Ilmu pengetahuan adalah perjalanan tak berujung, sebuah upaya manusia untuk memahami realitas yang terentang di sekelilingnya. Namun, di tengah hamparan luas pengetahuan yang diperoleh melalui eksperimen, observasi, dan spekulasi yang panjang—dikenal sebagai Ilmu Nazhari atau pengetahuan spekulatif—terdapat sebuah landasan kokoh yang mendahului semua proses tersebut. Landasan ini adalah Ilmu Daruri, atau Pengetahuan Mutlak yang Diperlukan (Necessary Knowledge).
Konsep Ilmu Daruri bukan sekadar teori filosofis; ia merupakan pilar utama dalam epistemologi Islam, khususnya dalam tradisi kalam (teologi rasional) dan ushuluddin. Ia adalah titik tolak yang tak terhindarkan, sebuah kepastian yang menjadi prasyarat bagi setiap pemikiran dan penalaran yang lebih kompleks. Artikel ini akan menelusuri secara mendalam hakikat, karakteristik, peran historis, serta implikasi Ilmu Daruri sebagai fondasi yang menjaga manusia dari kehampaan skeptisisme total.
Ilmu Daruri adalah titik awal yang tak terbantahkan, fondasi bagi semua pengetahuan yang selanjutnya dibangun melalui proses spekulasi.
Dalam terminologi epistemologi Islam, Ilmu Daruri (العلوم الضرورية) merujuk kepada pengetahuan yang masuk ke dalam akal budi manusia secara otomatis, tanpa memerlukan proses berpikir yang panjang, bukti, atau dalil formal. Ia adalah pengetahuan yang dipaksakan (dari kata dharara, yang berarti kebutuhan atau keharusan) kepada akal, sehingga akal tidak mampu menolaknya atau meragukannya.
Berbeda dengan Ilmu Nazhari (نظري), yang menuntut penelitian, perenungan, deduksi, atau induksi, Ilmu Daruri bersifat immediacy (langsung) dan self-evident (terbukti dengan sendirinya). Ketika seseorang dihadapkan pada proposisi daruri, konfirmasinya terjadi seketika, tanpa ada celah bagi keraguan yang substantif.
Untuk memahami kedalaman Ilmu Daruri, kita harus mengurai karakteristik yang membedakannya secara tajam dari jenis pengetahuan lainnya:
Pengetahuan daruri menghasilkan keyakinan yaqin yang sempurna. Ia tidak dapat digugat oleh hipotesis atau teori alternatif. Keyakinan bahwa 'satu lebih besar dari dua' adalah mustahil, adalah keyakinan yang pasti, bukan sekadar dugaan atau kemungkinan besar. Tingkat kepastian ini melebihi keyakinan yang diperoleh dari argumen filsafat atau ilmiah yang mungkin saja direvisi di masa depan.
Sifat dasar dari daruri adalah tidak memerlukan pembuktian. Jika suatu konsep membutuhkan dalil, ia otomatis terklasifikasi sebagai nazhari. Mencari bukti untuk membuktikan bahwa ‘keseluruhan lebih besar daripada bagiannya’ adalah usaha yang sia-sia dan redundan, karena kebenaran itu telah melekat pada definisi konseptualnya.
Pengetahuan ini universal bagi seluruh umat manusia yang memiliki akal sehat (berakal). Ia tidak terikat pada budaya, pendidikan formal, atau latar belakang geografis. Seorang anak kecil yang belum belajar matematika formal sekalipun akan secara daruri memahami bahwa dua benda digabungkan dengan dua benda lain menghasilkan empat benda secara keseluruhan.
Akal dipaksa untuk menerima kebenaran ini. Seseorang tidak dapat dengan sengaja memilih untuk meragukan bahwa ia ada di dunia. Eksistensi diri adalah pengetahuan daruri yang menjadi landasan bagi semua pengalaman subjektif lainnya. Keharusan ini menjaga akal agar tidak jatuh ke dalam relativisme atau nihilisme total.
Meskipun sering disederhanakan sebagai ‘pengetahuan yang jelas’, Ilmu Daruri sendiri memiliki beberapa sub-kategori berdasarkan sumber atau cara akal memperolehnya. Para filosof dan teolog klasik membagi sumber-sumber daruri menjadi setidaknya tiga atau empat kelompok utama:
Ini adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung melalui lima indra (penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba, pengecapan). Akal tidak memerlukan dalil tambahan untuk meyakini keberadaan api ketika ia merasakan panasnya, atau meyakini keberadaan cahaya ketika ia melihatnya. Meskipun indra dapat menipu dalam kondisi tertentu (misalnya ilusi optik), pengetahuan dasarnya—bahwa ada stimulus eksternal yang terdeteksi—adalah daruri.
Kepastian indrawi berfungsi sebagai konfirmasi dasar realitas. Jika kita harus meragukan semua yang kita lihat atau sentuh, tidak ada pengetahuan nazhari (spekulatif) yang bisa dibangun, karena eksperimen dan observasi adalah inti dari pengetahuan spekulatif.
Ini adalah inti dari Ilmu Daruri, sering disebut sebagai "pengetahuan pertama" (Awwaliyyat). Ini adalah prinsip-prinsip yang tertanam dalam struktur akal itu sendiri, yang dengannya akal dapat mulai berpikir. Mereka adalah aturan dasar logika dan metafisika.
Ini adalah aksioma paling fundamental: suatu hal tidak mungkin menjadi dirinya sendiri dan bukan dirinya sendiri pada saat yang bersamaan dan dalam aspek yang sama. Akal secara otomatis mengetahui bahwa "A" tidak bisa menjadi "non-A" secara simultan. Penalaran logis tidak mungkin terjadi tanpa penerimaan daruri terhadap prinsip ini.
Suatu hal adalah dirinya sendiri. Konsep daruri ini memastikan bahwa entitas yang sedang dibahas tetap stabil dan memiliki esensi yang koheren.
Pengetahuan daruri bahwa keseluruhan selalu lebih besar daripada bagian-bagiannya. Proposisi ini bersifat mutlak dan tidak memerlukan operasi matematis untuk memverifikasinya.
Ini adalah pengetahuan yang diperoleh melalui laporan yang sangat banyak (tawatur) dari berbagai sumber yang mustahil untuk bersekongkol dalam kebohongan. Meskipun secara teknis melibatkan transmisi, tingkat kepastian yang dihasilkannya dianggap setara dengan daruri. Contoh klasiknya adalah pengetahuan tentang eksistensi kota-kota besar yang belum pernah kita kunjungi (misalnya, keberadaan kota London, Tokyo, atau Mekah). Meskipun kita belum melihatnya, jumlah kesaksian yang konsisten dari berbagai pihak menjadikan penolakannya sebagai tindakan irasional.
Pengetahuan tentang keadaan internal diri sendiri, seperti rasa lapar, rasa sakit, kegembiraan, atau kesedihan. Ketika seseorang merasa sakit, ia tidak membutuhkan dalil eksternal untuk membuktikannya. Eksistensi perasaan subjektif ini adalah daruri bagi individu yang mengalaminya, dan merupakan titik awal bagi pengetahuan diri dan kesadaran.
Pentingnya Ilmu Daruri dalam sejarah pemikiran Islam tidak dapat dilebih-lebihkan. Bagi teolog (Mutakallimin) dan filosof (Falasifah), Ilmu Daruri adalah garis pertahanan pertama melawan skeptisisme radikal yang mengancam fondasi agama dan akal.
Pada periode awal filsafat Islam, muncul perdebatan sengit mengenai batas-batas kepastian. Jika semua pengetahuan harus dibuktikan (nazhari), maka akan terjadi regresi tak terbatas (tasalsul)—bukti memerlukan bukti lain, dan seterusnya. Ini akan melumpuhkan setiap upaya untuk membangun keyakinan, termasuk keyakinan teologis.
Ilmu Daruri memutus rantai regresi ini. Ia menyatakan bahwa penalaran harus dimulai dari titik yang secara intrinsik benar dan tidak dapat dipertanyakan. Jika fondasinya kokoh (daruri), maka bangunan yang didirikan di atasnya (nazhari) memiliki peluang untuk menjadi kuat.
Tokoh sentral yang menyoroti pentingnya Ilmu Daruri adalah Imam Al-Ghazali. Dalam karyanya Al-Munqidh min al-Dalal (Penyelamat dari Kesesatan), Al-Ghazali menceritakan krisis skeptisismenya. Ia mulai meragukan semua sumber pengetahuan, termasuk indra dan akal.
Al-Ghazali mempertanyakan apakah pengetahuan indrawi itu benar. Mata melihat bayangan sebagai statis, tetapi akal membuktikan ia bergerak. Akal, pada gilirannya, mungkin saja suatu hari terbukti palsu, seperti mimpi yang terasa nyata saat dialami, tetapi kemudian terbukti ilusi ketika bangun.
Krisis ini hanya dapat diselesaikan melalui intervensi ilahi, yang membersihkan hatinya dan mengembalikannya kepada kepastian Ilmu Daruri. Baginya, pengetahuan daruri (seperti prinsip non-kontradiksi atau kepastian matematis) adalah jangkar yang diberikan oleh Tuhan untuk memastikan bahwa manusia memiliki landasan yang stabil untuk mencari kebenaran yang lebih tinggi. Tanpa daruri, tidak ada jalan menuju Tuhan, karena argumen teologis (kalam) bergantung pada premis-premis daruri.
Ilmu Daruri adalah prasyarat, bukan tujuan akhir. Tujuan utama epistemologi sering kali adalah mencapai Ilmu Nazhari—pengetahuan yang kompleks, mendalam, dan diperoleh melalui spekulasi dan inferensi, seperti hukum gravitasi, sejarah kuno, atau bukti-bukti teologis tentang sifat Tuhan.
Hubungan keduanya adalah hirarkis: Nazhari selalu bergantung pada Daruri. Setiap silogisme, setiap argumen, setiap penelitian ilmiah harus didasarkan pada aksioma daruri (misalnya, bahwa penyebab mendahului akibat, atau bahwa definisi harus konsisten). Jika aksioma ini runtuh, seluruh struktur pengetahuan spekulatif juga runtuh.
Salah satu aspek paling menakjubkan dari Ilmu Daruri adalah sifatnya yang transenden terhadap perbedaan individu. Mengapa semua orang, terlepas dari latar belakangnya, dipaksa oleh akal untuk menerima kebenaran daruri?
Para filosof Islam berpendapat bahwa akal (al-Aql) diciptakan dengan perangkat lunak bawaan (fitrah) yang berfungsi sebagai filter dan pemroses pertama. Prinsip-prinsip daruri adalah struktur dari akal itu sendiri. Sama seperti mata diprogram untuk melihat cahaya dan telinga untuk mendengar bunyi, akal diprogram untuk mengenali kontradiksi sebagai mustahil. Ini adalah bagian dari fitrah manusia.
Kebenaran daruri tidak diajarkan; ia diaktifkan. Pengalaman sehari-hari hanya berfungsi sebagai pemicu untuk menyadari prinsip yang sudah ada di dalam diri. Ketika seseorang melihat dua apel dan dua apel digabungkan menjadi empat, ia tidak belajar matematika baru; ia hanya mengonfirmasi pengetahuan daruri tentang penjumlahan yang sudah ada dalam struktur rasionalnya.
Meskipun cara kita mengungkapkan pengetahuan daruri berbeda-beda dalam bahasa (misalnya, konsep "panas" atau "dingin"), inti kognitifnya tetap sama. Masyarakat primitif dan ilmuwan modern sama-sama secara daruri memahami bahaya gravitasi (jatuh itu menyakitkan) dan kebutuhan untuk bertahan hidup (eksistensi itu nyata).
Keuniversalan ini memberikan titik temu dasar bagi komunikasi dan peradaban. Tanpa basis daruri yang sama, perdebatan logis tidak mungkin terjadi, karena pihak-pihak yang berdebat tidak akan memiliki premis dasar yang disepakati.
Konsep Ilmu Daruri berfungsi sebagai penolak keras terhadap relativisme epistemologis. Jika semua kebenaran bersifat relatif terhadap sudut pandang individu atau masyarakat, maka prinsip non-kontradiksi pun bisa menjadi relatif. Namun, jika prinsip non-kontradiksi relatif, maka proposisi yang menyatakan ia relatif itu sendiri haruslah mutlak agar dapat diucapkan, menciptakan sebuah kontradiksi yang melumpuhkan.
Ilmu Daruri menegaskan bahwa setidaknya ada sekumpulan kecil kebenaran yang bersifat absolut dan non-relatif, yang berfungsi sebagai jangkar moral dan intelektual umat manusia.
Prinsip-prinsip daruri adalah pilar kognitif yang tanpanya struktur penalaran manusia akan runtuh.
Meskipun terlihat abstrak, Ilmu Daruri memiliki implikasi yang mendalam dalam berbagai bidang, mulai dari matematika hingga hukum dan etika.
Seluruh sistem matematika dan geometri didasarkan pada aksioma daruri. Misalnya, aksioma bahwa "melalui dua titik hanya dapat ditarik satu garis lurus" adalah pengetahuan daruri dalam geometri Euklides. Aksioma ini tidak dibuktikan; ia diterima secara mutlak dan langsung. Tanpa penerimaan daruri terhadap aksioma ini, teorema-teorema kompleks (nazhari) seperti Teorema Pythagoras tidak mungkin dibangun.
Demikian pula, hukum aritmatika dasar (2+2=4) adalah daruri. Kepastian ini bersifat transenden; ia akan tetap benar bahkan jika tidak ada manusia yang menghitungnya. Ini menunjukkan bahwa daruri merujuk pada kebenaran objektif yang inheren pada sifat kuantitas.
Dalam tradisi hukum Islam (Fiqh), Ilmu Daruri memainkan peran penting. Beberapa prinsip moral dan hukum dianggap daruri karena diterima secara universal oleh akal sehat (al-aql al-saliim). Misalnya:
Pengetahuan daruri membantu dalam menetapkan maqasid al-syariah (tujuan syariah), yang sebagian besarnya berakar pada kebutuhan dasar yang diakui secara universal oleh akal.
Ilmu Daruri juga berfungsi sebagai filter interpretasi teologis. Jika interpretasi suatu ayat atau hadits bertentangan secara frontal dengan pengetahuan daruri (misalnya, jika ia menyiratkan kontradiksi logis atau sesuatu yang mustahil secara rasional), maka interpretasi tersebut harus ditolak atau ditafsirkan ulang (ta’wil).
Akal daruri adalah hakim awal. Ia memastikan bahwa teks suci, yang merupakan sumber pengetahuan yang lebih tinggi, tidak dipahami dengan cara yang melanggar hukum-hukum dasar eksistensi dan logika yang telah ditetapkan secara daruri. Ini adalah keseimbangan antara Wahyu dan Akal yang diajarkan oleh Mutakallimin moderat.
Meskipun berfungsi sebagai fondasi, konsep Ilmu Daruri tidak luput dari kritik, terutama dari para skeptis dan empiris radikal.
Kritik utama diarahkan pada Ilmu Daruri yang bersumber dari indra (Hissiyat). Kaum skeptis, seperti yang dialami Al-Ghazali, menunjukkan bahwa indra bisa salah. Tongkat di dalam air terlihat bengkok, padahal lurus. Ini menunjukkan bahwa konfirmasi indrawi tidak selalu absolut.
Namun, jawaban tradisional adalah bahwa pengetahuan daruri bukan tentang interpretasi indra (yang bisa nazhari), melainkan tentang pengalaman dasar itu sendiri. Pengetahuan bahwa 'saya melihat tongkat yang terlihat bengkok' adalah daruri; penilaian tentang apakah tongkat itu 'benar-benar bengkok' adalah nazhari dan memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.
Kritikus modern terkadang mencampuradukkan Ilmu Daruri (yang bersifat rasional dan kognitif) dengan insting atau reaksi emosional. Insting untuk lari dari bahaya adalah biologis. Ilmu Daruri, sebaliknya, adalah pengakuan kognitif bahwa ‘api akan membakar’ atau ‘sesuatu yang telah musnah tidak bisa ada lagi’. Daruri bersifat logis dan universal, sementara insting bisa bervariasi.
Di era modern, munculnya geometri non-Euklides (di mana aksioma paralelisme Euklides ditolak) dan logika kuantum (di mana hukum kontradiksi kadang-kadang ditantang pada tingkat subatomik) menimbulkan pertanyaan: apakah aksioma daruri itu benar-benar mutlak?
Jawabannya sering kali bergantung pada domainnya. Prinsip-prinsip daruri klasik tetap mutlak dalam domain akal budi dan pengalaman sehari-hari (makrokosmos). Logika baru yang dikembangkan di ranah ilmiah yang sangat spesifik (nazhari) tidak meniadakan validitas daruri dalam ranah universalitas manusia. Akal manusia, secara daruri, tetap harus menggunakan hukum non-kontradiksi untuk memahami, bahkan untuk memahami logika kuantum itu sendiri.
Untuk memahami sepenuhnya bagaimana konsep Ilmu Daruri ini menopang seluruh arsitektur pengetahuan, kita harus menggali lebih dalam ke dalam mekanismenya, khususnya dalam konteks filosofis yang lebih rinci.
Istilah dharuri (darurat/keharusan) dalam konteks ini menekankan aspek paksaan kognitif. Ketika suatu proposisi adalah daruri, akal tidak memiliki kemampuan untuk membayangkan kebalikannya sebagai mungkin. Upaya untuk membayangkan bahwa 'sebuah benda dapat berada di dua tempat yang berbeda pada waktu yang sama' secara inheren gagal dalam pemikiran rasional yang sehat.
Ini bukan masalah preferensi atau keyakinan yang kuat; ini adalah masalah kemustahilan kognitif. Para filsuf sering membedakan antara kemustahilan rasional (mustahil secara daruri) dan kemustahilan adat (mustahil karena kebiasaan, tetapi mungkin secara rasional, seperti manusia terbang tanpa alat).
Ilmu Daruri memetakan batas-batas yang tidak bisa dilintasi oleh akal. Batasan ini adalah yang membuat akal menjadi alat yang efektif dan bukan sekadar generator fantasi acak. Tanpa batasan daruri, penalaran akan kehilangan bentuk dan fungsi.
Meskipun ada perdebatan filosofis yang panjang tentang mekanisme sebab-akibat (terutama antara Ash’ariyah dan Falasifah), pengetahuan bahwa setiap kejadian pasti memiliki penyebab di belakangnya adalah daruri bagi akal. Seseorang tidak dapat secara rasional meyakini bahwa suatu objek dapat muncul dari ketiadaan total (ex nihilo) tanpa sebab apapun yang mendahuluinya.
Jika kita menolak prinsip kausalitas daruri, seluruh ilmu pengetahuan empiris akan runtuh. Eksperimen ilmiah didasarkan pada asumsi daruri bahwa jika kita mengulangi penyebab (kondisi), kita akan mendapatkan akibat (hasil) yang sama. Pengetahuan daruri inilah yang memotivasi ilmuwan untuk mencari sebab yang tersembunyi, karena akal menolak kebetulan murni sebagai penjelasan akhir.
Bahkan ketika teolog Mutakallimin, seperti Ash’ariyah, berargumen bahwa Tuhan adalah satu-satunya sebab sejati (menolak kausalitas yang melekat pada benda), mereka tetap mengakui bahwa akal manusia secara daruri melihat adanya hubungan sebab-akibat. Mereka menyebut hubungan ini sebagai 'adat' (kebiasaan) yang ditetapkan oleh kehendak Tuhan, namun mengakui bahwa penolakan total terhadap hubungan ini secara praktis adalah mustahil bagi akal.
Dalam beberapa teks, Ilmu Daruri disandingkan dengan Badahah, yang berarti kejelasan seketika atau spontan. Ini menekankan aspek temporal dan psikologis dari akuisisi pengetahuan. Pengetahuan ini tidak melalui tahap perenungan, spekulasi, atau keraguan yang berkepanjangan; ia 'melonjak' masuk ke dalam akal.
Kejelasan seketika ini sering disimbolkan dengan penglihatan. Ketika mata melihat cahaya, pengakuan adanya cahaya terjadi tanpa perlu meditasi. Demikian pula, ketika akal dihadapkan pada kontradiksi, pengakuan terhadap kemustahilan terjadi seketika.
Kepastian yang dihasilkan oleh Daruri (Yaqin Daruri) berbeda dari kepastian yang dihasilkan oleh Nazhari (Yaqin Nazhari), meskipun keduanya dapat mencapai tingkat keyakinan yang sama. Perbedaannya terletak pada proses:
Contohnya, keyakinan bahwa 'setiap manusia pasti mati' (Nazhari, melalui observasi induktif) memiliki kepastian yang tinggi, tetapi keyakinan bahwa 'kehidupan dan kematian tidak mungkin terjadi pada satu objek dalam aspek yang sama' adalah Daruri.
Dalam Ushuluddin (Prinsip-prinsip Agama), Daruri memainkan peran ganda:
Mirip dengan argumen filosof Barat tentang 'Saya berpikir, maka saya ada', akal secara daruri mengakui eksistensi dirinya sebagai kesadaran. Pengakuan ini adalah titik awal teologis. Sebelum seseorang dapat membuktikan keberadaan Tuhan (Nazhari), ia harus secara daruri mengakui keberadaan dirinya sebagai entitas yang mencari kebenaran.
Penolakan terhadap eksistensi diri sendiri adalah kontradiksi performatif; bahkan tindakan meragukan eksistensi diri membuktikan keberadaan sang peragu.
Bukti keberadaan Tuhan (misalnya, melalui Argumen Kosmologis atau Teleologis) sepenuhnya bersifat Nazhari (spekulatif/inferensial). Namun, premis-premis dasar dari argumen-argumen ini harus Daruri.
Contoh Premis Daruri yang digunakan:
Jika prinsip-prinsip Daruri ini ditolak, maka argumen teologis tidak memiliki dasar. Dengan demikian, Ilmu Daruri adalah penjaga rasionalitas dalam teologi, memastikan bahwa pencarian akan Tuhan dimulai dari basis yang benar-benar stabil.
Penting untuk dicatat bahwa meskipun Ilmu Daruri bersifat mutlak, penerapan dan pengakuannya dapat diganggu oleh faktor-faktor non-rasional.
Orang yang kehilangan akal (misalnya, karena sakit mental atau keracunan) mungkin kehilangan kemampuan untuk mengenali kebenaran daruri. Ini menunjukkan bahwa Daruri adalah sifat yang melekat pada akal yang berfungsi normal (al-aql al-saliim).
Kadang-kadang, individu dapat secara lisan menolak kebenaran daruri karena bias, kecenderungan pribadi, atau motivasi tertentu. Namun, penolakan lisan ini dianggap sebagai tindakan yang bertentangan dengan apa yang secara intrinsik diketahui oleh hati nurani dan akalnya sendiri. Dalam hati kecil, kepastian daruri tetap ada.
Ini membedakan Ilmu Daruri dari keyakinan yang diperoleh melalui tradisi atau indoktrinasi (taqlid). Taqlid dapat goyah, sementara Daruri tidak akan pernah goyah bagi akal yang sehat, bahkan di bawah tekanan.
Bagaimana Ilmu Daruri relevan dalam konteks pengambilan keputusan hukum dan etika yang kompleks saat ini?
Dalam fiqh kontemporer, penentuan hukum sering melibatkan pertimbangan maslahat (kebaikan) dan mafsadat (kerusakan). Pengetahuan Daruri tentang konsekuensi dasar berperan penting di sini. Secara daruri, kita tahu bahwa penyebaran penyakit menular adalah kerusakan (mafsadat) yang harus dihindari. Pengetahuan ini tidak membutuhkan dalil nash; ia adalah kesimpulan rasional yang mutlak.
Ketika ulama mengeluarkan fatwa mengenai larangan terhadap tindakan yang jelas-jelas merusak tatanan sosial (misalnya, korupsi besar-besaran atau genosida), fondasi etika dari fatwa tersebut adalah pengetahuan daruri bahwa kerusakan total adalah buruk, terlepas dari rincian pelaksanaannya (yang bersifat nazhari).
Konsep hak asasi manusia modern dapat dilihat memiliki kesamaan dengan konsep Daruri. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, dan hak atas martabat diakui sebagai hak yang tidak dapat dicabut (daruri). Pengakuan bahwa kezaliman adalah buruk dan keadilan adalah baik adalah Daruri; bagaimana menciptakan sistem hukum yang adil (konstitusi, undang-undang) adalah Nazhari.
Ilmu Daruri memberikan landasan universal untuk dialog interkultural mengenai etika. Karena semua manusia secara daruri mengetahui bahwa penderitaan itu buruk dan eksistensi itu berharga, ini memungkinkan pembangunan jembatan moral yang melampaui perbedaan agama dan budaya.
Sebagai rangkuman filosofis, Ilmu Daruri adalah matriks di mana semua pengetahuan manusia lainnya dapat diorganisasikan. Tanpa matriks ini, kita akan hidup dalam kekacauan kognitif yang tak berujung.
Pengetahuan daruri adalah anugerah terbesar akal; ia membebaskan kita dari keharusan membuktikan hal-hal yang jelas. Pembebasan ini memungkinkan akal untuk mengalokasikan energinya pada hal-hal yang benar-benar membutuhkan proses spekulatif dan penelitian—yakni, Ilmu Nazhari.
Secara esensial, Ilmu Daruri menjamin tiga kepastian fundamental yang memungkinkan kehidupan yang bermakna:
Kepastian akan keberadaan diri sendiri, keberadaan dunia luar (yang terdeteksi indra), dan eksistensi realitas yang objektif. Kita tahu secara daruri bahwa kita tidak sedang bermimpi total yang tidak memiliki realitas di baliknya.
Kepastian akan hukum logika formal: non-kontradiksi, identitas, dan kausalitas. Tanpa keyakinan daruri pada konsistensi logika, setiap kalimat yang kita ucapkan atau pikirkan akan kehilangan maknanya.
Kepastian daruri bahwa masa depan akan menyerupai masa lalu dalam hal hukum alam yang paling mendasar. Walaupun secara ketat filosofis ini dapat diperdebatkan, secara operasional dan daruri, kita harus berasumsi bahwa matahari akan terbit besok, atau bahwa api akan membakar jika kita menyentuhnya.
Apabila seseorang menolak Ilmu Daruri, ia pada dasarnya harus menolak kemungkinan berbicara, berpikir, atau bertindak secara koheren. Bahkan untuk menyatakan "Saya tidak yakin tentang Ilmu Daruri," ia harus menggunakan logika daruri untuk menyusun kalimat tersebut.
Oleh karena itu, Ilmu Daruri tidak hanya menjadi fondasi epistemologi; ia adalah inti dari pengalaman manusia yang berakal. Ia adalah cahaya yang diberikan kepada akal untuk memulai perjalanan menuju pemahaman yang lebih dalam, yang berpuncak pada pencapaian Ilmu Nazhari dan, bagi banyak tradisi, pemahaman metafisika tertinggi.
Dengan memuliakan dan mengakui peran Ilmu Daruri, kita menghargai kapasitas bawaan akal manusia untuk kepastian, dan kita membangun jembatan yang kokoh dari kesadaran sederhana menuju kebijaksanaan yang paling agung.
Ilmu Daruri adalah titik nol epistemologi. Ia adalah kebenaran yang tidak dapat disangkal, bukan karena kekuatan argumen eksternal, melainkan karena keharusan internal akal budi itu sendiri. Ini adalah warisan intelektual yang terus relevan, memastikan bahwa di tengah badai keraguan modern, manusia memiliki jangkar yang tak tergoyahkan.
***
Kita sering mengabaikan betapa seringnya kita beroperasi berdasarkan asumsi daruri. Kehidupan sehari-hari akan menjadi serangkaian krisis eksistensial yang melumpuhkan jika kita harus membuktikan setiap langkah. Ilmu Daruri memastikan bahwa tindakan kita didasarkan pada kepastian praktis yang instan.
Ketika seorang pedagang memutuskan untuk menjual barang, ia secara daruri mengetahui bahwa ia tidak dapat menjual satu barang yang sama kepada dua pembeli yang berbeda pada waktu yang bersamaan. Ia juga secara daruri mengetahui bahwa jika ia mendapatkan harga yang lebih tinggi (keuntungan > biaya), ia akan untung. Prinsip-prinsip aritmatika dan kepemilikan ini adalah daruri. Keputusan spekulatif (nazhari), seperti memprediksi tren pasar, dibangun di atas fondasi daruri ini.
Komunikasi antarmanusia bergantung pada Ilmu Daruri. Ketika seseorang berbicara, kita secara daruri mengasumsikan bahwa kata-kata yang diucapkan berhubungan dengan maksud tertentu di benak pembicara (prinsip kausalitas antara pikiran dan ucapan). Kita juga secara daruri mengasumsikan bahwa jika A mengucapkan 'ya' dan B mengerti 'tidak', ada kontradiksi semantik yang harus diselesaikan. Ilmu Daruri memandu kita menuju konsistensi dalam bahasa.
Pengetahuan bahwa 'saya adalah orang yang sama dengan yang saya alami lima menit yang lalu' adalah daruri. Walaupun secara filosofis identitas diri dapat diperdebatkan, secara operasional, akal berfungsi dengan asumsi daruri ini. Tanpa kepastian daruri tentang kelangsungan identitas, memori akan menjadi serangkaian fragmen yang tidak relevan, dan perencanaan masa depan mustahil.
Kepastian ini mencakup pengakuan daruri terhadap memori terdekat: Saya yakin secara daruri bahwa saya baru saja minum air, karena pengalaman wijdaniyyah (batin) saya mengonfirmasi hal tersebut. Ini berbeda dengan memori masa lalu yang jauh (yang mungkin nazhari dan membutuhkan konfirmasi).
Pemahaman yang komprehensif memerlukan garis pemisah yang jelas antara kedua jenis pengetahuan ini, terutama dalam proses pendidikan dan akuisisi ilmu.
Ilmu Daruri memiliki batasan kuantitas yang relatif kecil—hanya meliputi aksioma logis, indrawi murni, dan prinsip-prinsip etis paling dasar. Ia bersifat kualitatif (memberikan kepastian mutlak) dan bukan kuantitatif (tidak memberikan detail yang luas tentang alam semesta).
Jika kita mencoba memasukkan terlalu banyak hal ke dalam kategori daruri (misalnya, menyatakan bahwa hukum fisika yang kompleks adalah daruri), kita akan merusak definisi Daruri itu sendiri, menjadikannya rentan terhadap tantangan empiris.
Ilmu Nazhari mencakup seluruh spektrum ilmu pengetahuan yang diperoleh. Ia adalah kuantitas terbesar dari pengetahuan manusia. Namun, ia rentan. Hukum fisika dapat direvisi (seperti revisi Newton oleh Einstein); teori sejarah dapat dibantah; dan argumen teologis dapat diperdebatkan. Kerentanan ini wajar, karena Nazhari dibangun melalui inferensi yang selalu terbuka untuk perbaikan data baru.
Proses Nazhari memerlukan metodologi yang ketat (seperti silogisme, induksi, deduksi). Metodologi ini adalah upaya sistematis untuk mencapai kepastian yang mendekati Daruri, dimulai dari premis-premis Daruri.
Dalam proses pembelajaran, Daruri harus diakui terlebih dahulu. Anak-anak diajari bahwa 2+2=4 (Daruri), sebelum mereka diajari tentang kalkulus diferensial (Nazhari). Epistemologi yang baik selalu memulai dari yang Daruri sebelum bergerak ke wilayah spekulatif.
Meskipun istilah ‘Ilmu Daruri’ berasal dari tradisi Islam klasik, konsep ini memiliki paralel yang kuat dalam filsafat Barat, khususnya melalui rasionalisme.
Ilmu Daruri sangat mirip dengan konsep pengetahuan a priori (pengetahuan yang independen dari pengalaman indrawi) yang dikemukakan oleh para filsuf seperti Immanuel Kant dan René Descartes.
Meskipun terdapat perbedaan substansial dalam metafisika yang mendasarinya, fungsinya tetap sama: menyediakan fondasi kepastian yang mustahil untuk ditarik kembali oleh skeptisisme.
Filsafat Barat bergumul dengan "Masalah Induksi" (Problem of Induction), yang pada dasarnya mempertanyakan kepastian kita bahwa hukum alam yang diamati di masa lalu akan berlaku di masa depan.
Dari sudut pandang Ilmu Daruri, keyakinan bahwa hukum alam akan berlaku adalah pengetahuan daruri dalam ranah praktis (adat/kebiasaan yang dipaksakan). Meskipun kita tidak dapat membuktikan secara mutlak bahwa matahari *harus* terbit besok, akal secara daruri diprogram untuk berfungsi seolah-olah hal itu pasti terjadi. Ini adalah bentuk pragmatisme epistemologis yang berakar pada keharusan kognitif.
Bagi teolog Muslim, pengakuan terhadap Ilmu Daruri membawa implikasi metafisik yang mendalam. Keberadaan pengetahuan yang universal, tak terbantahkan, dan mutlak ini dilihat sebagai bukti hikmah (kebijaksanaan) dari Sang Pencipta.
Jika Tuhan menciptakan akal budi, dan jika akal budi adalah sarana untuk mengenali kebenaran, maka Tuhan harus menjamin bahwa akal budi memiliki titik awal yang benar. Ilmu Daruri adalah jaminan Ilahi ini.
Jika Tuhan tidak memberikan manusia Ilmu Daruri, manusia akan berada dalam kegelapan skeptisisme abadi, dan perintah-perintah ilahi (yang memerlukan penalaran untuk dipahami dan dilaksanakan) akan menjadi tidak berarti. Oleh karena itu, Daruri tidak hanya penting bagi epistemologi, tetapi juga bagi teologi dan etika agama. Ia adalah hadiah yang memungkinkan manusia untuk menjadi makhluk yang bertanggung jawab, mampu membedakan antara yang benar dan yang salah, antara yang mungkin dan yang mustahil, tanpa harus menghabiskan seluruh hidupnya untuk membuktikan bahwa ia benar-benar ada.
Keyakinan pada Ilmu Daruri adalah tindakan kepercayaan pada keteraturan alam semesta dan pada kebenaran yang objektif. Ia adalah fondasi yang membebaskan akal untuk menjelajahi kompleksitas alam semesta (Nazhari), sambil tetap berakar pada kepastian yang mutlak dan abadi.
***
Dengan demikian, perjalanan intelektual menelusuri Ilmu Daruri membawa kita kembali ke titik permulaan: pengakuan rendah hati bahwa sebagian besar kebenaran paling penting dan paling mendasar telah tertanam dalam diri kita, siap sedia untuk diakui, bukan untuk diperoleh. Ini adalah pengetahuan yang diperlukan, mutlak, dan abadi.