu Jongang tetap menjadi inti yang sunyi namun kuat dari warisan arsitektur Korea.