Pengantar: Menguak Tirai Kisah Kehidupan Lampau Bodhisattva
Di antara ribuan permata kebijaksanaan yang diturunkan dari tradisi Buddha, Kisah Jataka bersinar dengan kilau yang unik dan tak tertandingi. Lebih dari sekadar dongeng atau fabel, Jataka adalah kumpulan narasi inspiratif yang menceritakan berbagai kehidupan lampau Bodhisattva—makhluk yang dalam perjalanannya menuju pencerahan sempurna—sebelum ia terlahir sebagai Pangeran Siddhartha Gautama, Sang Buddha. Kisah-kisah ini, yang diyakini berasal dari ajaran Sang Buddha sendiri, telah memikat hati dan pikiran selama lebih dari dua milenium, menembus batas geografis, budaya, dan bahkan agama.
Jataka bukan hanya catatan sejarah spiritual; ia adalah cermin reflektif yang memantulkan nilai-nilai universal seperti kedermawanan (dana), moralitas (sila), kesabaran (khanti), kebijaksanaan (panna), dan kasih sayang (metta). Setiap cerita adalah sebuah pelajaran etika yang dikemas dalam narasi yang menarik, seringkali melibatkan tokoh-tokoh hewan, manusia, atau bahkan dewa, yang semuanya berinteraksi dalam situasi yang menguji kebajikan dan ketahanan Bodhisattva.
Dalam artikel ini, kita akan menyelami kedalaman Kisah Jataka: asal-usulnya, signifikansinya bagi ajaran Buddha dan warisan budaya dunia, serta bagaimana pesan-pesan abadi ini tetap relevan dalam kehidupan modern. Kita akan mengupas struktur khas dari sebuah kisah Jataka dan, yang terpenting, kita akan menelusuri beberapa contoh kisah paling terkenal yang dengan indah mengilustrasikan sepuluh kesempurnaan (Dasaparami) yang dikejar oleh Bodhisattva dalam perjalanannya menuju Kebuddhaan.
Mari kita memulai perjalanan pencerahan ini, menggali harta karun kearifan yang tersimpan dalam Kisah Jataka, dan membiarkan pesannya menyentuh hati serta membimbing langkah kita dalam pencarian makna dan kebaikan.
Apa Itu Kisah Jataka?
Secara etimologi, kata "Jataka" berasal dari bahasa Pali (dan Sanskerta "Jātaka") yang berarti "kelahiran" atau "yang berkaitan dengan kelahiran". Dalam konteks Buddha, ini merujuk pada kisah-kisah mengenai kelahiran-kelahiran lampau Sang Buddha. Kisah-kisah ini adalah bagian integral dari Tripitaka, kumpulan kitab suci agama Buddha, khususnya ditemukan dalam Sutta Piṭaka, bagian Khuddaka Nikaya.
Inti dari setiap Kisah Jataka adalah penelusuran kehidupan Bodhisattva—makhluk yang telah berjanji untuk mencapai Kebuddhaan demi kebaikan semua makhluk hidup. Dalam setiap kehidupan lampau ini, Bodhisattva tidak selalu terlahir sebagai manusia terkemuka. Ia bisa muncul sebagai raja, pangeran, pertapa, pedagang, seniman, atau bahkan dalam wujud hewan seperti gajah, singa, kera, kelinci, ikan, atau burung. Terkadang ia juga terlahir sebagai dewa di alam surga.
Tujuan utama Kisah Jataka:
- Mengilustrasikan Karma: Jataka menunjukkan bagaimana tindakan (karma) di satu kehidupan dapat memengaruhi kehidupan-kehidupan berikutnya, serta bagaimana kebajikan yang ditumpuk secara konsisten mengarah pada tujuan tertinggi.
- Mengajarkan Moralitas dan Etika: Setiap kisah mengandung pelajaran moral yang jelas, membimbing pendengar dan pembaca untuk mempraktikkan kebajikan, menghindari kejahatan, dan mengembangkan sifat-sifat luhur.
- Menguatkan Keyakinan: Dengan menunjukkan konsistensi Bodhisattva dalam mengejar kebajikan melalui berbagai rintangan dan bentuk kehidupan, Jataka memperkuat keyakinan akan potensi pencerahan dan kekuatan niat baik.
- Mempersiapkan Jalan Menuju Kebuddhaan: Kisah-kisah ini secara kolektif menggambarkan perjalanan panjang dan penuh pengorbanan yang harus dilalui oleh Bodhisattva untuk menyempurnakan sepuluh kesempurnaan (Dasaparami) yang diperlukan untuk menjadi Buddha.
- Menciptakan Literasi Spiritual: Jataka adalah alat pendidikan yang efektif, membuat ajaran-ajaran kompleks menjadi mudah diakses dan dipahami oleh masyarakat umum, dari anak-anak hingga orang dewasa, melalui narasi yang menghibur dan mudah diingat.
Kisah-kisah ini diyakini diceritakan oleh Sang Buddha sendiri kepada para pengikutnya sebagai ilustrasi ajaran-ajarannya, seringkali dalam konteks situasi atau pertanyaan tertentu yang muncul. Sebagai contoh, ketika seorang murid menunjukkan sifat tertentu, Sang Buddha mungkin akan menceritakan sebuah kisah dari kehidupan lampau untuk menjelaskan asal-usul sifat tersebut atau untuk memberikan contoh perilaku yang benar. Oleh karena itu, Jataka adalah jembatan antara masa lalu yang mendalam dan masa kini yang penuh makna, menghubungkan kita dengan perjalanan spiritual yang tak terbatas.
Signifikansi dan Tujuan Kisah Jataka
Kisah Jataka memiliki signifikansi yang sangat luas, tidak hanya dalam konteks agama Buddha, tetapi juga sebagai warisan budaya dan sastra dunia. Keberadaannya menembus berbagai lapisan masyarakat dan telah memberikan dampak yang mendalam selama berabad-abad.
1. Pondasi Ajaran Buddha
Jataka adalah salah satu pilar utama dalam transmisi ajaran Buddha, khususnya dalam tradisi Theravada. Meskipun ajarannya bisa jadi kompleks dan filosofis, Jataka menyajikannya dalam bentuk yang mudah dicerna dan dihayati. Melalui narasi, konsep-konsep seperti karma, dharma, reinkarnasi, dan pencarian pencerahan menjadi hidup. Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa jalan menuju pencerahan adalah perjalanan panjang yang membutuhkan ketekunan, pengorbanan, dan pengembangan kualitas batin secara bertahap.
2. Pendidikan Moral dan Etika Universal
Setiap Jataka adalah sebuah pelajaran moral yang berfungsi sebagai panduan etis. Kisah-kisah ini menekankan pentingnya kebajikan seperti:
- Kedermawanan (Dana): Memberi tanpa pamrih.
- Moralitas (Sila): Menjaga perilaku yang benar.
- Kesabaran (Khanti): Mampu menahan diri dari godaan dan kesulitan.
- Kebijaksanaan (Panna): Memahami kebenaran dan hakikat kehidupan.
- Ketekunan (Viriya): Kegigihan dalam mencapai tujuan baik.
- Kejujuran (Sacca): Berkata benar dan setia pada janji.
- Determinasi (Adhitthana): Keteguhan hati yang tak tergoyahkan.
- Cinta Kasih (Metta): Kasih sayang universal kepada semua makhluk.
- Keseimbangan Batin (Upekkha): Menerima suka dan duka dengan tenang.
- Peletasan (Nekkhamma): Melepaskan diri dari nafsu duniawi.
Nilai-nilai ini bersifat universal dan relevan bagi siapa pun, tanpa memandang latar belakang agama, sehingga Jataka memiliki daya tarik yang luas sebagai sumber inspirasi etis.
3. Warisan Sastra dan Seni
Kisah Jataka adalah salah satu koleksi sastra tertua dan terluas di dunia. Kekayaan narasi, karakter yang beragam, dan plot yang menarik menjadikan Jataka sebagai sumber inspirasi yang tak ada habisnya bagi para seniman. Relief-relief megah di candi-candi Buddha kuno seperti Borobudur di Indonesia dan Sanchi di India adalah bukti nyata bagaimana Jataka telah diabadikan dalam bentuk seni rupa, menceritakan kembali kisahnya kepada generasi demi generasi. Tradisi lisan dan tertulis Jataka juga telah memengaruhi sastra rakyat di berbagai negara Asia, bahkan hingga ke adaptasi modern dalam bentuk buku anak-anak, film, dan pertunjukan.
4. Cermin Kehidupan Masyarakat Kuno
Selain ajaran moral, Jataka juga memberikan wawasan berharga tentang kehidupan sosial, budaya, dan politik di India kuno. Melalui deskripsi karakter, lingkungan, dan interaksi sosial, kita dapat memperoleh gambaran tentang bagaimana masyarakat hidup, berpikir, dan berinteraksi pada masa itu. Kisah-kisah ini mencakup berbagai spektrum kehidupan, dari istana kerajaan hingga desa-desa petani, dari hutan belantara hingga kota-kota yang ramai.
5. Relevansi Kontemporer
Meskipun berasal dari ribuan tahun yang lalu, pesan-pesan Jataka tetap sangat relevan di era modern. Di tengah kompleksitas dan tantangan kehidupan kontemporer, nilai-nilai seperti kasih sayang, kesabaran, dan kedermawanan menjadi semakin penting. Jataka menawarkan panduan praktis untuk menghadapi dilema moral, membangun hubungan yang lebih harmonis, dan menemukan kedamaian batin. Kisah-kisah ini mengingatkan kita akan potensi kebaikan yang ada dalam setiap individu dan bahwa setiap tindakan, sekecil apa pun, memiliki konsekuensi dan membentuk perjalanan spiritual kita.
Dengan demikian, Kisah Jataka bukan sekadar relik masa lalu, melainkan sumber kebijaksanaan yang hidup dan terus relevan, membimbing kita menuju kehidupan yang lebih bermakna dan tercerahkan.
Struktur Khas Sebuah Kisah Jataka
Kisah Jataka, meskipun sangat beragam dalam konten dan karakter, umumnya mengikuti pola naratif yang konsisten. Struktur ini membantu dalam menyampaikan pesan moral secara efektif dan mengaitkannya kembali dengan ajaran Sang Buddha di masa sekarang. Sebuah Jataka biasanya terdiri dari tiga bagian utama:
1. Kisah Masa Kini (Paccuppanna Vatthu)
Setiap Jataka dimulai dengan "Kisah Masa Kini" (Paccuppanna Vatthu). Bagian ini adalah konteks atau latar belakang di mana Sang Buddha menceritakan Kisah Jataka. Biasanya, ini melibatkan situasi atau pertanyaan tertentu yang muncul di antara para murid atau masyarakat pada masa Sang Buddha hidup. Misalnya, seorang bhikkhu mungkin menunjukkan kemarahan, seorang pangeran menunjukkan kedermawanan, atau terjadi suatu peristiwa yang memicu pertanyaan tentang moralitas atau karma.
Sang Buddha kemudian menggunakan kejadian ini sebagai titik tolak untuk memberikan pelajaran. Ia akan melihat bahwa sifat atau perilaku yang diperhatikan pada seseorang di masa kini adalah akibat dari tindakan atau sifat yang sama yang dilakukan oleh orang tersebut (atau oleh Sang Buddha sendiri dalam kehidupan lampau) di masa lalu.
2. Kisah Masa Lalu (Atita Vatthu)
Ini adalah bagian inti dari Kisah Jataka, tempat cerita sesungguhnya diungkapkan. Setelah memperkenalkan situasi di masa kini, Sang Buddha akan berkata, "Dahulu kala, di Benares (atau tempat lain), hiduplah seorang raja bernama X, dan Bodhisattva adalah Y..." Kemudian, ia akan melanjutkan dengan menceritakan kehidupan lampau Bodhisattva dan tokoh-tokoh lain yang terlibat. Bagian ini adalah narasi yang penuh warna, petualangan, dilema moral, dan pengorbanan yang dilakukan oleh Bodhisattva.
Dalam Kisah Masa Lalu, Bodhisattva dapat muncul dalam berbagai wujud—manusia, hewan, atau dewa—dan menghadapi berbagai tantangan yang menguji kesempurnaan batinnya. Kisah ini seringkali berakhir dengan Bodhisattva berhasil mengatasi kesulitan, menunjukkan kebijaksanaan, atau melakukan tindakan kedermawanan yang luar biasa. Bagian ini adalah gudang harta karun nilai-nilai luhur dan contoh perilaku yang patut dicontoh.
3. Identifikasi (Samodhana)
Setelah selesai menceritakan Kisah Masa Lalu, Sang Buddha kembali ke masa kini dan membuat "Identifikasi" (Samodhana). Dalam bagian ini, ia mengungkapkan siapa tokoh-tokoh dari Kisah Masa Lalu dalam konteks kehidupan mereka di masa kini. Misalnya, Sang Buddha akan menjelaskan, "Orang yang menjadi raja kera yang bijaksana di masa lalu itu adalah Aku (Sang Buddha) sendiri sekarang. Pemburu yang kejam itu adalah Devadatta (sepupu dan lawan Sang Buddha) sekarang. Dan para kera yang diselamatkan itu adalah para muridku sekarang."
Bagian identifikasi ini sangat penting karena secara langsung menghubungkan pelajaran dari masa lalu dengan kehidupan para pendengar, menunjukkan bahwa karma dan kualitas batin bersifat transenden melintasi kelahiran. Ini menegaskan bahwa apa yang kita tanam di masa lalu akan kita tuai di masa kini, dan tindakan kita di masa kini akan membentuk masa depan kita.
"Setiap Kisah Jataka adalah jembatan yang menghubungkan masa kini dengan masa lalu yang jauh, mengingatkan kita bahwa benih kebajikan yang kita tanam hari ini akan berbuah di masa depan."
Struktur yang jelas ini membuat Jataka menjadi alat pedagogis yang sangat kuat. Ini tidak hanya menceritakan sebuah kisah, tetapi juga memberikan konteks, mengajarkan pelajaran, dan secara pribadi mengaitkan para pendengar dengan perjalanan spiritual yang lebih besar.
Sepuluh Kesempurnaan (Dasaparami) dalam Jataka
Kisah Jataka adalah narasi yang menggambarkan bagaimana Bodhisattva mengumpulkan dan menyempurnakan kualitas-kualitas moral dan spiritual yang dikenal sebagai Paramis (atau Pāramī) selama banyak kehidupannya. "Paramis" berarti "kesempurnaan" atau "kualitas yang transenden." Ada sepuluh Paramis yang secara khusus ditekankan dalam tradisi Theravada, dan setiap Kisah Jataka, dalam berbagai tingkat, menyoroti salah satu atau lebih dari kesempurnaan ini. Pencapaian kesepuluh Paramis ini merupakan prasyarat mutlak untuk mencapai Kebuddhaan.
Berikut adalah sepuluh Paramis yang dicontohkan secara indah dalam Kisah Jataka:
1. Dana Paramī (Kesempurnaan Kedermawanan)
Dana adalah tindakan memberi tanpa pamrih, baik itu materi, pengetahuan, waktu, atau bahkan hidup seseorang. Ini adalah pondasi dari semua kebajikan, karena memupuk peletasan dari kelekatan egois. Dalam Jataka, Bodhisattva seringkali mengorbankan harta benda, kekuasaan, atau bahkan tubuhnya sendiri demi kebaikan orang lain. Ini mengajarkan bahwa kedermawanan sejati tidak mencari imbalan.
Contoh dalam Jataka: Kisah Raja Sivi yang mencabut matanya untuk diberikan kepada seorang pengemis buta (Sivi Jataka), atau Kelinci yang mengorbankan dirinya ke dalam api untuk makanan seorang pertapa (Sasa Jataka).
2. Sīla Paramī (Kesempurnaan Moralitas)
Sīla adalah ketaatan pada prinsip-prinsip moral, seperti tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berbohong, tidak melakukan perbuatan asusila, dan tidak mengonsumsi minuman memabukkan. Ini adalah dasar untuk membangun pikiran yang tenang dan damai, serta mencegah tindakan yang merugikan diri sendiri atau orang lain. Bodhisattva selalu berusaha menjaga kemurnian perilaku meskipun dalam situasi yang paling sulit.
Contoh dalam Jataka: Kisah Raja Kera yang menolak makanan enak dari kerajaan karena itu adalah hasil pencurian (Mahakapi Jataka), atau Rusa Nigrodha yang rela mengorbankan diri demi menyelamatkan kawanan rusa lainnya dari pembantaian (Nigrodhamiga Jataka).
3. Nekkhamma Paramī (Kesempurnaan Pelepasan)
Nekkhamma adalah pelepasan dari nafsu indrawi dan ikatan duniawi. Ini bukan berarti menolak kesenangan, tetapi memahami bahwa kebahagiaan sejati tidak dapat ditemukan dalam keterikatan pada hal-hal eksternal. Seringkali ini termanifestasi sebagai kehidupan yang sederhana, pengunduran diri dari keduniawian, atau kesediaan untuk melepaskan kekuasaan dan harta benda.
Contoh dalam Jataka: Banyak kisah di mana Bodhisattva, meskipun terlahir sebagai raja atau pangeran, memilih kehidupan pertapa untuk mencari kebenaran (misalnya, Maha-Janaka Jataka).
4. Paññā Paramī (Kesempurnaan Kebijaksanaan)
Paññā adalah pemahaman yang mendalam tentang hakikat keberadaan, realitas, dan penderitaan. Ini adalah kemampuan untuk melihat sesuatu sebagaimana adanya, bebas dari ilusi dan prasangka. Kebijaksanaan memungkinkan Bodhisattva untuk membuat keputusan yang tepat, memberikan nasihat yang benar, dan menemukan solusi kreatif untuk masalah yang kompleks.
Contoh dalam Jataka: Kisah Raja Kera yang menggunakan kecerdasannya untuk membuat jembatan hidup bagi kawanan kera (Mahakapi Jataka), atau berbagai kisah di mana Bodhisattva menjadi hakim yang adil (misalnya, Ummagga Jataka).
5. Viriya Paramī (Kesempurnaan Ketekunan/Semangat)
Viriya adalah semangat yang tak tergoyahkan dan ketekunan dalam mengejar tujuan yang benar, tanpa menyerah meskipun menghadapi rintangan besar. Ini adalah energi positif yang mendorong Bodhisattva untuk terus berusaha, bahkan ketika menghadapi kegagalan atau kesulitan yang tampaknya tak teratasi.
Contoh dalam Jataka: Kisah Burung Puyuh yang gigih memadamkan api hutan dengan air yang ia bawa di paruhnya (Vattaka Jataka), atau Maha-Janaka Jataka di mana Bodhisattva berenang selama tujuh hari di laut terbuka.
6. Khanti Paramī (Kesempurnaan Kesabaran)
Khanti adalah kemampuan untuk menahan diri dari kemarahan, kebencian, dan frustrasi, bahkan ketika menghadapi provokasi, penghinaan, atau penderitaan fisik. Ini adalah kekuatan batin yang memungkinkan seseorang untuk tetap tenang dan damai di tengah badai kehidupan, tanpa membalas kejahatan dengan kejahatan.
Contoh dalam Jataka: Kisah Khantivadi Jataka di mana Bodhisattva, seorang pertapa yang sabar, disiksa dengan kejam oleh seorang raja tetapi tidak menunjukkan sedikit pun kemarahan atau kebencian.
7. Sacca Paramī (Kesempurnaan Kejujuran)
Sacca adalah ketaatan pada kebenaran dan kesetiaan pada janji yang diucapkan. Ini melibatkan integritas dalam perkataan dan perbuatan, serta komitmen terhadap kejujuran di atas segalanya. Seseorang yang memiliki sacca adalah orang yang dapat dipercaya dan teguh pada prinsipnya.
Contoh dalam Jataka: Banyak kisah di mana Bodhisattva menjaga janjinya meskipun harus menghadapi kematian, seperti Kisah Burung Merpati yang melindungi seorang pengungsi meskipun diburu (Kapota Jataka).
8. Adhiṭṭhāna Paramī (Kesempurnaan Resolusi/Determinasi)
Adhiṭṭhāna adalah keteguhan hati yang tak tergoyahkan dan tekad yang kuat untuk mencapai suatu tujuan mulia. Setelah memutuskan suatu jalan yang benar, Bodhisattva tidak akan menyimpang dari jalannya, tidak peduli seberapa besar rintangan yang muncul. Ini adalah kekuatan kehendak yang didorong oleh niat murni.
Contoh dalam Jataka: Tekad seekor burung puyuh kecil untuk memadamkan api hutan (Vattaka Jataka) atau determinasi Bodhisattva untuk mencapai pencerahan.
9. Mettā Paramī (Kesempurnaan Cinta Kasih Universal)
Mettā adalah cinta kasih tanpa syarat dan tanpa batas kepada semua makhluk hidup, tanpa membedakan teman atau musuh. Ini adalah keinginan tulus agar semua makhluk berbahagia dan terbebas dari penderitaan. Metta termanifestasi sebagai kebaikan hati, belas kasihan, dan niat baik.
Contoh dalam Jataka: Kisah Raja Kera yang menunjukkan kasih sayang kepada pemburu yang ingin membunuhnya (Mahakapi Jataka), atau gajah yang memaafkan pemburu yang melukainya (Silanaga Jataka).
10. Upekkhā Paramī (Kesempurnaan Keseimbangan Batin/Ketenangan)
Upekkhā adalah keseimbangan batin, ketenangan, dan imparsialitas, baik dalam menghadapi pujian maupun celaan, suka maupun duka, untung maupun rugi. Ini adalah kemampuan untuk tidak terpengaruh oleh delapan kondisi duniawi (loka-dharma). Bodhisattva tetap tenang dan tidak tergoyahkan, menjaga pikiran yang adil dan seimbang.
Contoh dalam Jataka: Banyak kisah di mana Bodhisattva menghadapi penderitaan atau kehilangan besar tanpa menunjukkan kemarahan, kesedihan, atau kegembiraan berlebihan, menjaga pikiran yang seimbang dan tidak bias.
Melalui Kisah Jataka, kita diajak untuk melihat bagaimana kesempurnaan-kesempurnaan ini tidak dicapai dalam satu kelahiran saja, melainkan melalui akumulasi yang konsisten dari tindakan-tindakan baik, tekad, dan kebijaksanaan di sepanjang perjalanan panjang menuju Kebuddhaan. Ini adalah peta jalan spiritual bagi siapa saja yang bercita-cita untuk mengembangkan kebajikan dalam diri mereka.
Beberapa Kisah Jataka Terkenal: Ilustrasi Nilai-Nilai Luhur
Untuk lebih memahami kekayaan ajaran Jataka, mari kita selami beberapa kisah terkenal yang dengan indah mengilustrasikan Paramis yang telah kita bahas. Kisah-kisah ini bukan hanya cerita, tetapi juga jendela menuju kearifan mendalam dan perilaku etis yang dicontohkan oleh Bodhisattva.
1. Kisah Raja Kera yang Bijaksana (Mahakapi Jataka - #407)
Kisah Masa Kini: Suatu ketika, Devadatta (sepupu Sang Buddha yang selalu berusaha mencelakainya) mencoba membunuh Sang Buddha. Para bhikkhu bertanya-tanya mengapa Devadatta selalu menyimpan dendam kesumat terhadap Sang Buddha. Sang Buddha kemudian menceritakan kisah ini.
Kisah Masa Lalu: Dahulu kala, di tepi Sungai Gangga, hiduplah sekelompok besar kera yang dipimpin oleh Raja Kera yang sangat bijaksana dan penuh kasih sayang (Bodhisattva). Kawanan kera ini hidup di sebuah pohon mangga besar yang buahnya sangat manis dan langka. Untuk mencegah buah-buah mangga jatuh ke sungai dan hanyut ke pemukiman manusia, Raja Kera memerintahkan agar semua buah yang matang di bagian pohon yang menghadap sungai segera dipetik. Namun, takdir berkata lain. Satu buah mangga yang sangat matang terlepas dari dahan, jatuh ke sungai, dan hanyut hingga ditemukan oleh seorang penjaga taman kerajaan di Benares.
Raja Benares yang mencicipi mangga itu merasa sangat terkesan dengan rasanya yang luar biasa. Ia memerintahkan pasukannya untuk mencari asal-usul mangga tersebut. Mereka akhirnya menemukan pohon mangga besar tempat kawanan kera hidup. Sang raja, ingin menikmati sendiri buah langka itu dan juga daging kera, memerintahkan pasukannya untuk mengepung pohon tersebut dan membunuh semua kera.
Melihat pasukannya dalam bahaya besar, Raja Kera (Bodhisattva) segera mengambil tindakan. Dengan kecerdasan dan kekuatan luar biasa, ia melompat dari dahan ke dahan, menyeberangi sungai hingga mencapai pohon di seberang. Kemudian, ia memotong seutas bambu yang sangat panjang dan kuat. Ia mengikatkan satu ujung bambu ke dahan pohon tempat ia berdiri, dan ujung lainnya ia genggam erat-erat dengan tangannya, lalu melompat kembali ke arah pohon mangga, menciptakan jembatan hidup dengan tubuhnya sendiri.
Ia memerintahkan semua kera untuk menggunakan tubuhnya sebagai jembatan untuk menyeberang ke sisi sungai yang aman. Dengan disiplin, semua kera menyeberanginya. Namun, kera terakhir adalah Devadatta di kehidupan lampau, yang secara licik, bukannya menyeberang dengan cepat, malah melompat dengan kuat ke punggung Raja Kera, menyebabkan luka yang sangat dalam di pinggulnya.
Meskipun terluka parah, Raja Kera tidak menyerah. Ia menahan rasa sakit demi keselamatan kawanan kera lainnya. Raja Benares yang menyaksikan seluruh adegan itu, merasa sangat terharu dan malu akan niatnya yang kejam. Ia memerintahkan pasukannya untuk menolong Raja Kera yang terluka parah. Sang raja kemudian merawat Raja Kera dan mendengarkan wejangan darinya tentang pentingnya kepemimpinan yang penuh kasih sayang dan pengorbanan.
Identifikasi: Sang Buddha menjelaskan bahwa Raja Kera yang bijaksana itu adalah dirinya sendiri di kehidupan lampau, sementara kera yang melompat di punggungnya adalah Devadatta, dan kawanan kera yang diselamatkan adalah para pengikutnya sekarang.
Paramis yang Dicontohkan: Kisah ini menyoroti Sīla Paramī (Moralitas), Paññā Paramī (Kebijaksanaan), Viriya Paramī (Ketekunan), Khanti Paramī (Kesabaran), Mettā Paramī (Cinta Kasih Universal), dan Dana Paramī (Kedermawanan) yang tertinggi (pengorbanan hidup).
2. Pengorbanan Kelinci (Sasa Jataka - #316)
Kisah Masa Kini: Ketika Sang Buddha sedang tinggal di hutan, seorang pertapa kelaparan datang untuk meminta sedekah. Sang Buddha melihat kesempatan untuk mengajarkan tentang kedermawanan dan pengorbanan, lalu ia menceritakan kisah ini.
Kisah Masa Lalu: Dahulu kala, di sebuah hutan, hiduplah seekor kelinci (Bodhisattva) yang sangat bijaksana dan penuh kebajikan. Ia memiliki tiga sahabat: seekor berang-berang, seekor serigala, dan seekor kera. Setiap malam bulan purnama, mereka berempat berkumpul untuk mendiskusikan Dhamma dan berjanji untuk memberikan sedekah kepada siapa pun yang membutuhkan pada hari berikutnya.
Suatu hari, Dewa Sakka (Indra) di alam dewa, ingin menguji kebajikan mereka, turun ke bumi menyamar sebagai seorang Brahmana tua yang kelaparan. Pertama, ia mengunjungi berang-berang, yang menawarkan ikan yang ia tangkap. Kemudian, ia mengunjungi serigala, yang memberinya daging kadal dan susu. Kera menawarkan buah-buahan manis yang ia kumpulkan. Terakhir, Brahmana itu datang kepada kelinci.
Kelinci merasa sedih karena ia hanya memiliki rumput dan dedaunan, yang tidak layak untuk diberikan kepada seorang Brahmana. Tanpa ragu, kelinci berkata, "Wahai Brahmana yang terhormat, saya tidak memiliki makanan yang pantas untuk Anda. Namun, saya akan memberikan diri saya sendiri. Bakarlah api, dan saya akan melompat ke dalamnya agar Anda dapat memanggang daging saya."
Dewa Sakka terkejut dengan kedermawanan kelinci yang luar biasa. Ia menyalakan tumpukan kayu, dan kelinci, dengan penuh ketenangan, melompat ke dalam api. Namun, api itu tidak membakar tubuh kelinci, karena itu adalah api ilahi yang diciptakan Dewa Sakka. Kelinci tidak merasakan panas sedikit pun. Dewa Sakka kemudian mengungkapkan identitasnya dan memuji pengorbanan kelinci yang tak tertandingi. Untuk mengabadikan kebajikan kelinci, Dewa Sakka mengukir gambar kelinci di bulan, agar semua makhluk dapat melihat dan terinspirasi oleh pengorbanannya.
Identifikasi: Sang Buddha menyatakan bahwa kelinci bijaksana itu adalah dirinya sendiri di kehidupan lampau, sementara Dewa Sakka adalah Dewa Sakka itu sendiri.
Paramis yang Dicontohkan: Kisah ini adalah contoh sempurna dari Dana Paramī (Kedermawanan) yang tertinggi, yaitu pengorbanan hidup. Ia juga mencerminkan Sacca Paramī (Kejujuran) dalam memenuhi janji, dan Khanti Paramī (Kesabaran) serta Upekkha Paramī (Keseimbangan Batin) dalam menghadapi kematian dengan tenang.
3. Kisah Rusa Nigrodha (Nigrodhamiga Jataka - #12)
Kisah Masa Kini: Sang Buddha diceritakan telah menunjukkan belas kasih yang luar biasa kepada seekor rusa jantan yang terluka. Para bhikkhu menanyakan asal-usul belas kasih ini, dan Sang Buddha menceritakan kisah ini.
Kisah Masa Lalu: Dahulu kala, di sebuah hutan dekat Benares, hidup dua kawanan rusa besar, masing-masing berjumlah lima ratus ekor. Satu kawanan dipimpin oleh Rusa Nigrodha (Bodhisattva), yang memiliki bulu emas dan tanduk yang anggun. Kawanan lainnya dipimpin oleh Rusa Sakha. Raja Benares adalah seorang pemburu yang gemar berburu rusa, dan ia sering menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengejar mereka.
Untuk menghemat waktu dan tenaga, sang raja memerintahkan agar sebuah taman rusa dibuat, dan dua kawanan rusa tersebut dihalau masuk ke dalamnya. Setiap hari, satu rusa harus dikorbankan untuk hidangan raja. Untuk menghindari kepanikan dan perburuan yang kejam, kedua pemimpin rusa sepakat bahwa setiap hari, satu rusa akan secara sukarela datang untuk dikorbankan, dan mereka akan bergantian dari kedua kawanan.
Suatu hari, tiba giliran seekor rusa betina yang sedang hamil dari kawanan Rusa Sakha. Ia memohon kepada Rusa Sakha agar diizinkan menunda gilirannya sampai anaknya lahir, karena pengorbanannya akan berarti dua nyawa. Namun, Rusa Sakha menolak dengan alasan bahwa urutan tidak boleh dilanggar. Rusa betina itu, dalam keputusasaan, pergi ke Rusa Nigrodha untuk meminta pertolongan.
Rusa Nigrodha, meskipun bukan gilirannya dan bukan dari kawanannya, merasa sangat kasihan pada rusa betina itu dan janinnya. Ia tidak ingin dua nyawa hilang. Dengan jiwa besar, ia memutuskan untuk mengambil giliran rusa betina itu dan mengorbankan dirinya sendiri. Ia pergi ke tempat penyembelihan dengan tenang dan tanpa rasa takut.
Ketika sang juru sembelih melihat Rusa Nigrodha, sang rusa emas yang agung, datang dengan sukarela, ia sangat terkejut. Ia pun memberitahu raja. Raja Benares datang untuk menyaksikan peristiwa itu. Ketika ia melihat Rusa Nigrodha, yang seharusnya tidak mati pada hari itu, datang untuk dikorbankan demi rusa betina hamil, ia bertanya mengapa.
Rusa Nigrodha menjelaskan alasannya, dan raja, yang tadinya kejam, merasa sangat tersentuh oleh belas kasih dan pengorbanan rusa itu. Raja berseru, "Bagaimana mungkin aku, seorang raja, membunuh makhluk yang begitu mulia? Aku yang adalah seorang manusia, bahkan tidak memiliki kebajikan yang setinggi rusa ini!" Raja kemudian memberikan pengampunan bukan hanya kepada Rusa Nigrodha, tetapi juga kepada seluruh kawanan rusa, bahkan semua hewan di kerajaannya.
Identifikasi: Sang Buddha menjelaskan bahwa Rusa Nigrodha yang mulia itu adalah dirinya sendiri di kehidupan lampau, sedangkan Rusa Sakha yang egois adalah Devadatta, dan Raja Benares yang berubah hati adalah Ananda, murid utama Sang Buddha.
Paramis yang Dicontohkan: Kisah ini adalah contoh luar biasa dari Mettā Paramī (Cinta Kasih Universal), Dana Paramī (Kedermawanan) melalui pengorbanan diri, Sīla Paramī (Moralitas) dalam menjaga komitmen, Khanti Paramī (Kesabaran) dalam menghadapi kematian, dan Paññā Paramī (Kebijaksanaan) dalam memahami nilai kehidupan.
4. Gajah yang Murah Hati (Silanaga Jataka - #72)
Kisah Masa Kini: Seorang bhikkhu yang pernah dianiaya oleh temannya, namun tetap memaafkan, diceritakan kepada Sang Buddha. Sang Buddha kemudian menceritakan bagaimana ia sendiri di kehidupan lampau juga menunjukkan maaf dan kasih sayang serupa.
Kisah Masa Lalu: Dahulu kala, di kaki pegunungan Himalaya, hiduplah seekor gajah (Bodhisattva) dengan gading yang sangat indah dan berharga. Ia adalah makhluk yang damai dan hidup menyendiri, jauh dari keramaian.
Suatu hari, seorang pemburu yang serakah tersesat di hutan dan sangat kelaparan. Ia menemukan gajah itu dan, meskipun takut, ia mendekat dan meminta makanan. Gajah yang murah hati itu, melihat penderitaan pemburu, memberinya buah-buahan dan akar-akaran yang ia temukan. Setelah puas, pemburu bertanya bagaimana ia bisa keluar dari hutan. Gajah itu dengan sabar menunjukkan jalan keluar.
Pemburu itu pulang dan menceritakan kisahnya kepada seorang pedagang gading yang sangat kaya. Pedagang itu, yang tamak, segera menyuruh pemburu itu kembali ke hutan dan membunuh gajah tersebut untuk mengambil gadingnya. Pemburu itu, meskipun awalnya ragu karena kebaikan gajah itu, akhirnya setuju karena iming-iming harta.
Ia kembali ke hutan dan menemukan gajah itu. Tanpa berpikir panjang, ia menembakkan panah beracun ke gajah. Gajah itu, meskipun terluka parah, tidak menyerang balik. Dengan kekuatan batinnya, ia mampu menahan rasa sakit. Ketika pemburu itu mulai menggergaji gadingnya, gajah itu menatapnya dengan penuh belas kasih, tanpa sedikit pun kemarahan atau kebencian. Setelah gadingnya diambil, gajah itu jatuh tak berdaya.
Tidak lama setelah itu, bumi terbuka dan menelan pemburu yang kejam itu hidup-hidup sebagai akibat dari perbuatannya. Sementara itu, gajah mulia itu, meskipun terluka, tetap memiliki hati yang bersih dan pikiran yang penuh kedamaian. Seorang dewa muncul dan menyembuhkan lukanya.
Identifikasi: Sang Buddha menyatakan bahwa gajah mulia itu adalah dirinya sendiri di kehidupan lampau, sementara pemburu yang kejam adalah Devadatta.
Paramis yang Dicontohkan: Kisah ini adalah manifestasi kuat dari Mettā Paramī (Cinta Kasih Universal), Khanti Paramī (Kesabaran) yang luar biasa dalam menghadapi kekejaman, Sīla Paramī (Moralitas) dalam tidak membalas dendam, dan Upekkha Paramī (Keseimbangan Batin) dalam menghadapi penderitaan.
5. Angsa Emas (Suvannahamsa Jataka - #136)
Kisah Masa Kini: Seorang murid wanita dari Sang Buddha, yang dulunya kaya tetapi menjadi miskin karena keserakahan suaminya, diceritakan kepada Sang Buddha. Sang Buddha menjelaskan bahwa ini bukan pertama kalinya suaminya membuat mereka miskin karena keserakahan.
Kisah Masa Lalu: Dahulu kala, di Benares, hiduplah seorang wanita miskin bernama Suvannavati dan kedua putrinya. Ia adalah Bodhisattva di kehidupan lampau. Dulunya mereka adalah keluarga kaya, tetapi setelah suaminya meninggal, kekayaan mereka habis dan mereka hidup dalam kemiskinan. Suatu hari, angsa emas (yang merupakan ayahnya Suvannavati di kehidupan lampau, dan kini terlahir kembali sebagai angsa emas dengan ingatan kehidupan lampau) terbang di atas rumah mereka.
Angsa emas itu ingat akan kebaikan hati putrinya di kehidupan sebelumnya, dan memutuskan untuk membantunya. Ia mendarat di hadapan Suvannavati dan berkata, "Jangan takut, aku adalah ayahmu yang terlahir kembali sebagai angsa emas. Aku akan memberimu satu helai bulu emas setiap hari, dan kamu bisa menjualnya untuk menghidupi dirimu dan anak-anakmu."
Setiap hari, angsa emas datang dan memberikan satu helai bulu emas. Keluarga itu perlahan-lahan menjadi kaya kembali. Namun, suatu hari, istri Suvannavati (yang merupakan istri Devadatta di kehidupan lampau, selalu serakah) berkata, "Bagaimana jika angsa ini tidak datang lagi? Mari kita cabut semua bulu emasnya sekarang juga, agar kita memiliki semua kekayaan sekaligus!" Meskipun Suvannavati menolak ide itu, istrinya tetap bersikeras.
Ketika angsa emas itu datang lagi, istrinya menangkapnya dan mencabut semua bulunya. Namun, begitu bulu-bulu itu dicabut, bulu-bulu itu berubah menjadi bulu angsa biasa, tidak lagi emas. Angsa emas itu tidak bisa terbang lagi dan hanya bisa tinggal bersama mereka, menderita. Mereka pun kembali miskin, karena angsa itu tidak bisa lagi memberikan bulu emas, dan bulu normalnya tidak berharga.
Identifikasi: Sang Buddha menjelaskan bahwa angsa emas itu adalah dirinya sendiri di kehidupan lampau. Istri yang serakah itu adalah istri bhikkhu yang diceritakan di masa kini, dan Suvannavati adalah ibu dari bhikkhu itu.
Paramis yang Dicontohkan: Kisah ini menyoroti Dana Paramī (Kedermawanan) yang dilakukan oleh Bodhisattva (angsa emas) untuk membantu keluarganya. Ini juga mengajarkan tentang bahaya Lobha (keserakahan) yang dapat menghancurkan kebahagiaan.
6. Burung Puyuh yang Bersatu (Vattaka Jataka - #35)
Kisah Masa Kini: Sang Buddha melihat beberapa bhikkhu bertengkar dan tidak rukun. Untuk mengajarkan pentingnya persatuan, ia menceritakan kisah ini.
Kisah Masa Lalu: Dahulu kala, di sebuah hutan, tinggallah sekumpulan burung puyuh yang sangat banyak. Mereka dipimpin oleh seekor burung puyuh tua yang bijaksana (Bodhisattva). Setiap kali seorang pemburu datang untuk menangkap mereka dengan jaring, mereka akan panik dan terbang ke arah yang berbeda-beda, sehingga mudah bagi pemburu untuk mengumpulkan jaring dan membawa mereka pergi.
Melihat penderitaan kawanannya, burung puyuh pemimpin itu datang dengan sebuah ide. Ia berkata kepada mereka, "Wahai kawan-kawan, mulai sekarang, ketika pemburu melemparkan jaringnya ke atas kita, jangan panik. Sebaliknya, setiap dari kita harus memasukkan kepalanya ke dalam salah satu lubang jaring dan terbang bersamaan, serentak ke arah yang sama. Dengan kekuatan kita yang bersatu, kita akan mampu mengangkat jaring dan terbang pergi ke tempat yang aman."
Para burung puyuh setuju. Ketika pemburu datang lagi, ia melemparkan jaringnya, dan semua burung puyuh melakukan seperti yang diperintahkan oleh pemimpin mereka. Dengan kekuatan kolektif mereka, jaring itu terangkat dari tanah, dan mereka terbang bersama dengan jaring ke tempat yang aman di semak-semak yang rimbun, di mana mereka kemudian bisa melepaskan diri dari jaring.
Hal ini terjadi beberapa kali, membuat pemburu itu frustrasi dan gagal. Ia tidak bisa menangkap burung puyuh lagi. Istrinya bertanya mengapa ia selalu pulang dengan tangan kosong. Pemburu itu menjelaskan bahwa burung-burung puyuh itu telah belajar untuk bersatu. Ia kemudian menambahkan, "Ketika burung-burung puyuh ini bersatu, aku tidak bisa menangkap mereka. Tetapi ketika mereka bertengkar satu sama lain, mereka akan kembali menjadi mangsaku."
Tidak lama setelah itu, memang terjadilah perpecahan di antara burung-burung puyuh. Dua ekor burung puyuh mulai bertengkar tentang siapa yang seharusnya terbang di bawah jaring dan siapa yang di atas, atau siapa yang harus memimpin. Ketika pemburu datang lagi, mereka tidak dapat bersatu untuk mengangkat jaring. Mereka sibuk bertengkar, dan pemburu berhasil menangkap mereka semua.
Identifikasi: Sang Buddha menjelaskan bahwa burung puyuh pemimpin yang bijaksana itu adalah dirinya sendiri. Burung puyuh yang bertengkar adalah para bhikkhu yang tidak rukun di masa kini.
Paramis yang Dicontohkan: Kisah ini adalah ilustrasi indah dari Paññā Paramī (Kebijaksanaan) dalam strategi pemimpin, Viriya Paramī (Ketekunan) dalam upaya bersama, dan pelajaran moral tentang pentingnya persatuan (saṅgha) dan bahaya perpecahan.
7. Bangau Penipu (Baka Jataka - #38)
Kisah Masa Kini: Kisah ini diceritakan oleh Sang Buddha untuk menggambarkan tipu daya dan konsekuensi dari keserakahan.
Kisah Masa Lalu: Dahulu kala, di sebuah danau yang airnya mulai mengering, hiduplah banyak ikan dan seekor bangau tua yang licik. Melihat danau itu semakin kering dan ikan-ikan mulai panik, bangau itu datang dengan sebuah rencana jahat. Ia pergi ke ikan-ikan dan berkata dengan nada prihatin, "Oh, betapa kasihan kalian! Danau ini akan segera mengering sepenuhnya, dan kalian semua akan mati. Aku tahu ada danau lain yang besar dan penuh air jernih tidak jauh dari sini."
Ikan-ikan, yang sangat cemas, bertanya, "Bagaimana kami bisa sampai ke sana?" Bangau itu menjawab, "Aku adalah teman kalian. Aku akan membawa kalian satu per satu di paruhku ke danau baru itu." Ikan-ikan itu, tanpa curiga, setuju.
Bangau itu kemudian mulai menjalankan tipu dayanya. Ia mengambil satu ikan, terbang bukan ke danau baru, melainkan ke sebuah batu besar di dekatnya. Di sana, ia memakan ikan itu. Setelah puas, ia kembali dan mengambil ikan berikutnya, begitu seterusnya, sampai banyak ikan telah dimakannya. Seekor kepiting tua yang bijaksana (Bodhisattva) juga tinggal di danau itu dan mengamati gerak-gerik bangau dengan curiga.
Ketika tiba gilirannya, kepiting itu berkata kepada bangau, "Aku tahu kamu membawa ikan-ikan ke suatu tempat yang jauh. Bagaimana aku bisa percaya bahwa kamu tidak akan memakan aku?" Bangau itu meyakinkan kepiting bahwa ia akan membawanya dengan aman. Namun, kepiting itu memiliki ide. Ia berkata, "Aku takut kamu akan menjatuhkanku. Biarkan aku mencengkeram lehermu dengan capitku, agar aku bisa tetap aman." Bangau itu, merasa dirinya lebih pintar, setuju.
Saat terbang, kepiting itu melihat tulang-tulang ikan berserakan di batu tempat bangau itu beristirahat dan makan. Kepiting itu menyadari tipuan bangau. Ia segera mengencangkan cengkeramannya di leher bangau dan berkata, "Kamu penipu! Kamu telah membohongi kami semua dan memakan teman-temanku. Sekarang, kamu tidak akan bisa lagi menipu siapa pun!"
Bangau itu, yang tidak bisa bernapas karena cengkeraman kepiting, memohon ampun dan berjanji akan mengantarkan kepiting ke danau baru. Kepiting itu setuju, tetapi ketika mereka tiba di danau baru, bangau itu mencoba menjatuhkan kepiting. Namun, kepiting itu dengan cepat mencengkeram leher bangau lebih kuat dan memotong kepalanya dengan capitnya yang tajam. Dengan demikian, bangau penipu itu menerima akibat dari keserakahannya.
Identifikasi: Sang Buddha mengidentifikasi bangau penipu itu sebagai Devadatta di kehidupan lampau, sedangkan kepiting yang bijaksana itu adalah dirinya sendiri.
Paramis yang Dicontohkan: Kisah ini adalah contoh Paññā Paramī (Kebijaksanaan) dari Bodhisattva dalam mengenali bahaya, serta pelajaran tentang konsekuensi dari kebohongan (musavada) dan keserakahan (lobha).
8. Kesabaran Raja Singa (Kesari Jataka - atau serupa)
Kisah Masa Kini: Suatu ketika, Sang Buddha dicerca dan dihina oleh sekelompok orang, tetapi ia tetap tenang dan sabar. Para bhikkhu bertanya bagaimana ia bisa begitu sabar. Sang Buddha menceritakan kisah ini.
Kisah Masa Lalu: Dahulu kala, di sebuah hutan yang lebat, hiduplah seekor raja singa (Bodhisattva) yang sangat perkasa dan dihormati oleh semua hewan. Ia memiliki kekuatan besar tetapi juga hati yang penuh kasih sayang dan kesabaran. Ia tidak pernah menggunakan kekuatannya untuk menindas atau melukai siapa pun tanpa alasan. Hewan-hewan lain hidup damai di bawah perlindungannya.
Di hutan itu juga tinggal seekor rubah yang cemburu dan licik. Rubah itu tidak suka dengan kehormatan yang diberikan kepada raja singa. Ia selalu mencari cara untuk menjatuhkan atau mempermalukan raja singa. Suatu hari, rubah itu memutuskan untuk memprovokasi raja singa. Ia pergi ke tempat raja singa beristirahat dan mulai menghinanya dengan kata-kata kasar, mencemooh kekuatannya, dan meremehkan kebijaksanaannya.
Rubah itu terus menghina, bahkan buang air kecil di dekat raja singa, mencoba membangkitkan kemarahan sang raja hutan. Namun, raja singa (Bodhisattva) hanya berbaring tenang, menatap rubah itu dengan mata yang damai, tanpa sedikit pun menunjukkan kemarahan. Ia mengabaikan semua provokasi, memahami bahwa kemarahan hanya akan melahirkan lebih banyak kemarahan, dan bahwa harga dirinya tidak bergantung pada respons terhadap hinaan.
Hewan-hewan lain yang menyaksikan kejadian itu terheran-heran. Mereka tidak percaya bahwa raja singa yang perkasa itu bisa begitu sabar. Akhirnya, rubah itu lelah sendiri dan pergi. Kemudian, hewan-hewan lain bertanya kepada raja singa mengapa ia tidak membalas hinaan rubah.
Raja singa menjawab, "Aku adalah raja hutan. Kekuatanku adalah untuk melindungi, bukan untuk menghancurkan karena amarah. Jika aku membiarkan diriku dikuasai kemarahan atas kata-kata rubah kecil, apa bedanya aku dengan dia? Aku lebih suka menunjukkan kekuatan kesabaran daripada kekuatan cakarku."
Identifikasi: Sang Buddha menjelaskan bahwa Raja Singa yang sabar itu adalah dirinya sendiri di kehidupan lampau, dan rubah yang menghina itu adalah Devadatta.
Paramis yang Dicontohkan: Kisah ini adalah contoh sempurna dari Khanti Paramī (Kesabaran) dan Mettā Paramī (Cinta Kasih Universal) yang memungkinkan Bodhisattva untuk tetap tenang dan damai di tengah provokasi. Ini juga menunjukkan Upekkha Paramī (Keseimbangan Batin).
9. Raja Ikan yang Dermawan (Mahimsaka Jataka - atau serupa)
Kisah Masa Kini: Di sebuah desa, terjadi kekeringan parah. Para bhikkhu meminta Sang Buddha untuk melakukan sesuatu. Sang Buddha kemudian menceritakan kisah ini untuk menunjukkan kekuatan kejujuran dan belas kasihan.
Kisah Masa Lalu: Dahulu kala, di sebuah danau besar, hiduplah jutaan ikan. Mereka dipimpin oleh Raja Ikan (Bodhisattva) yang sangat bijaksana dan penuh kebajikan. Raja Ikan adalah seorang praktisi Dhamma yang setia, selalu menjaga Sila (moralitas) dengan baik.
Suatu musim panas, kekeringan yang sangat parah melanda. Danau mulai mengering dengan cepat, dan banyak ikan mulai mati karena kekurangan air dan panas yang menyengat. Burung-burung gagak dan bangau datang berbondong-bondong untuk memakan ikan-ikan yang sekarat. Kepanikan melanda kawanan ikan.
Raja Ikan melihat penderitaan rakyatnya. Ia merasa sangat sedih dan tidak bisa tinggal diam. Ia tahu bahwa satu-satunya harapan mereka adalah hujan. Dengan tekad yang kuat, ia berenang ke tengah danau yang tersisa, mengangkat kepalanya ke langit, dan membuat sebuah Sacca Kiriya (pernyataan kebenaran). Ia berkata, "Selama hidupku, aku tidak pernah menyakiti makhluk hidup apa pun. Aku selalu menjaga Sila-ku dengan murni. Dengan kekuatan kebenaran ini, semoga hujan turun dan menyelamatkan semua makhluk di danau ini!"
Seketika itu juga, awan gelap mulai berkumpul di langit. Guntur bergemuruh, dan hujan lebat turun dengan derasnya, memenuhi danau kembali. Air danau meluap, danau kembali penuh, dan semua ikan yang tersisa berhasil diselamatkan dari kematian. Mereka semua bersukacita dan berterima kasih kepada Raja Ikan atas pengorbanan dan kejujurannya.
Identifikasi: Sang Buddha menyatakan bahwa Raja Ikan yang bijaksana dan dermawan itu adalah dirinya sendiri di kehidupan lampau.
Paramis yang Dicontohkan: Kisah ini adalah contoh luar biasa dari Sīla Paramī (Moralitas) dalam menjaga perilaku yang benar, Mettā Paramī (Cinta Kasih Universal) kepada semua makhluk, Sacca Paramī (Kejujuran) dalam pernyataan kebenaran, dan Adhiṭṭhāna Paramī (Determinasi) dalam tekad untuk menyelamatkan kawanan.
10. Pohon Mangga Ajaib (Maha-Ummagga Jataka - atau kisah serupa tentang kebijaksanaan)
Kisah Masa Kini: Raja Kosala diceritakan memiliki pohon mangga yang sangat berbuah lebat, namun ia tidak pernah melihat buahnya. Sang Buddha menjelaskan mengapa.
Kisah Masa Lalu: Dahulu kala, seorang raja (Bodhisattva) memerintah sebuah kerajaan yang makmur. Di tamannya tumbuh sebatang pohon mangga yang sangat istimewa. Buahnya tidak pernah terlihat, karena begitu buah itu matang, ia langsung jatuh dan dimakan oleh berbagai hewan dan burung. Raja tidak pernah sempat mencicipinya.
Suatu hari, sang raja, yang penasaran dengan buah mangga ajaib itu, memerintahkan para penjaganya untuk mengawasi pohon tersebut dengan ketat. Ia ingin memastikan tidak ada satu pun buah yang jatuh tanpa sepengetahuannya. Namun, karena penjaga tidak melihat buah yang jatuh, mereka menyimpulkan bahwa pohon itu tidak berbuah.
Seorang pertapa bijaksana datang ke istana. Raja bertanya kepadanya tentang misteri pohon mangga itu. Pertapa itu menjelaskan, "Tuanku, pohon ini sangat murah hati. Buahnya matang di malam hari dan jatuh begitu fajar menyingsing. Hewan-hewan dan burung-burung yang lapar selalu datang untuk memakannya. Karena itu, Tuanku tidak pernah melihat buahnya. Ini adalah pelajaran tentang kedermawanan alam."
Raja menyadari kesalahannya. Ia telah mencoba mengontrol dan memonopoli sesuatu yang seharusnya dibagikan secara bebas. Ia kemudian memerintahkan agar buah-buah mangga itu dikumpulkan dan dibagikan kepada rakyatnya, serta kepada semua makhluk yang membutuhkannya. Sejak saat itu, setiap musim berbuah, buah mangga dari pohon itu dinikmati oleh semua, dan taman menjadi tempat yang penuh sukacita dan berkat.
Identifikasi: Sang Buddha menjelaskan bahwa raja yang bijaksana itu adalah dirinya sendiri di kehidupan lampau, sementara pertapa bijaksana adalah Sariputta (murid utama Sang Buddha).
Paramis yang Dicontoskan: Kisah ini terutama menyoroti Paññā Paramī (Kebijaksanaan) dalam memahami sifat berbagi dan kedermawanan, serta Dana Paramī (Kedermawanan) dalam tindakan membagikan hasil panen kepada semua.
Representasi Artistik Kisah Jataka
Kisah Jataka tidak hanya bertahan dalam bentuk tulisan dan lisan, tetapi juga telah diabadikan dalam bentuk seni rupa yang luar biasa, menjadi saksi bisu akan kekayaan budaya dan spiritual Asia. Relief-relief, lukisan, dan patung-patung yang menggambarkan adegan-adegan dari Jataka tersebar luas di seluruh situs-situs arkeologi Buddha kuno, terutama di India dan Asia Tenggara.
1. Candi Borobudur, Indonesia
Salah satu contoh paling ikonik dan megah dari representasi artistik Jataka adalah di Candi Borobudur, sebuah mahakarya arsitektur Buddha di Indonesia. Dinding-dinding galeri tingkat pertama candi ini dihiasi dengan lebih dari 1.300 relief yang menceritakan berbagai kisah, termasuk ratusan panel Kisah Jataka dan Avadana (kisah-kisah yang serupa dengan Jataka tetapi berfokus pada kehidupan lain selain Bodhisattva). Relief-relief ini dibaca searah jarum jam, menuntun peziarah melalui perjalanan spiritual yang mendalam. Mereka menggambarkan secara detail kehidupan lampau Bodhisattva dalam berbagai wujud, mengajarkan nilai-nilai moral kepada siapa pun yang melihatnya.
Setiap panel relief adalah sebuah karya seni yang cermat, menunjukkan keahlian pahat yang luar biasa dari para seniman zaman dahulu. Melalui visualisasi ini, ajaran-ajaran Dhamma menjadi lebih hidup dan mudah dipahami, bahkan bagi mereka yang tidak bisa membaca. Relief Borobudur adalah bukti nyata betapa pentingnya Jataka sebagai sarana edukasi spiritual dan inspirasi artistik.
2. Stupa Sanchi dan Bharhut, India
Di India, tempat asal mula agama Buddha, stupa-stupa kuno seperti Sanchi dan Bharhut juga kaya akan pahatan Jataka. Gerbang-gerbang (torana) di Stupa Sanchi, misalnya, dipenuhi dengan relief-relief indah yang menceritakan episode-episode penting dari kehidupan Sang Buddha dan berbagai Kisah Jataka. Gaya seni yang khas pada relief-relief ini seringkali menggunakan simbolisme untuk merepresentasikan Sang Buddha (misalnya, roda Dhamma, pohon Bodhi, atau jejak kaki) karena pada masa awal, Sang Buddha tidak digambarkan dalam bentuk manusia.
Stupa Bharhut, meskipun sebagian besar kini berada di museum, juga dikenal karena relief-reliefnya yang detail dan puitis yang menggambarkan Jataka. Relief-relief ini seringkali disertai dengan inskripsi singkat yang mengidentifikasi kisah yang digambarkan, membantu para penafsir modern untuk memahami konteksnya.
3. Gua Ajanta, India
Lukisan dinding gua-gua Ajanta adalah contoh lain yang menakjubkan dari seni Jataka. Dinding-dinding gua yang dipahat ini dipenuhi dengan mural-mural berwarna-warni yang menggambarkan Kisah Jataka secara visual. Lukisan-lukisan ini tidak hanya indah secara estetika, tetapi juga berfungsi sebagai alat untuk menyebarkan ajaran Buddha kepada para peziarah dan komunitas monastik. Detail-detail dalam lukisan menunjukkan keindahan alam, kehidupan istana, dan interaksi antara manusia dan hewan, semuanya dikemas dalam narasi Jataka.
4. Pengaruh di Asia Tenggara dan Asia Timur
Pengaruh Jataka juga menyebar luas ke seluruh Asia Tenggara, seperti di Thailand, Myanmar, Kamboja, dan Laos, di mana cerita-cerita ini sering digambarkan dalam lukisan dinding kuil (wat) dan manuskrip. Di Sri Lanka, Jataka merupakan bagian penting dari warisan sastra dan seni. Bahkan di Asia Timur, meskipun tradisi Mahayana memiliki koleksi kisah-kisah Bodhisattva sendiri, esensi dari ajaran Jataka tetap bergema.
Representasi artistik ini tidak hanya memperkaya pengalaman visual tetapi juga berfungsi sebagai media pembelajaran yang kuat. Mereka memungkinkan cerita-cerita Jataka untuk diwariskan dari generasi ke generasi, melampaui hambatan bahasa dan literasi. Dengan melihat adegan-adegan yang digambarkan, peziarah dan pengunjung dapat secara langsung terhubung dengan pesan-pesan moral dan spiritual yang disampaikan oleh Kisah Jataka, menjadikannya bagian tak terpisahkan dari pengalaman beragama dan budaya mereka.
Relevansi Kisah Jataka di Era Modern
Meskipun Kisah Jataka berasal dari masa lampau yang jauh, kearifan yang terkandung di dalamnya tetap memancarkan cahaya terang yang relevan dalam kehidupan kita di era modern yang serba cepat dan kompleks. Di tengah gempuran informasi, tekanan hidup, dan krisis moral, pesan-pesan universal dari Jataka menawarkan panduan dan inspirasi yang tak ternilai harganya.
1. Panduan Etis di Dunia yang Berubah
Prinsip-prinsip moral yang diajarkan dalam Jataka—seperti kedermawanan, kejujuran, kesabaran, dan kasih sayang—adalah fondasi bagi masyarakat yang harmonis dan individu yang berintegritas. Di era di mana nilai-nilai seringkali dipertanyakan atau tergerus oleh kepentingan pribadi dan materialisme, Jataka mengingatkan kita akan pentingnya kebajikan sebagai kompas moral. Kisah-kisah ini mengajarkan bahwa tindakan baik, sekecil apa pun, memiliki dampak yang luas dan membentuk karakter kita serta dunia di sekitar kita.
2. Mengatasi Tantangan Psikologis
Kisah Jataka juga berfungsi sebagai alat yang ampuh untuk pertumbuhan psikologis dan emosional. Mereka mengajarkan cara menghadapi keserakahan, kebencian, kecemburuan, dan kebodohan—empat racun batin yang seringkali menjadi akar penderitaan manusia. Dengan melihat bagaimana Bodhisattva menghadapi tantangan-tantangan ini dengan kebijaksanaan dan ketenangan, kita dapat belajar untuk mengelola emosi kita sendiri, mengembangkan resiliensi, dan menemukan kedamaian batin di tengah badai kehidupan.
3. Inspirasi untuk Anak-Anak dan Pendidikan
Bagi anak-anak, Kisah Jataka adalah pengantar yang sangat baik untuk konsep-konsep moral dan etika. Struktur naratifnya yang sederhana namun mendalam, seringkali melibatkan tokoh hewan yang menarik, membuatnya mudah diakses dan diingat oleh pikiran muda. Kisah-kisah ini dapat digunakan sebagai alat pedagogis untuk mengajarkan nilai-nilai penting seperti berbagi, berempati, kejujuran, dan keberanian, membentuk karakter mereka sejak dini. Banyak sekolah dan lembaga pendidikan di seluruh dunia menggunakan Jataka sebagai bagian dari kurikulum pendidikan karakter.
4. Mempromosikan Toleransi dan Pemahaman Antarbudaya
Kisah Jataka, dengan penekanan pada kasih sayang universal dan non-kekerasan, mempromosikan toleransi dan pemahaman antarbudaya. Meskipun berakar dalam tradisi Buddha, pesan-pesannya melampaui batas-batas agama, menyentuh inti kemanusiaan. Dalam dunia yang semakin terhubung namun seringkali terpecah oleh perbedaan, Jataka mengingatkan kita akan kesamaan fundamental kita sebagai makhluk hidup yang mencari kebahagiaan dan menghindari penderitaan.
5. Membangkitkan Kesadaran Lingkungan
Banyak Kisah Jataka yang melibatkan Bodhisattva terlahir sebagai hewan atau berinteraksi erat dengan alam. Kisah-kisah ini secara tidak langsung menumbuhkan rasa hormat dan kepedulian terhadap lingkungan dan semua makhluk hidup. Di tengah krisis lingkungan global, Jataka dapat menjadi sumber inspirasi untuk mengembangkan etika ekologis, mengingatkan kita bahwa kita adalah bagian dari jaring kehidupan yang saling terhubung dan memiliki tanggung jawab untuk melindunginya.
Pada akhirnya, Kisah Jataka bukan sekadar warisan masa lalu; ia adalah mercusuar kebijaksanaan yang terus membimbing kita di masa kini dan masa depan. Dengan merenungkan pesan-pesannya, kita dapat menemukan kekuatan untuk menjalani kehidupan yang lebih bermakna, penuh kasih sayang, dan selaras dengan prinsip-prinsip kebaikan universal.
"Jataka mengajarkan bahwa setiap kehidupan adalah kesempatan untuk menumbuhkan kebajikan, setiap tantangan adalah kesempatan untuk menguji karakter, dan setiap tindakan adalah benih untuk masa depan."