Pengantar: Definisi dan Keagungan Hari Nahar
Hari Nahar, yang secara harfiah berarti Hari Penyembelihan, merujuk pada tanggal 10 Dzulhijjah, yaitu puncak dari rangkaian ibadah haji dan momen agung pelaksanaan ibadah kurban. Hari Nahar adalah pusat gravitasi spiritual bagi umat Islam di seluruh dunia, menandai berakhirnya wukuf di Arafah dan dimulainya ritual penyembelihan hewan kurban yang dilakukan sebagai manifestasi syukur, ketaatan, dan solidaritas sosial.
Keagungan hari ini tidak hanya terletak pada ritual fisik semata, melainkan pada rekonstruksi ulang kisah pengorbanan luar biasa Nabi Ibrahim AS, yang siap mengorbankan putranya, Ismail AS, demi menunaikan perintah Ilahi. Momen ini mengajarkan tentang keikhlasan total, kepasrahan mutlak, dan pengakuan bahwa segala sesuatu yang dimiliki sejatinya adalah titipan dari Sang Pencipta. Hari Nahar adalah penutup indah dari sepuluh hari pertama Dzulhijjah, hari-hari yang dianggap paling mulia di sisi Allah SWT.
Ilustrasi Simbol Qurban di Hari Nahar
II. Akar Historis: Kisah Ibrahim dan Falsafah Ketaatan
Untuk memahami kedalaman Hari Nahar, kita harus kembali pada narasi agung tentang kepatuhan Nabi Ibrahim AS. Perintah kurban bukanlah sekadar ritual penyembelihan daging, melainkan peringatan abadi akan ujian terberat yang pernah dialami oleh Bapak Para Nabi. Kisah ini tidak hanya tercatat dalam literatur Islam tetapi juga menjadi pondasi teologis yang melandasi praktik pengorbanan dalam berbagai tradisi keagamaan Ibrahimiyah.
Ujian Mimpi Kenabian dan Respons Ismail
Ibrahim, setelah penantian panjang, dianugerahi seorang putra, Ismail. Ketika Ismail mencapai usia remaja yang matang, Ibrahim menerima wahyu melalui mimpi yang diulang-ulang. Dalam ajaran Islam, mimpi para nabi adalah bagian dari wahyu yang harus dilaksanakan. Mimpi tersebut memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih putranya sendiri. Konflik batin yang dialami Ibrahim pasti sangat besar—cinta seorang ayah melawan ketaatan kepada Sang Pencipta. Namun, keimanan Ibrahim mengatasi naluri kemanusiaannya. Inilah esensi dari taslim, penyerahan diri total.
Yang lebih mengagumkan adalah respons Ismail. Ketika Ibrahim menyampaikan perintah tersebut dengan kejujuran yang mengharukan, Ismail, seorang pemuda yang dibesarkan dalam lingkungan tauhid murni, menjawab dengan ketegasan yang mencerminkan kualitas kenabiannya di masa depan: "Wahai ayahku, laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." Jawaban ini menunjukkan puncak kerelaan dan kesabaran, membuktikan bahwa baik ayah maupun anak telah lulus dalam ujian keimanan yang paling ekstrem. Mereka berdua menetapkan standar tertinggi bagi definisi pengorbanan sejati dalam sejarah kemanusiaan.
Intervensi Ilahi dan Penggantian dengan Domba
Ketika Ibrahim telah membaringkan Ismail dan siap melaksanakan perintah penyembelihan, pada detik-detik kritis tersebut, Allah SWT menggantikan Ismail dengan seekor sembelihan yang besar (domba atau kibas). Intervensi ini menegaskan bahwa tujuan Allah bukanlah menumpahkan darah manusia, melainkan menguji kualitas keikhlasan di dalam hati hamba-Nya. Penggantian tersebut adalah rahmat sekaligus penghargaan atas kepatuhan tanpa batas yang ditunjukkan oleh keluarga Ibrahim.
Penggantian ini menjadi dasar hukum syariat kurban. Setiap kurban yang kita lakukan di Hari Nahar adalah simbolisasi dari domba pengganti tersebut. Kita tidak lagi mengorbankan anak atau nyawa, tetapi kita mengorbankan sebagian dari harta terbaik kita sebagai pengingat akan kesediaan Ibrahim dan Ismail untuk menyerahkan segalanya. Falsafah ini menekankan bahwa harta dan kekayaan kita adalah sarana ujian; sejauh mana kita mampu melepaskan ikatan duniawi demi mencapai keridaan Ilahi.
Pelajaran Abadi dari Kisah Ibrahim
Kisah ini mengandung lima pelajaran inti yang relevan hingga hari ini, membentuk pilar utama perayaan Hari Nahar:
- Keikhlasan Murni (Al-Ikhlas): Pengorbanan harus dilakukan semata-mata karena Allah, bukan karena pujian manusia atau kewajiban sosial. Ibrahim siap kehilangan putra kesayangannya tanpa syarat.
- Ketaatan Mutlak (At-Taslim): Penyerahan diri tanpa pertanyaan terhadap perintah Ilahi, meskipun perintah itu terasa tidak logis atau melukai.
- Pengorbanan Harta dan Ego: Kurban mengajarkan kita untuk menyembelih ‘Ismail’ kita sendiri—apapun yang paling kita cintai di dunia ini, baik itu harta, jabatan, waktu, atau ego—demi kepentingan yang lebih tinggi.
- Solidaritas Keluarga: Kisah ini menunjukkan harmoni spiritual antara ayah dan anak dalam menghadapi cobaan, menekankan pentingnya membina generasi yang taat.
- Rahmat Ilahi: Allah tidak pernah membebani hamba-Nya melampaui batas kemampuannya. Ujian selalu diikuti oleh jalan keluar dan rahmat yang berlipat ganda.
Oleh karena itu, Hari Nahar adalah peringatan tahunan bagi setiap Muslim untuk merenungkan sejauh mana kita telah meneladani tingkat ketaatan yang dicapai oleh Ibrahim dan Ismail.
III. Fiqh Kurban: Hukum, Syarat, dan Tata Cara Pelaksanaan
Ibadah kurban yang dilakukan pada Hari Nahar dan hari-hari Tasyriq (11, 12, 13 Dzulhijjah) memiliki landasan hukum dan tata cara yang sangat terperinci dalam syariat Islam. Pemahaman yang benar mengenai fiqh kurban (atau udhiyyah) adalah esensial agar ibadah ini diterima dan sah di mata syariat. Waktu pelaksanaan adalah inti dari Hari Nahar, karena penyembelihan harus dimulai setelah Shalat Idul Adha.
Hukum Melaksanakan Kurban
Para ulama memiliki pandangan yang beragam mengenai hukum kurban, meskipun mayoritas bersepakat pada hukum berikut:
- Sunnah Muakkadah (Sangat Dianjurkan): Ini adalah pendapat mayoritas ulama Syafi’i dan Hanbali. Kurban sangat ditekankan bagi setiap Muslim yang mampu (memiliki kelebihan rezeki setelah memenuhi kebutuhan dasar dirinya dan keluarganya). Meninggalkannya bagi yang mampu dianggap makruh (dibenci).
- Wajib (Hanafi): Mazhab Hanafi berpendapat bahwa kurban hukumnya wajib bagi setiap Muslim yang mukim (tidak dalam perjalanan) dan memiliki kemampuan finansial. Pendapat ini didasarkan pada beberapa hadis yang menekankan pentingnya ibadah ini.
- Kurban Nadzar: Jika seseorang bernazar untuk berkurban (misalnya, "Jika saya lulus, saya akan berkurban seekor kambing"), maka kurban tersebut menjadi wajib hukumnya, tanpa memandang kemampuan finansialnya saat itu.
Terlepas dari perbedaan hukum, keutamaan dan pahala kurban sangat besar, menjadikannya ibadah yang tidak sepatutnya dilewatkan oleh yang diberi kemudahan rezeki.
Syarat Sah Hewan Kurban (Syarat al-Udhiyyah)
Hewan yang dikurbankan harus memenuhi kriteria ketat agar kurban tersebut sah. Syarat-syarat ini mencakup jenis, usia, dan kondisi fisik hewan:
1. Jenis Hewan yang Diperbolehkan
Hanya empat jenis hewan ternak (al-an'am) yang sah untuk dikurbankan:
- Unta (Al-Ibil)
- Sapi, Kerbau (Al-Baqar)
- Kambing (Al-Ma'z)
- Domba/Biri-biri (Adh-Dha'n)
Hewan selain empat jenis ini, seperti ayam, bebek, atau kijang, tidak sah digunakan sebagai kurban, meskipun boleh disembelih sebagai sedekah biasa.
2. Usia Minimum Hewan
Usia hewan merupakan penentu penting kematangan dan kelayakan kurban:
- Domba (Dha'n): Minimal berusia enam bulan, asalkan fisiknya sudah tampak seperti domba dewasa (disebut jaza'ah). Jika tidak, harus genap satu tahun.
- Kambing (Ma'z): Harus genap berusia satu tahun (masuk tahun kedua), atau disebut tsaniyyah.
- Sapi/Kerbau (Baqar): Harus genap berusia dua tahun (masuk tahun ketiga).
- Unta (Ibil): Harus genap berusia lima tahun (masuk tahun keenam).
3. Bebas dari Cacat (Aib)
Hewan kurban haruslah hewan yang terbaik, sehat, dan tidak cacat. Empat cacat yang secara tegas dilarang karena dapat membatalkan kurban adalah:
- Penyakit Jelas: Hewan yang sakit parah hingga terlihat jelas kelemahan fisiknya.
- Kebutaan Jelas: Hewan yang matanya buta atau rusak parah.
- Kepiang Jelas: Hewan yang pincang parah sehingga tidak mampu berjalan ke tempat penyembelihan dengan normal.
- Kurus Kering: Hewan yang sangat kurus hingga tidak memiliki sumsum tulang, yang menunjukkan kualitas daging yang sangat buruk.
Cacat ringan seperti telinga sobek sedikit atau tanduk patah sebagian umumnya tidak membatalkan kurban, namun menyembelih hewan yang sempurna adalah sunnah yang lebih utama.
Waktu Pelaksanaan Penyembelihan (Waktu Nahr)
Waktu adalah elemen krusial dalam Hari Nahar. Penyembelihan hanya sah jika dilakukan dalam rentang waktu yang ditetapkan syariat. Ini dimulai setelah:
- Telah terbit matahari pada Hari Nahar (10 Dzulhijjah).
- Telah dilaksanakan Shalat Idul Adha (beserta dua khutbahnya) di tempat penyembelihan berada.
Jika penyembelihan dilakukan sebelum Shalat Idul Adha, maka penyembelihan itu dianggap sedekah daging biasa, bukan kurban yang sah. Waktu penyembelihan berakhir pada terbenamnya matahari di akhir Hari Tasyriq (13 Dzulhijjah). Dengan demikian, ada empat hari total untuk penyembelihan (Hari Nahar dan tiga hari setelahnya).
Tata Cara Pembagian Daging Kurban
Salah satu tujuan utama kurban adalah menegakkan keadilan sosial. Oleh karena itu, syariat mengatur detail tentang pembagian daging. Para ulama sepakat bahwa daging kurban sunnah muakkadah sebaiknya dibagi menjadi tiga bagian ideal:
- Sepertiga untuk Shohibul Qurban (Pekurban): Orang yang berkurban diperbolehkan memakan sebagian daging kurbannya, sebagai simbol bahwa ibadah telah diterima.
- Sepertiga untuk Kerabat dan Tetangga: Bagian ini diberikan kepada orang-orang di sekitar pekurban, termasuk yang kaya sekalipun, sebagai hadiah dan mempererat silaturahmi.
- Sepertiga untuk Fakir Miskin: Ini adalah inti dari solidaritas sosial, di mana orang-orang yang kurang mampu dapat menikmati daging pada hari raya.
Namun, yang paling ditekankan adalah agar fakir miskin mendapatkan porsi yang cukup. Mazhab Syafi’i mewajibkan agar minimal seberat satu ons diberikan kepada fakir miskin untuk sahnya kurban.
Hal yang mutlak dilarang adalah menjual bagian dari hewan kurban, termasuk daging, kulit, tulang, atau bahkan lemaknya. Upah bagi juru sembelih juga tidak boleh diambil dari bagian manapun dari hewan kurban tersebut.
Kurban adalah ibadah harta yang berorientasi sosial, membersihkan jiwa pekurban dari sifat kikir dan menegakkan persaudaraan antar sesama. Ini adalah representasi kekayaan yang disucikan.
IV. Ritual Inti Hari Nahar: Shalat Idul Adha dan Takbir
Hari Nahar dimulai dengan semangat spiritual yang tinggi, diawali dengan kumandang takbir dan diakhiri dengan pelaksanaan penyembelihan. Dua ritual utama yang menjadi ciri khas hari ini adalah Takbir dan Shalat Idul Adha.
A. Kumandang Takbir (Takbir Mursāl dan Muqayyad)
Hari Nahar diselimuti oleh gema takbir yang meriah. Takbir ini berfungsi sebagai penegasan keesaan Allah dan pengagungan atas segala nikmat-Nya, terutama nikmat taufik untuk melaksanakan ibadah yang besar.
1. Takbir Mursāl (Mutlak)
Takbir mursal adalah takbir yang tidak terikat waktu salat, dapat dilakukan kapan saja, di mana saja (di pasar, di rumah, di jalan), dimulai sejak terbenamnya matahari pada malam Hari Raya (malam 10 Dzulhijjah) hingga Shalat Idul Adha dilaksanakan.
2. Takbir Muqayyad (Terikat)
Takbir muqayyad adalah takbir yang terikat waktu salat wajib, dibaca setelah salam dari setiap salat wajib. Menurut mayoritas ulama, takbir muqayyad ini dimulai setelah Subuh pada Hari Arafah (9 Dzulhijjah) dan berlanjut hingga Ashar pada Hari Tasyriq terakhir (13 Dzulhijjah), total 23 kali salat wajib.
Perpaduan takbir mursal dan muqayyad menciptakan atmosfer spiritual yang kuat selama lima hari, menekankan bahwa seluruh aktivitas hamba harus selalu didasari oleh pengakuan kebesaran Allah.
B. Shalat Idul Adha
Shalat Idul Adha adalah ibadah yang sangat ditekankan, dilaksanakan secara berjamaah, biasanya di lapangan terbuka (musala) atau masjid besar.
1. Waktu dan Hukum Shalat Id
Waktu pelaksanaan Shalat Idul Adha dimulai dari terbitnya matahari setinggi tombak hingga tergelincir matahari (waktu Zuhur). Hukumnya adalah Sunnah Muakkadah (sangat ditekankan) bagi setiap Muslim. Shalat Idul Adha dilaksanakan lebih awal dibandingkan Shalat Idul Fitri agar memberi kelonggaran waktu yang lebih panjang bagi umat untuk memulai proses penyembelihan kurban.
2. Tata Cara Singkat Shalat Id
Shalat Idul Adha terdiri dari dua rakaat tanpa azan dan iqamah. Ciri khasnya adalah adanya takbir tambahan (zawa'id):
- Rakaat Pertama: Takbiratul ihram, diikuti dengan enam atau tujuh takbir tambahan sebelum membaca surah Al-Fatihah.
- Rakaat Kedua: Berdiri dari sujud, diikuti dengan lima takbir tambahan sebelum membaca surah Al-Fatihah.
Setelah shalat, dilanjutkan dengan dua khutbah. Khutbah Idul Adha seringkali menekankan pentingnya kurban, kisah Nabi Ibrahim, dan hukum-hukum terkait ibadah haji.
C. Sunnah-Sunnah di Hari Nahar
Terdapat beberapa sunnah yang sangat dianjurkan untuk dilakukan pada Hari Nahar, berbeda dengan Idul Fitri. Ini termasuk:
- Tidak Makan Sebelum Shalat: Disunnahkan untuk menahan diri dari makan (puasa sunnah) hingga Shalat Idul Adha selesai, dan baru kemudian makan dari sebagian daging kurban yang disembelih, meneladani Nabi Muhammad SAW.
- Mandi dan Berhias: Mandi besar, memakai pakaian terbaik (bukan harus baru, tetapi bersih dan rapi), serta memakai wangi-wangian (parfum) sebelum berangkat ke tempat shalat.
- Jalur Berangkat dan Pulang: Disunnahkan menggunakan jalan yang berbeda ketika pergi dan pulang dari tempat shalat, untuk memperbanyak langkah dan bertemu lebih banyak orang.
- Memperbanyak Takbir: Mengucapkan takbir sepanjang perjalanan menuju tempat shalat.
V. Detail Syariat Kurban: Tinjauan Mendalam atas Fiqh Pelaksanaan
Untuk mencapai kualitas ibadah yang sempurna, seorang Muslim perlu memahami lebih jauh detail-detail hukum yang mengatur kurban, khususnya yang terkait dengan niat, kepemilikan, dan etika penyembelihan.
A. Niat dan Kepemilikan Kurban
Niat adalah penentu sah atau tidaknya suatu amal. Niat kurban harus dilakukan pada saat penentuan hewan (saat membelinya atau menyisihkannya dari ternak yang dimiliki) atau setidaknya sebelum penyembelihan. Niat harus murni untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah.
1. Kurban Individu vs. Patungan
Kambing/Domba: Hanya sah untuk kurban satu orang (satu jiwa). Tidak sah jika tujuh orang patungan membeli satu kambing.
Sapi/Kerbau/Unta: Sah untuk dikurbankan oleh satu hingga tujuh orang (patungan). Jika lebih dari tujuh orang, kurban menjadi tidak sah. Meskipun patungan, setiap orang yang berpatungan tetap harus berniat kurban (bukan hanya menyumbang dana daging).
2. Kurban Atas Nama Keluarga (Ahlul Bait)
Jika kepala keluarga berkurban seekor kambing dengan niat untuk dirinya dan seluruh anggota keluarganya yang serumah dan dinafkahinya (sekalipun jumlahnya banyak), kurban ini dianggap sah dan pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga tersebut, berdasarkan praktik Nabi Muhammad SAW.
B. Etika dan Tata Cara Penyembelihan (Adab an-Nahr)
Penyembelihan bukan sekadar memotong leher, melainkan proses sakral yang harus dilakukan dengan etika tinggi untuk meminimalkan penderitaan hewan.
- Mengasah Pisau: Pisau harus diasah setajam mungkin di tempat yang jauh dari pandangan hewan, agar penyembelihan dapat dilakukan dengan cepat dan mengurangi rasa sakit.
- Menghadap Kiblat: Hewan dibaringkan di sisi kiri (jika sapi/kambing) atau berdiri (jika unta), menghadap kiblat.
- Membaca Doa: Juru sembelih harus membaca Basmalah (Bismillah), Takbir (Allahu Akbar), dan bersalawat, serta membaca doa khusus (misalnya: Allahumma hadza minka wa ilaika - Ya Allah, ini dari-Mu dan untuk-Mu).
- Memotong Tiga Saluran: Penyembelihan harus memotong minimal tiga dari empat saluran utama: kerongkongan (saluran makanan), tenggorokan (saluran nafas), dan dua urat nadi leher (saluran darah). Pemotongan harus dilakukan sekali ayunan tanpa mengangkat pisau.
- Larangan Menyiksa: Dilarang keras menyiksa hewan, seperti menajamkan pisau di depannya, menyeretnya dengan kasar, atau menyembelih hewan lain di hadapannya.
C. Pelarangan Bagi Shohibul Qurban
Bagi orang yang telah berniat berkurban (sejak awal Dzulhijjah), terdapat larangan yang bersifat sunnah (anjuran) untuk tidak memotong kuku atau rambut tubuhnya sampai hewan kurbannya disembelih. Larangan ini bertujuan agar seluruh bagian tubuh pekurban tetap utuh, sehingga semuanya bisa terbebas dari api neraka (berdasarkan tafsiran sebagian ulama) dan agar menyerupai keadaan jamaah haji yang sedang berihram.
D. Kurban di Luar Negeri dan Kurban Titipan
Pada era modern, praktik kurban sering melibatkan penitipan atau pelaksanaan di negara lain (kurban global). Hal ini sah, selama syarat waktu penyembelihan tetap terpenuhi, yaitu dimulai setelah Shalat Idul Adha di lokasi penyembelihan itu sendiri. Perbedaan zona waktu harus diperhatikan agar tidak terjadi penyembelihan sebelum waktunya.
Ilustrasi Simbol Rangkaian Ibadah Haji dan Umrah
VI. Kaitan Hari Nahar dengan Puncak Ibadah Haji
Bagi jutaan jamaah yang berada di Tanah Suci, Hari Nahar adalah hari tersibuk dan paling menentukan dalam rangkaian ibadah haji. Pada hari ini, jamaah haji mengubah status mereka dari yang sebelumnya berdiam diri di Muzdalifah (malam 10 Dzulhijjah) menuju pelaksanaan ritual-ritual besar di Mina.
Rangkaian Amalan Hari Nahar di Mina (10 Dzulhijjah)
Bagi jamaah haji, Hari Nahar ditandai dengan lima amalan pokok, yang jika ditinggalkan dapat dikenakan dam (denda) atau bahkan membatalkan haji jika terkait dengan rukun tertentu:
1. Melontar Jumrah Aqabah (Jumrah Kubra)
Pada pagi Hari Nahar, jamaah bergerak dari Muzdalifah menuju Mina untuk melontar Jumrah Aqabah sebanyak tujuh kali. Ini melambangkan pengusiran dan penolakan terhadap godaan setan, sebagaimana yang dilakukan Ibrahim AS ketika setan berusaha mencegahnya melaksanakan perintah Allah.
2. Menyembelih Hadyu (Kurban Bagi Jamaah Haji)
Bagi jamaah haji tamattu’ dan qiran, mereka wajib menyembelih hewan kurban (hadyu) sebagai denda karena menggabungkan umrah dan haji. Walaupun berbeda secara hukum dengan kurban Idul Adha di luar Tanah Suci, ibadah hadyu ini juga dilakukan pada Hari Nahar dan Hari Tasyriq. Ini adalah bentuk syukur sekaligus penebus dosa.
3. Mencukur atau Memendekkan Rambut (Tahallul Awal)
Setelah melontar dan menyembelih, jamaah wajib mencukur gundul (halq) atau memendekkan (taqshir) rambut. Mencukur gundul bagi laki-laki adalah yang paling utama. Dengan tahallul awal ini, sebagian larangan ihram dicabut, kecuali larangan bersenggama.
4. Tawaf Ifadhah
Setelah tahallul awal, jamaah kembali ke Mekkah untuk melaksanakan Tawaf Ifadhah. Tawaf ini adalah rukun haji yang wajib dilaksanakan dan tidak bisa digantikan. Tawaf Ifadhah melengkapi tahallul kedua setelah Sa'i (jika belum dilakukan).
5. Sa'i (Jika Belum Dilakukan)
Bagi yang belum melaksanakan Sa'i setelah tawaf qudum, mereka melaksanakannya setelah Tawaf Ifadhah. Setelah Sa'i, jamaah kembali ke Mina untuk menginap dan melanjutkan lempar jumrah pada Hari Tasyriq.
Urutan amalan ini bersifat sunnah (dianjurkan) kecuali mencukur/memendekkan rambut harus setelah melontar jumrah. Kepadatan dan simultanitas ritual ini menjadikan Hari Nahar sebagai puncak fisik dan spiritual haji, menuntut konsentrasi, kekuatan fisik, dan kesabaran luar biasa dari setiap jamaah.
VII. Dimensi Sosial dan Hikmah Spiritual Kurban
Ibadah kurban di Hari Nahar adalah ibadah multidimensi. Selain bernilai pahala individu, ia membawa implikasi sosial yang mendalam, berfungsi sebagai katalisator persatuan umat dan pemerataan kesejahteraan.
A. Solidaritas dan Keadilan Sosial
Kurban adalah jembatan yang menghubungkan si kaya dan si miskin. Dalam banyak masyarakat, daging adalah komoditas mewah yang jarang diakses oleh kelompok ekonomi bawah. Hari Nahar memastikan bahwa, setidaknya setahun sekali, setiap rumah tangga Muslim—tanpa memandang status sosial—dapat menikmati hidangan protein yang sama dan merayakan hari raya dengan sukacita yang merata.
Distribusi daging kurban secara otomatis menciptakan siklus kebaikan. Para pekurban membersihkan harta mereka melalui pengeluaran yang diatur syariat, dan para penerima mendapatkan manfaat langsung dari kepedulian tersebut. Ini adalah implementasi praktis dari konsep kepemilikan kolektif atas sebagian rezeki, di mana harta yang dimiliki adalah amanah yang harus dibagikan.
B. Pengendalian Nafsu Materialistik
Pada tingkat spiritual, Hari Nahar mengajarkan tentang pentingnya melepaskan keterikatan pada dunia. Hewan kurban yang disembelih sering kali adalah harta yang paling disayangi atau membutuhkan biaya besar. Tindakan menyembelih ini adalah metafora untuk ‘menyembelih’ sifat-sifat buruk dalam diri: keserakahan, keangkuhan, dan cinta dunia yang berlebihan (hubb ad-dunya).
Melalui kurban, seorang Muslim berlatih mengutamakan perintah Allah di atas kepentingan pribadi dan materi. Ibadah ini menjadi latihan tahunan untuk melawan godaan setan yang selalu berusaha membisikkan keraguan saat seseorang hendak berinfak atau berkorban.
C. Peningkatan Kualitas Takwa
Allah SWT berfirman bahwa yang sampai kepada-Nya dari ibadah kurban bukanlah daging atau darahnya, melainkan ketakwaan dari hamba yang melaksanakannya. Ini adalah inti teologis Hari Nahar.
"Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya."
Ayat ini menegaskan bahwa kualitas ibadah ditentukan oleh keadaan hati, niat, dan tingkat kepasrahan, bukan hanya kesempurnaan ritual luarnya. Jika kurban dilakukan dengan riya (pamer), tanpa niat ikhlas, maka nilai ibadah tersebut akan hilang, meskipun dagingnya telah dibagikan kepada fakir miskin.
Integritas Pelaksanaan Qurban dan Keberlanjutan
Integritas pelaksanaan kurban juga mencakup upaya memastikan hewan disembelih sesuai syariat dan daging didistribusikan secara adil dan tepat sasaran. Di era modern, tantangan distribusi seringkali diatasi melalui lembaga amil zakat dan filantropi Islam, yang menjamin bahwa manfaat kurban mencapai daerah-daerah terpencil atau komunitas yang paling membutuhkan.
Pengelolaan kurban yang baik melibatkan aspek kesehatan hewan, kebersihan proses penyembelihan, dan efisiensi logistik. Hal ini menunjukkan bahwa ibadah kurban tidak hanya memerlukan keikhlasan spiritual tetapi juga kecakapan manajerial dan kepedulian terhadap lingkungan dan kesehatan publik. Dengan demikian, Hari Nahar menjadi momentum tahunan untuk refleksi total—baik refleksi spiritual, etika sosial, maupun tanggung jawab kemanusiaan.
VIII. Melengkapi Hikmah: Hari-Hari Tasyriq dan Penutup
Hari Nahar tidak berdiri sendiri, melainkan diikuti oleh tiga hari yang disebut Hari Tasyriq (tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah). Hari-hari ini juga memiliki kedudukan mulia dan melengkapi syariat kurban dan haji.
A. Keistimewaan Hari Tasyriq
Hari Tasyriq adalah hari di mana umat Islam dilarang berpuasa. Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa hari-hari tersebut adalah hari untuk makan, minum, dan berzikir (mengingat Allah). Larangan berpuasa ini menekankan aspek perayaan dan syukur setelah selesainya ibadah kurban.
Ibadah yang sangat dianjurkan selama Hari Tasyriq adalah melanjutkan takbir muqayyad (setelah salat wajib) dan mengonsumsi makanan yang halal dan baik, khususnya daging kurban.
B. Penyempurnaan Kurban dan Hadyu
Bagi mereka yang tidak sempat menyembelih di Hari Nahar, Hari Tasyriq memberikan kesempatan untuk menyempurnakan ibadah kurban dan hadyu. Selama empat hari ini (10, 11, 12, 13 Dzulhijjah), pintu untuk bertaqarrub melalui penyembelihan tetap terbuka. Ini adalah manifestasi dari kemudahan dan keluasan syariat Islam.
Jamaah haji menggunakan Hari Tasyriq untuk menyelesaikan ritual melontar tiga jumrah (Ula, Wusta, dan Aqabah) pada tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah, serta tanggal 13 Dzulhijjah bagi yang ingin menunda kepulangan (nafar tsani).
C. Zikir dan Syukur Sepanjang Hari
Inti dari Hari Nahar dan Hari Tasyriq adalah zikir dan syukur. Kesempatan untuk menyembelih hewan yang merupakan rezeki dari Allah, membagikannya kepada sesama, dan merayakannya bersama-sama adalah nikmat yang harus disyukuri dengan lisan (melalui takbir) dan perbuatan (melalui amal saleh).
Ketaatan yang ditunjukkan oleh Ibrahim, kesabaran yang dimiliki Ismail, dan pengampunan serta kemurahan hati Allah yang menggantikan pengorbanan manusia dengan hewan ternak, semuanya berujung pada satu pesan: Hidup adalah tentang pengorbanan yang ikhlas, dan balasannya adalah keridaan Ilahi dan kebahagiaan abadi.
Dengan demikian, Hari Nahar bukan sekadar libur keagamaan; ia adalah madrasah spiritual yang menuntut totalitas penyerahan diri, menegakkan keadilan sosial, dan mengukuhkan komitmen umat Islam pada nilai-nilai keikhlasan abadi.