JAZAM: Kaidah Fundamental dalam Morfologi Fi'il Mudhari'

Dalam tata bahasa Arab, khususnya ilmu Nahwu (Sintaksis), status i’rab (perubahan akhir kata) merupakan pilar utama untuk memahami fungsi dan makna sebuah kalimat. Kata kerja masa kini atau masa depan, yang dikenal sebagai Fi’il Mudhari’, memiliki tiga status i’rab utama: Rafa’ (marfu’), Nashab (manshub), dan Jazam (majzum). Di antara ketiganya, jazam menempati posisi unik karena ia secara eksklusif hanya berlaku pada fi'il (kata kerja) dan tidak pernah berlaku pada isim (kata benda).

Kajian mengenai jazam memerlukan pemahaman mendalam tentang berbagai operator gramatikal (amil) yang mampu mengubah status fi’il mudhari’ dari status dasarnya (rafa’) menjadi status majzum. Proses jazam seringkali menandakan adanya penolakan, perintah negatif, atau syarat dan akibat dalam struktur kalimat, menjadikannya kunci penting dalam interpretasi teks-teks klasik, termasuk Al-Qur’an dan Hadits.

I. Definisi dan Konsep Dasar Jazam

Secara bahasa, kata jazam (جزم) berarti memutuskan atau memotong. Dalam konteks terminologi Nahwu, jazam merujuk pada status i'rab yang ditandai dengan penghilangan harakat akhir atau penghilangan huruf tertentu dari akhir fi’il mudhari’. Jazam adalah kebalikan dari rafa’ (yang ditandai dengan dammah atau penetapan nun) dan nashab (yang ditandai dengan fathah).

1. Eksklusivitas Jazam

Penting untuk ditegaskan bahwa jazam adalah i’rab yang spesifik untuk fi’il mudhari’ saja. Isim (kata benda) memiliki empat status i’rab, yaitu rafa’, nashab, jarr (khofdh), namun tidak pernah mengalami jazam. Sebaliknya, fi’il (kata kerja) memiliki status rafa’, nashab, jazam, namun tidak pernah mengalami jarr. Eksklusivitas ini adalah salah satu pembeda mendasar antara kategori isim dan fi’il dalam bahasa Arab.

2. Amil Jazam (Operator Jazam)

Fi’il mudhari’ hanya bisa berstatus majzum jika didahului oleh operator (amil) yang memerintahkan jazam. Amil-amil ini dibagi menjadi dua kategori besar berdasarkan jumlah fi’il yang dipengaruhi statusnya:

Visualisasi Kaidah Jazam يَكْتُبُ Marfu' (Status Dasar) Amil Jazam (لَمْ) لَمْ يَكْتُبْ Majzum (Sukun) الجَزْمُ (Al-Jazmu) = Pemutusan Harakat

Visualisasi perubahan fi'il mudhari' dari status Rafa' menjadi Majzum oleh Amil Jazam (لَمْ).

II. Tanda-Tanda Status Jazam (Alamatul Jazm)

Identifikasi status jazam bergantung pada jenis fi’il mudhari’ itu sendiri. Terdapat tiga tanda utama yang digunakan untuk menunjukkan bahwa suatu fi’il berada dalam status majzum. Tanda-tanda ini sangat krusial karena menentukan bagaimana fi’il tersebut ditulis dan dibaca.

1. Sukun (السكون)

Sukun adalah tanda jazam yang paling umum dan merupakan tanda dasar (asli). Sukun terjadi pada fi’il mudhari’ yang shahih akhir (berakhir dengan huruf selain alif, waw, atau ya') dan bukan merupakan bagian dari Al-Af’alul Khamsah (lima jenis fi’il).

Fi’il Marfu’: يَعْلَمُ (Ya'lamu – Dia mengetahui)

Fi’il Majzum: لَمْ يَعْلَمْ (Lam Ya'lam – Dia belum mengetahui)

Perhatikan bahwa harakat dammah pada huruf akhir (mim) dihilangkan dan diganti dengan sukun.

Pengecualian Sukun: Iltiqa' As-Sakinain

Meskipun sukun adalah tanda dasarnya, seringkali terjadi pertemuan dua sukun (اِلْتِقَاءُ السَّاكِنَيْنِ – Iltiqa' As-Sakinain) ketika fi’il majzum diikuti oleh kata yang diawali dengan alif lam (ال) atau sukun lainnya. Dalam kasus ini, sukun pada fi’il majzum diubah menjadi harakat kasrah (kadang fathah, jarang dammah) hanya untuk keperluan pengucapan, namun status i'rab-nya tetap majzum dengan tanda sukun yang muqaddar (diperkirakan).

Original Majzum: لَمْ يُنْزِلْ (Lam yunzil – Dia belum menurunkan)

Ketika bertemu Sukun: لَمْ يُنْزِلِ المَطَرُ (Lam yunzili al-matharu – Dia belum menurunkan hujan).

Sukun pada huruf *lam* (ل) diubah menjadi kasrah (ِل) untuk menghindari pertemuan dua sukun (lam sukun dan alif lam sukun).

2. Menghilangkan Huruf Nun (حذف النون)

Tanda jazam ini berlaku secara eksklusif untuk Al-Af’alul Khamsah (lima jenis fi’il), yaitu fi’il mudhari’ yang bersambung dengan alif tasniyah (dua orang), waw jama’ah (banyak orang), atau ya’ mukhatabah (satu orang perempuan yang diajak bicara). Status rafa’ pada jenis fi’il ini ditandai dengan keberadaan huruf nun (ن), sehingga status jazamnya ditandai dengan penghilangan nun tersebut.

Af’alul Khamsah Marfu’: يَفْعَلُوْنَ (Yaf’alūna – Mereka (L) melakukan)

Af’alul Khamsah Majzum: لَمْ يَفْعَلُوا (Lam Yaf’alū – Mereka (L) belum melakukan)

Nun dihilangkan, dan alif ditambahkan setelah waw jama’ah (Alif Faariqah) sebagai pembeda, kecuali pada dhomir ya’ mukhatabah.

3. Menghilangkan Huruf Illah (حذف حرف العلة)

Tanda jazam ini berlaku untuk Fi’il Mu'tal Akhir (fi’il yang berakhiran huruf illah/lemah: alif (ا), waw (و), atau ya' (ي)). Dalam status rafa’, huruf illah ini sering dipertahankan atau diukur (muqaddar), namun ketika statusnya menjadi majzum, huruf illah tersebut wajib dihilangkan sepenuhnya. Penghilangan ini digantikan dengan harakat yang sesuai sebagai petunjuk (dammah untuk waw, fathah untuk alif, dan kasrah untuk ya').

Fi’il Mu’tal Akhir Marfu’: يَدْعُو (Yad'ū – Dia memanggil/mengajak)

Fi’il Mu’tal Akhir Majzum: لَمْ يَدْعُ (Lam Yad'u – Dia belum memanggil)

Huruf waw (و) dihilangkan dan diganti dengan harakat dammah pada huruf sebelumnya (ain).

Contoh Alif: يَرْمَى (Yarmā – Dia melempar)

Fi’il Majzum: لَمْ يَرْمَ (Lam Yarm – Huruf alif dihilangkan, sisa fathah).

III. Amil Jazam Tunggal (Men-Jazam-kan Satu Fi’il)

Kelompok amil ini terdiri dari empat partikel utama yang diletakkan langsung sebelum fi’il mudhari’ untuk memberikan makna khusus, seperti negasi masa lalu, perintah, atau larangan. Mereka memiliki dampak i'rab yang seragam: men-jazam-kan fi’il mudhari’ setelahnya.

1. لَمْ (Lam Nafiy wa Jazm wa Qalb) – Negasi Masa Lampau

Lam berfungsi sebagai penolakan (nafi), pen-jazam (jazm), dan pengubah makna waktu (qalb). Meskipun fi’il yang mengikutinya adalah mudhari’ (masa kini/depan), Lam mengubah maknanya menjadi negasi yang berlaku di masa lampau (mirip makna "belum" atau "tidak").

Fungsi Utama: Menolak atau meniadakan kejadian di masa lalu. Lam selalu memerlukan jazam, tidak seperti maa (ما) atau laa (لا) yang sering tidak men-jazam-kan.

لَمْ يَحْضُرِ الأُسْتَاذُ (Lam yahdhuri al-ustādzu)

Artinya: Guru itu tidak/belum hadir (sampai sekarang). Fi’il يَحْضُرُ menjadi يَحْضُرْ (majzum sukun). (Kasrah pada ra' karena Iltiqa' As-Sakinain).

2. لَمَّا (Lammā) – Belum Terjadi (Sampai Sekarang)

Lamma hampir sama fungsinya dengan Lam, yakni negasi di masa lampau, namun Lamma mengandung makna ekspektasi bahwa kejadian tersebut kemungkinan akan terjadi di masa depan. Dalam terjemahan, Lamma paling tepat diterjemahkan sebagai “belum, dan diharapkan segera terjadi.”

Fungsi Utama: Negasi masa lalu yang berkelanjutan hingga saat bicara, dengan harapan akan segera terjadi.

لَمَّا يَكْمُلِ البِنَاءُ (Lammā yakmuli al-binā’u)

Artinya: Bangunan itu belum selesai (tetapi akan segera selesai). Fi’il يَكْمُلُ menjadi يَكْمُلْ (majzum sukun).

Perbedaan Krusial antara Lam dan Lamma

Meskipun keduanya men-jazam-kan dan menafikan masa lalu, Lam hanya menafikan masa lalu secara umum, sedangkan Lamma menafikan masa lalu hingga waktu saat bicara dan menyiratkan bahwa fi'il tersebut akan terjadi setelahnya. Selain itu, Lamma bisa datang sebagai partikel syarat yang tidak men-jazam-kan jika diikuti fi’il madhi (kata kerja masa lampau), tetapi dalam konteks ini, kita membahas Lamma sebagai amil jazam mudhari’.

3. لَامُ الأَمْرِ (Lam al-Amr) – Lam Perintah

Lam al-Amr adalah partikel yang berfungsi mengubah makna fi’il mudhari’ menjadi perintah (imperatif). Perintah ini biasanya ditujukan kepada orang ketiga tunggal, ganda, atau jamak. Lam al-Amr sering dikasrahkan (لِـ) kecuali jika didahului oleh waw (و) atau fa’ (ف) atau tsumma (ثُمَّ), di mana ia disukunkan (لْـ).

Fungsi Utama: Memberikan makna perintah (amar) kepada ghaib (orang ketiga) atau mutakallim (orang pertama).

لِيَكْتُبْ كُلُّ طَالِبٍ وَاجِبَهُ (Liyaktub kullu thālibin wājibahu)

Artinya: Hendaklah setiap siswa menulis tugasnya. Fi’il يَكْتُبُ menjadi لِيَكْتُبْ (majzum sukun).

Contoh dengan Ya' Mukhatabah (حذف النون):

لِتَنْظُرِي إِلَى صَدِيقَتِكِ (Litanẓurī ilā ṣadīqatiki)

Artinya: Hendaklah kamu (P, tunggal) melihat temanmu. (Asalnya تَنْظُرِينَ, nun dihilangkan).

4. لَا النَّاهِيَةُ (Lā an-Nāhiyah) – Lā Larangan

Lā an-Nāhiyah berfungsi untuk melarang atau mencegah seseorang melakukan suatu perbuatan. Larangan ini selalu ditujukan kepada mukhatab (orang kedua: kamu). Harus dibedakan dengan Lā an-Nāfiyah (Lā penafian biasa) yang hanya menafikan kejadian dan tidak men-jazam-kan fi’il mudhari’.

Fungsi Utama: Memberikan makna larangan (nahi) kepada mukhatab (orang kedua).

لَا تَشْرَبْ وَأَنْتَ وَاقِفٌ (Lā tashrab wa anta wāqifun)

Artinya: Janganlah kamu minum sementara kamu berdiri. Fi’il تَشْرَبُ menjadi لَا تَشْرَبْ (majzum sukun).

Contoh Mu'tal Akhir (حذف حرف العلة):

لَا تَنْسَ وَعْدَكَ (Lā tansā wa’daka)

Artinya: Janganlah kamu lupa janjimu. (Asalnya تَنْسَى, huruf illah alif dihilangkan).

Pembedaan antara Lā an-Nāhiyah (yang men-jazam-kan) dan Lā an-Nāfiyah (yang tidak men-jazam-kan) adalah salah satu kesulitan awal bagi pelajar Nahwu. Lā Nāhiyah selalu mengandung perintah atau permintaan untuk berhenti, sementara Lā Nāfiyah hanya menyatakan fakta bahwa perbuatan itu tidak terjadi.

IV. Amil Jazam Ganda (Amil Syarat)

Amil jazam ganda adalah partikel yang mengatur struktur kalimat syarat (conditional sentence). Partikel-partikel ini men-jazam-kan dua fi’il mudhari’ sekaligus: fi’il pertama disebut Fi’il Syarat (فعل الشرط) dan fi’il kedua disebut Jawab as-Syarat (جواب الشرط) atau Jazā’ (balasan).

Kalimat syarat memiliki struktur: (Amil Syarat) + (Fi’il Syarat, Majzum) + (Jawab Syarat, Majzum).

Terdapat sepuluh hingga dua belas partikel yang disepakati oleh mayoritas ulama Nahwu sebagai amil jazam ganda. Seluruhnya berfungsi memberikan makna syarat dan men-jazam-kan dua fi’il setelahnya.

1. In (إنْ) – Jika/Apabila

In adalah partikel syarat yang paling umum dan hanya berupa huruf (bukan isim). Ia digunakan untuk menunjukkan kemungkinan terjadinya syarat dan jawab.

إنْ تَدْرُسْ تَنْجَحْ (In tadrus tanjah)

Artinya: Jika kamu belajar, kamu akan sukses. (تَدْرُسُ menjadi تَدْرُسْ, تَنْجَحُ menjadi تَنْجَحْ, keduanya majzum sukun).

2. Man (مَنْ) – Siapa Pun yang

Man adalah isim syarat yang digunakan untuk akil (makhluk berakal). Man berfungsi sebagai mubtada’ (subjek) jika fi’il syarat yang mengikutinya adalah fi’il lazim (intransitif).

مَنْ يَصْبِرْ يَنَلْ مُرَادَهُ (Man yaṣbir yanal murādahu)

Artinya: Siapa pun yang bersabar, dia akan meraih keinginannya. (يَصْبِرُ menjadi يَصْبِرْ, يَنَالُ menjadi يَنَلْ – Huruf illah alif pada yanal dihilangkan karena bertemu sukun, tapi i'rab-nya tetap sukun).

3. Mā (مَا) – Apa Pun yang

Mā adalah isim syarat yang digunakan untuk ghairu akil (makhluk tidak berakal).

مَا تَفْعَلْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدْهُ (Mā taf’al min khairin tajidhu)

Artinya: Apa pun kebaikan yang kamu lakukan, kamu akan menemukannya. (تَفْعَلْ dan تَجِدْ, keduanya majzum sukun).

4. Mata (مَتَى) – Kapan Pun

Mata adalah isim syarat yang berfungsi sebagai zharaf zaman (keterangan waktu).

مَتَى تَزُرْنَا نُكْرِمْكَ (Matā tazurnā nukrimka)

Artinya: Kapan pun kamu mengunjungi kami, kami akan memuliakanmu. (تَزُرْ dan نُكْرِمْ, keduanya majzum sukun).

5. Ayyāna (أَيَّانَ) – Kapan Saja

Mirip dengan Mata, Ayyana juga berfungsi sebagai zharaf zaman, namun penggunaannya lebih jarang dalam kondisi syarat.

أَيَّانَ تُسَافِرْ أُسَافِرْ مَعَكَ (Ayyāna tusāfir usāfir ma’aka)

Artinya: Kapan saja kamu bepergian, aku akan bepergian bersamamu. (تُسَافِرْ dan أُسَافِرْ, keduanya majzum sukun).

6. Ayna / Haythumā / Annā (أَيْنَ / حَيْثُمَا / أَنَّى) – Di Mana Pun

Ketiga isim syarat ini berfungsi sebagai zharaf makan (keterangan tempat).

أَيْنَمَا تَجْلِسْ أَجْلِسْ (Aynamā tajlis ajlis)

Artinya: Di mana pun kamu duduk, aku akan duduk. (تَجْلِسْ dan أَجْلِسْ, keduanya majzum sukun).

حَيْثُمَا تَتَّجِهُ أَتَّبِعْكَ (Haithumā tattajihu attabi’ka)

Artinya: Ke mana pun kamu menghadap, aku akan mengikutimu. (تَتَّجِهْ dan أَتَّبِعْ, keduanya majzum sukun).

7. Kayfamā (كَيْفَمَا) – Bagaimana Pun

Kayfamā adalah isim syarat yang menunjukkan hâl (kondisi) atau cara.

كَيْفَمَا تَجْلِسْ أَتَأَدَّبْ (Kayfamā tajlis ata’addab)

Artinya: Bagaimana pun caramu duduk, aku akan bersikap sopan. (تَجْلِسْ dan أَتَأَدَّبْ, keduanya majzum sukun).

8. Ayyun (أيٌّ) – Apa Pun/Siapa Pun

Ayyun adalah isim syarat yang paling fleksibel karena maknanya bergantung pada kata yang di-idhafah-kan (disambungkan) setelahnya. Ia bisa untuk akil, ghairu akil, zaman, atau makan.

أَيَّ كِتَابٍ تَقْرَأْ يَزِدْكَ عِلْمًا (Ayyu kitābin taqra’ yazidka ‘ilman)

Artinya: Kitab apa pun yang kamu baca, ia akan menambah ilmumu. (تَقْرَأْ dan يَزِدْ, keduanya majzum sukun).

9. Idzmā (إِذْمَا)

Idzmā adalah huruf syarat (mirip إنْ), namun penggunaannya lebih jarang dan lebih sering dalam gaya bahasa klasik.

إِذْمَا تَقُمْ أَقُمْ (Idzmā taqum aqum)

Artinya: Kapan pun kamu berdiri, aku akan berdiri. (تَقُمْ dan أَقُمْ, keduanya majzum sukun).

V. Aplikasi Jazam pada Af’alul Khamsah (Lima Jenis Fi’il)

Fi’il yang termasuk dalam Al-Af’alul Khamsah (الأفعال الخمسة) adalah fi’il mudhari’ yang berstatus rafa’ dengan penetapan nun (ثبوت النون). Ketika ia di-jazam-kan, tanda jazamnya adalah penghilangan nun. Kelima jenis ini adalah yang bersambung dengan:

  1. Wawu Jama’ah untuk Ghaib (Orang Ketiga Jamak Laki-laki): يَفْعَلُونَ
  2. Wawu Jama’ah untuk Mukhatab (Orang Kedua Jamak Laki-laki): تَفْعَلُونَ
  3. Alif Tasniyah untuk Ghaib (Orang Ketiga Ganda): يَفْعَلَانِ
  4. Alif Tasniyah untuk Mukhatab (Orang Kedua Ganda): تَفْعَلَانِ
  5. Ya’ Mukhatabah (Orang Kedua Tunggal Perempuan): تَفْعَلِينَ

1. Proses Penghilangan Nun pada Jama’ah dan Tasniyah

Ketika Amil Jazam masuk pada fi’il-fi’il ini, huruf Nun dihapus. Pada bentuk yang bersambung dengan Wawu Jama’ah (seperti يَفْعَلُونَ), setelah nun dihapus, ditambahkan Alif Fāriqah (الألف الفارقة), yaitu alif yang membedakan wawu jama’ah dari wawu huruf asli atau wawu ‘athof (penghubung).

Contoh Wawu Jama’ah:

Rafa’: يَتَكَلَّمُونَ (Yatakallamūna)

Majzum: لَمْ يَتَكَلَّمُوا (Lam yatakallamū – Nun dihapus, Alif ditambahkan)

Contoh Alif Tasniyah:

Rafa’: تَفْهَمَانِ (Tafhamāni)

Majzum: إِنْ تَفْهَمَا تَفُوزَا (In tafhamā tafūzā – Nun dihapus)

2. Proses Penghilangan Nun pada Ya’ Mukhatabah

Pada bentuk Ya’ Mukhatabah (tَفعَلِينَ), nun dihapus, tetapi tidak ada alif tambahan setelah Ya’.

Contoh Ya’ Mukhatabah:

Rafa’: تَعْمَلِينَ (Ta’malīna)

Majzum: لَا تَعْمَلِي شَيْئًا (Lā ta’malī shai’an – Jangan kamu (P) melakukan sesuatu)

Pemahaman yang cermat terhadap lima jenis fi’il ini sangat penting karena banyak terjadi kesalahan dalam penerapan jazam di mana nun dibiarkan ada, padahal amil jazam telah masuk. Status dhomir yang bersambung (wawu, alif, ya’) tetap pada posisi rafa’ sebagai fa’il (pelaku), meskipun nunnya telah hilang sebagai tanda i'rab jazam.

VI. Mekanisme Jazam pada Fi’il Mu’tal Akhir

Fi’il Mu’tal Akhir (الفعل المعتل الآخر) adalah fi’il yang huruf terakhirnya adalah salah satu dari huruf illah: Alif (ا), Wawu (و), atau Ya’ (ي). Status i’rab pada fi’il jenis ini secara default (rafa’) tidak terlihat jelas karena dammah diperkirakan (muqaddar) di atas huruf illah karena beratnya pengucapan.

Ketika amil jazam masuk, tanda jazamnya bukanlah sukun, melainkan penghilangan huruf illah (حذف حرف العلة).

1. Fi’il Mu’tal dengan Wawu (و)

Huruf Wawu dihilangkan, dan sebagai gantinya, huruf sebelum wawu diberikan harakat dammah (ُ) sebagai petunjuk bahwa yang hilang adalah wawu.

Asal (Rafa’): يَدْنُو (Yadnū – Dia mendekat)

Majzum: لَمْ يَدْنُ (Lam yadnu)

Dammah pada huruf *nūn* (نُ) menggantikan keberadaan *wawu* yang telah dihapus.

2. Fi’il Mu’tal dengan Ya’ (ي)

Huruf Ya’ dihilangkan, dan sebagai gantinya, huruf sebelum Ya’ diberikan harakat kasrah (ِ) sebagai petunjuk bahwa yang hilang adalah Ya’.

Asal (Rafa’): يَمْشِي (Yamshī – Dia berjalan)

Majzum: لَمْ يَمْشِ (Lam yamshi)

Kasrah pada huruf *shīn* (شِ) menggantikan keberadaan *ya’* yang telah dihapus.

3. Fi’il Mu’tal dengan Alif (ا)

Huruf Alif dihilangkan, dan sebagai gantinya, huruf sebelum Alif diberikan harakat fathah (َ) sebagai petunjuk bahwa yang hilang adalah Alif.

Asal (Rafa’): يَرَى (Yarā – Dia melihat)

Majzum: لَمْ يَرَ (Lam yara)

Fathah pada huruf *rā’* (رَ) menggantikan keberadaan *alif* yang telah dihapus.

Perlakuan khusus ini menunjukkan mengapa jazam dianggap sebagai status i'rab yang paling "keras" atau "ekstrem" karena ia secara fisik menghilangkan huruf dari struktur fi’il, tidak hanya mengubah harakat seperti rafa’ atau nashab. Penghilangan huruf illah adalah tanda yang jelas untuk status majzum pada fi’il mu’tal.

VII. Kondisi Khusus dalam Kalimat Syarat (Jawab Syarat)

Meskipun secara kaidah dasar, Amil Jazam Ganda men-jazam-kan dua fi’il mudhari’ (syarat dan jawab), terdapat kondisi di mana jawab syarat tidak dapat tampil dalam bentuk majzum. Dalam kasus ini, jawab syarat wajib dibarengi dengan huruf fa’ (ف) yang disebut Fa’ al-Jazā’ (ف الجزاء) atau Fa’ al-Rābithah (Fa’ penghubung).

Ketika Fa’ al-Jazā’ masuk, fi’il jawab syarat tidak lagi berstatus majzum karena pengaruh Amil Syarat, melainkan i’rab-nya kembali kepada status aslinya (rafa’ atau manshub jika didahului amil nashab), dan keseluruhan kalimat jawab syarat berada dalam status mahalli jazm (berkedudukan jazam).

Kondisi Wajib Fa’ al-Jazā’ (Jawab Syarat Tidak Majzum)

Fa’ al-Jazā’ wajib hadir ketika jawab syarat bukan berbentuk fi’il mudhari’ murni yang bisa di-jazam-kan. Kondisi-kondisi tersebut diringkas dalam akronim bahasa Arab: اسمية (isim), طلبية (thalab), وبجامد (jāmid), وبما (mā), وبلن (lan), وبقد (qad), وبالتسويف (taswīf).

1. Ismiyyah (الجملة الإسمية)

Jika jawab syarat berupa kalimat isim (nominal), maka wajib menggunakan Fa’.

إِنْ تَجْتَهِدْ فَأَنْتَ نَاجِحٌ (In tajtahid fa-anta nājiḥun)

Artinya: Jika kamu bersungguh-sungguh, maka kamu adalah orang yang sukses. (أَنْتَ نَاجِحٌ adalah jumlah ismiyyah).

2. Thalabiyyah (الجملة الطلبية)

Jika jawab syarat berupa kalimat yang mengandung permintaan/perintah (amar, nahi, istifham, tamanni, dll.).

مَنْ يَزُرْنَا فَلْيُكْرَمْ (Man yazurnā fa-liyukram)

Artinya: Siapa pun yang mengunjungi kami, maka hendaklah ia dimuliakan. (لِيُكْرَمْ adalah Lam al-Amr, sebuah thalab).

3. Jāmid (الجامد)

Jika jawab syarat menggunakan fi’il jāmid (kata kerja yang tidak bisa di-tashrif/diubah bentuk waktu), seperti نِعْمَ (ni’ma), بِئْسَ (bi’sa), لَيْسَ (laisa), عَسَى (asā).

إِنْ تَقُمْ فَعَسَى أَنْ تَنْجَحَ (In taqum fa-‘asā an tanjaḥa)

Artinya: Jika kamu berdiri, maka semoga kamu sukses. (عَسَى adalah fi’il jāmid).

4. Negasi dengan Mā (بما)

Jika jawab syarat dinegasikan menggunakan huruf *Mā* (yang menafikan).

إِنْ لَمْ تَعْمَلْ فَمَا قَصَّرْتَ (In lam ta’mal fa-mā qaṣṣarta)

Artinya: Jika kamu tidak bekerja, maka kamu tidak lalai. (Mā qaṣṣarta adalah negasi masa lampau).

5. Negasi dengan Lan (بلن)

Jika jawab syarat dinegasikan menggunakan huruf *Lan* (amil nashab yang menafikan masa depan).

مَنْ يُهْمِلْ فَلَنْ يَنْجَحَ (Man yuhmil fa-lan yanjaha)

Artinya: Siapa pun yang lalai, maka dia tidak akan sukses. (يَنْجَحَ adalah manshub karena Lan).

6. Didahului Qad (بقد)

Jika jawab syarat didahului oleh *Qad* (partikel penguat atau penanda kepastian).

إِنْ تَزُرْنِي فَقَدْ وَجَدْتَ خَيْرًا (In tuzurnī fa-qad wajadta khairan)

Artinya: Jika kamu mengunjungiku, maka sungguh kamu telah menemukan kebaikan.

7. Taswīf (بالتسويف)

Jika jawab syarat mengandung huruf Taswīf (penanda masa depan), yaitu Sin (سَـ) atau Saufa (سَوْفَ).

مَنْ يُصِبْ بِالخَطَأِ فَسَوْفَ يَتُوبُ (Man yuṣib bil-khaṭa’i fa-sawfa yatūbu)

Artinya: Siapa pun yang berbuat salah, maka dia akan bertaubat. (يَتُوبُ adalah marfu’ karena pengaruh Saufa).

Dalam semua kasus di atas, meskipun jawab syarat tidak majzum, seluruh struktur kalimat yang didahului Fa’ al-Jazā’ berada pada posisi i’rab jazam (في محل جزم). Ini adalah contoh penting di mana i’rab lokal (harakat akhir kata) berbeda dengan i’rab mahalli (kedudukan gramatikal keseluruhan frasa).

VIII. Kasus Kompleks dan Pengukuran I’rab Jazam

Kajian mendalam tentang jazam tidak hanya berhenti pada fi’il mudhari’ yang shahih akhir. Terdapat kompleksitas saat jazam berinteraksi dengan fi’il muḍā‘af (yang memiliki dua huruf yang sama/tashdīd) atau fi’il yang huruf illah-nya terletak di tengah (Ajwaf).

1. Jazam pada Fi’il Muḍā‘af (Idgham)

Fi’il muḍā‘af (مثل: يَمُدُّ - yamuddu) biasanya diucapkan dengan idgham (penggabungan) pada dua huruf yang sama (dāl dan dāl, menjadi dāl bertashdid). Ketika fi’il ini di-jazam-kan dengan sukun, terjadi dua kemungkinan, keduanya bertujuan menghindari pertemuan tiga harakat mati yang sulit diucapkan:

a. Pemisahan Idgham (فك الإدغام)

Idgham dipecah, dan huruf pertama diberi sukun sebagai tanda jazam, sementara huruf kedua diberi harakat biasa (seringkali fathah atau kasrah).

Asal (Rafa’): يَشُدُّ (Yashuddu – Dia menarik)

Majzum dengan Pemisahan: لَمْ يَشْدُدْ (Lam yashdud)

b. Pemeliharaan Idgham (Penggantian Harakat)

Idgham dipertahankan (tetap bertashdid), dan harakat sukun yang seharusnya menjadi tanda jazam dipindahkan ke salah satu harakat pendek (fathah, kasrah, atau dammah) pada huruf akhir, yang kemudian dianggap majzum secara harakat yang dipindahkan. Paling sering, diakhiri dengan fathah.

Majzum dengan Pemeliharaan: لَمْ يَشُدَّ (Lam yashudda)

Status i’rabnya: Majzum, tanda jazamnya adalah sukun muqaddar (yang diperkirakan) karena adanya tashdid.

Pemisahan idgham (فَكُّ الإِدْغَامِ) dianggap sebagai bentuk yang lebih jelas (أَصْرَحُ) untuk menunjukkan status jazam, namun pemeliharaan idgham juga banyak digunakan dalam praktik, termasuk dalam Al-Qur’an.

2. Jazam pada Fi’il Ajwaf (Mu’tal di Tengah)

Fi’il Ajwaf (مثل: يَقُولُ – Yaqūlu) adalah fi’il yang huruf illah-nya berada di tengah (huruf wawu atau ya’). Ketika amil jazam masuk, tanda jazamnya adalah sukun pada huruf akhir (lam fi’il), namun sukun ini menyebabkan iltiqā’ as-sākinain (pertemuan dua sukun) dengan huruf illah di tengah (ain fi’il). Untuk menghindari kesulitan pengucapan, huruf illah (wawu atau ya’) tersebut dihapus.

Penting ditekankan: Penghilangan huruf illah pada fi’il ajwaf BUKANLAH tanda jazam, melainkan hanya langkah fonetik untuk menghindari pertemuan dua sukun. Tanda jazam yang sebenarnya tetaplah sukun pada huruf terakhir (lam fi’il).

Asal (Rafa’): يَقُوْمُ (Yaqūmu)

Langkah 1 (Jazam Sukun): يَقُوْمْ (Yaqūm) – Terjadi sukun pada mīm dan wawu.

Langkah 2 (Penghilangan Wawu): لَمْ يَقُمْ (Lam yaqum)

I’rab: Majzum, tanda jazamnya adalah sukun yang terlihat pada mīm.

Fi’il Ajwaf tetap berstatus majzum dengan tanda sukun, meskipun huruf illah di tengah terpaksa dihapus untuk alasan fonetik. Ini berbeda total dengan fi’il mu’tal akhir, di mana penghilangan huruf illah ADALAH tanda jazam itu sendiri.

IX. Implikasi Jazam dalam Ilmu Tafsir dan Fiqih

Status jazam memiliki dampak besar di luar sekadar kaidah Nahwu. Dalam memahami teks-teks agama, khususnya Al-Qur’an dan Hadits, identifikasi Amil Jazam dan dampaknya dapat mengubah makna hukum atau perintah secara fundamental.

1. Membedakan Larangan dan Penafian

Pembedaan antara لَا النَّاهِيَةُ (Lā Larangan, Majzum) dan لَا النَّافِيَةُ (Lā Penafian, Marfu’) sangat menentukan hukum fiqih:

Jika fi’il di-jazam-kan oleh Lā, itu adalah larangan tegas (Nahi) yang seringkali mengarah pada hukum haram. Contoh: لَا تَقْرَبُوا (Lā taqrabū – Janganlah kalian mendekat). Ini adalah larangan berbuat sesuatu.

Jika fi’il tetap marfu’ (tidak majzum) oleh Lā, itu hanya penafian atau pemberitaan bahwa sesuatu tidak terjadi, tanpa mengandung tuntutan untuk berhenti. Contoh: لَا يَعْلَمُ (Lā ya’lamu – Dia tidak mengetahui). Ini hanya fakta, bukan larangan.

2. Ketegasan Perintah (Lam al-Amr)

Lam al-Amr (Lam Perintah, Majzum) memberikan ketegasan dan kewajiban (wujub) pada suatu perbuatan. Contoh-contoh penggunaan Lam al-Amr dalam konteks fiqih sering diinterpretasikan sebagai perintah wajib (fardhu).

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ (Liyunfiq dzū sa’atin min sa’atihi)

Artinya: Hendaklah orang yang berkelapangan menafkahkan (hartanya) dari kelapangannya. (QS. Ath-Thalaq: 7). Penggunaan Liyunfiq (majzum) di sini menunjukkan perintah yang mengikat.

3. Memahami Kaidah Syarat dan Balasan

Amil Jazam Ganda (Amil Syarat) mengaitkan dua peristiwa (syarat dan jawab) dengan hubungan sebab-akibat yang kuat. Dalam konteks akidah dan pahala, konstruksi ini menunjukkan kepastian balasan dari Allah SWT atas suatu perbuatan.

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (Wa man yattaqi Allaha yaj'al lahu makhrajan)

Artinya: Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. (QS. Ath-Thalaq: 2).

Fi’il يَـتَّقِي (asalnya mu’tal ya’) menjadi يَـتَّقِ (jazam حذف حرف العلة). Fi’il يَجْعَلُ menjadi يَجْعَلْ (jazam sukun). Jazam ini mengunci hubungan antara takwa dan jalan keluar.

X. Analisis Mendalam: Partikel Syarat Non-Jazam vs. Jazam

Untuk melengkapi pemahaman tentang jazam, penting untuk membandingkannya dengan partikel syarat yang serupa namun tidak memiliki kekuatan untuk men-jazam-kan fi’il mudhari’.

Partikel syarat non-jazam (أدوات الشرط غير الجازمة) meliputi: لَوْ (lau), لَوْلَا (lawlā), لَوْمَا (lawmā), إِذَا (idhā), كُلَّمَا (kullamā), لَمَّا (lammā – jika diikuti fi’il madhi), dan أَمَّا (ammā).

1. Jika (إِذَا - Idhā)

Idhā digunakan untuk syarat di masa depan yang diyakini akan terjadi (kepastian), berbeda dengan In (إنْ) yang digunakan untuk kemungkinan. Idhā tidak men-jazam-kan fi’il setelahnya. Fi’il setelah Idhā biasanya berupa fi’il madhi, tetapi jika berupa mudhari’, statusnya tetap marfu’.

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ (Idhā jā’a naṣrullahi...)

Fi’il جَاءَ adalah fi’il madhi (masa lampau). Jika diganti mudhari’: إِذَا يَأْتِي نَصْرُ اللَّهِ. (Yā’tī tetap marfu’, tidak majzum).

2. Seandainya (لَوْ - Lau)

Lau digunakan untuk syarat yang bersifat imtina’ (penolakan) atau mustahil terjadi. Lau tidak men-jazam-kan fi’il setelahnya, dan jawabnya seringkali dimasuki Lam (لَـ) yang disebut Lam al-Jawab.

لَوْ كَانَ فِيْهِمَا آلِهَةٌ إِلَّا الله لَفَسَدَتَا (Lau kāna fīhimā ālihatun illallahu lafasadatā)

Artinya: Seandainya di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan selain Allah, pastilah keduanya akan rusak. (Fi’il كَانَ dan فَسَدَتَا adalah madhi dan tidak majzum).

3. Perbedaan dalam Fungsi Lammā

Seperti disinggung sebelumnya, Lammā memiliki dua fungsi:

Dalam konteks jazam, Lammā harus selalu men-jazam-kan fi’il mudhari’. Namun, jika dalam sebuah teks ditemukan Lammā diikuti fi’il madhi, maka ia bukan lagi amil jazam dan hanya berfungsi sebagai zharaf (keterangan waktu).

Lammā Ghaer Jāzimah: لَمَّا جَاءَ الْحَقُّ (Lammā jā’al ḥaqqu – Ketika kebenaran datang...)

Fi’il جَاءَ (jā’a) adalah madhi, harakatnya tetap, tidak ada jazam.

XI. Penutup: Konsistensi Jazam dalam Bahasa Arab Standar

Status jazam adalah status i’rab yang paling konsisten dalam tata bahasa Arab baku (Fushā). Ia merupakan indikator linguistik penting yang membedakan fi’il yang disajikan sebagai fakta netral (marfu’) dari fi’il yang disajikan dalam konteks negasi masa lalu, larangan, atau syarat (majzum).

Penguasaan penuh terhadap kaidah jazam, termasuk ketiga tanda utamanya (sukun, penghilangan nun, penghilangan huruf illah), serta kategori amil tunggal dan ganda, adalah prasyarat mutlak untuk dapat menganalisis dan memahami struktur kalimat Arab yang kompleks, baik dalam sastra maupun sumber-sumber hukum Islam.

Setiap pelajar Nahwu harus melatih diri untuk segera mengidentifikasi amil jazam yang masuk ke dalam kalimat dan secara otomatis menentukan jenis fi’il mudhari’ yang terpengaruh, untuk kemudian menerapkan tanda jazam yang tepat sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah diuraikan secara rinci di atas. Ketelitian dalam penentuan status jazam akan membuka pintu pemahaman yang lebih akurat terhadap maksud dan tujuan dari setiap teks yang dianalisis.