Istislam: Kedalaman Makna Penyerahan Diri Total kepada Ilahi

I. Memahami Inti Istislam: Fondasi Kehidupan Spiritual

Istislam (استسلام) adalah salah satu konsep fundamental dalam teologi Islam, seringkali diterjemahkan sebagai 'penyerahan diri total' atau 'kepasrahan mutlak'. Istilah ini bukan sekadar sinonim pasif dari kata ‘Islam’—yang juga berarti penyerahan—melainkan merupakan puncak dari realisasi keimanan, sebuah kondisi hati (qalb) dan tindakan (amal) yang sempurna, di mana semua keinginan, ambisi, dan pilihan pribadi telah ditundukkan sepenuhnya di bawah kehendak Allah SWT. Istislam adalah esensi batiniah yang mengubah ritual menjadi makna, dan mengubah iman yang diucapkan menjadi gaya hidup yang dihayati secara utuh.

Istislam mewajibkan adanya pengakuan total terhadap Rububiyah (Ketuhanan), Uluhiyah (Hak Disembah), dan Asma wa Sifat (Nama dan Sifat) Allah. Ini adalah titik di mana seorang hamba bergerak melampaui sekadar kepatuhan fisik terhadap hukum (syariah) menuju kepasrahan emosional dan intelektual. Dalam konteks ini, Istislam menjadi pembeda antara Muslim yang sekadar menjalankan kewajiban formal dan Muslim yang mencapai ketenangan jiwa (sakinah) melalui penerimaan mutlak terhadap takdir (qada dan qadar).

1.1. Perbedaan Mendasar Istislam dan Islam Formal

Meskipun kata dasarnya sama (S-L-M), Istislam memiliki konotasi intensitas yang lebih dalam:

  1. Islam (Formal): Merujuk pada kepatuhan luar; pengucapan syahadat, pelaksanaan rukun Islam. Ini adalah pintu masuk.
  2. Istislam (Hakiki): Merujuk pada kepasrahan batiniah; konsistensi hati dalam menerima segala sesuatu yang datang dari Allah, baik nikmat maupun musibah, tanpa keberatan atau keluhan. Ini adalah kondisi internal yang stabil.
  3. Istislam (Implikasi): Mengandung makna pemutusan hubungan dengan segala bentuk penyerahan kepada selain Allah (tauhid al-bara’ah). Tidak ada lagi tuhan-tuhan kecil dalam bentuk hawa nafsu, harta, atau pujian manusia yang diizinkan mengintervensi hubungan dengan Sang Pencipta.

1.2. Kedudukan Istislam dalam Tiga Pilar Agama (Dīn)

Istislam adalah jembatan yang menghubungkan Islam, Iman, dan Ihsan, tiga tingkatan yang dijelaskan dalam Hadis Jibril. Jika Islam adalah tindakan (amal), dan Iman adalah keyakinan (i’tiqad), maka Istislam adalah realisasi spiritual yang memungkinkan Ihsan (beribadah seolah melihat-Nya).

Istislam memaksa seorang hamba untuk sepenuhnya melepaskan ego (an-nafs al-ammarah bis-su’) dan menerima otoritas mutlak Ilahi, sehingga amal (Islam) menjadi benar dan keyakinan (Iman) menjadi kokoh, yang pada akhirnya memunculkan kualitas kehadiran spiritual (Ihsan).

TAUHID Simbol Aliran dan Penyerahan Diri Ilustrasi: Aliran jiwa yang sepenuhnya tunduk dan mengalir menuju pusat keesaan Ilahi.

II. Istislam dalam Bingkai Tauhid Uluhiyah

Istislam tidak dapat dipisahkan dari konsep Tauhid (Keesaan Allah). Istislam adalah perwujudan praktis dari Tauhid Uluhiyah, yaitu pengakuan bahwa hanya Allah yang berhak disembah dan ditaati secara mutlak. Ketika Istislam dicapai, seorang hamba telah berhasil membersihkan dirinya dari syirik (penyekutuan) dalam segala bentuknya, baik syirik besar maupun syirik kecil, yang seringkali tersembunyi dalam niat dan motivasi.

2.1. Istislam dan Penolakan Hawa Nafsu

Hawa nafsu (keinginan pribadi) adalah penghalang utama Istislam. Ketika seseorang menjadikan keinginannya sendiri sebagai tuhan (sebagaimana firman Allah: "Tidakkah engkau lihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilah-nya?"), Istislam telah runtuh. Penyerahan diri sejati menuntut seorang hamba untuk mengutamakan perintah dan larangan Allah, bahkan ketika perintah itu bertentangan langsung dengan kenyamanan, kesenangan, atau kepentingan pribadinya.

Proses ini memerlukan perjuangan batin yang konstan (jihad an-nafs). Istislam mengajarkan bahwa kemerdekaan sejati bukan terletak pada kebebasan melakukan apa pun yang diinginkan, melainkan pada kebebasan dari ikatan nafsu dan makhluk, melalui perbudakan diri (ubudiyah) kepada Allah semata. Seorang yang ber-Istislam sepenuhnya tidak akan merasa terpaksa dalam ibadahnya, melainkan menemukan kelezatan (halawah) di dalamnya, karena ia sadar bahwa semua tindakannya selaras dengan kehendak Tuhannya.

2.2. Istislam terhadap Kitab dan Sunnah

Bagian krusial dari Istislam adalah penyerahan total terhadap otoritas syariat, sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW. Ini berarti menerima hukum dan ketetapan Ilahi tanpa protes intelektual, tanpa mencari celah untuk pembenaran diri, atau tanpa membanding-bandingkannya dengan standar hawa nafsu atau filosofi Barat yang kontemporer.

Imam Ahmad bin Hanbal pernah menjelaskan bahwa sikap Istislam adalah menerima dan tunduk sepenuhnya, bahkan jika akal rasional belum mampu menangkap hikmah di baliknya. Ini bukan berarti meniadakan akal, melainkan menempatkan akal sebagai alat untuk memahami wahyu, bukan sebagai hakim yang menguji keabsahan wahyu. Apabila terjadi konflik yang tampak antara akal dan nash (teks suci), seorang yang ber-Istislam akan memilih untuk merujuk kembali kepada pemahaman para pendahulu (Salafus Shalih) dan menyimpulkan bahwa keterbatasan akalnya yang belum mencapai pemahaman yang benar.

Poin-Poin Kepatuhan Syar'i:

  1. Tunduk pada Ketentuan Halal dan Haram: Menerima tanpa keraguan bahwa apa yang diharamkan mengandung bahaya, meskipun tampak menggiurkan.
  2. Penerimaan Hukum Keluarga dan Sosial: Menerima sistem warisan, pernikahan, dan muamalah (transaksi) sesuai syariah, meskipun terasa berat atau tidak sesuai dengan pandangan modern.
  3. Tidak Meminta Pembenaran Ilmiah: Menerima hukum ibadah (seperti jumlah rakaat atau tata cara haji) karena itu adalah perintah, bukan karena telah terbukti manfaat ilmiahnya. Manfaat adalah konsekuensi, bukan motivasi utama.

III. Manifestasi Istislam dalam Rukun Ibadah

Rukun Islam adalah lima tiang yang mewujudkan Istislam dalam kehidupan sehari-hari. Setiap rukun mewakili tindakan penyerahan yang spesifik, meruntuhkan penghalang ego dan kesombongan manusia.

3.1. Shalat: Penyerahan Fisik dan Jiwa

Shalat adalah ritual Istislam yang paling eksplisit. Mulai dari takbiratul ihram (pengagungan yang memutuskan hubungan dengan dunia), rukuk (membungkuk, melambangkan kerendahan), sujud (peletakan anggota tubuh paling mulia—dahi—di tempat yang paling rendah), hingga duduk di antara dua sujud (memohon ampunan). Shalat mewajibkan ritme harian yang tunduk pada jadwal Ilahi, bukan jadwal pribadi. Ini adalah penyerahan total atas waktu dan posisi tubuh.

Dalam shalat, Istislam terlihat dari:

3.2. Zakat: Penyerahan Harta dan Materialisme

Zakat adalah Istislam dalam dimensi ekonomi dan sosial. Ia mengajarkan bahwa kepemilikan sejati bukanlah milik manusia, melainkan amanah dari Allah. Dengan mengeluarkan sebagian kecil harta (yang seringkali terasa berat bagi jiwa yang kikir), seorang Muslim menyerahkan ego materialisnya dan mengakui bahwa rezeki berasal dari sumber tunggal.

Istislam dalam Zakat bukan hanya tentang perhitungan 2.5%, tetapi juga tentang keikhlasan dalam pemberian. Jika seseorang memberikan zakat karena takut hukuman atau berharap pujian, Istislamnya cacat. Istislam yang sempurna membuat seseorang merasa lega dan berterima kasih karena telah diizinkan membersihkan hartanya.

3.3. Shaum (Puasa): Penyerahan Kebutuhan Dasar

Puasa Ramadhan adalah latihan Istislam intensif. Seorang hamba menyerahkan kebutuhan dasarnya (makan, minum, dan hubungan intim) pada waktu-waktu yang ditentukan, semata-mata karena perintah. Tidak ada pemeriksaan eksternal; penyerahan ini sepenuhnya bersifat internal dan vertikal. Puasa mengajari jiwa untuk menahan diri dari hal-hal yang dihalalkan, sebagai persiapan untuk menahan diri dari hal-hal yang diharamkan di luar Ramadhan.

Ini adalah pengorbanan yang mengajarkan kendali diri, yang merupakan prasyarat mutlak untuk Istislam. Jika seseorang tidak bisa mengendalikan lidah, perut, dan matanya selama puasa, bagaimana ia bisa mengendalikan hatinya dalam menghadapi ujian besar?

3.4. Haji: Penyerahan Totalitas (Fisik, Finansial, Waktu)

Haji adalah Istislam dalam bentuknya yang paling ekstrem. Ritus haji adalah serangkaian tindakan yang tampaknya tidak logis jika dinilai berdasarkan akal semata (misalnya, melempar jumrah, berlari antara Safa dan Marwa). Haji adalah simulasi total kepasrahan Nabi Ibrahim AS.

Istislam dalam Haji terlihat jelas melalui:

IV. Istislam dalam Dimensi Batin: Rida, Tawakkul, dan Sabar

Istislam tidak hanya terlihat dalam ritual, tetapi juga dalam etika (akhlak) dan sikap batin. Tiga pilar akhlak Istislamiah adalah Rida (Penerimaan), Tawakkul (Ketergantungan), dan Sabar (Ketahanan).

4.1. Rida (Penerimaan): Keindahan Takdir

Rida adalah puncak dari Istislam batin. Ini adalah kondisi di mana hati merasa puas dan tenang dengan segala ketetapan Allah, baik yang manis maupun yang pahit. Rida melampaui sabar; sabar adalah menahan diri dari mengeluh, sedangkan rida adalah mencintai apa yang Allah tetapkan.

Seorang yang mencapai rida tidak akan mempertanyakan takdir, bahkan dalam musibah terbesar. Ia menyadari bahwa di balik setiap ketetapan pasti ada hikmah yang sempurna, meskipun akalnya tidak dapat menjangkaunya. Ini adalah penyerahan kehendak pribadi kepada kehendak Ilahi. Rida adalah tanda Istislam yang telah berakar kuat di dalam jiwa, menghasilkan ketenangan abadi (an-nafs al-muthmainnah).

4.2. Tawakkul (Ketergantungan): Melepaskan Kekuatan Diri

Tawakkul berarti menyandarkan segala urusan dan hasil hanya kepada Allah, setelah melakukan upaya maksimal (ikhtiar). Istislam dalam Tawakkul berarti seorang hamba telah melepaskan ilusi bahwa ia memiliki kendali mutlak atas hasil. Ia melakukan yang terbaik, namun menyerahkan nasibnya sepenuhnya pada Allah.

Tawakkul bukan pasif. Ia adalah penyerahan aktif. Misalnya, seorang petani yang menanam benih, merawatnya, menyiraminya (ikhtiar), tetapi menyerahkan hasil panennya pada kondisi cuaca dan ketetapan Ilahi (tawakkul). Jika panen gagal, Istislam-nya menerima tanpa menyalahkan diri sendiri atau takdir. Jika berhasil, ia bersyukur tanpa menyombongkan keahliannya.

Langkah-Langkah Implementasi Tawakkul yang Berdasarkan Istislam:

  1. Perencanaan Maksimal (Ikhtiar): Menggunakan semua sumber daya dan akal yang diberikan Allah.
  2. Penetapan Niat Murni: Memastikan motivasi tindakan adalah mencari rida Allah, bukan pujian manusia.
  3. Pelepasan Kontrol Hasil: Setelah usaha dilakukan, hati melepaskan kekhawatiran dan ketakutan akan kegagalan.
  4. Penerimaan Konsekuensi: Apapun hasilnya, dianggap sebagai kebaikan dan pelajaran dari Allah (Rida).

4.3. Sabar: Tahan Uji Penyerahan Diri

Sabar adalah mekanisme pertahanan utama Istislam. Sabar terbagi dalam tiga jenis, dan semuanya menuntut penyerahan diri:

Semua bentuk sabar ini adalah bukti bahwa hamba memilih kehendak Allah di atas kehendaknya sendiri.

***

4.4. Istislam dan Rasa Aman (Amn)

Korelasi antara Istislam dan ketenangan jiwa sangat erat. Ketika seorang hamba sepenuhnya menyerahkan diri, ia mencapai kondisi rasa aman (amn) yang sejati, karena ia tahu bahwa segala urusannya berada dalam genggaman Yang Maha Kuasa, Yang Maha Bijaksana, dan Yang Maha Penyayang. Rasa takut (khauf) terhadap masa depan, kegagalan, atau kehilangan berkurang drastis, karena Istislam telah menyingkirkan anggapan bahwa makhluk lain memiliki kekuatan untuk memberi manfaat atau mudarat tanpa izin Allah.

Istislam adalah penghapusan semua bentuk perbudakan kepada makhluk—perbudakan terhadap kekhawatiran finansial, perbudakan terhadap pandangan masyarakat, atau perbudakan terhadap kebutuhan untuk selalu berhasil. Dalam penyerahan diri kepada Allah, terdapat kemerdekaan tertinggi.

V. Istislam dalam Konteks Kehidupan Kontemporer

Di era modern, di mana otonomi individu dan penentuan nasib sendiri diagung-agungkan, konsep Istislam seringkali disalahpahami sebagai kepasrahan yang pasif dan menolak kemajuan. Padahal, Istislam yang hakiki adalah sumber kekuatan dan efektivitas, bukan kelemahan.

5.1. Istislam Melawan Eksistensialisme

Filosofi modern, khususnya eksistensialisme, menempatkan manusia sebagai pencipta makna dan penentu moralitasnya sendiri. Istislam berdiri berlawanan. Istislam menyatakan bahwa makna hidup dan moralitas telah ditetapkan oleh Sang Pencipta. Penyerahan diri sejati membebaskan manusia dari beban yang tak tertahankan untuk menciptakan makna dan kebenaran yang terus berubah.

Seorang Muslim yang ber-Istislam tidak menghabiskan energinya untuk mencari-cari tujuan hidup, karena tujuan itu sudah jelas: beribadah kepada Allah. Energi tersebut dialihkan untuk mencapai tujuan tersebut dengan kualitas terbaik (Ihsan).

5.2. Istislam dan Profesionalitas Kerja

Dalam dunia kerja, Istislam berarti melakukan pekerjaan (apapun bidangnya) dengan integritas, kejujuran, dan keunggulan (itqan), karena pekerjaan itu dilihat sebagai bagian dari ibadah dan amanah. Ketika hasil tidak sesuai harapan, Istislam mencegah stres, depresi, atau keputusasaan. Kegagalan dipandang sebagai bagian dari Qada, yang harus dipelajari hikmahnya, bukan sebagai akhir dari segalanya.

Ini memunculkan etos kerja yang tenang, fokus, dan bebas dari ambisi yang destruktif. Bekerja keras adalah Istislam; hasilnya adalah Tawakkul.

***

5.3. Istislam dalam Hubungan Sosial (Muamalah)

Istislam mengharuskan seorang Muslim menyerahkan ego dalam interaksi sosial. Ini mencakup:

  1. Menjaga Lisan: Menyerahkan keinginan untuk membalas dendam, berghibah, atau merendahkan orang lain, karena takut melanggar batasan Ilahi.
  2. Keadilan Mutlak: Bersikap adil, bahkan terhadap orang yang dibenci, karena Istislam menuntut kepatuhan kepada standar keadilan Allah.
  3. Pemaafan: Menyerahkan hak pribadi untuk menuntut balasan atau dendam, memilih untuk memaafkan demi rida Allah. Ini adalah manifestasi tertinggi dari penaklukan diri.

VI. Teladan Istislam Para Nabi: Studi Kasus Ibrahim AS

Kisah Nabi Ibrahim (Abraham) AS adalah puncak dari Istislam. Al-Qur'an secara spesifik menyebut beliau sebagai ‘Hanif’ (yang lurus) dan ‘Muslim’ (yang berserah diri). Kehidupan Ibrahim dipenuhi dengan ujian yang menuntut penyerahan total, baik secara fisik, emosional, maupun finansial.

6.1. Istislam dalam Pembangkangan Sosial

Ibrahim menghadapi kaumnya yang menyembah berhala dan bintang. Istislam-nya adalah menolak tradisi leluhur dan otoritas sosial, demi mempertahankan Tauhid. Ini membutuhkan keberanian yang luar biasa, menunjukkan bahwa Istislam bukanlah penyerahan pada masyarakat, melainkan hanya kepada Allah.

6.2. Ujian Pembakaran dan Hijrah

Ketika Ibrahim dilemparkan ke dalam api, penyerahan dirinya diungkapkan dalam ucapan, "Hasbunallahu wa ni'mal Wakil" (Cukuplah Allah bagiku, dan Dia adalah sebaik-baik Pelindung). Ini adalah Tawakkul yang lahir dari Istislam sempurna. Ia menyerahkan tubuhnya, dan Allah menyelamatkannya.

Kemudian, perintah hijrah ke tanah asing dan tandus juga menuntut Istislam mutlak, meninggalkan kenyamanan dan keamanan tanah airnya, hanya atas dasar perintah yang tidak terlihat logis.

6.3. Perintah Mengorbankan Anak (Ismail)

Perintah menyembelih putra satu-satunya, Ismail, adalah ujian Istislam yang paling berat. Perintah tersebut menantang naluri kebapaan, cinta, dan harapan masa depan. Istislam Ibrahim terbukti ketika ia siap mematuhi, dan Istislam Ismail terbukti ketika ia dengan tenang menjawab: "Wahai ayahku, laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar."

Peristiwa ini mengajarkan bahwa Istislam yang sempurna harus siap mengorbankan apa pun yang paling dicintai—harta, kedudukan, atau bahkan anak—ketika berhadapan dengan perintah Ilahi. Ini adalah inti dari kepasrahan total.

6.4. Istislam Sang Penutup Nabi (Muhammad SAW)

Nabi Muhammad SAW juga mewujudkan Istislam dalam seluruh kehidupannya, terutama dalam menghadapi kekejaman di Makkah, ujian hijrah, dan peperangan. Setiap keputusannya, baik dalam hal strategi militer, pembagian harta, maupun hukum personal, didasarkan pada penyerahan diri total kepada wahyu. Ketika beliau dihadapkan pada pilihan, beliau selalu menunggu keputusan Allah, menunjukkan bahwa kepemimpinan beliau adalah kepemimpinan yang ber-Istislam sempurna.

VII. Kedalaman Makna Istislam: Eksplorasi Filosofis dan Spiritual

Untuk mencapai pemahaman Istislam yang komprehensif, kita perlu membedah lapisan-lapisan spiritual yang mendasarinya. Istislam bukan hanya penyerahan kehendak, tetapi juga penyerahan wawasan, pengetahuan, dan bahkan identitas diri kepada Realitas Tertinggi.

7.1. Penyerahan Wawasan Intelektual (Istislam Al-Aql)

Salah satu hambatan terbesar Istislam di era modern adalah arogansi intelektual. Manusia cenderung hanya menerima kebenaran yang dapat diverifikasi oleh panca indra atau dibuktikan secara empiris. Istislam Al-Aql menuntut agar akal menerima keterbatasannya dalam memahami perkara ghaib (metafisik) dan hakikat Ilahi.

Sebagai contoh, akal mungkin kesulitan memahami hakikat Surga, Neraka, atau bagaimana Allah beristiwa di atas Arasy. Istislam mengharuskan kita menerima informasi tersebut sebagaimana adanya dalam nash, tanpa melakukan takwil (interpretasi berlebihan) yang didasarkan pada spekulasi akal. Penyerahan ini membebaskan akal dari beban untuk memahami hal yang memang berada di luar kapasitasnya, dan mengalihkan fokusnya pada pemahaman hukum-hukum Allah yang dapat diterapkan dalam kehidupan.

Tiga Tahap Istislam Intelektual:

  1. Pengakuan Keterbatasan: Mengetahui bahwa ilmu manusia hanyalah setetes dibandingkan ilmu Allah.
  2. Validasi Wahyu: Menganggap Wahyu (Al-Qur'an dan Sunnah) sebagai sumber kebenaran tertinggi yang tidak dapat diganggu gugat, bahkan jika bertentangan dengan sains atau filsafat yang sedang populer.
  3. Pencarian Hikmah: Setelah menerima hukum, akal digunakan untuk mencari hikmah (kebijaksanaan) di baliknya, bukan untuk mencari pembenaran atas keraguan.

Jika Istislam Al-Aql ini tidak tercapai, maka akan muncul bid’ah atau penyimpangan, di mana manusia menggunakan akalnya untuk memodifikasi atau menolak hukum agama agar sesuai dengan selera atau kondisi sosial mereka.

7.2. Istislam dan Konsep Kedaulatan Mutlak (Sovereignty)

Istislam adalah pengakuan terhadap kedaulatan mutlak Allah (Hakimiyyah). Kedaulatan ini mencakup segala sesuatu: penciptaan, pengurusan, dan legislasi. Istislam berarti mengakui bahwa:

Penolakan terhadap Istislam kedaulatan ini dapat berujung pada anggapan bahwa manusia, atau badan legislatif buatan manusia, memiliki hak yang setara atau lebih tinggi untuk membuat hukum yang mengatur kehidupan. Istislam menolak relativitas hukum dan moralitas; ia menegaskan bahwa hukum Allah adalah universal dan abadi.

***

7.3. Konsep Al-Fana' fi Istislam: Melebur dalam Penyerahan

Meskipun konsep Sufi tentang Al-Fana' (peleburan diri) memiliki interpretasi yang beragam, dalam konteks Istislam, ia dapat dipahami sebagai Al-Fana' fi Istislam—hilangnya ego dan kehendak pribadi ke dalam kesadaran penyerahan yang total. Ini bukan peleburan esensi (zat), tetapi peleburan keinginan (iradah).

Pada tingkat ini, hamba tidak lagi merasa ada 'jarak' antara dirinya dan perintah Tuhan. Perintah Allah menjadi perintah yang ia inginkan secara intrinsik, bukan karena terpaksa. Segala tindakan, diam, ucapan, dan bahkan napasnya menjadi ibadah, karena semuanya ditarik oleh daya tarik Istislam yang sempurna. Kekuatan spiritual yang dihasilkan dari tingkat Istislam ini adalah kemampuan untuk bertindak secara efektif di dunia tanpa terikat oleh dunia. Ia bekerja keras tetapi hatinya bergantung pada Yang Memberi rezeki, bukan pada pekerjaannya.

VIII. Menghadapi Hambatan Istislam dan Pengujian Hati

Mencapai Istislam sejati adalah perjalanan spiritual yang panjang dan penuh rintangan. Hati manusia cenderung mudah tergoda untuk kembali kepada egonya dan menolak penyerahan diri.

8.1. Al-Jaza' (Kekhawatiran Berlebihan)

Al-Jaza' adalah kebalikan dari Sabar dan Rida. Ini adalah kondisi di mana hati panik dan gelisah ketika menghadapi musibah atau kehilangan. Kekhawatiran berlebihan muncul karena kurangnya keyakinan terhadap hikmah di balik Qada dan Qadar. Seorang yang ber-Istislam sempurna akan menyadari bahwa Allah adalah Al-Hakim (Yang Maha Bijaksana) dan Al-Adl (Yang Maha Adil), sehingga segala yang terjadi pasti baik, meskipun terasa menyakitkan.

Untuk mengatasi Al-Jaza', hamba harus kembali kepada Tawhid, mengingat bahwa Allah telah menjamin rezeki dan perlindungan bagi orang-orang yang bertawakkal. Istislam mengajarkan bahwa hilangnya sesuatu di dunia ini adalah hal yang wajar, karena segala sesuatu hanyalah pinjaman.

8.2. Al-Ujb dan Al-Riya' (Sombong dan Pamer)

Setelah berhasil melakukan ketaatan, godaan Istislam selanjutnya adalah kesombongan (Ujb) atau pamer (Riya'). Ujb adalah pengagungan diri atas ketaatan yang dilakukan, sementara Riya' adalah melakukan ketaatan agar dipuji makhluk.

Kedua sifat ini menghancurkan Istislam. Penyerahan diri sejati harus menyertakan penyerahan amal itu sendiri. Seorang hamba harus merasa bahwa ia beribadah hanya karena rahmat dan pertolongan Allah, sehingga tidak ada alasan baginya untuk sombong. Jika ia merasa amalnya hebat, ia telah menarik kembali penyerahannya dan mengambil kembali pujian untuk dirinya sendiri.

8.3. Syubhat dan Syahawat (Keraguan dan Hawa Nafsu)

Tantangan yang paling fundamental terhadap Istislam adalah serangan ganda Syubhat (keraguan intelektual) dan Syahawat (godaan fisik/hawa nafsu).

Perjuangan melawan Syubhat memerlukan ilmu yang mendalam, sementara perjuangan melawan Syahawat memerlukan disiplin diri yang tinggi dan doa terus menerus. Istislam adalah perisai yang kokoh melawan keduanya, karena ia menempatkan "Dengar dan Taat" di atas "Pikir dan Protes".

IX. Fadhilah (Keutamaan) Spiritual dari Istislam Sempurna

Hasil akhir dari Istislam yang murni adalah berbagai keutamaan spiritual dan duniawi yang dijanjikan Allah. Keutamaan ini mencerminkan perdamaian yang diperoleh melalui penyerahan diri.

9.1. Ketenangan Hati (Sakinah)

Istislam adalah jalan menuju An-Nafs Al-Muthmainnah (Jiwa yang Tenang). Ketika jiwa telah sepenuhnya menyerah kepada Penciptanya, ia tidak lagi dicabik-cabik oleh kecemasan duniawi. Kekayaan dan kemiskinan, pujian dan celaan, kesehatan dan penyakit, semua dipandang sebagai bagian dari skenario Ilahi yang harus diterima dengan lapang dada. Ketenangan ini lebih berharga daripada semua harta benda dunia.

9.2. Ma'iyyah (Kedekatan Ilahi)

Ketika seorang hamba menyerahkan dirinya secara total, Allah menjanjikan kedekatan khusus. Dalam Hadis Qudsi, Allah berfirman: “Apabila hamba-Ku mendekati-Ku satu jengkal, Aku mendekatinya satu hasta...” Kedekatan ini memberikan perlindungan, bimbingan, dan keberanian spiritual yang melampaui kemampuan manusia biasa. Orang yang ber-Istislam merasa Allah selalu menyertainya.

9.3. Keberkahan dan Ketersediaan Rezeki

Istislam, melalui Tawakkul yang jujur, adalah kunci keberkahan. Ketika hati benar-benar yakin bahwa rezeki datang dari Allah, ia tidak akan mengejar dunia dengan cara yang haram atau gelisah karena kekurangan. Allah menjamin rezeki bagi mereka yang bertawakkul, sebagaimana burung yang keluar di pagi hari dalam keadaan perut kosong dan kembali di sore hari dalam keadaan kenyang.

Ini bukan berarti rezeki turun dari langit tanpa usaha, melainkan bahwa usaha yang dilakukan oleh hati yang ber-Istislam akan diberkahi dan mencukupi, terlepas dari besar kecilnya hasil materi yang didapat.

***

9.4. Warisan Nabi: Hidup Sempurna dan Wafat dalam Istislam

Tujuan akhir Istislam adalah memastikan seorang hamba wafat dalam kondisi penyerahan diri yang sempurna (khusnul khatimah). Ketika ajal menjemput, tidak ada penyesalan atau ketakutan, karena ia telah menghabiskan hidupnya untuk melaksanakan kehendak Ilahi.

Istislam yang konsisten sepanjang hidup adalah persiapan terbaik untuk menghadapi kematian. Doa yang diajarkan Rasulullah SAW, memohon agar diwafatkan dalam keadaan Muslim (berserah diri), menunjukkan bahwa Istislam adalah kualitas terakhir yang dicari seorang Mukmin sebelum bertemu Tuhannya.

Refleksi dan Praktik Istislam Harian:

  1. Pengecekan Niat (Muhasabah): Setiap pagi, niatkan semua aktivitas untuk rida Allah (Istislam Iradah).
  2. Penerimaan Musibah Kecil: Latih Rida dengan menerima kemacetan, penundaan, atau kritik sebagai bagian dari Qada.
  3. Penguatan Tawakkul: Setelah melakukan usaha, secara sadar lepaskan kekhawatiran hasilnya dan serahkan kepada Allah.
  4. Studi Syariah: Terus belajar hukum-hukum Allah untuk memastikan Istislam Al-Aql berada di atas hawa nafsu dan tradisi.

X. Kesimpulan: Jalan Menuju Istislam Al-Kamil

Istislam adalah konsep yang kaya dan kompleks, melampaui sekadar ketaatan ritual. Ia adalah kondisi batin, sebuah filosofi hidup, dan tujuan tertinggi bagi setiap Muslim. Istislam adalah totalitas penyerahan diri: penyerahan fisik melalui amal ibadah, penyerahan harta melalui zakat dan infaq, penyerahan kehendak melalui sabar dan rida, serta penyerahan akal melalui penerimaan otoritas mutlak Wahyu.

Istislam Al-Kamil (Penyerahan Diri yang Sempurna) tidak dicapai dalam satu malam, melainkan melalui proses yang berkelanjutan, di mana hati terus-menerus disucikan dari ego (ujub) dan ketergantungan pada selain Allah (syirik khafi). Istislam membebaskan manusia dari perbudakan makhluk dan menjadikannya hamba Allah yang sejati, dan dalam perbudakan inilah letak kemerdekaan dan kedamaian yang sesungguhnya.

Ketika seorang hamba mampu mengucapkan 'Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji'ūn' (Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kami kembali) bukan hanya saat musibah, melainkan sebagai mantra harian yang mendefinisikan keberadaannya, maka ia telah mencapai Istislam yang sempurna. Ia telah kembali kepada fitrahnya: sebagai makhluk yang diciptakan untuk tunduk, dan dalam ketundukan itu, ia menemukan makna hidup yang hakiki dan abadi.

“Katakanlah (Muhammad): Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya.” (Al-An'am: 162-163). Ayat ini adalah deklarasi Istislam yang paling agung.