Jatarupa: Kilauan Emas Murni dalam Palet Sejarah Nusantara

Jatarupa, sebuah istilah yang berakar kuat dalam bahasa Sansekerta dan Kawi, bukanlah sekadar penamaan untuk logam mulia. Ia mewakili puncak kesempurnaan, kemurnian tak tertandingi, dan nilai transenden yang melampaui materi. Dalam konteks Nusantara, Jatarupa adalah penjelmaan cahaya dewa di bumi, simbol status, mata uang spiritual, dan penanda peradaban agung. Eksplorasi mendalam ini menelusuri bagaimana Jatarupa membentuk sejarah, ritual, dan kosmologi kerajaan-kerajaan kuno dari Sriwijaya hingga Majapahit, mengurai lapisan makna di balik kilau abadi emas murni.

I. Etimologi dan Makna Inti Jatarupa

Untuk memahami kedalaman konsep Jatarupa, kita harus kembali ke akar linguistiknya. Istilah ini merupakan gabungan dari dua kata Sansekerta yang sangat kuat maknanya: Jata dan Rupa. Masing-masing kata membawa bobot filosofis dan deskriptif yang mendalam, menciptakan istilah gabungan yang merangkum esensi kemurnian absolut.

Jata: Kelahiran, Asal, dan Kemurnian

Kata Jata dalam Sansekerta memiliki beberapa terjemahan, yang paling relevan adalah 'terlahir', 'berasal', atau 'murni'. Ia sering kali menyiratkan sesuatu yang terbentuk secara alami dan sempurna sejak awal penciptaannya, bebas dari kontaminasi atau campur tangan yang merusak. Dalam konteks kimiawi atau metalurgi, Jata mengacu pada keadaan asal logam, seolah-olah baru ditemukan dalam bentuk paling murni dari rahim bumi. Metafora 'kelahiran' ini mengaitkan Jatarupa dengan proses alamiah yang sakral.

Rupa: Bentuk, Wujud, dan Penampilan

Sementara itu, Rupa berarti 'bentuk', 'wujud', 'penampilan', atau 'citra'. Dalam filsafat Hindu-Buddha, Rupa adalah komponen fisik keberadaan, salah satu dari lima skandha. Ketika digabungkan dengan Jata, istilah Jatarupa secara harfiah dapat diartikan sebagai 'bentuk yang terlahir murni', atau 'wujud yang sempurna sejak awal'. Ini bukan sekadar emas; ini adalah manifestasi ideal dari emas, sering kali diasosiasikan dengan emas 24 karat yang tidak memiliki campuran logam lain.

Sinonim dan Konteks Kawi

Dalam teks-teks Kawi dan prasasti-prasasti kuno Nusantara, Jatarupa sering digunakan bergantian atau disandingkan dengan istilah lain yang merujuk pada emas, seperti Suwarna (warna indah), Hema (emas), dan Kanaka (emas). Namun, Jatarupa memiliki konotasi spesifik yang membedakannya: ia menekankan aspek kemurnian. Ketika prasasti menyebut Jatarupa, itu menandakan bahwa objek yang dimaksud, entah perhiasan, mahkota, atau arca, harus dibuat dari logam dengan kualitas tertinggi dan tanpa cela. Penggunaan istilah ini berfungsi sebagai penjamin kualitas, sebuah deklarasi bahwa materi yang digunakan adalah yang terbaik dan paling suci yang dapat diperoleh peradaban tersebut.

Penggunaan istilah Jatarupa juga ditemukan dalam sastra Puranas dan wiracarita. Dalam konteks mitologis, emas murni seringkali merupakan bahan dasar untuk membangun istana para dewa atau membuat senjata pusaka yang tak tertandingi. Keberadaan Jatarupa di dunia manusia, oleh karena itu, merupakan refleksi dari kekayaan surgawi atau keberkahan ilahi. Nilai ini melampaui fungsi ekonomi; ia adalah lambang status spiritual dan politik seorang raja atau bangsawan.

II. Jatarupa sebagai Pilar Peradaban Kuno

Kisah peradaban Nusantara tidak dapat dipisahkan dari emas. Sejak awal mula kontak dengan pedagang asing, wilayah ini dikenal sebagai Suvarnadvipa (Pulau Emas) atau Suvarnabhumi (Tanah Emas). Jatarupa adalah produk utama yang membentuk rute perdagangan, memicu ekspansi kerajaan, dan menjadi dasar legitimasi kekuasaan.

Sriwijaya: Sang Penguasa Selat Emas

Kerajaan maritim Sriwijaya, yang berkuasa di sekitar Selat Malaka, dikenal memiliki akses luar biasa terhadap sumber daya emas. Meskipun pusat kerajaannya berada di Palembang (diperkirakan), pengaruhnya meluas hingga ke daerah penghasil emas utama di Sumatera pedalaman dan Semenanjung Melayu. Emas yang diperdagangkan, dan yang digunakan untuk persembahan maupun pembuatan perhiasan kerajaan, harus mencapai standar Jatarupa agar diterima dalam sirkulasi internasional maupun ritual. Artefak-artefak yang ditemukan dari periode Sriwijaya, seperti patung-patung perunggu berlapis emas (atau yang secara keseluruhan terbuat dari emas), menunjukkan kemahiran metalurgi yang luar biasa. Jatarupa menjadi representasi kemakmuran dan hegemoni maritim kerajaan tersebut.

Medang dan Mataram Kuno: Puncak Kemahiran Jawi

Di Jawa, terutama pada masa Mataram Kuno (diperkirakan abad ke-8 hingga ke-10) hingga era Medang, kerajinan Jatarupa mencapai tingkat seni yang sangat tinggi. Emas tidak hanya dicetak; ia diukir, ditarik menjadi benang halus (filigree), dan dihiasi dengan butiran-butiran emas kecil (granulasi) yang memerlukan presisi dan kesabaran tingkat dewa. Penemuan perhiasan dari situs-situs di Dieng, Prambanan, dan temuan yang dikenal sebagai 'Harta Karun Wonoboyo' (yang meliputi mangkuk, cawan, dan perhiasan dari emas murni) adalah bukti tak terbantahkan dari dominasi Jatarupa dalam kehidupan elit kerajaan.

Harta Karun Wonoboyo, khususnya, memberikan gambaran visual yang jelas mengenai bagaimana Jatarupa digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan ritual. Mangkuk emas yang dihiasi relief Ramayana menunjukkan bahwa emas murni bukan hanya bahan baku, tetapi juga kanvas untuk narasi epik dan sakral.

Majapahit: Kemakmuran dan Ekspansi Jatarupa

Pada puncak kekuasaan Majapahit, Jatarupa menjadi standar moneter dan simbol kekuasaan teritorial. Meskipun Majapahit dikenal menggunakan mata uang koin perak dan tembaga untuk transaksi sehari-hari, emas murni (Jatarupa) berfungsi sebagai penyimpan nilai utama, hadiah diplomatik, dan materi untuk pusaka kerajaan. Kitab Negarakertagama dan sumber-sumber lainnya mencatat kekayaan istana dan para bangsawan yang tak terhingga, di mana Jatarupa digunakan untuk pelapisan stupa, pembuatan payung kerajaan (sattra), dan hiasan pada kendaraan perang. Kebutuhan akan Jatarupa ini mendorong Majapahit untuk mengontrol daerah-daerah penghasil emas, menegaskan korelasi langsung antara akses terhadap emas murni dan stabilitas politik.


III. Metalurgi Jatarupa: Menggapai Angka 24 Karat

Mencapai status Jatarupa—yaitu emas dengan kemurnian tertinggi, setara dengan 24 karat di sistem modern—adalah prestasi metalurgi yang rumit, terutama dengan teknologi kuno. Para pandai emas (disebut undagi, pande mas, atau dharmmasuta dalam prasasti Jawa) memiliki pengetahuan rahasia yang diwariskan secara turun-temurun untuk memurnikan emas dari bijih mentah hingga mencapai kilauan sempurna.

Sumber Bijih Emas (Tambang Kuno)

Sumber utama Jatarupa di Nusantara kuno berasal dari deposit aluvial, yaitu emas yang ditemukan di sungai atau permukaan tanah setelah proses erosi. Penambangan aluvial relatif lebih mudah daripada penambangan hard rock. Lokasi-lokasi penting termasuk daerah Jambi, Riau, dan beberapa lokasi di Kalimantan dan Sulawesi. Namun, emas mentah ini (seringkali bercampur dengan perak, tembaga, atau mineral lain) harus melalui proses pemurnian intensif.

Teknik Pemurnian Tradisional

1. Amalgamasi Merkuri (Teknik Awal)

Meskipun kontroversial dari sudut pandang kesehatan modern, amalgamasi menggunakan merkuri adalah salah satu cara tertua untuk memisahkan emas dari bijih. Bijih emas dihancurkan, dicampur dengan merkuri, dan emas akan mengikat merkuri, membentuk amalgam. Campuran ini kemudian dipanaskan, menguapkan merkuri (yang kemudian diyakini dikumpulkan atau dilepaskan ke udara), meninggalkan residu emas murni (Jatarupa).

2. Kupelasi (Cupellation)

Kupelasi adalah proses termal yang digunakan untuk memisahkan emas dari logam dasar, terutama perak. Emas yang bercampur dilebur bersama timbal dalam wadah berpori (kupel). Ketika dipanaskan pada suhu tinggi, timbal mengoksidasi dan menyerap logam dasar (tembaga, timah, dll.), serta perak, meninggalkan manik kecil emas murni, kilauan Jatarupa. Proses ini memerlukan kontrol suhu yang sangat ketat dan pengetahuan tentang sifat kimia logam.

3. Pengujian Kualitas (Touchstone)

Para pandai emas kuno memiliki metode untuk menguji kemurnian, jauh sebelum ditemukannya alat analisis modern. Mereka menggunakan batu sentuh (lodek atau tukhārī), yaitu batu basal berwarna gelap. Emas digosokkan ke batu, meninggalkan goresan. Kemudian, goresan tersebut diuji dengan cairan asam (kemungkinan campuran yang mengandung garam dan cuka atau urin yang dioksidasi). Semakin murni emas (Jatarupa), semakin sedikit reaktif goresan tersebut terhadap asam. Skala pengujian ini sangat presisi, memungkinkan mereka membedakan emas 16k, 20k, dan Jatarupa 24k.

Seni Kerajinan Jatarupa

Setelah emas mencapai kemurnian Jatarupa, logam tersebut sangat lembut dan mudah dibentuk. Kelembutan ini memungkinkan teknik-teknik yang luar biasa rumit:

JATARUPA

Simbolis Jatarupa: Lingkaran sempurna melambangkan kemurnian absolut (24 karat) dan cahaya dewata.


IV. Jatarupa dalam Kosmologi dan Sakralitas

Di luar nilai ekonominya, Jatarupa memainkan peran sentral dalam sistem kepercayaan dan ritual kerajaan. Emas murni adalah medium yang menghubungkan dunia manusia dengan dunia dewa, menjadikannya tak tergantikan dalam upacara-upacara penting.

Emas Murni sebagai Persembahan (Dāna)

Dalam tradisi Hindu-Buddha di Nusantara, persembahan emas murni (Jatarupa) kepada kuil atau biara dianggap sebagai salah satu bentuk dāna (pemberian) tertinggi. Pemberian ini tercatat dalam banyak prasasti, seringkali sebagai bagian dari upaya raja untuk membersihkan karma, menjamin kemakmuran kerajaannya, atau meresmikan pembangunan candi. Jatarupa ditempatkan di dalam pratimasthana (kotak pusaka) yang diletakkan di bawah stupa atau arca utama, berfungsi sebagai inti spiritual yang mematri kekuatan suci bangunan tersebut. Kemurnian Jatarupa memastikan bahwa persembahan tersebut murni dan layak diterima oleh dewa.

Arca dan Citra Dewa

Arca-arca dewa atau Buddha yang paling penting dan paling suci sering kali dibuat dari Jatarupa. Jika tidak seluruhnya terbuat dari emas murni, arca perunggu akan dilapisi tebal dengan emas (pralambang suwarna). Hal ini karena Jatarupa secara intrinsik dikaitkan dengan:

  1. Cahaya Ilahi: Emas memantulkan cahaya abadi, yang melambangkan kebijaksanaan (prajñā) dan kasih sayang (karuṇā) Buddha atau dewa.
  2. Keabadian: Emas tidak berkarat atau luntur, mencerminkan sifat abadi dan tak berubah dari ajaran dharma atau entitas suci.
  3. Kesempurnaan Bentuk: Bentuk Jatarupa adalah bentuk ideal yang melambangkan kesempurnaan tubuh dewa (rupa kāya).
Penggunaan Jatarupa memastikan bahwa objek ritual tersebut tidak hanya bernilai tetapi juga memiliki integritas spiritual tertinggi.

Ritual Penobatan dan Pusaka Kerajaan

Mahkota, perhiasan penobatan (makuta), dan semua pusaka utama yang digunakan raja dan ratu wajib terbuat dari Jatarupa. Hal ini memperkuat legitimasi raja sebagai cakravartin (penguasa semesta) yang mendapat mandat dari dewa. Ketika raja mengenakan Jatarupa, ia seolah mengenakan pancaran kemuliaan surgawi. Pusaka-pusaka ini, yang terbuat dari emas murni, juga dipercaya memiliki kekuatan magis dan pelindung yang tak tertandingi.

Jatarupa dan Konsep Gunung Emas

Dalam kosmologi Jawa dan Bali, terdapat konsep Meru, gunung suci yang merupakan pusat semesta. Meskipun sering digambarkan sebagai gunung batu, Meru juga memiliki aspek materialisasi surgawi, di mana puncaknya atau bahkan seluruhnya terbuat dari emas murni, Jatarupa. Konsep Gunung Emas ini mencerminkan tujuan spiritual: kemurnian absolut dan pencapaian spiritual tertinggi. Struktur bangunan suci seperti candi, yang meniru Meru, seringkali mengandung Jatarupa sebagai inti kekuatannya, meniru model kosmik suci.


V. Citra Jatarupa dalam Epik dan Seni

Emas murni tidak hanya hadir dalam artefak fisik; ia juga menjadi metafora kuat dan unsur naratif yang esensial dalam karya sastra, terutama dalam sastra Kawi dan Jawa Kuno.

Jatarupa dalam Kakawin

Kakawin (puisi epik Jawa Kuno) sering menggunakan Jatarupa untuk menggambarkan keindahan yang melampaui batas manusia atau kekayaan istana yang tak terlukiskan. Karakter utama, terutama pahlawan atau bidadari, sering digambarkan memiliki kulit seindah Jatarupa (sawarnaning jatarupa), yang menyiratkan kulit berwarna keemasan, bercahaya, dan tanpa cela. Penggunaan metafora ini memastikan pembaca atau pendengar memahami tingkat keagungan subjek yang dimaksud.

Penggambaran Kerajaan Surga

Ketika kakawin seperti Arjunawiwaha atau Bharatayudha menggambarkan kerajaan surga atau istana para dewa, semua hiasan, lantai, dan bahkan pakaian dewa seringkali terbuat dari Jatarupa. Ini adalah bahasa sastra untuk menyatakan bahwa tempat tersebut adalah tempat di mana materi mencapai bentuknya yang paling murni dan abadi, jauh dari kerusakan dunia fana.

Jatarupa dalam Seni Rupa Tradisional

Dalam seni patung dan ukiran, Jatarupa memberikan kedalaman visual dan tekstural yang unik. Teknik penyepuhan emas, yang menggunakan lembaran Jatarupa yang sangat tipis, sering diterapkan pada arca kayu, topeng, atau bahkan wayang golek untuk meningkatkan aura suci dan visual karakter tersebut. Wayang Kulit juga memanfaatkan warna emas murni untuk mewakili karakter mulia atau dewa yang memiliki sifat sempurna dan tidak mudah dipengaruhi oleh kejahatan dunia.

Perhiasan Sebagai Teks Visual

Perhiasan Jatarupa kuno, seperti mahkota, gelang naga (nāga kuṇḍala), dan anting-anting patra (motif daun), adalah teks visual yang kaya. Desain-desain ini tidak hanya estetis; mereka mengenkapsulasi kepercayaan Hindu-Buddha. Misalnya, motif naga melambangkan perlindungan air dan kesuburan, sementara Jatarupa-nya sendiri melambangkan keabadian dan kekuatan spiritual naga tersebut. Mengenakan perhiasan Jatarupa adalah tindakan afirmasi status dan perlindungan spiritual.


VI. Kontrol Ekonomi Jatarupa dan Jaringan Perdagangan

Meskipun memiliki nilai spiritual yang tak terukur, Jatarupa adalah komoditas ekonomi yang paling berharga. Kontrol atas sumber daya emas murni adalah kunci stabilitas politik dan dominasi regional di Nusantara kuno.

Jatarupa Sebagai Standar Nilai

Di banyak kerajaan kuno, sistem moneter berjenjang. Sementara koin tembaga (picis) digunakan untuk transaksi kecil di pasar, Jatarupa berfungsi sebagai mata uang universal untuk perdagangan jarak jauh, pembayaran upeti, dan transaksi antar kerajaan. Koin emas (dinara atau masa) dicetak dengan standar berat yang ketat, seringkali dijamin kemurniannya setara dengan Jatarupa. Kerajaan yang mampu menjamin kemurnian mata uang emasnya akan mendapatkan kepercayaan yang lebih tinggi dari pedagang internasional, meningkatkan aliran kekayaan dan barang mewah.

Peran Pande Mas (Pande Jatarupa)

Para pandai emas (Pande Mas atau Pande Jatarupa) adalah kelompok artisan yang sangat dihormati dan seringkali memiliki status khusus dalam struktur kerajaan. Mereka bertanggung jawab tidak hanya untuk membuat perhiasan dan pusaka, tetapi juga untuk memurnikan emas mentah dan memastikan standar Jatarupa terpenuhi. Kemampuan mereka untuk memproduksi Jatarupa adalah aset strategis, dan pengetahuan mereka sering kali dilindungi dan diwariskan secara eksklusif. Di beberapa kerajaan, Pande Jatarupa bahkan dibebaskan dari pajak atau diberi tanah khusus sebagai pengakuan atas keahlian vital mereka.

Rute Perdagangan dan Sumber Emas

Kekayaan Jatarupa di Nusantara memicu interaksi dagang yang intensif dengan India, Tiongkok, dan Timur Tengah. Jatarupa diekspor dalam bentuk batang (lingot), koin, atau perhiasan, dan ditukar dengan sutra, keramik, wangi-wangian, dan rempah-rempah. Sebagian besar Jatarupa Nusantara pada periode awal diduga berasal dari pegunungan di Sumatera (yang saat itu dikenal sebagai "Suvarnadvipa"). Akses strategis ke sungai-sungai utama yang memfasilitasi transportasi emas dari pedalaman ke pelabuhan adalah faktor utama dalam kebangkitan kerajaan maritim seperti Sriwijaya.


VII. Studi Kasus Artefak Jatarupa Abadi

Peninggalan arkeologis yang menggunakan Jatarupa memberikan bukti nyata tentang keahlian, kepercayaan, dan kekayaan peradaban kuno. Beberapa artefak menonjol sebagai representasi sempurna dari konsep Jatarupa.

Kotak Pusaka Candi Prambanan

Saat rekonstruksi Candi Prambanan, ditemukan kotak-kotak pusaka yang diletakkan di dalam sumur utama candi, di bawah arca Dewa Siwa. Kotak-kotak ini, terbuat dari lempengan batu atau logam, berisi berbagai persembahan suci (dharmma), termasuk permata, biji-bijian, dan yang paling penting, lembaran-lembaran emas murni (Jatarupa) berukir. Lembaran emas ini sering diukir dengan simbol-simbol dewata lokapala (penjaga arah) atau mantra-mantra suci. Kehadiran Jatarupa di pusat spiritual candi menegaskan perannya sebagai konektor ilahi dan medium pemurnian.

Perhiasan Wonoboyo (Abad ke-9/10 Masehi)

Temuan di Wonoboyo, Jawa Tengah, adalah salah satu koleksi Jatarupa terbesar yang pernah ditemukan di Asia Tenggara. Koleksi ini mencakup sekitar 5.798 artefak, sebagian besar terbuat dari Jatarupa 22-24 karat. Artefak-artefak kunci meliputi:

Kemurnian yang teruji pada koleksi Wonoboyo membuktikan bahwa istilah Jatarupa yang digunakan dalam prasasti-prasasti terkait periode Mataram Kuno benar-benar mengacu pada standar emas yang hampir absolut.

Arca Aksobhya dari Candi Jago

Meskipun banyak arca besar terbuat dari batu, arca-arca kecil yang digunakan untuk ritual pribadi atau persembahan yang sangat penting seringkali dibuat dari Jatarupa. Arca Aksobhya, misalnya, ditemukan dalam keadaan sempurna, terbuat dari emas murni. Proporsi yang sempurna dan material abadi dari Jatarupa menjamin bahwa arca tersebut adalah manifestasi abadi dari Bodhisattva, berfungsi sebagai objek meditasi dan pemujaan tertinggi.


VIII. Refleksi Jatarupa dalam Pandangan Kontemporer

Meskipun zaman kerajaan telah berlalu, konsep Jatarupa tetap relevan, tidak hanya sebagai studi sejarah, tetapi juga sebagai pemahaman filosofis tentang kualitas dan integritas.

Standar Kualitas dan Etika

Dalam industri perhiasan modern, Jatarupa adalah acuan untuk emas 24 karat. Namun, di luar sekadar angka karat, Jatarupa mengajarkan tentang etika produksi: bahwa materi harus diolah hingga mencapai kemurnian tertinggi yang dapat dicapai manusia. Filosofi ini dapat diterapkan pada standar kualitas dalam seni, ilmu pengetahuan, atau bahkan tata kelola pemerintahan, di mana tujuan akhirnya adalah mencapai bentuk yang paling murni dan tanpa cela.

Pencarian Jatarupa Spiritual

Secara metaforis, Jatarupa melambangkan pencarian spiritual. Seperti halnya emas mentah harus melalui api pemurnian (kupelasi) untuk menghilangkan kotoran (mala) dan mencapai bentuk Jatarupa, manusia harus melalui ujian dan disiplin spiritual untuk mencapai pencerahan (moksha) atau keadaan suci. Proses pemurnian diri ini menghasilkan esensi (jiwa atau batin) yang sebersih dan sekuat Jatarupa.

Keabadian dan kemurnian Jatarupa menjadi pengingat bahwa tujuan eksistensi spiritual bukanlah kepuasan sementara, melainkan pencapaian keadaan abadi yang tidak dapat dirusak oleh waktu atau ilusi duniawi.

Jatarupa dan Warisan Budaya

Penggunaan istilah Jatarupa dalam teks sejarah modern membantu melestarikan warisan linguistik dan teknis para pandai emas Nusantara. Dengan memahami istilah ini, kita menghargai bukan hanya nilai ekonominya, tetapi juga warisan teknologi metalurgi yang memungkinkan peradaban kuno mencapai standar kemurnian yang setara, dan bahkan terkadang melampaui, kemampuan metalurgi di belahan dunia lain pada masanya.

Jatarupa, dengan demikian, adalah lebih dari sekadar emas. Ia adalah janji akan kesempurnaan, cerminan dari kemakmuran sebuah peradaban, dan penanda abadi dari hubungan antara materi dan spiritualitas di jantung Nusantara kuno. Kilauannya yang tidak pernah pudar terus menerangi pemahaman kita tentang keagungan masa lalu.

***

IX. Kedalaman Metalurgi dan Proses Alokasi Jatarupa

Proses untuk mendapatkan Jatarupa tidak hanya melibatkan pemurnian kimiawi, tetapi juga alokasi tenaga kerja dan manajemen sumber daya yang kompleks. Kekuatan sebuah kerajaan sering kali diukur dari kemampuannya untuk mengorganisir penambangan, pemurnian, dan manufaktur Jatarupa secara efisien. Proses ini melibatkan ribuan pekerja dari penambang, pengangkut, hingga para undagi yang mendiami kompleks istana.

Organisasi Penambangan Emas Tradisional

Di daerah-daerah penghasil emas, seperti hulu sungai di Sumatera atau Jawa bagian barat, praktik penambangan melibatkan komunitas yang dikontrol langsung oleh pejabat kerajaan. Penambangan aluvial (dulang atau mendulang) adalah metode yang paling umum, yang sering kali menghasilkan bijih emas yang relatif halus bercampur pasir dan lumpur. Emas yang didapatkan harus segera diserahkan kepada pihak kerajaan sebagai bentuk upeti atau pajak (bhakti). Sistem pengawasan ketat diperlukan untuk mencegah penyelundupan Jatarupa mentah.

Peran Kimiawi dan Ritual Pande Mas

Para pandai emas (Pande Mas) pada dasarnya adalah ahli kimia dan fisikawan di zamannya. Mereka harus menguasai suhu leleh yang tinggi (di atas 1000°C) menggunakan tungku yang ditiup dengan tenaga manual. Mereka juga memahami sifat reaktif timbal dan merkuri, meskipun mungkin melalui pengetahuan empiris dan ritualistik daripada pengetahuan ilmiah modern. Proses pemurnian sering kali diselubungi ritual untuk memastikan keberhasilan dan mencegah kegagalan yang dapat memakan biaya besar. Keyakinan bahwa kemurnian Jatarupa harus dilindungi oleh ritual menambah dimensi sakral pada setiap artefak yang dihasilkan.

Salah satu tantangan terbesar dalam metalurgi kuno adalah menghilangkan perak (Ag), yang seringkali bercampur secara alami dengan emas (Au) membentuk elektrum. Proses pemisahan Au dari Ag memerlukan asam yang sangat kuat, sering kali didapatkan melalui teknik khusus seperti klorinasi atau elektrolisis purba (meskipun yang terakhir ini sangat tidak mungkin dalam konteks Nusantara kuno). Namun, teknik kupelasi dengan timbal, meskipun lebih efektif untuk logam dasar, juga dapat mengurangi kadar perak secara signifikan, mendekatkan hasil akhir pada standar Jatarupa murni.

Manajemen dan Penyimpanan Jatarupa Kerajaan

Setelah dimurnikan, Jatarupa disimpan di gudang kerajaan (kasimping) di bawah pengawasan ketat. Penyimpanan ini terbagi menjadi beberapa kategori: emas yang akan dicetak menjadi koin, emas untuk pembayaran upeti internasional, dan emas yang dialokasikan untuk pembuatan artefak ritual dan pusaka. Keputusan tentang alokasi Jatarupa sering kali merupakan keputusan politik tingkat tinggi, mencerminkan prioritas kerajaan—apakah untuk memperkuat militer, memperluas pembangunan candi, atau meningkatkan kekayaan pribadi raja.

Penting untuk dicatat bahwa istilah Jatarupa tidak hanya merujuk pada emas fisik, tetapi juga standar moneter yang dipertahankan oleh kerajaan. Integritas sebuah mata uang emas sangat bergantung pada kemampuannya untuk memastikan bahwa setiap koin yang dikeluarkan memiliki bobot dan kemurnian Jatarupa yang dijanjikan. Kerajaan yang gagal mempertahankan standar ini akan menghadapi krisis ekonomi dan hilangnya kepercayaan baik dari dalam maupun luar negeri.


X. Jatarupa dalam Arsitektur Suci dan Simbolisme Kosmik

Arsitektur candi di Nusantara, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, adalah tempat di mana konsep Jatarupa bermanifestasi secara fisik dan simbolis. Penggunaan emas murni dalam konstruksi suci memiliki tujuan ganda: memastikan keagungan dan menyalurkan energi kosmik.

The Golden Heart (Jantung Emas)

Setiap candi Hindu atau Buddha utama memiliki sumur pusat (garbhagriha) yang dalam, tempat diletakkannya kotak pusaka (dharmma). Kotak ini, yang berisi Jatarupa, berfungsi sebagai 'jantung emas' atau inti spiritual candi. Penempatan Jatarupa melambangkan Meru dan pusat kosmik yang tidak dapat dihancurkan. Logam dasar lainnya mungkin mengalami korosi, tetapi Jatarupa tetap abadi, mencerminkan ketahanan ajaran dharma.

Lempengan Prasasti Emas Murni

Beberapa prasasti yang paling penting dan sakral tidak diukir di batu, melainkan diukir pada lempengan Jatarupa. Prasasti emas ini, seringkali berukuran kecil dan disimpan di dalam wadah suci, memuat mantra-mantra rahasia, pengesahan tanah suci (sīma), atau silsilah raja. Pemilihan Jatarupa sebagai medium mencerminkan permanensi dan nilai absolut dari pesan yang diukir. Teks yang tertulis di Jatarupa dianggap abadi dan tidak dapat dibatalkan, terpisah dari dokumen-dokumen yang kurang penting yang diukir pada perunggu atau lontar.

Contoh signifikan adalah prasasti-prasasti emas kecil yang ditemukan di daerah Malang dan Trowulan (diduga pusat Majapahit). Prasasti-prasasti ini, meskipun tidak memuat dekrit besar, sering mencatat sumbangan kecil atau pembebasan pajak untuk biksu tertentu. Penggunaan Jatarupa untuk mencatat transaksi ini menunjukkan betapa sucinya hubungan antara kerajaan dan komunitas spiritual.

Puncak Stupa dan Chattras (Payung Emas)

Pada puncak stupa Borobudur (meskipun arca emas utamanya tidak ditemukan, banyak yang percaya ada arca emas di dalamnya) atau candi-candi lainnya, Jatarupa sering digunakan untuk melapisi puncak (chattras atau payung) yang melambangkan status kerajaan dan perlindungan spiritual. Kilauan Jatarupa di puncak tertinggi berfungsi sebagai penarik energi kosmik dari langit, menyalurkannya ke seluruh kompleks candi dan, secara simbolis, ke seluruh kerajaan.


XI. Perbandingan Jatarupa dengan Emas di Peradaban Lain

Untuk menghargai keunikan Jatarupa, penting untuk membandingkannya dengan bagaimana emas dilihat dan digunakan di peradaban kontemporer lainnya, terutama di Asia Selatan dan Asia Timur.

India (Dunia Sansekerta)

Di India, emas murni juga disebut Suvarna atau Kanaka, dan konsep Jatarupa sudah ada dalam kitab-kitab Veda. Namun, di Nusantara, konsep Jatarupa terintegrasi lebih dalam ke dalam sistem moneter dan penanda kualitas kerajinan. Sementara India memiliki tradisi pembuatan perhiasan yang kaya, fokus Jatarupa di Nusantara seringkali beralih ke aspek ritual dan penggunaan sebagai persembahan tertinggi, menunjukkan sinkretisme unik dengan animisme lokal yang menyerap simbolisme emas.

Tiongkok

Di Tiongkok kuno, emas dihargai, tetapi perak sering kali lebih dominan sebagai standar moneter hingga periode tertentu. Emas di Tiongkok lebih sering digunakan untuk dekorasi, pelapisan, dan sebagai penanda status kekaisaran. Kontrasnya, di Nusantara, Jatarupa berfungsi sebagai mata uang spiritual yang tidak dapat ditawar, menunjukkan prioritas peradaban pada aspek transendental emas dibandingkan hanya sebagai alat tukar.

Timur Tengah dan Mediterania

Di Mesir kuno, emas (yang disebut 'nebu') juga melambangkan keabadian dan dewa, karena sifatnya yang tidak berkarat. Namun, teknologi pemurnian yang diperlukan untuk mencapai Jatarupa di Nusantara, terutama melalui teknik filigree dan granulasi, menunjukkan perkembangan keahlian metalurgi yang independen dan spesifik di Asia Tenggara, seringkali lebih berfokus pada detail artistik daripada hanya massa fisik.


XII. Dekonstruksi Istilah dan Implikasinya dalam Warisan Seni

Setiap goresan pada artefak Jatarupa kuno menyimpan cerita tentang kepercayaan, status, dan teknik. Dekonstruksi visual dari artefak-artefak ini mengungkapkan implikasi sosio-politik dari Jatarupa.

Ketidakmungkinan Reproduksi

Banyak ahli perhiasan modern mengakui bahwa teknik granulasi yang digunakan oleh pandai emas Mataram Kuno (misalnya, yang terlihat pada anting-anting dan liontin Wonoboyo) sangat sulit untuk direplikasi hari ini, terutama dengan tingkat kemurnian Jatarupa. Emas 24 karat sangat lunak, yang membuatnya sulit untuk menahan panas solder tanpa melelehkan seluruh struktur. Fakta bahwa mereka dapat mencapai hasil ini menunjukkan pemahaman yang mendalam tentang titik leleh dan manipulasi panas pada tingkat mikroskopis. Jatarupa adalah penanda kejeniusan teknologi yang hilang.

Simbolisme Fauna dan Flora dalam Jatarupa

Motif yang diukir pada Jatarupa seringkali mengambil inspirasi dari alam, tetapi diinterpretasikan secara kosmik:

Jatarupa, dengan kemurniannya, berfungsi sebagai medium yang sempurna untuk membawa simbol-simbol suci ini, menjadikannya 'hidup' dan berdaya.

Jatarupa Sebagai Kapital Sosial

Kepemilikan Jatarupa, terutama perhiasan besar atau pusaka yang dibuat dari emas murni, adalah bentuk kapital sosial yang tak terbantahkan. Hal itu menandakan bahwa pemiliknya memiliki garis keturunan yang mulia, mendapat perlindungan dewa, dan memiliki koneksi langsung dengan sumber daya dan kekuasaan kerajaan. Dalam pernikahan bangsawan, jumlah Jatarupa yang dipertukarkan sering kali menjadi penentu kekuatan aliansi keluarga yang terbentuk.


XIII. Tantangan Pelestarian Jatarupa Kuno

Jatarupa yang tersisa hingga saat ini menghadapi tantangan pelestarian, baik dari waktu maupun dari faktor manusia.

Korosi dan Lingkungan

Meskipun emas murni (Jatarupa) secara kimiawi inert (tidak bereaksi terhadap oksigen atau air), artefak kuno seringkali mengandung jejak logam lain atau telah terkorosi oleh lingkungan asam di dalam tanah. Konservasi Jatarupa memerlukan pemahaman kimia metalurgi kuno untuk membersihkannya tanpa merusak detail filigree atau granulasi yang sangat halus. Museum dan balai pelestarian harus memastikan bahwa artefak Jatarupa disimpan dalam lingkungan yang terkontrol kelembaban dan suhunya.

Ancaman Penjarahan dan Perdagangan Ilegal

Sayangnya, nilai intrinsik Jatarupa yang sangat tinggi menjadikannya target utama bagi penjarahan situs arkeologi. Banyak artefak Jatarupa yang hilang dari konteks sejarahnya karena diperdagangkan secara ilegal. Kehilangan konteks ini menghilangkan informasi vital tentang ritual, tanggal pembuatan, dan struktur sosial yang melahirkannya. Setiap artefak Jatarupa yang hilang adalah hilangnya sepotong narasi peradaban Nusantara.

Pendidikan dan Apresiasi Publik

Melestarikan warisan Jatarupa juga berarti meningkatkan kesadaran publik bahwa nilai artefak ini jauh melampaui harga lebur emasnya. Jatarupa adalah dokumen sejarah dan teknis yang tidak tergantikan, yang menghubungkan kita dengan kejeniusan para pendahulu yang mendiami tanah emas, Suvarnadvipa.

***

XIV. Jatarupa: Ringkasan Integral dan Penutup

Jatarupa bukan sekadar kata untuk emas murni; ia adalah istilah payung yang mencakup sejarah, metalurgi, spiritualitas, dan seni rupa tertinggi di Nusantara. Dari hulu sungai Sumatera hingga candi-candi megah di Jawa, Jatarupa membentuk tulang punggung kekuasaan dan keyakinan. Ia adalah manifestasi material dari ide-ide spiritual tentang keabadian, kesucian, dan cahaya ilahi. Keberadaan Jatarupa dalam artefak, prasasti, dan sastra membuktikan bahwa peradaban yang berkuasa di kepulauan ini memiliki standar kualitas, seni, dan spiritualitas yang luar biasa tinggi.

Ketika kita mengagumi kilauan artefak Jatarupa di museum, kita tidak hanya melihat logam berkilauan. Kita melihat hasil dari proses pemurnian yang rumit, pengetahuan kimiawi yang diwariskan secara rahasia, pengabdian para seniman ulung, dan keyakinan mendalam para raja yang meletakkan emas murni sebagai jantung dari kekuasaan dan agama mereka. Jatarupa tetap menjadi standar yang tak tertandingi—sebuah lambang kemurnian yang abadi, memancarkan cahaya dari masa lalu agung Nusantara.

Pencarian Jatarupa oleh para undagi kuno adalah cerminan dari pencarian manusia akan kesempurnaan. Logam ini, murni dan tak terkontaminasi, berfungsi sebagai pengingat bahwa keagungan sejati terletak pada kemurnian substansi, baik itu material maupun spiritual.

Oleh karena itu, Jatarupa akan selalu menduduki tempat yang sakral dalam kronik sejarah, sebuah warisan yang nilainya tak lekang oleh waktu dan tak terbandingkan dengan logam lainnya.