Dalam ilmu tanah atau pedologi, pembentukan profil tanah biasanya didominasi oleh faktor iklim regional, menghasilkan apa yang dikenal sebagai tanah zonal. Namun, terdapat kategori tanah yang perkembangannya justru didominasi oleh faktor-faktor lokal spesifik seperti batuan induk, topografi, atau kondisi drainase ekstrem. Kategori unik ini dikenal sebagai tanah intrazonal.
Tanah intrazonal mewakili anomali pedologis, di mana kekuatan lingkungan setempat sedemikian kuat sehingga mampu menekan atau memodifikasi efek homogenisasi dari iklim makro. Memahami pembentukan dan karakteristik tanah intrazonal sangat penting, tidak hanya untuk klasifikasi ilmiah tetapi juga untuk pengelolaan sumber daya lahan dan aplikasi pertanian yang berkelanjutan, terutama di wilayah dengan keragaman geologis dan hidrologis yang tinggi.
Sistem klasifikasi tanah tradisional, seperti sistem Dudal dan pendekatan lama Amerika Serikat, mengelompokkan tanah berdasarkan tiga kategori besar yang mencerminkan tingkat dominasi faktor pembentuknya: Zonal, Intrazonal, dan Azonal.
Tanah Zonal adalah tanah matang yang karakteristiknya mencerminkan iklim dan vegetasi regional. Contoh klasik termasuk Podzol di iklim dingin lembab atau Latosol (Oxisol) di iklim tropis lembab. Proses pembentukan tanah (pedogenesis) telah berjalan cukup lama, mencapai kesetimbangan dengan lingkungan makro.
Sebaliknya, tanah Azonal adalah tanah muda yang belum sempat dipengaruhi secara signifikan oleh iklim atau vegetasi. Batuan induk masih mendominasi profil, dan proses pedogenesis baru dimulai. Contohnya adalah Entisol (tanah aluvial baru) atau Regosol (tanah yang berasal dari endapan gunung berapi baru).
Tanah Intrazonal berada di tengah. Tanah ini cukup matang, telah mengalami perkembangan horizon yang signifikan, namun proses pembentukannya dikendalikan oleh faktor lokal yang kuat dan menekan. Faktor pengendali ini tidak umum di seluruh zona iklim tersebut, menjadikannya unik pada lokasi spesifiknya. Fokus utama dalam intrazonalitas adalah dominasi batuan induk (calcimorphic, gypsum), kondisi drainase (hydromorphic), atau akumulasi garam (halomorphic).
Pembentukan intrazonal seringkali melibatkan proses akumulasi atau modifikasi yang sangat intensif, seringkali didorong oleh kondisi fisik atau kimia yang ekstrem:
Gambar 1: Skema konseptual posisi tanah Zonal, Intrazonal, dan Azonal dalam sistem klasifikasi pedologi.
Klasifikasi intrazonal secara tradisional dibagi menjadi tiga sub-kelompok utama, masing-masing merefleksikan proses pedogenik yang dominan dan faktor lingkungan ekstrem yang mengendalikannya.
Tanah hidromorfik terbentuk di bawah kondisi kejenuhan air (hidromorfisme) yang berkepanjangan. Kondisi ini biasanya terjadi di dataran rendah, cekungan, atau wilayah dengan air tanah dangkal dan drainase yang sangat buruk. Saturasi air menciptakan lingkungan anaerobik (rendah oksigen), yang memicu serangkaian proses kimiawi yang unik, terutama Gleyisasi.
Gleyisasi adalah proses kunci. Dalam kondisi jenuh air dan anaerobik, mikroorganisme menggunakan oksida besi (Fe³⁺, berwarna merah/coklat) sebagai penerima elektron. Proses reduksi ini mengubah Fe³⁺ menjadi ion ferro (Fe²⁺) yang lebih larut dan bergerak. Hilangnya Fe³⁺ menyebabkan tanah kehilangan warna merahnya dan berubah menjadi abu-abu kebiruan atau kehijauan (warna gley yang khas).
Namun, fluktuasi air tanah dapat menyebabkan oksidasi parsial. Di sepanjang retakan atau pori-pori yang sesekali terpapar oksigen, Fe²⁺ dioksidasi kembali menjadi Fe³⁺, membentuk bercak-bercak (mottles) berwarna karat (merah atau kuning kecoklatan) dalam matriks abu-abu. Profil hidromorfik yang klasik adalah tanah dengan horizon gley (G) di bawah permukaan yang ditandai oleh bercak karat yang intensif.
Dalam sistem Soil Taxonomy modern (USDA), tanah hidromorfik sebagian besar termasuk dalam Ordo Aquic (misalnya, Aquents, Aquolls, dan Gleysols dalam WRB). Tanah ini menghadapi tantangan besar dalam pertanian karena terbatasnya aerasi dan tingginya risiko toksisitas besi atau mangan bagi tanaman.
Tanah kalsimorfik terbentuk di wilayah di mana batuan induknya sangat kaya akan kalsium karbonat (CaCO₃) atau mineral karbonat lainnya. Meskipun jenis tanah ini dapat ditemukan di berbagai zona iklim, dominasi total batuan induk dalam menentukan sifat profil menjadikannya intrazonal.
Di daerah yang relatif kering atau semi-kering, kalsium karbonat cenderung dilarutkan di permukaan oleh air hujan dan kemudian diendapkan kembali di kedalaman tertentu saat air menguap atau dihisap oleh tanaman. Proses ini menghasilkan horizon kalsik (Bk) atau bahkan lapisan keras yang disebut petrocalcic horizon (K horizon atau caliche).
Dua jenis utama tanah kalsimorfik yang paling terkenal adalah:
Kandungan CaCO₃ yang tinggi memberikan beberapa sifat khas:
Tanah halomorfik terbentuk melalui akumulasi garam terlarut (terutama NaCl, tetapi juga sulfat dan karbonat) dalam konsentrasi yang toksik bagi sebagian besar tanaman. Pembentukan ini sangat umum di daerah pesisir yang dipengaruhi pasang surut, daerah endapan tertutup (playa) di gurun, atau wilayah dengan drainase yang sangat buruk di iklim semi-kering.
Tanah halomorfik dibagi menjadi dua kategori utama berdasarkan sifat kimia dan proses yang terjadi:
A. Solonchak (Saline Soils): Tanah Salin ditandai dengan konsentrasi garam terlarut yang sangat tinggi di zona perakaran, diukur melalui Konduktivitas Elektrik (KE) yang melebihi 4 dS/m (DeciSiemens per meter). Garam-garam ini mencegah penyerapan air oleh tanaman (stres osmotik), meskipun tanah mungkin terlihat lembab. Proses pembentukannya adalah salinisasi – pergerakan garam ke permukaan melalui kapilaritas dan pengendapan akibat penguapan.
B. Solonetz (Sodic Soils): Tanah Sodik ditandai oleh tingkat Natrium (Na⁺) yang tinggi pada kompleks pertukaran kation, diukur sebagai Persentase Natrium Tertukar (PNT) yang tinggi (biasanya >15%). Natrium menyebabkan dispersi partikel lempung (defolokulasi) ketika garam terlarut dicuci. Dispersi ini menghancurkan struktur tanah, menutup pori-pori, dan menghasilkan horizon B yang sangat padat dan kedap air (horizon natrik). Solonetz terkenal sulit diolah karena fisikanya yang buruk.
Pengelolaan tanah halomorfik menuntut intervensi hidrologis dan kimia yang intensif. Tanah Solonchak memerlukan pencucian garam (leaching) dengan air irigasi berkualitas baik, diikuti dengan sistem drainase yang efisien untuk membuang air garam. Tanah Solonetz memerlukan aplikasi gipsum (CaSO₄) untuk menggantikan Na⁺ pada situs pertukaran, diikuti dengan pencucian untuk menghilangkan Na⁺ yang terlarut.
Meskipun istilah "Intrazonal" merupakan bagian dari sistem klasifikasi lama (misalnya, sistem Klasifikasi Rusia/Amerika Serikat sebelum 1960), konsep dasarnya—yaitu bahwa faktor lokal ekstrem dapat mendominasi pedogenesis—tetap dipertahankan dalam sistem modern seperti World Reference Base for Soil Resources (WRB) dan USDA Soil Taxonomy, meskipun melalui nomenklatur yang berbeda.
Dalam USDA Soil Taxonomy, klasifikasi didasarkan pada keberadaan horizon diagnostik tertentu dan rezim kelembaban/suhu tanah, bukan berdasarkan iklim zonal. Namun, banyak sifat yang mendefinisikan intrazonalitas kini berfungsi sebagai ordo atau subordo kunci:
WRB menggunakan konsep Reference Soil Groups (RSG) dan ciri diagnostik. Tanah-tanah intrazonal terbagi dalam beberapa RSG yang ciri pembentuknya jelas merupakan faktor lokal yang ekstrem:
Intinya, meskipun terminologi lama (Zonal, Intrazonal, Azonal) tidak lagi digunakan secara formal dalam sistem modern, prinsip bahwa beberapa tanah terbentuk karena intervensi lokal yang ekstrem diakui dan dikodekan dalam kriteria diagnostik yang sangat spesifik.
Salah satu contoh paling ikonik dari tanah intrazonal, terutama di Indonesia, adalah Vertisol, yang secara lokal dikenal sebagai Tanah Grumusol atau Regur. Pembentukan Vertisol adalah hasil langsung dari batuan induk yang kaya mineral lempung tipe 2:1 (seperti montmorillonit, smektit, atau bentonit).
Lempung tipe 2:1 memiliki struktur kristal yang memungkinkan molekul air masuk di antara lapisan-lapisan silikatnya. Ketika basah, lempung menyerap air dan mengembang secara signifikan (volume dapat meningkat hingga 50-100%). Ketika kering, air hilang, dan lempung mengkerut, menghasilkan retakan-retakan dalam yang khas. Siklus mengembang-mengkerut inilah yang mendefinisikan Vertisol.
Retakan dalam yang terbentuk saat kering memungkinkan material permukaan (termasuk bahan organik dan partikel lempung) jatuh ke bagian bawah profil. Ketika tanah basah kembali dan mengembang, tekanan lateral yang sangat besar dihasilkan, memaksa material di kedalaman untuk bergerak ke atas. Proses pencampuran vertikal yang disebabkan oleh retakan dan pengembangan ini dikenal sebagai Argillipedoturbasi.
Argillipedoturbasi sangat efektif sehingga mampu mencegah pembentukan horizon pedogenik yang jelas, yang merupakan ciri khas tanah matang zonal. Profil Vertisol seringkali tampak homogen (AC atau ABC tanpa horizon E yang jelas) karena pencampuran yang konstan, yang menunjukkan dominasi fisik lempung atas proses kimiawi iklim regional.
Tekanan dari pengembangan lempung juga menghasilkan fitur struktural yang unik:
Meskipun Vertisol seringkali memiliki kesuburan alami yang tinggi (KTK tinggi, kaya kalsium/magnesium), pengelolaan fisiknya sangat sulit. Pembajakan hanya dapat dilakukan dalam jendela kelembaban yang sangat sempit—terlalu basah, tanah lengket dan licin; terlalu kering, tanah keras seperti beton.
Retakan besar dapat merusak akar tanaman dan menyebabkan hilangnya air irigasi yang cepat ke kedalaman. Di Indonesia, Vertisol sering ditemukan di daerah dengan iklim muson yang memiliki musim kering yang panjang (misalnya, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur) dan biasanya dimanfaatkan untuk tanaman pangan yang toleran terhadap kekeringan atau padi gogo, meskipun manajemen air tetap menjadi kunci utama.
Proses pembentukan tanah halomorfik (Solonchak dan Solonetz) adalah contoh paling ekstrem dari bagaimana faktor hidrologi dan batuan induk (melalui sumber garam) dapat mendominasi pembentukan tanah, bahkan di zona iklim yang seharusnya mendukung pembentukan tanah non-salin.
Salinisasi adalah proses akumulasi garam terlarut di permukaan. Ini terjadi ketika air tanah yang mengandung garam (sumbernya bisa dari air laut, endapan sedimen purba, atau pelapukan mineral) naik ke permukaan melalui gaya kapilaritas. Di zona kering atau semi-kering, penguapan air di permukaan sangat intensif, meninggalkan garam sebagai endapan kristal putih atau abu-abu.
Garam utama yang terlibat adalah NaCl, tetapi juga termasuk MgCl₂, Na₂SO₄, dan CaSO₄. Konsentrasi garam menentukan tekanan osmotik pada air tanah. Ketika konsentrasi garam eksternal melebihi konsentrasi internal pada akar tanaman, tanaman tidak dapat menyerap air, yang dikenal sebagai 'kekeringan fisiologis'.
Faktor-faktor yang mempercepat salinisasi meliputi:
Sodikasi adalah proses di mana ion Natrium (Na⁺) mendominasi kompleks pertukaran kation, menyebabkan degradasi struktur tanah yang parah.
Menariknya, Solonetz seringkali terbentuk dari Solonchak melalui proses yang disebut Desalinisasi. Ketika garam netral (seperti NaCl) dicuci keluar dari Solonchak (misalnya, oleh curah hujan atau irigasi), Natrium (Na⁺) menjadi ion yang dominan pada permukaan lempung. Ion Na⁺ memiliki ukuran terhidrasi yang besar dan bermuatan tunggal, menyebabkan lempung terdispersi (menyebar).
Dispersi lempung ini memiliki efek katastrofik pada struktur tanah:
Reklamasi tanah Solonchak relatif lurus ke depan: tambahkan air, cuci garamnya, dan pastikan drainase berfungsi. Namun, reklamasi Solonetz jauh lebih rumit dan harus dimulai dengan penggantian Na⁺ dengan ion bivalen (bermuatan dua) seperti Kalsium (Ca²⁺) atau Magnesium (Mg²⁺). Sumber Ca²⁺ yang paling umum adalah Gips atau batuan kapur jika pH tanah memungkinkan. Setelah Na⁺ digantikan oleh Ca²⁺, proses pencucian dapat dilakukan untuk membuang Natrium yang telah terlarut.
Kegagalan dalam mengganti Natrium sebelum pencucian hanya akan memperburuk masalah dispersi lempung dan membuat kondisi Solonetz semakin parah. Ini adalah bukti nyata bahwa faktor kimia lokal (proporsi kation) dapat sepenuhnya mengabaikan faktor iklim regional dalam menentukan sifat fisika tanah.
Indonesia, dengan keragaman geologis dan topografisnya yang ekstrem, memiliki berbagai jenis tanah intrazonal yang signifikan, yang mana pengetahuannya sangat krusial dalam perencanaan tata ruang dan ketahanan pangan nasional. Tanah intrazonal di Indonesia didominasi oleh Vertisol (Grumusol) dan tanah-tanah hidromorfik.
Vertisol banyak ditemukan di Jawa Timur, Jawa Tengah bagian selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Tantangan utamanya adalah ketersediaan air dan masalah fisik. Di daerah dengan musim kering yang jelas, Vertisol mengalami pengerasan yang ekstrem. Strategi pengelolaan meliputi:
Meskipun memiliki lempung yang tinggi, agregat Vertisol seringkali tidak stabil terhadap air (dispersif saat basah). Oleh karena itu, penerapan praktik konservasi tanah dan air yang meminimalkan erosi dan mempertahankan agregasi menjadi sangat penting.
Tanah hidromorfik, termasuk Gleysol dan Histosol, mendominasi ekosistem rawa dan lahan basah di Indonesia, terutama di Kalimantan dan Sumatra. Pemanfaatan lahan ini untuk pertanian menghadapi dua masalah intrazonal yang saling terkait:
Oleh karena itu, pengelolaan tanah hidromorfik memerlukan kontrol air yang presisi—menjaga air pada tingkat yang cukup untuk mencegah oksidasi pirit, tetapi tidak terlalu tinggi sehingga menyebabkan toksisitas Fe. Ini memerlukan infrastruktur kanal dan pintu air yang sangat canggih, yang merupakan tantangan besar dalam ekosistem rawa tropis.
Meskipun seringkali disederhanakan, interaksi antara batuan induk (faktor pasif) dan topografi/drainase (faktor aktif) adalah kunci untuk memahami keragaman tanah intrazonal. Dalam banyak kasus intrazonal, salah satu faktor ini mengambil peran dominan, bahkan di luar apa yang diperkirakan dari zona iklimnya.
Contoh klasik dari dominasi batuan induk adalah Rendzina (Kalsimorfik) dan Vertisol. Di daerah tropis yang lembab (zona untuk Oxisol/Ultisol), seharusnya terjadi pelindian kation basa secara intensif. Namun, jika batuan induk adalah batuan kapur yang sangat masif, pelapukan akan terus memasok kalsium dalam jumlah yang begitu besar sehingga proses pelindian tidak pernah mampu menjenuhkan kompleks pertukaran, mempertahankan pH tinggi dan profil yang kaya basa.
Kecepatan pelapukan batuan induk intrazonal seringkali relatif lambat, atau batuan induk itu sendiri kaya akan mineral yang sulit diubah (misalnya, gipsum). Dominasi mineralogis ini menentukan karakteristik fisik dan kimia profil, seolah-olah iklim tropis yang harusnya 'mencuci' tanah, tidak memiliki pengaruh yang cukup waktu atau intensitas untuk mengatasi pasokan mineral dari batuan induk.
Dalam kasus Vertisol, montmorillonit (tipe 2:1) adalah hasil dari pelapukan batuan basa pada kondisi drainase sedang dan kandungan silika yang tinggi. Begitu mineral ini terbentuk, sifat fisiknya (mengembang/mengkerut) mengunci tanah ke dalam jalur pedogenesis intrazonal yang unik (Argillipedoturbasi), terlepas dari apakah iklim di sekitarnya adalah Mediterania, Sub-Tropis, atau Tropis kering. Tanah ini adalah pengecualian yang membuktikan aturan bahwa batuan induk dapat menjadi ‘faktor pengunci’.
Tanah Hidromorfik dan Halomorfik adalah contoh sempurna dari dominasi faktor hidrologi dan topografi. Kedua jenis tanah ini dapat terbentuk di hampir semua zona iklim, asalkan ada cekungan tertutup (topografi) yang memungkinkan air menumpuk (hidrologi) dan memicu kondisi ekstrem.
Dalam tanah hidromorfik, ketinggian mikro dalam hitungan sentimeter dapat menentukan keberadaan oksigen. Permukaan yang sedikit lebih tinggi mungkin memiliki kondisi aerobik, sementara cekungan yang terisi air mempertahankan kondisi anaerobik. Perbedaan kecil ini menciptakan gradien reduksi-oksidasi (redox) yang sangat tajam, yang mendorong pembentukan bercak (mottles) dan konkresi. Tanpa topografi cekungan, akumulasi air yang cukup untuk mempertahankan anoksia tidak akan terjadi, dan tanah akan berkembang secara zonal.
Dalam halomorfik, topografi depresi atau cekungan endorheic (drainase tertutup) memungkinkan air yang kaya garam terakumulasi dan menguap, meninggalkan garam. Dalam kasus pesisir, ketinggian yang sangat rendah terhadap permukaan laut (dataran pasang surut) menjamin saturasi oleh air laut/payau, menghasilkan salinisasi yang ekstrem. Sekali lagi, posisi geografis (topografi) mengalahkan pengaruh iklim regional.
Karakteristik kimia tanah intrazonal seringkali menunjukkan ekstremitas yang jauh berbeda dari tanah zonal di sekitarnya. Variabel Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan Konduktivitas Elektrik (KE) adalah kunci untuk mendiagnosis intrazonalitas.
Tanah Vertisol dan Rendzina (Kalsimorfik) umumnya memiliki KTK yang sangat tinggi. KTK Vertisol tinggi karena dominasi lempung tipe 2:1 (montmorillonit/smektit), yang memiliki KTK intrinsik tinggi (80-150 meq/100g). KTK Rendzina tinggi karena kompleks kalsium karbonat dan pH tinggi yang memaksimalkan situs pertukaran kation.
KTK tinggi ini berarti tanah mampu menahan sejumlah besar unsur hara basa (Ca²⁺, Mg²⁺, K⁺), memberikan kesuburan kimiawi yang sangat baik. Namun, dalam kasus Vertisol, meskipun KTK tinggi, ketersediaan hara terkadang terhambat karena fenomena pengeringan dan pengerasan yang membatasi pergerakan ion ke akar.
Konduktivitas Elektrik (KE) mengukur kemampuan larutan tanah untuk menghantarkan listrik, yang secara langsung berkorelasi dengan total konsentrasi garam terlarut. Dalam tanah zonal, KE biasanya sangat rendah (< 1 dS/m).
Dalam tanah Halomorfik (Solonchak), KE harus di atas ambang batas 4 dS/m. Angka ini ditetapkan karena pada nilai tersebut, tekanan osmotik sudah cukup tinggi untuk secara signifikan menghambat pertumbuhan sebagian besar tanaman budidaya. Nilai KE dapat mencapai puluhan dS/m di daerah gurun atau dataran pantai yang ekstrem. Tingkat KE yang tinggi adalah faktor diagnostik intrazonal yang paling jelas, seringkali membatalkan semua klasifikasi pedogenik lainnya.
Perbandingan ion Kalsium (Ca²⁺) dan Natrium (Na⁺) adalah inti dari masalah intrazonal pada tanah lempung:
Kontras yang tajam antara Vertisol yang distabilkan oleh Ca/Mg (dengan KTK tinggi) dan Solonetz yang terdegradasi oleh Na (dengan KTK yang juga mungkin tinggi, tetapi PNT ekstrem) menunjukkan bagaimana detail kimiawi kation menentukan nasib fisik tanah intrazonal, jauh lebih daripada faktor curah hujan atau suhu regional.
Meskipun kemajuan dalam Soil Taxonomy dan WRB telah memberikan kriteria yang lebih obyektif, pemetaan dan pengelolaan tanah intrazonal masih menyajikan tantangan unik, terutama dalam konteks perubahan iklim global dan tekanan populasi terhadap sumber daya lahan.
Secara definisi, tanah intrazonal bersifat lokal. Hal ini mempersulit pemetaannya pada skala kecil (regional atau global). Batas antara tanah zonal normal dan tanah intrazonal (misalnya, batas antara Mollisol normal dan Mollisol Aquic di cekungan) dapat sangat tajam dan ditentukan oleh perubahan ketinggian mikro atau kedalaman air tanah.
Teknologi pemetaan tanah digital (Digital Soil Mapping - DSM) kini menggunakan model prediksi spasial yang menggabungkan faktor iklim, geologi, dan topografi (terutama DEM - Digital Elevation Model) untuk memprediksi lokasi intrazonal. Akurasi DEM dengan resolusi tinggi menjadi penting untuk mengidentifikasi cekungan kecil atau lereng yang mungkin menjadi tempat pembentukan Gleysol atau Vertisol.
Tanah intrazonal sering menunjukkan bahwa proses pembentukannya berlangsung dengan intensitas yang jauh lebih tinggi daripada proses zonal. Misalnya, gleyisasi yang intensif dapat mengubah seluruh profil dalam waktu relatif cepat jika kondisi anaerobik dipertahankan. Demikian pula, salinisasi dapat terjadi dalam hitungan dekade jika irigasi dan drainase tidak dikelola dengan benar.
Fakta ini menekankan perlunya pemantauan lingkungan yang ketat. Perubahan kecil dalam pengelolaan air atau hidrologi lokal dapat memicu atau membalikkan proses intrazonal. Misalnya, pembangunan bendungan di hulu dapat mengubah air tanah, menyebabkan hilangnya kondisi hidromorfik, sementara pengalihan irigasi yang tidak terkelola dapat menciptakan kondisi halomorfik baru di wilayah yang sebelumnya normal (salinisasi sekunder).
Seringkali, proses intrazonal tidak berdiri sendiri. Misalnya, Vertisol seringkali juga mengalami gleyisasi (menjadi Vertisol Aquic) jika drainasenya buruk. Demikian pula, tanah Halomorfik (Solonetz) seringkali memiliki tingkat kalsium yang tinggi karena presipitasi garam, menjadikannya gabungan Halomorfik-Kalsimorfik. Analisis profil tanah intrazonal memerlukan pemahaman yang sangat detail mengenai interaksi simultan antara tekanan hidrologi, mineralogi batuan induk, dan kimia larutan tanah.
Struktur fisik adalah salah satu sifat yang paling terpengaruh oleh kondisi intrazonal. Kontrol air dan mineralogi lempung memiliki efek drastis pada agregasi, porositas, dan kepadatan curah tanah intrazonal.
Struktur kolumnar yang ditemukan pada horizon natrik (Bn) Solonetz adalah fitur intrazonal yang sangat spesifik. Kolum-kolum ini (kolom vertikal) terbentuk akibat dispersi lempung yang ekstrem dan kandungan natrium yang tinggi. Puncak kolum seringkali membulat dan menunjukkan lapisan silika atau bahan organik yang telah terdispersi dari horizon atas dan diendapkan kembali.
Struktur ini menyebabkan infiltrasi air sangat rendah karena jalur pergerakan air terputus. Ketika tanah mengering, terjadi pemisahan menjadi kolom-kolom padat. Permeabilitas yang buruk ini membatasi pertumbuhan akar dan seringkali menyebabkan genangan air jangka pendek di permukaan sebelum air akhirnya mengalir keluar melalui saluran lateral, jika ada.
Reklamasi Solonetz memerlukan tidak hanya penggantian kimia (Ca²⁺ menggantikan Na⁺) tetapi juga intervensi mekanis (penggaruan dalam) untuk memecahkan lapisan natrik yang keras dan kolumnar, memungkinkan rekondisi fisik tanah.
Tanah Gleysol (hidromorfik) seringkali menunjukkan kepadatan curah (bulk density) yang tinggi, terutama pada horizon G. Hal ini disebabkan oleh saturasi air yang menghilangkan struktur pori-pori besar yang penting untuk aerasi. Air yang mengisi semua ruang pori menyebabkan matriks tanah menjadi masif, dan minimnya siklus kering-basah mencegah pembentukan agregat yang stabil.
Kepadatan curah yang tinggi ini secara langsung berkaitan dengan rendahnya porositas aerasi, yaitu volume pori-pori yang diisi udara. Rendahnya porositas aerasi adalah akar dari semua masalah hidromorfik (anoksia, reduksi Fe/Mn). Pengelolaan Gleysol yang efektif seringkali berfokus pada upaya drainase yang memadai untuk memulihkan sebagian aerasi, meskipun ini harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak memicu masalah sulfat masam.
Meskipun Vertisol memiliki kandungan lempung yang sangat tinggi, mereka mampu membentuk agregat yang kuat (struktur prismatik atau blok sudut yang terbentuk saat kering). Pembentukan agregat ini ironisnya disebabkan oleh tegangan ekstrem yang dihasilkan selama siklus mengembang-mengkerut. Tekanan ini membentuk "ped" (agregat alami) yang besar.
Struktur ini unik: ketika basah, pori-pori menghilang; ketika kering, muncul pori-pori besar (retakan) dan agregat menjadi keras. Pergerakan air dalam Vertisol dominan terjadi melalui retakan saat tanah kering, bukan melalui pori-pori matriks. Struktur yang sangat dinamis dan perubahan volume yang ekstrem inilah yang mendefinisikan Vertisol sebagai intrazonal yang terdominasi oleh fisika lempung.
Dalam bentang alam nyata, jarang sekali batas tanah Intrazonal terpisah tajam dari tanah Zonal di sekitarnya. Sebaliknya, seringkali terdapat zona transisi (intermedia) di mana proses zonal dan intrazonal saling bersaing. Memahami zona transisi ini penting untuk pemetaan yang akurat.
Di tepi cekungan hidromorfik, misalnya, pengaruh air tanah mulai berkurang. Di sini, karakteristik Zonal (yang didorong oleh iklim) mulai muncul. Tanah di zona transisi ini mungkin menunjukkan ciri-ciri hidromorfik yang samar-samar (misalnya, mottles hanya di horizon C bawah, bukan di horizon B), sementara sifat-sifat kimia dan mineralogi permukaan masih mencerminkan iklim regional (misalnya, pelindian basa moderat khas Zonal).
Contoh klasik adalah transisi dari Alfisol (Zonal di iklim sedang lembab) ke Alfisol Aquic (Intrazonal hidromorfik). Alfisol normal memiliki horizon E (pencucian) dan Bt (akumulasi lempung). Alfisol Aquic memiliki semua horizon tersebut, tetapi juga menunjukkan mottles gley dan rezim kelembaban akuik karena air tanah musiman. Ciri intrazonal (hidromorfisme) ditambahkan, tetapi ciri zonal (eluviase dan illuviase) tetap ada.
Di wilayah dengan erosi yang cepat, tanah mungkin gagal mencapai kematangan zonal. Jika tanah tersebut juga dibentuk oleh batuan induk yang tidak biasa (misalnya, batuan ultrabasa kaya magnesium), tanah tersebut mungkin diklasifikasikan sebagai Azonal yang secara kimiawi didominasi oleh batuan induk, bukan Intrazonal matang.
Intrazonalitas menyiratkan bahwa proses telah berjalan cukup lama untuk membentuk horizon B atau C yang matang, tetapi proses batuan induk atau hidrologi terus-menerus mendominasi sifat akhirnya. Jika tanah masih sangat muda dan sepenuhnya dikendalikan oleh bahan induk (misalnya, tanah aluvial sungai yang masih sangat muda), ia tetap diklasifikasikan sebagai Azonal (Entisol/Fluvisol).
Perbedaan antara Azonal yang dikendalikan oleh batuan induk dan Intrazonal yang dikendalikan oleh batuan induk terletak pada tingkat perkembangan profil. Intrazonal telah mengalami perkembangan horison yang lebih nyata dan matang, namun sifatnya tetap eksentrik terhadap iklim regional.
Pemahaman mendalam mengenai proses intrazonal sangat penting dalam ilmu reklamasi lahan, terutama di wilayah yang mengalami degradasi akibat salinisasi sekunder, sodikasi, atau masalah drainase yang parah. Karena tanah intrazonal terbentuk dari kondisi ekstrem, penanggulangannya juga menuntut solusi ekstrem dan terfokus pada faktor pengendalinya.
Di daerah yang mengalami hidromorfisme, reklamasi lahan pertanian sering memerlukan modifikasi drainase, yang mana merupakan faktor pembentuk intrazonal itu sendiri. Namun, perancangan sistem drainase harus memperhitungkan ekologi lokal dan potensi degradasi kimia (pembentukan asam sulfat masam).
Solusi reklamasi yang efektif meliputi:
Kegagalan dalam mengendalikan hidromorfisme akan selalu menghasilkan Gleysol, terlepas dari kualitas iklim di atasnya. Reklamasi di sini adalah tentang menciptakan kondisi non-intrazonal (yaitu, drainase yang baik) secara artifisial.
Reklamasi tanah Solonetz adalah kasus intrazonal yang paling menuntut intervensi kimiawi. Karena degradasi fisik tanah (dispersi) disebabkan oleh Natrium, langkah pertama harus selalu berupa penggantian ion, yang memerlukan agen kalsium.
Mekanisme kimia reklamasi Solonetz adalah proses dua tahap yang presisi:
Jika tanah Solonetz yang direklamasi tidak dikelola dengan drainase yang memadai, garam-garam (termasuk Na₂SO₄) akan tetap terperangkap, dan bahkan kalsium yang telah ditambahkan dapat hilang, mengembalikan tanah ke kondisi intrazonal sodik yang parah. Reklamasi ini menyoroti bahwa intrazonalitas adalah masalah sistemik yang melibatkan faktor fisik, kimia, dan hidrologi secara simultan.
Sifat intrazonal tidak hanya mencakup pembentukan horizon, tetapi juga sangat memengaruhi siklus biogeokimia dalam ekosistem. Intensitas kondisi lokal mengubah bagaimana unsur hara dipertukarkan, terlarut, dan terdegradasi.
Tanah Histosol (tanah gambut, sering diklasifikasikan sebagai intrazonal karena dominasi kondisi hidromorfik ekstrem) menunjukkan akumulasi bahan organik (BO) yang masif, seringkali mencapai kedalaman meteran. Akumulasi ini adalah akibat langsung dari kondisi anaerobik yang ekstrem.
Dalam lingkungan normal (aerobik), BO terdegradasi cepat oleh mikroorganisme. Dalam Gleysol atau Histosol, BO tenggelam di air yang kekurangan oksigen. Mikroba anaerobik bekerja jauh lebih lambat, yang mengakibatkan akumulasi BO yang belum terdekomposisi (gambut). Kualitas BO ini (terutama rasio C/N) dan tingkat dekomposisi (fibrik, hemik, saprik) adalah penentu diagnostik utama untuk jenis-jenis Histosol.
Perubahan kondisi intrazonal ini memiliki dampak besar. Ketika Histosol dikeringkan untuk pertanian, paparan oksigen menyebabkan BO terdegradasi sangat cepat (subsidensi), melepaskan CO₂ dalam jumlah besar dan mengurangi kesuburan secara drastis dalam hitungan tahun. Ini adalah siklus intrazonal yang sangat rapuh terhadap intervensi manusia.
Tanah Kalsimorfik (Rendzina, Calcisol) menunjukkan siklus kalsium yang intensif dan tertutup. Meskipun pelindian (leaching) terjadi, pasokan kalsium dari batuan induk melebihi laju pelindian. Kalsium karbonat dalam tanah ini bertindak sebagai buffer pH yang kuat, menjaga tanah tetap alkalin.
Sistem ini memastikan bahwa meskipun tanah berada di iklim yang lembab, pelindian basa dan pembentukan tanah masam (yang merupakan ciri khas zonal) tidak terjadi. Sebaliknya, proses pengendapan kalsium (presipitasi) terjadi, membentuk kerak atau nodul, yang menunjukkan dominasi mineralogi pada siklus kimia tanah.
Tingkat mineralisasi unsur hara dalam tanah kalsimorfik juga dipengaruhi oleh pH tinggi, seringkali mengurangi ketersediaan fosfor dan unsur hara mikro. Oleh karena itu, walaupun tanahnya kaya kation basa (Ca, Mg), pengelolaan hara harus fokus pada mengatasi pengikatan P dan logam mikro ini.
Tanah intrazonal adalah pengingat bahwa geografi fisik, hidrologi, dan kimia batuan induk seringkali dapat menimpakan batasan yang lebih kuat pada perkembangan tanah daripada pengaruh iklim makro. Intrazonalitas bukan hanya kategori klasifikasi, tetapi merupakan konsep yang mewakili kegagalan tanah untuk mengikuti lintasan pedogenesis zonal karena adanya faktor lingkungan lokal yang ekstrem dan dominan.
Kita dapat melihat intrazonalitas sebagai spektrum di mana satu faktor lingkungan mendominasi secara absolut:
Dalam Soil Taxonomy dan WRB, sistem telah bergeser dari penamaan berdasarkan iklim ke penamaan berdasarkan proses dan karakteristik diagnostik (horizon). Namun, proses diagnostik yang kita temukan—seperti gleyisasi, horizon natrik, atau gilgai—semuanya adalah manifestasi dari proses intrazonal yang ekstrem yang menentang homogenitas iklim.
Pengelolaan tanah intrazonal tidak bisa didasarkan pada asumsi tanah zonal. Jika kita mengelola Vertisol seolah-olah itu adalah Ultisol (tanah tropis normal), kita akan gagal karena tidak memperhitungkan siklus mengembang-mengkerut yang ekstrem. Jika kita mengelola Solonetz seolah-olah itu hanya kekurangan unsur hara, kita akan gagal karena tidak mengatasi toksisitas Natrium dan degradasi fisik.
Oleh karena itu, prinsip utama dalam intervensi lahan intrazonal adalah mengidentifikasi faktor pengendali lokal, dan kemudian mencoba memodifikasi atau menetralkan pengaruh faktor tersebut. Ini mungkin berarti meningkatkan drainase, menambahkan amandemen kimia (gipsum), atau mengubah praktik budidaya untuk mengakomodasi keterbatasan fisik dan kimia yang unik pada tanah tersebut.
Dengan eksplorasi mendalam ini, jelas terlihat bahwa tanah intrazonal bukan sekadar pengecualian dalam ilmu tanah; mereka adalah kunci untuk memahami batas-batas pedogenesis dan keragaman luar biasa yang dapat dihasilkan oleh interaksi antara geologi lokal, hidrologi, dan iklim, menjadikannya topik yang tak pernah habis dibahas dan dianalisis dalam konteks keberlanjutan sumber daya alam global.