Istislah: Prinsip Maslahah dalam Hukum Islam dan Penerapannya

Dalam khazanah hukum Islam, khususnya ilmu Ushul Fiqh (metodologi penetapan hukum), terdapat berbagai sumber dan metode yang digunakan para mujtahid untuk menarik kesimpulan hukum (istinbath al-hukm). Selain sumber-sumber utama yang disepakati (Al-Qur'an, Sunnah, Ijma', dan Qiyas), terdapat pula sumber-sumber sekunder atau metode rasional yang kerap digunakan untuk menjawab permasalahan kontemporer yang tidak secara eksplisit diatur dalam teks wahyu. Salah satu metode paling penting dan paling banyak diperdebatkan adalah Istislah, atau dikenal juga dengan Maslahah Mursalah.

Istislah pada dasarnya merupakan prinsip yang membolehkan penetapan hukum berdasarkan pertimbangan kemaslahatan atau kepentingan publik, asalkan tidak bertentangan dengan dalil syar'i yang jelas. Prinsip ini menjadi jembatan vital antara idealisme teks dan realitas kehidupan sosial yang terus berubah. Ia adalah manifestasi dari fleksibilitas dan universalitas syariat Islam dalam mewujudkan tujuan utamanya, yaitu mencapai kebaikan dan menolak keburukan bagi umat manusia.

I. Definisi dan Kedudukan Istislah dalam Ushul Fiqh

Secara etimologis, kata Istislah berasal dari kata shalih (baik, benar, pantas) yang berarti mencari atau menganggap sesuatu itu baik. Dalam konteks terminologi hukum, Istislah adalah pengambilan keputusan hukum berdasarkan pertimbangan maslahah (kepentingan umum) yang tidak didukung atau ditolak secara eksplisit oleh teks (nash) Al-Qur'an maupun Sunnah, dan juga tidak diatur melalui Ijma' atau Qiyas.

1. Maslahah Mursalah vs. Istislah

Para ulama sering menggunakan istilah Istislah dan Maslahah Mursalah secara bergantian. Maslahah berarti kebaikan atau manfaat. Mursalah berarti terlepas atau bebas dari ikatan. Oleh karena itu, Maslahah Mursalah didefinisikan sebagai maslahah yang tidak diatur secara langsung oleh teks dan karenanya bersifat 'terlepas' dari dalil spesifik, sehingga memerlukan ijtihad untuk menetapkan hukumnya. Sementara Istislah adalah proses metodologis (aksi) yang dilakukan mujtahid untuk mengadopsi maslahah tersebut sebagai dasar hukum.

Kedudukan Istislah dalam Ushul Fiqh berada pada tataran dalil yang diperselisihkan. Mayoritas ulama mazhab Maliki dan sebagian besar Hanbali menerima Istislah sebagai dalil syar'i yang sah, bahkan Mazhab Maliki menjadikannya salah satu pilar utama metodologi mereka. Sebaliknya, mazhab Syafi'i dan Hanafi cenderung lebih berhati-hati, meskipun mereka memiliki konsep serupa seperti Istihsan (pengecualian hukum demi kepentingan tertentu) yang dalam beberapa kasus memiliki irisan fungsi dengan Istislah.

2. Tujuan Utama Syariat (Maqashid Syariah)

Istislah tidak dapat dipisahkan dari kerangka filosofis utama hukum Islam, yaitu Maqashid Syariah. Maqashid Syariah adalah tujuan-tujuan agung yang ingin dicapai oleh syariat. Menurut ulama klasik seperti Imam al-Ghazali dan Imam al-Shatibi, seluruh hukum Islam ditujukan untuk memelihara lima kebutuhan pokok (ad-dharuriyyat al-khams):

  1. Hifz ad-Din (Pemeliharaan Agama): Kewajiban beribadah, melindungi akidah.
  2. Hifz an-Nafs (Pemeliharaan Jiwa/Hidup): Larangan membunuh, kewajiban mencari nafkah.
  3. Hifz al-'Aql (Pemeliharaan Akal): Larangan minuman keras, kewajiban menuntut ilmu.
  4. Hifz an-Nasl (Pemeliharaan Keturunan/Garis Keluarga): Kewajiban menikah, larangan zina.
  5. Hifz al-Mal (Pemeliharaan Harta): Larangan mencuri, kewajiban akad yang sah.

Istislah berfungsi sebagai alat ijtihad untuk memastikan bahwa hukum-hukum baru yang ditetapkan selalu selaras dengan upaya pemeliharaan kelima Maqashid ini. Jika suatu tindakan atau kebijakan membawa manfaat nyata yang melindungi salah satu dari lima kebutuhan pokok tersebut, dan tidak ada dalil yang menolaknya, maka Istislah dapat digunakan untuk mengesahkan kebijakan tersebut.

II. Klasifikasi Maslahah Berdasarkan Tingkatan Kebutuhan

Untuk menghindari penggunaan Istislah yang sewenang-wenang dan subjektif, para ulama ushul fiqh, khususnya Imam al-Shatibi, membagi Maslahah ke dalam tiga tingkatan berdasarkan urgensinya dalam kehidupan manusia:

1. Maslahah Dharuriyyat (Kebutuhan Primer)

Ini adalah maslahah yang bersifat fundamental dan esensial. Kehilangan atau terganggunya maslahah ini akan menyebabkan kekacauan total dan kehancuran tatanan hidup manusia. Lima Maqashid Syariah (agama, jiwa, akal, keturunan, harta) berada pada tingkatan ini.

2. Maslahah Hajiyyat (Kebutuhan Sekunder)

Ini adalah maslahah yang bersifat melengkapi dan mempermudah. Jika maslahah ini hilang, kehidupan tidak hancur, tetapi menjadi sulit dan penuh kesempitan (haraj). Contohnya adalah keringanan (rukhshah) dalam ibadah, seperti shalat jamak atau qashar bagi musafir, yang bertujuan memudahkan umat Islam.

Dalam konteks muamalah, maslahah hajiyyat mencakup penetapan prosedur hukum yang lebih efisien, seperti adanya sistem notaris untuk mendokumentasikan transaksi bisnis. Adanya sistem peradilan yang terorganisir dengan baik juga termasuk hajiyyat; tanpanya, keadilan masih mungkin dicapai, tetapi prosesnya akan sangat memberatkan dan tidak terjamin.

3. Maslahah Tahsiniyyat (Kebutuhan Tersier/Penyempurna)

Ini adalah maslahah yang berfungsi sebagai perhiasan, penyempurna, dan pemanis kehidupan. Ia berkaitan dengan standar moral, etika, dan estetika yang tinggi (makarim al-akhlaq). Kehilangannya tidak menimbulkan kesulitan besar, tetapi mengurangi keindahan dan kesopanan hidup.

Contoh Tahsiniyyat adalah anjuran kebersihan diri (misalnya sikat gigi sebelum shalat), etika makan dan minum, serta aturan berpakaian sopan di tempat umum. Dalam hukum modern, ini dapat berupa kebijakan tata kota yang rapi, larangan membuang sampah sembarangan, atau peraturan yang menjamin keramahan layanan publik. Semua ini adalah penetapan hukum berdasarkan Istislah untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

III. Syarat-syarat Penggunaan Istislah (Shurut al-Istislah)

Karena Istislah melibatkan penggunaan akal dan pertimbangan publik yang berpotensi subjektif, para ulama menetapkan persyaratan ketat agar Istislah dapat diterima sebagai dalil syar'i. Persyaratan ini penting untuk membedakan Maslahah Mursalah yang sah dari keinginan pribadi (hawa nafsu) atau kepentingan jangka pendek.

1. Maslahah Harus Hakiki (Qat'iyyah)

Maslahah yang menjadi dasar hukum harus benar-benar nyata dan meyakinkan (qath'iyyah), bukan hanya dugaan (zanniyyah) atau imajinasi (wahmiyyah). Mujtahid harus yakin bahwa jika hukum ini diterapkan, manfaatnya akan lebih besar daripada mudharatnya. Maslahah ini harus bersifat umum dan dirasakan oleh masyarakat luas, bukan hanya sekelompok kecil individu.

2. Maslahah Harus Universal (Kulliyyah)

Maslahah yang dipertimbangkan harus bersifat menyeluruh dan ditujukan untuk kepentingan seluruh umat (kulliyyah), bukan kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Jika hukum ditetapkan hanya untuk menguntungkan satu pihak, maka ia tidak memenuhi syarat Istislah dan dapat dianggap sebagai penyalahgunaan kekuasaan.

3. Maslahah Tidak Boleh Bertentangan dengan Nash (Dalil Syar'i)

Ini adalah syarat terpenting. Istislah hanya berlaku di area yang kosong dari teks hukum yang jelas (nash qath'i). Jika Al-Qur'an atau Sunnah telah menetapkan hukum secara eksplisit (misalnya, larangan riba), Istislah tidak boleh digunakan untuk membatalkan hukum tersebut, meskipun dianggap membawa ‘manfaat’ ekonomi jangka pendek. Maslahah Mursalah harus berjalan seiring dengan tujuan umum syariat, bukan menentangnya.

4. Maslahah Harus Berada dalam Ranah Muamalah

Mayoritas ulama sepakat bahwa Istislah paling tepat diterapkan dalam urusan muamalah (interaksi sosial, ekonomi, politik) dan tata kelola negara. Dalam ranah ibadah murni (ibadah mahdhah), Istislah tidak dapat digunakan, karena ibadah bersifat tauqifiyah (harus mengikuti petunjuk yang ditetapkan secara eksplisit).

M N Ilustrasi timbangan keadilan (Mizan) melambangkan prinsip Istislah yang mencari keseimbangan antara teks hukum (N) dan kepentingan publik (M), memastikan Maslahah tidak bertentangan dengan Nash.

IV. Perbandingan Istislah dengan Metode Ijtihad Lain

Untuk memahami kekhasan Istislah, penting untuk membandingkannya dengan metode rasional lain yang juga berfokus pada pertimbangan kemaslahatan, yaitu Istihsan dan 'Urf.

1. Istislah vs. Istihsan (Prinsip Pengecualian)

Istihsan (diterima luas oleh Mazhab Hanafi) adalah perpindahan dari Qiyas yang jelas (Qiyas Jali) ke Qiyas yang lebih tersembunyi (Qiyas Khafi) atau pengecualian hukum demi mencapai keadilan atau kemaslahatan yang lebih baik dalam kasus tertentu. Perbedaannya terletak pada basisnya:

Meskipun berbeda secara definisi metodologis, dalam praktiknya, tujuan akhir keduanya seringkali sama: mencari kemaslahatan terbaik.

2. Istislah vs. Sadd adz-Dzari'ah (Mencegah Keburukan)

Sadd adz-Dzari'ah berarti menutup jalan menuju perbuatan buruk. Prinsip ini berfokus pada pencegahan (mafsadah). Contoh klasik adalah larangan menjual senjata kepada pihak yang diketahui akan menggunakannya untuk memberontak, meskipun menjual senjata pada dasarnya mubah (boleh). Istislah, di sisi lain, lebih berfokus pada penciptaan kebaikan (jalb al-maslahah).

Walaupun keduanya memiliki fokus berbeda (mencari manfaat vs. mencegah bahaya), keduanya merupakan bagian integral dari Maqashid Syariah. Hukum yang ditetapkan melalui Istislah seringkali harus melalui pertimbangan Sadd adz-Dzari'ah untuk memastikan bahwa maslahah yang diciptakan tidak membuka pintu menuju mafsadah yang lebih besar.

3. Istislah vs. 'Urf (Adat Kebiasaan)

’Urf adalah adat atau kebiasaan masyarakat yang dianggap baik dan tidak bertentangan dengan syariat. 'Urf seringkali menjadi salah satu pertimbangan dalam penerapan Istislah, terutama dalam Maslahah Tahsiniyyat. Namun, 'Urf itu sendiri adalah dalil independen yang mengatur praktik lokal, sedangkan Istislah adalah metodologi ijtihad yang lebih luas, dapat mencakup kebijakan global atau penetapan undang-undang yang melampaui kebiasaan lokal.

V. Sejarah dan Penerimaan Istislah oleh Mazhab Fiqh

Sejarah menunjukkan bahwa praktik Istislah, meskipun belum diformulasikan secara metodologis, telah dilakukan sejak masa sahabat. Namun, formalisasi dan penerimaannya berbeda-beda di kalangan mazhab-mazhab utama:

1. Mazhab Maliki: Arsitek Istislah

Imam Malik bin Anas (w. 179 H) adalah ulama yang paling vokal dan sering menggunakan Istislah (Maslahah Mursalah). Ia melihat Istislah sebagai refleksi langsung dari tujuan syariat (Maqashid). Bagi Imam Malik, jika suatu hukum atau kebijakan jelas-jelas mendatangkan kebaikan dan mencegah keburukan bagi umat, maka ia harus diterima, selama tidak ada nash yang melarang. Mazhab Maliki dikenal fleksibel dalam hukum muamalah karena reliance mereka yang kuat terhadap Istislah.

Contoh Historis Maliki: Pengumpulan Al-Qur'an menjadi satu mushaf pada masa Utsman bin Affan. Meskipun Nabi Muhammad SAW tidak pernah memerintahkan pengumpulan tersebut (sehingga tidak ada nash eksplisit), para sahabat melihat bahwa menjaga keaslian Al-Qur'an adalah maslahah dharuriyyah (pemeliharaan agama). Tindakan ini sepenuhnya didasarkan pada Istislah.

2. Mazhab Hanbali: Penerimaan Moderat

Mazhab Hanbali, didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), juga menerima Istislah, tetapi dengan batasan yang lebih ketat dibandingkan Mazhab Maliki. Imam Ahmad memprioritaskan nash, fatwa sahabat, dan ijma' lokal (Ijma' ahli Madinah). Istislah baru digunakan jika semua sumber primer telah habis dicari dan tidak ditemukan solusinya.

Namun, dalam praktiknya, penggunaan Istislah dalam Mazhab Hanbali sering beririsan dengan prinsip Sadd adz-Dzari'ah, karena Imam Ahmad sangat ketat dalam mencegah segala hal yang dapat menimbulkan mafsadah.

3. Mazhab Syafi'i: Penolakan Formal (Tapi Praktik Terselubung)

Imam Asy-Syafi'i (w. 204 H) secara eksplisit menolak Istislah sebagai dalil independen, karena beliau khawatir Istislah akan membuka pintu ijtihad yang terlalu subjektif dan berdasarkan hawa nafsu. Beliau berpendapat bahwa semua maslahah yang sah pasti sudah tercakup dalam kerangka Qiyas. Maslahah yang benar-benar mursalah (terlepas dari nash) dianggap tidak ada. Bagi Syafi'i, hukum harus selalu kembali kepada teks. Jika tidak ada nash spesifik, maka Qiyas (analogi) harus digunakan.

Meskipun demikian, para fuqaha Syafi'iyyah seringkali menggunakan konsep Maslahah Mulghaah (maslahah yang diabaikan) dan Maslahah Mu'tabarah (maslahah yang diakui oleh syariat), dan dalam beberapa kasus, mereka tetap mempertimbangkan kepentingan umum melalui analogi yang sangat luas, yang secara substansi mirip dengan Istislah.

4. Mazhab Hanafi: Fokus pada Istihsan

Mazhab Hanafi (didirikan oleh Imam Abu Hanifah, w. 150 H) juga menolak Istislah dengan alasan kekhawatiran yang sama dengan Syafi'i. Mereka memilih menggunakan Istihsan. Istihsan mereka memungkinkan pengecualian terhadap hukum yang berlaku umum demi mencapai keadilan dalam kasus partikular, namun mereka bersikeras bahwa pengecualian ini harus didukung oleh dalil (meskipun dalil itu bersifat tersembunyi).

VI. Penerapan Istislah dalam Isu Kontemporer

Di era modern, di mana kompleksitas kehidupan sosial, ekonomi, dan teknologi jauh melampaui masa klasik, Istislah menjadi metodologi yang semakin relevan. Para mujtahid kontemporer menggunakannya untuk merumuskan hukum (fiqh) baru yang relevan tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar syariat.

1. Istislah dalam Ekonomi dan Keuangan Syariah

Istislah sangat fundamental dalam pengembangan industri keuangan syariah. Konsep akad-akad modern seperti Sukuk (obligasi syariah) atau kontrak Murabahah yang kompleks sering kali memerlukan landasan Maslahah Mursalah, terutama ketika struktur kontrak tersebut tidak memiliki padanan persis di zaman Nabi SAW.

2. Istislah dan Hukum Tata Negara

Dalam bidang politik dan tata kelola negara, Istislah memainkan peran krusial, terutama dalam sistem yang tidak sepenuhnya teokratis:

3. Istislah dalam Isu Bioetika dan Kesehatan

Perkembangan teknologi medis menimbulkan banyak pertanyaan fiqh baru. Istislah menjadi alat utama untuk menjawabnya:

VII. Kritik dan Batasan Penggunaan Istislah

Meskipun Istislah diakui sebagai prinsip yang mempromosikan keadilan dan kemaslahatan, penggunaannya selalu menjadi titik perdebatan sengit di kalangan fuqaha. Kekhawatiran utama adalah subjektivitas dan potensi penyalahgunaan Istislah untuk melegitimasi kepentingan pribadi atau politik.

1. Kekhawatiran Subjektivitas

Para penentang Istislah, seperti Imam Asy-Syafi'i, berargumen bahwa penentuan maslahah sangat bergantung pada akal mujtahid. Apa yang dianggap maslahah oleh satu orang atau satu generasi bisa jadi dianggap mafsadah oleh yang lain. Jika Istislah tidak dibatasi, syariat akan kehilangan konsistensinya dan menjadi mainan hawa nafsu.

Oleh karena itu, persyaratan bahwa maslahah harus qath'iyyah (meyakinkan) dan kulliyyah (menyeluruh) ditekankan oleh para pendukung Istislah untuk meminimalkan risiko subjektivitas ini.

2. Konflik Antara Maslahah

Dalam banyak kasus, terdapat konflik antara maslahah yang berbeda. Misalnya, maslahah ekonomi (Hifz al-Mal) sering bertentangan dengan maslahah lingkungan (yang bisa dikategorikan dalam Tahsiniyyat atau bahkan Hifz an-Nafs secara luas). Mujtahid harus melakukan proses ta'arudh wa tarjih (penentuan prioritas) yang cermat, biasanya dengan mengutamakan Maslahah Dharuriyyat di atas Hajiyyat, dan Hajiyyat di atas Tahsiniyyat. Prioritas tertinggi selalu diberikan pada perlindungan agama dan jiwa.

3. Istislah yang Berlawanan dengan Maslahah yang Diakui (Maslahah Mulghaah)

Maslahah Mulghaah adalah maslahah yang secara akal terlihat baik, tetapi telah secara eksplisit ditolak atau dibatalkan oleh nash. Misalnya, penyitaan seluruh kekayaan seseorang untuk dibagikan kepada fakir miskin mungkin terlihat sebagai maslahah sosial (mengatasi kemiskinan), tetapi nash secara tegas melindungi kepemilikan individu (Hifz al-Mal). Dalam kasus ini, Istislah tidak dapat diterapkan karena Maslahah tersebut telah mulghaah (dibatalkan) oleh syariat.

VIII. Analisis Mendalam Lima Dharuriyyat Melalui Lensa Istislah

Untuk memahami kedalaman Istislah, perlu diuraikan bagaimana prinsip ini bekerja untuk memelihara setiap komponen Maqashid Syariah secara individual, yang sering kali memerlukan penetapan hukum yang tidak ada presedennya dalam teks.

1. Istislah dan Hifz ad-Din (Pemeliharaan Agama)

Istislah digunakan untuk memastikan bahwa ibadah dapat dilaksanakan dengan aman dan teratur, serta akidah umat terlindungi dari penyimpangan. Contoh penerapan Istislah di sini meliputi:

2. Istislah dan Hifz an-Nafs (Pemeliharaan Jiwa)

Kemaslahatan jiwa adalah prioritas tertinggi kedua. Istislah di bidang ini sangat ekstensif:

3. Istislah dan Hifz al-'Aql (Pemeliharaan Akal)

Prinsip ini berfokus pada perlindungan kemampuan kognitif dan intelektual manusia, yang sangat vital untuk memahami wahyu dan menjalankan tugas kekhalifahan:

4. Istislah dan Hifz an-Nasl (Pemeliharaan Keturunan)

Istislah di sini tidak hanya mencakup masalah pernikahan, tetapi juga perlindungan terhadap integritas keluarga dan komunitas:

5. Istislah dan Hifz al-Mal (Pemeliharaan Harta)

Di bidang ekonomi, Istislah memastikan harta diperoleh dan dikelola dengan adil:

IX. Kesimpulan: Istislah Sebagai Dinamisme Syariat

Istislah, sebagai metodologi ijtihad yang berlandaskan pada kemaslahatan umum, berfungsi sebagai katup pengaman (safety valve) dan mesin dinamika dalam hukum Islam. Prinsip ini memastikan bahwa syariat tidak hanya relevan untuk masa lalu, tetapi juga memiliki kemampuan untuk beradaptasi dan memberikan solusi bagi tantangan modern yang terus berkembang.

Kunci keberhasilan penerapan Istislah terletak pada disiplin metodologis yang ketat. Istislah harus selalu: (1) dilandasi oleh Maqashid Syariah, (2) tidak bertentangan dengan nash yang pasti, dan (3) berorientasi pada maslahah kulliyyah qath'iyyah (kepentingan umum yang meyakinkan). Ketika diterapkan dengan tanggung jawab, Istislah menjadi bukti nyata bahwa hukum Islam adalah hukum yang adil, universal, dan peduli terhadap kebaikan seluruh umat manusia, sejalan dengan tujuan pengutusannya Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi semesta alam (Rahmatan lil 'Alamin).

Diskusi mengenai Istislah akan terus berlanjut seiring dengan kompleksitas peradaban. Namun, warisan dari para ulama seperti Imam Malik dan Imam al-Shatibi memberikan fondasi yang kokoh bagi mujtahid masa kini untuk terus menyaring, menyesuaikan, dan menetapkan hukum demi mewujudkan kebaikan tertinggi bagi umat manusia di dunia dan akhirat.

Proses ijtihad melalui Istislah menegaskan kembali bahwa hukum Islam bukanlah kumpulan aturan statis yang kaku, melainkan sebuah kerangka hukum yang hidup dan berdenyut, mampu merespons kebutuhan zaman sambil tetap teguh pada nilai-nilai ketuhanan yang abadi. Inilah esensi dari Istislah: menjaga keseimbangan abadi antara tuntutan teks (nash) dan realitas kepentingan umat (maslahah).

Istislah adalah metodologi yang menuntut kedewasaan intelektual dan spiritual, mengharuskan mujtahid untuk memiliki pemahaman mendalam tidak hanya tentang teks-teks agama, tetapi juga tentang realitas sosial, ekonomi, dan politik di mana hukum tersebut akan diterapkan. Ia adalah seni menempatkan hukum Ilahi dalam konteks duniawi demi kebaikan yang universal.

X. Sifat Kontinuitas Istislah dalam Sejarah Fiqh

Meskipun istilah Istislah paling erat kaitannya dengan Mazhab Maliki, praktik mencari maslahah sejatinya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari seluruh sejarah fiqh Islam, bahkan oleh mazhab yang menolaknya secara formal. Ini menunjukkan bahwa konsep maslahah adalah nilai intrinsik dalam syariat. Sebagai contoh, pertimbangkan bagaimana para fuqaha merespons ekspansi wilayah Islam yang cepat. Masalah-masalah yang timbul—seperti administrasi wilayah baru, sistem irigasi skala besar, dan regulasi pasar internasional—semuanya membutuhkan penetapan hukum berdasarkan Istislah karena tidak tercakup dalam model masyarakat Madinah yang sederhana.

Kontinuitas ini dapat dilihat dari bagaimana ulama era Abbasiyah menerapkan Istislah untuk membangun sistem peradilan yang kompleks. Penetapan hakim-hakim khusus (seperti Qadhi al-Qudhat, Hakim Agung) dan pembentukan lembaga pengawas moral (Hisbah) adalah murni berdasarkan maslahah mursalah untuk memastikan tatanan sosial (Hifz ad-Din dan Hifz an-Nafs) tetap terjaga di tengah kemajemukan dan urbanisasi. Tanpa Istislah, struktur negara Islam tidak akan mampu mengelola imperium yang luas.

1. Kasus Penerapan Istislah Pra-Formulasi

Beberapa contoh keputusan hukum yang dilakukan oleh para Sahabat Nabi yang kini diklasifikasikan sebagai Istislah meliputi:

Keputusan-keputusan ini membuktikan bahwa akal yang tercerahkan oleh wahyu, yang bertujuan mencari kemaslahatan, selalu menjadi bagian integral dari pembentukan hukum Islam, bahkan sebelum para ulama metodologi secara eksplisit mendefinisikan dan membatasi Istislah.

XI. Istislah dan Fiqh Lingkungan (Fiqh al-Bi'ah)

Isu lingkungan hidup menjadi salah satu arena kontemporer di mana Istislah memiliki peran yang sangat mendesak. Fiqh Lingkungan seringkali harus dibangun di atas fondasi Maslahah Mursalah, karena kerusakan ekologis modern tidak memiliki padanan di masa klasik.

1. Kerangka Maqashid untuk Lingkungan

Meskipun kelestarian alam tidak masuk dalam lima dharuriyyat secara eksplisit, Istislah menghubungkannya dengan kelimanya secara kuat:

2. Fatwa Hijau Berbasis Istislah

Para ulama kontemporer menggunakan Istislah untuk mengeluarkan fatwa-fatwa "hijau," misalnya kewajiban pengelolaan limbah beracun, larangan penebangan hutan ilegal, dan sanksi yang lebih berat bagi pencemar lingkungan. Hukum ini didasarkan pada Istislah untuk mencegah mafsadah (kerusakan dharuriyyat jiwa dan harta) yang meluas. Jika tidak ada Istislah, tidak ada dasar hukum yang kuat untuk memerangi ancaman ekologis yang bersifat non-tradisional.

Istislah dalam konteks ini menekankan konsep khalifah (pemimpin/penjaga) di bumi, di mana manusia bertanggung jawab penuh atas keseimbangan alam (mizan). Hukum yang ditetapkan harus mencerminkan tanggung jawab ini, bahkan jika itu berarti membatasi keuntungan ekonomi jangka pendek (Hifz al-Mal) demi maslahah dharuriyyah jangka panjang (Hifz an-Nafs dan kelestarian sumber daya).

XII. Metodologi Konflik dan Prioritas Maslahah

Salah satu tantangan terbesar dalam Istislah adalah ketika dua maslahah atau lebih saling berkonflik. Metode untuk menyelesaikan konflik ini dikenal sebagai Muwazanah (penimbangan) atau Tarteeb al-Masalih (pengurutan maslahah). Prinsip-prinsip yang digunakan meliputi:

1. Prioritas Dharuriyyat atas Hajiyyat dan Tahsiniyyat

Dalam konflik, maslahah primer (dharuriyyat) harus selalu didahulukan. Contoh: Menyelamatkan nyawa seseorang (Hifz an-Nafs, dharuriyyat) harus didahulukan daripada melaksanakan ibadah sunnah yang sempurna (Tahsiniyyat).

2. Mengutamakan Kulliyyah atas Juz'iyyah

Maslahah yang bersifat umum (kulliyyah) harus diutamakan di atas maslahah partikular (juz'iyyah). Contoh: Penetapan pajak untuk infrastruktur kesehatan publik (maslahah kulliyyah) diutamakan daripada kepentingan individu yang tidak ingin hartanya berkurang (maslahah juz'iyyah).

3. Mengutamakan Qath'iyyah atas Zanniyyah

Maslahah yang pasti dan yakin hasilnya (qath'iyyah) diutamakan di atas maslahah yang hanya bersifat dugaan atau spekulatif (zanniyyah).

4. Konsep Mafsadah yang Lebih Kecil

Kadang kala, Istislah mengharuskan kita menerima mafsadah yang lebih kecil untuk mencegah mafsadah yang lebih besar. Prinsip ini sangat terkait dengan Sadd adz-Dzari'ah. Contoh: Penerimaan utang luar negeri dengan bunga rendah (mafsadah riba kecil) untuk menghindari kelaparan massal atau kehancuran negara (mafsadah dharuriyyah besar).

Namun, penerapan poin keempat ini sangat kontroversial dan hanya boleh digunakan dalam kondisi darurat (darurat) yang ekstrem, dan hanya setelah semua solusi halal lainnya telah gagal. Para ulama modern sangat berhati-hati dalam penggunaan prinsip ini agar tidak menjustifikasi praktik-praktik yang jelas-jelas dilarang (seperti riba) atas nama maslahah.

XIII. Istislah dan Proses Ijtihad Institusional

Di masa klasik, Istislah seringkali merupakan hasil ijtihad pribadi seorang mujtahid seperti Imam Malik. Di era kontemporer, Istislah bertransformasi menjadi proses ijtihad kolektif atau institusional melalui lembaga-lembaga fatwa (Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama, atau Akademi Fiqh Internasional).

Ijtihad institusional ini lebih ideal untuk menerapkan Istislah karena:

Misalnya, ketika merumuskan hukum tentang asuransi syariah (takaful), ijtihad institusional menggunakan Istislah untuk menciptakan struktur yang melindungi harta peserta dan mendistribusikan risiko (maslahah al-mal), sekaligus memastikan seluruh prosesnya bebas dari riba dan gharar, yang telah secara eksplisit dilarang oleh nash.

Istislah modern ini tidak lagi hanya berbicara tentang masalah air wudhu atau tata cara shalat, melainkan meluas ke isu-isu makro seperti stabilitas moneter, hak-hak pekerja migran, dan etika kecerdasan buatan (AI). Setiap penetapan hukum di bidang-bidang ini memerlukan analisis maslahah yang mendalam, membuktikan bahwa Istislah adalah dalil yang hidup dan relevan sepanjang masa, selama tujuan akhir dari syariat—kesejahteraan umat—tetap menjadi kompas utama.

Oleh karena itu, Istislah adalah lebih dari sekadar alat; ia adalah filosofi yang memungkinkan hukum Ilahi berfungsi sebagai panduan praktis dan efektif di tengah perubahan peradaban yang tak terhindarkan. Tanpa kemampuan untuk mengadopsi Maslahah Mursalah, hukum Islam akan kehilangan kemampuannya untuk berinteraksi dengan realitas, dan konsekuensinya, gagal mewujudkan tujuan kemaslahatan yang diamanahkan oleh Tuhan.

Prinsip Istislah adalah pengakuan bahwa syariat tidak bertujuan untuk menciptakan kesulitan, melainkan untuk memberikan kemudahan dan kebaikan. Ia adalah jalan tengah yang bijaksana antara literalitas teks yang kaku dan subjektivitas akal yang tanpa batas, menjadikannya salah satu warisan intelektual terbesar dalam metodologi hukum Islam.