Itlak: Menyelami Konsep Kebebasan Mutlak dalam Filsafat Islam

Konsep Itlak, yang berasal dari bahasa Arab, merupakan salah satu pilar fundamental dalam struktur pemikiran Islam, meliputi teologi, filsafat, sufisme, dan bahkan hukum. Secara etimologis, Itlak berarti ‘membebaskan’, ‘melepaskan’, atau ‘tanpa batasan’. Dalam konteks yang lebih dalam, ia merujuk pada Kemutlakan, Ketiadaan Batasan, atau Kebebasan Absolut yang tidak terikat oleh kondisi, ruang, waktu, atau definisi apa pun. Pemahaman yang komprehensif mengenai Itlak sangat esensial, sebab ia adalah kunci untuk memahami hakikat Wujud Mutlak—Allah—yang menjadi sumber segala eksistensi.

Artikel ini akan mengupas tuntas dimensi-dimensi Itlak, menelusuri bagaimana para teolog, filosof, dan sufi menafsirkan Kemutlakan ini, dan bagaimana ia berinteraksi serta kontras dengan lawannya, yaitu Taqyid (Pembatasan atau Pengondisian). Itlak bukan hanya sekadar istilah abstrak; ia adalah landasan ontologis yang membentuk pandangan dunia seorang Muslim terhadap realitas dan hakikat Ketuhanan.

I. Definisi dan Basis Linguistik Itlak

1.1. Etimologi dan Makna Dasar

Kata Itlak (إطلاق) berasal dari akar kata ṭ-l-q (ط ل ق) yang memiliki makna dasar yang berkaitan dengan pelepasan, izin, dan kebebasan. Dalam penggunaan sehari-hari, kata ini dapat berarti: membiarkan sesuatu berjalan tanpa hambatan; melepaskan ikatan; atau memberikan izin tanpa syarat. Sebagai contoh, dalam terminologi hukum, ia merujuk pada sesuatu yang umum atau tidak spesifik, berbeda dengan sesuatu yang terikat (muqayyad) atau spesifik.

Namun, ketika istilah ini diangkat ke ranah metafisika dan teologi, maknanya mengalami pengkristalan menjadi Kemutlakan atau Absolutisme. Ia menunjuk pada suatu Entitas yang keberadaan-Nya tidak tergantung pada apa pun, tidak dibatasi oleh predikat apa pun, dan tidak dapat dipahami sepenuhnya melalui kategori-kategori mental atau linguistik yang terbatas.

1.2. Itlak sebagai Lawan dari Taqyid

Pemahaman Itlak paling jelas terlihat saat dikontraskan dengan Taqyid (تقييد). Taqyid berarti Pembatasan, Pengikatan, atau Pengondisian. Seluruh alam semesta yang kita kenal berada dalam ranah Taqyid. Segala sesuatu yang diciptakan terikat oleh:

Sebaliknya, Itlak merujuk pada Realitas yang berada di luar Taqyid. Ia adalah eksistensi yang melampaui segala batasan waktu, ruang, dan definisi. Keberadaan-Nya adalah esensial (wajib al-wujud) dan tidak memerlukan sebab apa pun. Itlak adalah status murni dari Ketidakberbatasan.

II. Itlak dalam Teologi (Ilmu Kalam) dan Konsep Tauhid

Dalam teologi Islam, Itlak adalah manifestasi paling murni dari konsep Tauhid—Keesaan Allah. Jika Allah tidak Mutlak (Itlak), maka Ia terikat oleh kebutuhan, dan jika Ia terikat, Ia bukan Tuhan. Oleh karena itu, Kemutlakan adalah syarat mutlak bagi Keilahian.

2.1. Tuhan sebagai Al-Wujud Al-Mutlaq

Para teolog, terutama dalam tradisi Asy'ariyah dan Maturidiyah, mendefinisikan Tuhan sebagai Wajib al-Wujud (Wujud yang Wajib), yang secara inheren membawa makna Kemutlakan. Wajib al-Wujud tidak dapat dibayangkan ketiadaan-Nya dan tidak terikat oleh batasan mumkin al-wujud (wujud yang mungkin/kontingen).

2.1.1. Sifat Salbiyah dan Tanzih

Konsep Itlak diperkuat melalui pemahaman tentang Sifat Salbiyah (sifat-sifat yang menolak kekurangan), yang merupakan inti dari doktrin Tanzih (mensucikan Tuhan dari keserupaan dengan makhluk). Ketika seorang teolog mengatakan bahwa Allah tidak membutuhkan tempat, tidak dibatasi oleh waktu, dan tidak memiliki bentuk, mereka secara efektif menegaskan status Itlak Tuhan.

Penyucian (Tanzih) adalah upaya nalar untuk memahami Itlak—menghapus segala bentuk Taqyid (keterbatasan) yang mungkin dilekatkan pada Realitas Ilahi. Allah adalah Dzat yang bebas dari segala kekurangan, artinya Ia adalah Dzat yang benar-benar tidak terikat.

2.2. Itlak dalam Kehendak dan Kekuasaan Ilahi

Kemutlakan juga tercermin dalam Qudrah (Kekuasaan) dan Iradah (Kehendak) Tuhan. Kekuasaan Ilahi adalah kekuasaan yang tidak terbatas. Tuhan mampu melakukan apa pun yang mungkin (mumkin), tanpa ada kekuatan yang dapat menghalangi kehendak-Nya. Kehendak-Nya adalah murni Itlak; Ia berkehendak tanpa dipaksa oleh hukum alam, kondisi, atau kebutuhan internal.

Para teolog menekankan bahwa bahkan sifat-sifat Tuhan (seperti Kasih Sayang atau Keadilan) adalah manifestasi yang Mutlak. Walaupun sifat-sifat tersebut dapat dipahami oleh manusia secara parsial (Taqyid), hakikat sifat-sifat tersebut dalam diri Tuhan adalah tanpa batas dan tak terbandingkan.

III. Dimensi Metafisika dan Filsafat Wujud Mutlak

Para filsuf Muslim, seperti Ibn Sina, Al-Farabi, dan khususnya para pemikir hikmah seperti Mulla Sadra, membawa konsep Itlak ke dalam ranah ontologi yang lebih dalam. Dalam filsafat, Itlak seringkali disamakan dengan Wujud al-Mutlaq, yaitu Eksistensi Murni atau Ada yang tak terbatasi.

ITLAK Taqyid (Makhluk) Keterbatasan Representasi Hubungan Wujud Mutlak dan Wujud Terbatas
Ilustrasi Wujud Mutlak (Itlak) sebagai sumber tak terbatas yang memancarkan manifestasi terbatas (Taqyid).

3.1. Asâlah al-Wujud (Prinsip Keutamaan Eksistensi)

Menurut aliran Filsafat Transenden (Hikmah Muta’aliyah) yang dipelopori oleh Mulla Sadra, eksistensi (Wujud) adalah prinsip yang utama, sementara esensi (Mâhiyyah) hanyalah batasannya. Di puncak piramida ontologis ini terdapat Wujud Mutlak—Itlak—yang merupakan sumber murni dari semua keberadaan.

Wujud Mutlak ini bersifat tunggal, sederhana, dan tidak memiliki lawan. Segala sesuatu selain Wujud Mutlak adalah gradasi, bayangan, atau manifestasi dari Kemutlakan tersebut, di mana manifestasi tersebut tunduk pada Taqyid. Alam semesta adalah hasil dari ‘penurunan’ atau ‘pengikatan’ Wujud Mutlak menjadi bentuk-bentuk terbatas yang kita kenal.

3.2. Kesatuan Keberadaan (Wahdat al-Wujud) dan Itlak

Konsep Wahdat al-Wujud (Kesatuan Eksistensi), yang sangat terkait dengan ajaran Ibn Arabi, tidak dapat dipisahkan dari Itlak. Ajaran ini menegaskan bahwa pada hakikatnya, hanya ada satu Wujud yang sejati, yaitu Wujud Mutlak. Segala sesuatu yang kita lihat adalah wajah, bentuk, atau mode terbatasi (Taqyid) dari Wujud yang tak terbatas (Itlak) itu.

Jika Wujud Mutlak dipandang dari sudut kebebasan dan ketiadaan batasan, ia disebut Itlak. Jika Wujud Mutlak dipandang dari sudut manifestasinya dalam bentuk-bentuk terbatas yang dapat diketahui, ia disebut Taqyid. Namun, keduanya adalah aspek dari Realitas yang sama. Itlak adalah Realitas dalam ketiadaan nama dan sifat, sedangkan Taqyid adalah Realitas dalam manifestasi nama dan sifat (Asma' wa Sifat).

3.3. Kritik dan Penjelasan Mengenai Itlak dalam Filsafat

Penting untuk dicatat bahwa para filsuf sangat berhati-hati dalam mendefinisikan Itlak itu sendiri, karena definisi adalah bentuk dari Taqyid. Jika Itlak dapat didefinisikan secara sempurna, maka ia tidak lagi mutlak. Oleh karena itu, Itlak seringkali dipahami secara apofatik (melalui penolakan batasan), yaitu dengan menyatakan apa yang bukan Itlak.

Al-Ghazali, meskipun kritis terhadap beberapa aspek filsafat, sepakat bahwa Tuhan harus dipahami sebagai Realitas yang melampaui kemampuan deskripsi akal manusia, yang menunjukkan penerimaan implisit terhadap status Itlak Ilahi. Akal manusia, yang terikat pada kausalitas, waktu, dan ruang (Taqyid), tidak mampu mencakup Kemutlakan (Itlak).

IV. Itlak dalam Sufisme dan Ma’rifah

Dalam tasawuf atau sufisme, Itlak tidak hanya menjadi teori metafisik, tetapi tujuan perjalanan spiritual. Bagi sufi, Ma’rifah (pengenalan sejati terhadap Tuhan) adalah proses melarutkan diri yang terbatas (Taqyid) agar dapat menyaksikan yang Mutlak (Itlak).

4.1. Fana’ dan Baqa’: Melepaskan Ikatan Taqyid

Konsep sentral dalam perjalanan sufi adalah Fana’ (peleburan atau penghancuran diri) dan Baqa’ (keabadian dalam Tuhan). Fana’ adalah upaya spiritual untuk melepaskan diri dari segala bentuk Taqyid: ego, keinginan duniawi, identitas yang terbatas, dan pandangan dualistik. Ketika sang salik (pengembara spiritual) mencapai titik Fana’, ia melepaskan batasan-batasan ini dan menyadari Kemutlakan sejati.

Taqyid adalah ilusi pemisahan, sementara Itlak adalah Realitas Kesatuan. Tujuan dari Fana’ adalah mencapai tajrid (pengosongan total) dari segala sesuatu yang mungkin mengikat kesadaran, sehingga hanya Wujud Mutlak yang tersisa dalam pandangan batin.

4.2. Hadarat Al-Khams (Lima Kehadiran Ilahi)

Ibn Arabi menggunakan skema Hadarat Al-Khams untuk menjelaskan gradasi Kemutlakan (Itlak) hingga menjadi keterbatasan (Taqyid). Puncak dari semua kehadiran adalah:

  1. Hadrat al-Ghayb al-Mutlaq (Kehadiran Kegaiban Mutlak): Ini adalah Itlak murni, Dzat Tuhan sebelum manifestasi sifat atau nama apa pun, tak terjangkau oleh pengetahuan makhluk.
  2. Hadrat al-Wahidiyyah (Kehadiran Keesaan): Tingkat ini mulai menunjukkan sifat-sifat Tuhan (Asma' dan Sifat), yang merupakan 'pembatasan pertama' dari Itlak. Meskipun sifat ini Mutlak dalam diri Tuhan, ia sudah merupakan bentuk pengkhususan.

Semua alam berikutnya (alam roh, alam perumpamaan, alam fisik) adalah manifestasi dari Taqyid, di mana Itlak turun ke dalam bentuk yang semakin padat dan terbatas. Sufi berusaha menaiki kembali tangga ini, dari alam Taqyid menuju kesadaran Itlak.

4.3. Cinta sebagai Energi Pendorong Itlak

Dalam pandangan mistik, kemunculan alam semesta dari Itlak bukanlah suatu kebutuhan mekanis, melainkan didorong oleh cinta (Cinta Ilahi). Hadis Qudsi, "Aku adalah harta yang tersembunyi, Aku ingin dikenal, maka Aku ciptakan makhluk," menggambarkan proses 'pengikatan' (Taqyid) diri dari Kemutlakan (Itlak) agar Kemutlakan itu dapat dilihat dan dicintai.

Cinta adalah kekuatan yang menyebabkan Itlak menjadi relatif, memungkinkan dunia wujud (Taqyid) untuk ada sebagai tempat di mana Dzat Mutlak dapat memanifestasikan sifat-sifat-Nya.

V. Dialektika Itlak dan Taqyid: Hubungan Timbal Balik

Itlak dan Taqyid bukanlah dua entitas yang terpisah, melainkan dua cara memandang Realitas yang sama. Mereka adalah pasangan dialektis yang saling membutuhkan dalam konteks pemahaman manusia.

5.1. Kemutlakan yang Manifest (Itlak Fii Taqyid)

Alam semesta adalah Itlak Fii Taqyid, Kemutlakan dalam Pembatasan. Setiap atom, setiap waktu, dan setiap peristiwa yang terbatas (Taqyid) adalah tempat manifestasi dari Kemutlakan yang tak terbatas (Itlak). Jika kita dapat melihat melampaui bentuk dan batasan luar, kita akan melihat Itlak yang melandasinya. Ini berarti bahwa Taqyid bukanlah ketiadaan Itlak; ia adalah sarana di mana Itlak menyatakan diri-Nya.

Contohnya adalah air: air dalam keadaan Mutlak (Itlak) adalah hidrogen dan oksigen tanpa bentuk. Ketika ia menjadi es (Taqyid), ia mengambil batasan bentuk dan suhu. Namun, hakikat air (Itlak) tetap ada di dalam es (Taqyid).

5.2. Bahaya Absolutisme Humanistik

Dalam filsafat Barat modern, seringkali terjadi upaya untuk memutlakkan (meng-Itlak-kan) konsep yang seharusnya terbatas (Taqyid), seperti akal, ilmu pengetahuan, atau bahkan negara. Pemikiran Islam memperingatkan bahwa setiap upaya untuk memberikan Kemutlakan pada sesuatu yang kontingen adalah bentuk syirik (penyekutuan), karena hanya Wujud Ilahi yang berhak atas status Itlak.

Hukum dan etika manusia, yang didasarkan pada Taqyid ruang dan waktu, harus selalu mengacu kembali pada sumber Itlak (Ketuhanan) untuk mendapatkan validitas dan nilai moral abadi.

VI. Itlak dalam Yurisprudensi Islam (Fiqh)

Konsep Itlak dan Taqyid memiliki peran yang sangat praktis dan metodologis dalam penetapan hukum Islam (Fiqh). Para Ushuliyyun (Ahli Usul Fiqh) menggunakan dikotomi ini untuk menafsirkan teks-teks Al-Qur'an dan Sunnah.

6.1. Al-Mutlaq dan Al-Muqayyad

Dalam Ushul Fiqh, Al-Mutlaq merujuk pada lafal (teks) yang menunjukkan makna umum yang tidak terikat oleh sifat, syarat, atau waktu tertentu. Sementara Al-Muqayyad merujuk pada lafal yang terikat oleh batasan-batasan spesifik.

Metodologi yang digunakan adalah: jika suatu hukum disebutkan secara Mutlak (Itlak) di satu tempat, dan disebutkan secara Terbatas (Taqyid) di tempat lain, para ulama harus menentukan apakah yang Mutlak itu dibawa kepada yang Terbatas, atau apakah keduanya berlaku secara terpisah.

6.1.1. Kasus Penghapusan Dosa (Kaffarah)

Contoh klasik adalah hukum tentang kaffarah (denda penebus dosa). Dalam beberapa ayat Al-Qur'an, perintah untuk membebaskan budak (sebagai kaffarah) disebutkan secara Mutlak:

Namun, dalam konteks lain (misalnya, kaffarah pembunuhan tak sengaja), perintah tersebut disebutkan secara Terbatas:

Para ulama berdebat: apakah Itlak (Ayat A) dibawa kepada Taqyid (Ayat B)? Jika dibawa, maka setiap budak yang dibebaskan untuk kaffarah haruslah mukmin. Jika tidak, maka Itlak berlaku umum kecuali ada dalil lain yang mengikatnya.

Prinsip umum yang diterapkan adalah Hamlu al-Mutlaq ‘ala al-Muqayyad (Membawa yang Mutlak kepada yang Terbatas) jika sebab hukumnya sama. Namun, jika sebabnya berbeda (misalnya, kaffarah sumpah berbeda dengan kaffarah puasa), maka Itlak tetap pada ke-Mutlak-annya dan Taqyid pada keterbatasannya.

6.2. Itlak dalam Maslahah Mursalah

Konsep Maslahah Mursalah (kepentingan umum yang tidak ada dalil spesifik yang mengaturnya) menunjukkan bagaimana Itlak Kehendak Ilahi memberi ruang bagi kebijaksanaan manusia untuk menetapkan hukum yang sejalan dengan tujuan syariat (Maqasid Syariah).

Meskipun metode penetapan hukum ini bersifat Taqyid (terikat pada situasi dan kondisi masyarakat), ia memanfaatkan kebebasan luas (Itlak) yang ditinggalkan oleh teks-teks syariat untuk mengatur hal-hal baru. Ini adalah manifestasi Itlak dalam kebijaksanaan legislatif Islam.

VII. Itlak dalam Kosmologi dan Proses Penciptaan

Penciptaan alam semesta (kosmologi) dapat dipahami sebagai proses bertahap di mana Itlak (Kemutlakan) menjadi Taqyid (Keterbatasan). Kosmos adalah "kitab terbuka" yang ditulis dari tinta tak terbatas (Itlak).

7.1. Pembentukan Identitas (Ayan Thabitah)

Menurut Ibn Arabi, sebelum alam fisik tercipta, terdapat tahap Ayan Thabitah (Esensi-esensi Tetap) di dalam Ilmu Tuhan. Ini adalah potensi-potensi terbatas yang berasal dari Kemutlakan. Setiap entitas memiliki esensi tetap (Taqyid) yang menentukan bagaimana ia akan berwujud di alam nyata. Itlak Kehendak Tuhan menentukan esensi-esensi ini untuk memanifestasikan diri, dan dalam manifestasinya, mereka terikat oleh esensi mereka sendiri.

7.2. Ruang dan Waktu sebagai Bentuk Taqyid Paling Fundamental

Ruang (Makan) dan waktu (Zaman) adalah batasan-batasan pertama yang muncul dari Itlak. Tuhan adalah pra-Eksistensi (Qadim), tidak terikat oleh ruang dan waktu. Ketika penciptaan dimulai, dimensi spasial dan temporal muncul, dan dengan itu, segala sesuatu menjadi terbatas (muqayyad) oleh keberadaannya di suatu tempat pada suatu waktu.

Bagi filsuf seperti Shihabuddin Yahya Suhrawardi (Mazhab Isyraq), cahaya adalah manifestasi paling murni dari Wujud (Itlak). Semakin jauh cahaya itu turun ke dalam materi, semakin ia terbatasi oleh kegelapan dan Taqyid. Materi adalah titik ekstrem dari Taqyid, tempat Itlak nyaris tersembunyi sepenuhnya.

VIII. Implikasi Eksistensial dari Pemahaman Itlak

Memahami Itlak bukan hanya latihan intelektual, tetapi memiliki dampak mendalam pada cara seseorang menjalani kehidupan dan berinteraksi dengan dunia yang terbatas.

8.1. Mengatasi Keterikatan (Syirk Khafi)

Pengetahuan tentang Itlak membantu seseorang mengenali dan mengatasi Syirk Khafi (penyekutuan tersembunyi). Ketika seseorang terlalu terikat pada sesuatu yang terbatas—harta, kekuasaan, atau bahkan orang lain—mereka secara tidak sadar memberikan atribut Kemutlakan (Itlak) pada entitas yang sesungguhnya fana (Taqyid). Kesadaran bahwa hanya Wujud Mutlak yang layak menerima keterikatan total membebaskan individu dari perbudakan materi.

Pelepasan diri dari keterikatan duniawi adalah praktik sehari-hari untuk menghayati Itlak. Ini adalah penegasan bahwa semua sebab dan akibat, semua rezeki dan cobaan, berasal dari sumber yang tidak terbatas.

8.2. Kebebasan Sejati

Itlak, dalam makna Kemutlakan Ilahi, adalah sumber dari semua kebebasan yang mungkin. Manusia, sebagai makhluk yang diciptakan, memiliki kehendak yang terbatas (Taqyid), namun potensi spiritualnya untuk terhubung dengan Yang Mutlak memberinya kebebasan moral dan spiritual yang sejati. Kebebasan sejati bukan berarti melakukan apa pun yang diinginkan (yang merupakan Taqyid dari ego), tetapi menyelaraskan kehendak terbatas (Taqyid) dengan Kehendak Mutlak (Itlak).

8.3. Prinsip Harapan dan Ketiadaan Keputusasaan

Jika Tuhan adalah Itlak (Mutlak), maka Rahmat-Nya juga Mutlak, Kekuatan-Nya juga Mutlak, dan Pengampunan-Nya juga Mutlak. Konsep ini menghilangkan ruang untuk keputusasaan. Sekalipun manusia terikat oleh dosa dan kesalahan (Taqyid), Kemutlakan Tuhan memastikan bahwa pintu taubat dan ampunan selalu terbuka tanpa batas.

IX. Itlak dalam Hermeneutika dan Penafsiran Teks

Pemahaman Itlak juga membentuk cara para ulama mendekati interpretasi teks suci. Teks Al-Qur'an dan Hadis seringkali mengandung lapisan makna yang berbeda, dari yang paling terbatas dan literal hingga yang paling luas dan Mutlak.

9.1. Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat

Para ulama membagi ayat-ayat menjadi Muhkamat (jelas, spesifik, dan Terbatas/Taqyid) dan Mutasyabihat (tidak jelas, multi-interpretatif, dan mengarah kepada makna yang lebih luas/Itlak). Ayat-ayat yang membahas hukum (Fiqh) cenderung Muhkamat, memberikan batasan yang jelas. Namun, ayat-ayat yang membahas Dzat Tuhan dan esensi penciptaan cenderung Mutasyabihat, memaksa pembaca untuk merenungkan makna yang melampaui batasan akal (Itlak).

Pendekatan yang seimbang mengakui bahwa Muhkamat (Taqyid) memberikan stabilitas praktis, sementara Mutasyabihat (Itlak) mendorong pencarian spiritual dan filosofis yang tak berujung.

X. Itlak dan Konsep Kesempurnaan

Itlak adalah sinonim dari Kamal (Kesempurnaan) dalam arti yang paling murni. Sesuatu yang Mutlak harus sempurna, karena ketidaksempurnaan adalah bentuk Taqyid (kekurangan atau batasan). Kesempurnaan Tuhan adalah Itlak, yang berarti ia tidak dapat bertambah atau berkurang.

10.1. Kesempurnaan Relatif dan Mutlak

Semua kesempurnaan di alam semesta (keindahan, kekuatan, ilmu) adalah kesempurnaan relatif (Kamal Muqayyad) yang terbatas. Sebuah bunga indah, tetapi keindahannya terbatas oleh waktu dan bentuk. Sebaliknya, Itlak adalah Kamal Mutlaq, yang menjadi sumber dan penyebab adanya semua kesempurnaan parsial di alam Taqyid.

Para filosof Islam berpendapat bahwa manusia secara alami mencari kesempurnaan karena fitrah manusia terhubung dengan Sumber Kesempurnaan Mutlak (Itlak). Pencarian pengetahuan, seni, dan etika yang lebih tinggi adalah dorongan bawaan untuk kembali kepada yang Mutlak.

XI. Perspektif Modern Mengenai Itlak

Di era kontemporer, di mana relativisme dan fragmentasi mendominasi, konsep Itlak menjadi semakin relevan. Dalam menghadapi pluralitas ideologis dan pandangan dunia, Itlak berfungsi sebagai jangkar metafisik yang tak bergerak.

11.1. Menghadapi Relativisme Post-Modern

Jika segala sesuatu di dunia ini relatif (semua Taqyid), maka tidak ada landasan etika atau kebenaran yang kokoh. Konsep Itlak memberikan landasan bagi kebenaran Mutlak yang melampaui subjektivitas manusia. Meskipun manusia hanya dapat memahami kebenaran tersebut secara parsial (Taqyid), pengakuan akan adanya kebenaran Itlak menjaga agar pencarian makna tidak menjadi nihilistik.

Dalam ilmu pengetahuan, kita berinteraksi dengan hukum alam yang terbatas (Taqyid). Namun, eksistensi hukum-hukum ini menunjuk pada Kehendak Mutlak (Itlak) yang menetapkannya. Ilmuwan Muslim memandang keteraturan alam sebagai bukti keindahan dan kesempurnaan Itlak.

XII. Kesimpulan: Itlak sebagai Pilar Realitas

Itlak adalah konsep Kemutlakan yang berfungsi sebagai pondasi bagi keseluruhan struktur pemikiran Islam, melintasi batas-batas disiplin ilmu. Dari inti Tauhid, yang menyatakan Allah sebagai Wujud Tak Terbatas, hingga metodologi Ushul Fiqh, yang membedakan teks umum dan spesifik, Itlak menantang nalar manusia untuk merangkul apa yang berada di luar jangkauan Taqyid.

Memahami Itlak berarti menyadari bahwa kehidupan kita yang terikat oleh waktu, ruang, dan kondisi (Taqyid) hanyalah sekilas manifestasi dari Realitas yang jauh lebih besar dan tak terbatas. Perjalanan spiritual, etika, dan intelektual adalah upaya terus-menerus untuk melarutkan batasan-batasan yang memisahkan diri kita yang fana dari sumber Itlak—Kemutlakan Ilahi—yang tanpanya, tidak ada eksistensi yang mungkin.

Kemutlakan (Itlak) adalah samudra yang tak bertepi, sementara semua ciptaan (Taqyid) adalah gelombang dan tetesan di dalamnya. Kesadaran akan hubungan ini adalah puncak Ma’rifah.

Al-Wujud Al-Mutlaq Perahu Taqyid di Samudra Itlak
Ilustrasi Wujud Kontingen (Taqyid) sebagai perahu yang berlayar di samudra Wujud Mutlak (Itlak).