Injil kanonik, yang secara tradisional dikenal sebagai Kitab Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes, merupakan fondasi teologis dan historis Kekristenan. Keempat narasi ini tidak hanya berfungsi sebagai catatan sejarah mengenai kehidupan, pelayanan, kematian, dan kebangkitan Yesus dari Nazaret, tetapi juga sebagai dokumen utama yang mendefinisikan identitas, doktrin, dan praktik gereja selama dua milenium. Status ‘kanonik’ yang disematkan pada keempat Injil ini menunjukkan pengakuan gereja purba bahwa hanya teks-teks ini yang memiliki otoritas ilahi dan apostolik yang absolut, menjadikannya standar bagi seluruh ajaran dan keyakinan.
Pengkajian mendalam terhadap Injil kanonik memerlukan pemahaman yang komprehensif, tidak hanya dari sudut pandang teologis, tetapi juga dari disiplin sejarah, kritik tekstual, dan literatur. Masing-masing penulis, meskipun menceritakan kisah yang sama tentang Yesus, membawa perspektif unik, audiens target yang berbeda, dan penekanan teologis yang spesifik, yang keseluruhannya menyajikan potret Yesus Kristus yang kaya dan multidimensional. Proses pengakuan teks-teks ini sebagai bagian dari Kanon Perjanjian Baru adalah sebuah perjalanan historis yang panjang dan kompleks, melibatkan kriteria ketat yang diterapkan oleh para pemimpin gereja pada abad-abad awal.
Kanon Perjanjian Baru, dan khususnya Injil, tidak muncul secara tiba-tiba. Proses ini adalah hasil dari pertumbuhan organik dan kebutuhan mendesak komunitas Kristen awal untuk membedakan ajaran yang benar (ortodoksi) dari ajaran sesat (heterodoksi). Pada mulanya, ajaran Yesus disampaikan secara lisan (kerygma). Namun, seiring berjalannya waktu, para rasul meninggal dunia, dan kebutuhan akan catatan tertulis yang otoritatif semakin mendesak, terutama untuk melawan klaim-klaim dari Injil-injil Gnostik yang mulai beredar luas.
Pada dekade-dekade awal setelah kebangkitan Yesus, Injil dipropagandakan melalui khotbah para rasul dan murid-murid terdekat. Catatan tertulis pertama, kemungkinan besar, adalah kumpulan ucapan Yesus (logia) dan narasi penderitaan (Passion Narratives). Markus diperkirakan menulis teksnya berdasarkan khotbah Petrus di Roma, sementara Matius dan Lukas kemudian menggunakan Markus sebagai salah satu sumber utama mereka. Kebutuhan akan Injil-injil ini diperkuat oleh tiga faktor utama: jarak geografis antar komunitas, perlunya pengajaran yang seragam bagi jemaat baru, dan ancaman ajaran sesat.
Pada abad kedua hingga keempat, para Bapa Gereja, seperti Irenaeus, Tertullianus, dan Eusebius, mulai menetapkan batas-batas Kanon secara lebih formal. Terdapat tiga kriteria utama yang harus dipenuhi oleh sebuah tulisan agar diakui sebagai Injil kanonik:
Pengakuan empat Injil ini mencapai puncaknya pada akhir abad kedua. Tokoh kunci, Irenaeus dari Lyon, secara eksplisit menyatakan bahwa hanya ada empat Injil, membandingkan jumlah ini dengan empat penjuru dunia dan empat arah mata angin. Kanon Muratori (sekitar 180 M) juga memberikan daftar yang mencakup keempat Injil ini, menunjukkan konsensus yang kuat di Roma pada periode tersebut.
Empat Injil sebagai empat aliran kesaksian yang bertemu dalam satu narasi Kristus yang otoritatif.
Istilah 'Sinoptik' (dari bahasa Yunani yang berarti 'melihat bersama') merujuk pada Injil Matius, Markus, dan Lukas. Ketiga Injil ini berbagi kesamaan yang mencolok dalam hal urutan narasi, pemilihan materi, dan bahkan frase-frase yang identik dalam bahasa Yunani. Namun, mereka juga mengandung perbedaan signifikan yang telah memicu perdebatan akademis intensif selama lebih dari dua abad, yang dikenal sebagai Masalah Sinoptik.
Persamaan di antara Matius, Markus, dan Lukas sangat luas. Sekitar 97% dari Markus ditemukan dalam Matius, dan sekitar 50% dari Markus ditemukan dalam Lukas. Tingkat kesamaan ini tidak mungkin terjadi jika para penulis bekerja secara independen satu sama lain. Sebaliknya, perbedaan muncul dalam materi yang unik bagi masing-masing (Matius memiliki M-Source, Lukas memiliki L-Source), dalam urutan kronologis, dan dalam sudut pandang teologis mereka.
Solusi yang paling diterima secara luas dalam kritik biblika modern adalah Hipotesis Dua Sumber (Two-Source Hypothesis), yang didasarkan pada dua premis kunci:
Hipotesis ini menyatakan bahwa Markus adalah Injil yang ditulis pertama, dan Matius serta Lukas menggunakannya sebagai cetak biru utama untuk kerangka narasi mereka. Bukti untuk Prioritas Markan sangat kuat:
Untuk menjelaskan materi yang dimiliki bersama oleh Matius dan Lukas, tetapi tidak ada dalam Markus (sekitar 200-250 ayat, sebagian besar berisi ucapan Yesus), para sarjana mengusulkan keberadaan dokumen hipotetis yang disebut Sumber Q. Sumber Q ini diyakini sebagai koleksi ucapan Yesus yang telah hilang, yang digunakan secara independen oleh Matius dan Lukas. Materi Q termasuk Khotbah di Bukit (Matius) dan Khotbah di Dataran (Lukas), serta banyak perumpamaan dan ajaran etika.
Dengan demikian, model Sinoptik yang dominan saat ini adalah: Matius menggunakan Markus + Q + M (bahan unik Matius). Lukas menggunakan Markus + Q + L (bahan unik Lukas). Model ini menyediakan kerangka logis untuk memahami pola interdependensi dan independensi di antara ketiga Injil ini.
Meskipun keempat Injil berbagi fokus pada Yesus Kristus, mereka sangat berbeda dalam tujuannya, teologinya, dan representasi yang mereka berikan mengenai identitas Kristus. Memahami ciri khas masing-masing Injil adalah kunci untuk mengapresiasi kekayaan Kanon Perjanjian Baru.
Injil Matius diyakini ditulis oleh Matius, salah satu dari 12 murid. Injil ini sangat berfokus pada audiens Yahudi Kristen, bertujuan untuk menunjukkan bahwa Yesus adalah Mesias yang dinubuatkan dalam Perjanjian Lama dan Raja dari Kerajaan Allah yang baru.
Ciri Khas Matius:
Matius menyajikan Yesus sebagai figur yang sah secara historis dan teologis bagi orang Yahudi, Mesias yang membawa janji-janji Allah kepada Israel pada akhirnya telah terwujud.
Markus adalah Injil yang paling singkat dan paling cepat temponya. Ditulis untuk komunitas Roma yang kemungkinan besar menghadapi penganiayaan, Markus menekankan tindakan dan otoritas Yesus, serta tema penderitaan dan pemuridan yang salah dipahami.
Ciri Khas Markus:
Lukas, yang diyakini adalah seorang tabib dan rekan Paulus, menulis Injilnya (dan kemudian Kisah Para Rasul) kepada 'Teofilus' yang kemungkinan besar adalah seorang pejabat Romawi. Injil ini adalah yang paling terstruktur, historis, dan memiliki cakupan universal yang luas.
Ciri Khas Lukas:
Injil Yohanes, yang paling lambat ditulis (sekitar akhir abad pertama), sangat berbeda dari ketiga Injil Sinoptik. Yohanes tidak menekankan mukjizat dan perumpamaan, tetapi menyoroti diskursus yang panjang dan berulang, bertujuan untuk menegaskan keilahian penuh Yesus.
Ciri Khas Yohanes:
Kanonisasi keempat Injil menjadi sangat penting karena pada abad kedua dan ketiga, banyak teks lain yang mengklaim menceritakan kehidupan Yesus mulai beredar. Teks-teks ini, sering disebut Injil apokrif, menimbulkan tantangan serius terhadap ortodoksi gereja. Memahami mengapa teks-teks seperti Injil Tomas atau Injil Petrus ditolak memperkuat posisi Injil kanonik.
Injil non-kanonik dapat dikategorikan menjadi beberapa kelompok, yang paling menonjol adalah Injil Gnostik. Teks-teks ini umumnya ditandai dengan:
Gereja purba menolak Injil-injil ini karena ketidaksesuaian teologis dan kurangnya hubungan yang jelas dengan kesaksian mata para rasul. Injil kanonik menceritakan kisah Kristus yang satu, yang ilahi dan manusiawi, yang menderita, wafat, dan bangkit, sebuah kerygma yang berbeda secara fundamental dari narasi mistis dan dualistis yang disajikan dalam teks-teks yang ditolak.
Keandalan Injil kanonik diperkuat oleh bukti tekstual yang luas dan dekat dengan waktu peristiwa. Ribuan manuskrip Yunani kuno, termasuk papirus yang berasal dari abad kedua (seperti P52, fragmen Injil Yohanes), memastikan bahwa teks yang kita miliki sekarang sangat dekat dengan apa yang ditulis oleh penulis aslinya. Perbedaan-perbedaan kecil yang ada di antara manuskrip umumnya tidak memengaruhi doktrin inti, melainkan variasi ejaan atau urutan kata.
Selain itu, kritik bentuk (Form Criticism) dan kritik sumber (Source Criticism) modern, meskipun menyoroti keragaman editorial, secara kolektif menegaskan inti historis yang kuat dari narasi Yesus, terutama mengenai pelayanan publik-Nya, klaim mesianik-Nya, dan peristiwa Salib/Kebangkitan.
Meskipun memiliki perspektif yang berbeda, keempat Injil tersebut menyajikan kesatuan yang luar biasa dalam kesaksian inti mereka. Kesatuan ini berpusat pada tiga tema utama yang mendefinisikan iman Kristen:
Semua Injil menegaskan bahwa Yesus adalah Anak Allah, tetapi mereka mencapainya dengan cara yang berbeda. Matius dan Lukas memulai dengan kisah kelahiran, menekankan kelahiran supernatural (konsepsi dari Roh Kudus) yang memadukan keilahian dengan kemanusiaan sejak awal. Markus menegaskan keilahian melalui otoritas-Nya atas roh jahat dan alam, yang puncaknya diakui oleh perwira Romawi di kaki salib. Yohanes memberikan pernyataan yang paling eksplisit: Yesus adalah Logos yang menjadi daging dan tinggal di antara manusia (Yohanes 1:14).
Doktrin Inkarnasi, bahwa Allah menjadi manusia sejati, adalah jantung dari narasi Injil. Injil kanonik dengan tegas menolak pandangan Doketisme (bahwa Yesus hanya tampak seperti manusia) yang dipromosikan oleh Gnostisisme. Mereka bersikeras bahwa Yesus mengalami kehidupan, penderitaan, dan kematian manusia sejati.
Kerajaan Allah adalah tema sentral dalam ajaran Yesus di Injil Sinoptik. Yesus menyatakan bahwa Kerajaan telah mendekat (Markus 1:15). Konsep ini memiliki dua dimensi penting:
Matius cenderung menggunakan istilah 'Kerajaan Sorga' sementara Lukas berfokus pada bagaimana Kerajaan itu diwujudkan secara sosial di antara orang miskin. Yohanes, meskipun jarang menggunakan istilah 'Kerajaan Allah,' menggantinya dengan konsep 'hidup kekal' (Eternal Life) yang diterima oleh mereka yang percaya kepada Putra.
Puncak dari keempat Injil adalah narasi Paskah. Semua Injil mengalokasikan ruang yang signifikan untuk Passion Narrative, karena kematian Yesus bukanlah akhir yang tragis, melainkan titik balik kosmik yang direncanakan. Yesus harus menderita sebagai Hamba Yahwe yang meredakan murka Allah (Yesaya 53).
Kebangkitan, yang disaksikan dengan berbagai cara (Matius: Kunjungan malaikat dan penampakan di Galilea; Lukas: Perjalanan ke Emaus dan penampakan di Yerusalem; Yohanes: Penampakan kepada Maria Magdalena dan Thomas), adalah pembuktian klaim ilahi Yesus dan kemenangan atas dosa dan maut. Tanpa Kebangkitan, keempat Injil hanyalah biografi seorang guru moral yang gagal. Status kanonik bergantung pada kesaksian kolektif bahwa Yesus benar-benar bangkit.
Simbol tradisional Empat Evangelis (Manusia, Singa, Lembu, Elang).
Analisis literatur Injil tidak hanya berfokus pada siapa yang menulis, tetapi juga bagaimana mereka menulis. Struktur sastra, genre, dan penggunaan tradisi Yahudi memberikan kedalaman tak terbatas dalam memahami pesan Injil kanonik.
Meskipun unik, Injil kanonik paling baik dipahami dalam konteks genre ‘bioi’ atau biografi kuno di dunia Mediterania. Biografi kuno tidak bertujuan untuk memberikan kronologi yang ketat seperti biografi modern, tetapi lebih pada representasi karakter dan etika tokoh utama. Para penulis Injil memilih dan menyusun materi (seperti yang diakui oleh Lukas dalam prolognya) untuk tujuan teologis, bukan semata-mata historis. Meskipun demikian, mereka tetap berakar pada peristiwa nyata, yang membedakannya dari mitos atau legenda.
Matius, khususnya, menggunakan tipologi, di mana peristiwa dalam kehidupan Yesus dilihat sebagai penggenapan atau pengulangan pola dari Perjanjian Lama. Misalnya, Yesus lolos dari pembantaian Herodes (tipologi Musa yang lolos dari Firaun), dan 40 hari pencobaan-Nya (tipologi 40 tahun Israel di padang gurun).
Injil juga penuh dengan ‘kesenjangan’ (gaps) naratif, terutama Markus. Kesenjangan ini memaksa pembaca untuk merenungkan makna di balik tindakan Yesus, yang seringkali dipercepat atau sengaja dibiarkan terbuka, seperti akhir asli Markus (Markus 16:8), yang tiba-tiba berakhir di kubur yang kosong, menantang pembaca untuk merespons kebangkitan tanpa penjelasan rinci. Perenungan terhadap kesenjangan ini adalah bagian dari strategi retorika kanonik.
Pengaruh keempat Injil melampaui batas-batas gereja. Teks-teks ini telah membentuk peradaban Barat, memengaruhi hukum, etika, seni, dan sastra global. Relevansi Injil kanonik tetap tak terbantahkan dalam dunia kontemporer yang terus mencari makna dan otoritas moral.
Dalam praktik liturgi gereja, Injil adalah pusat pengajaran. Sepanjang sejarah, pembacaan Injil dalam ibadah mingguan berfungsi untuk membentuk ingatan kolektif dan identitas spiritual jemaat. Perbedaan perspektif keempat Injil (Matius untuk pengajaran moral, Markus untuk tindakan Kristus, Lukas untuk belas kasihan, Yohanes untuk kontemplasi ilahi) memastikan bahwa gereja selalu memiliki sudut pandang yang seimbang mengenai pribadi Kristus.
Etika yang diajarkan dalam Injil kanonik, terutama dalam Khotbah di Bukit (Matius 5-7), menyediakan dasar bagi banyak prinsip humanistik universal: keadilan sosial, belas kasihan, pengampunan musuh, dan tanggung jawab terhadap orang miskin. Konsep Kerajaan Allah yang ditawarkan Lukas telah menjadi pendorong utama bagi gerakan-gerakan keadilan sosial di seluruh dunia. Kehadiran teks-teks ini menjamin bahwa Kekristenan terus menjadi kekuatan moral yang menuntut refleksi diri dan transformasi pribadi.
Untuk memahami sepenuhnya Injil Sinoptik, kita harus meneliti secara lebih rinci bagaimana Matius dan Lukas menyusun materi yang mereka warisi dari Markus dan sumber Q. Struktur adalah kunci untuk memahami tujuan teologis mereka.
Matius menggunakan struktur tematik yang sangat rapi. Dia menyelingi lima narasi pelayanan (aksi) dengan lima diskursus (ucapan). Pola ini, Narasi–Diskursus–Narasi–Diskursus, menciptakan kesetimbangan antara perkataan dan perbuatan Yesus. Lima diskursus utama tersebut adalah:
Struktur yang sangat terorganisir ini menegaskan bahwa Matius ingin menyajikan Yesus sebagai Guru Agung yang memberikan instruksi otoritatif, bukan hanya sebagai pencerita cerita.
Dokumen Q, yang sebagian besar diyakini merupakan ucapan-ucapan Yesus, sering kali mencerminkan kekristenan awal yang sangat menekankan etika dan eskatologi profetik, mungkin sebelum fokus beralih sepenuhnya pada narasi salib (yang sudah ditekankan dalam Markus). Materi Q yang paling penting mencakup:
Jika Q memang ada, ia memberikan jendela penting ke dalam tahap paling awal tradisi Yesus, di mana ucapan-ucapan-Nya dihargai sebagai ajaran hukum yang lebih tinggi dari Taurat. Q menunjukkan akar etika yang mendalam yang dimiliki oleh Matius dan Lukas.
Lukas menyumbangkan materi unik yang kaya, yang dikenal sebagai L-Source. Materi ini sering berfokus pada tema keadilan dan belas kasihan. Beberapa bagian L-Source yang paling terkenal adalah:
Materi unik Lukas memperkuat citra Yesus sebagai Juru Selamat yang menyambut semua orang, bahkan yang paling berdosa, dan yang memperjuangkan kaum yang terpinggirkan secara sosial dan ekonomi.
Perbedaan teologis antara Yohanes dan Sinoptik sangat besar sehingga para sarjana sering memperlakukannya secara terpisah. Yohanes ditulis untuk memperkuat iman di tengah tantangan proto-Gnostik dan komunitas yang mulai mempertanyakan status ilahi Kristus setelah kematian generasi rasuli pertama.
Yohanes sering menggunakan dualisme yang kuat (Terang vs Gelap, Hidup vs Kematian, Atas vs Bawah) untuk menekankan konflik spiritual dan sifat mutlak keilahian Yesus. Simbolisme yang digunakan juga sangat mendalam:
Tujuan dari simbolisme ini adalah untuk memindahkan fokus dari manfaat fisik (seperti dalam beberapa mukjizat Sinoptik) ke implikasi spiritual dan klaim ilahi yang lebih dalam.
Bagian unik Yohanes yang lain adalah diskursus perpisahan yang panjang (Yohanes 13–17), yang mencakup janji Yesus mengenai kedatangan Sang Penghibur, Roh Kudus (Parakletos). Ini memberikan dasar teologis bagi kehidupan gereja pasca-kebangkitan. Parakletos bertugas untuk mengajarkan, mengingatkan, dan memberikan kesaksian tentang Yesus kepada para murid yang tersisa di dunia setelah Dia naik ke Sorga. Diskursus ini menunjukkan kepedulian Yohanes tidak hanya terhadap identitas Yesus, tetapi juga terhadap kelangsungan iman jemaat setelah kepergian-Nya.
Tanpa kesatuan dan otoritas Injil kanonik, Kekristenan tidak akan memiliki doktrin-doktrin fundamental yang mapan. Keempat Injil secara kolektif menyediakan cetak biru untuk kristologi (doktrin tentang Kristus), soteriologi (doktrin tentang keselamatan), dan eklesiologi (doktrin tentang gereja).
Konsili-konsili awal, seperti Nicea (325 M) dan Kalsedon (451 M), yang mendefinisikan sifat Yesus (sepenuhnya Allah dan sepenuhnya manusia), secara eksklusif mengandalkan kesaksian Injil kanonik. Matius memberikan klaim kerajaan yang ilahi; Markus menegaskan ketaatan hamba yang ilahi; Lukas menekankan kemanusiaan universal; dan Yohanes secara langsung menyatakan keilahian pra-eksistensi Yesus.
Kombinasi harmonis dari keempat kesaksian ini memungkinkan para Bapa Gereja untuk menyusun formulasi yang menolak ekstremisme (seperti Arianisme yang menolak keilahian Kristus atau Doketisme yang menolak kemanusiaan Kristus). Otoritas teks-teks inilah yang menjadi penentu ortodoksi historis.
Meskipun Rasul Paulus secara eksplisit mengembangkan konsep keselamatan melalui iman, akar teologisnya ditemukan dalam Injil. Yesus dalam Matius dan Lukas menyerukan pertobatan dan iman sebagai respons terhadap kedatangan Kerajaan. Yohanes secara eksplisit menyatakan bahwa iman kepada Yesus Kristus, Anak Allah, adalah jalan menuju hidup kekal (Yohanes 3:16). Injil kanonik, oleh karena itu, merupakan narasi yang berpusat pada anugerah: Allah mengambil inisiatif untuk menyelamatkan melalui Putra-Nya, yang puncaknya adalah kematian dan kebangkitan yang dicatat secara rinci di keempat narasi tersebut.
Studi Injil kanonik terus berkembang. Meskipun masalah Sinoptik dan keandalan tekstual sebagian besar telah diselesaikan, perhatian modern kini beralih pada konteks sosial, politik, dan studi naratif.
Upaya pencarian ‘Yesus Historis’ (The Quest for the Historical Jesus) adalah topik penting dalam studi modern. Para sarjana berusaha membedakan antara apa yang mungkin dikatakan Yesus (Yesus Historis) dari bagaimana komunitas Kristen awal memahami dan menyajikan-Nya (Yesus Iman/Kristus Kanonik).
Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai rincian, konsensus umum dalam beasiswa modern adalah bahwa Injil kanonik memberikan kesaksian yang cukup andal tentang inti ajaran dan pelayanan Yesus. Perbedaan-perbedaan di antara Injil tidak dilihat sebagai kontradiksi yang merusak, melainkan sebagai interpretasi teologis yang sah yang dibuat oleh para penginjil yang berbeda untuk audiens dan tujuan yang berbeda pula. Keempat Injil saling melengkapi, bukan saling bersaing.
Pendekatan kritik naratif modern menyoroti bagaimana setiap Injil berfungsi sebagai sebuah karya sastra yang utuh. Hal ini memaksa pembaca untuk memperhatikan bagaimana sang penginjil menyusun plot, mengembangkan karakter (termasuk karakter murid-murid), dan menggunakan teknik sastra seperti ironi (terutama dalam Markus) atau monolog yang panjang (dalam Yohanes). Ini menunjukkan bahwa Injil bukanlah sekadar kumpulan ucapan yang terpisah, tetapi cerita yang terstruktur secara ahli untuk membentuk keyakinan pembacanya.
Penggunaan istilah "Injil Kanonik" menggarisbawahi peran Tradisi Suci dalam mengenali, bukan menciptakan, otoritas teks-teks ini. Gereja tidak memberikan otoritas kepada Injil, melainkan mengakui otoritas ilahi yang memang sudah melekat padanya karena hubungan mereka dengan para rasul dan kesetiaan mereka pada ajaran Yesus.
Konsensus tentang empat Injil ditegaskan dengan kuat di seluruh Kekaisaran Romawi menjelang akhir abad keempat. Figur-figur seperti Athanasius dari Aleksandria (367 M) secara definitif mencantumkan 27 kitab Perjanjian Baru yang sama dengan yang kita miliki saat ini, termasuk keempat Injil, dalam surat Paskahnya. Keputusan sinode-sinode regional seperti Hippo (393 M) dan Kartago (397 M) hanya mengesahkan apa yang telah menjadi praktik umum gereja selama lebih dari dua abad.
Proses ini menegaskan bahwa Injil kanonik tidak dipilih berdasarkan hasil voting politik, melainkan melalui proses pengujian spiritual dan historis yang berkelanjutan, memastikan bahwa hanya kesaksian yang paling autentik tentang Yesus yang menjadi standar iman. Keempat Injil ini adalah saksi mata yang paling otoritatif, menyampaikan pesan tunggal tentang Mesias melalui lensa yang beragam namun kohesif, menjamin bahwa kekayaan dan kedalaman pribadi Yesus Kristus dapat terus dipelajari dan diyakini oleh setiap generasi.
Keempat Injil kanonik—Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes—berdiri teguh sebagai kesaksian tunggal yang tak tergantikan mengenai kehidupan dan karya Yesus Kristus, Firman yang menjadi manusia. Mereka adalah peta jalan abadi bagi pemahaman akan keselamatan dan identitas ilahi.