Hiperandrogenisme, suatu kondisi yang ditandai dengan kelebihan kadar hormon androgen (hormon yang sering dianggap ‘hormon pria’ namun juga vital bagi wanita), adalah salah satu gangguan endokrin yang paling umum terjadi pada wanita usia reproduksi. Meskipun sering dikaitkan dengan manifestasi kosmetik yang mengganggu, seperti pertumbuhan rambut berlebihan (hirsutisme) atau jerawat parah (akne), kondisi ini jauh melampaui masalah penampilan semata. Hiperandrogen adalah penanda penting bagi berbagai kondisi medis, yang paling sering adalah Sindrom Ovarium Polikistik (PCOS), dan memiliki implikasi serius terhadap kesehatan metabolik, kardiovaskular, dan psikologis jangka panjang.
Memahami hiperandrogenisme memerlukan pemahaman mendalam tentang fisiologi hormon, jalur biosintesis androgen, serta mekanisme disregulasi yang dapat terjadi di tingkat ovarium, adrenal, maupun perifer. Artikel ini bertujuan untuk menyajikan eksplorasi yang komprehensif, membahas mulai dari dasar-dasar biokimia, etiologi diferensial yang luas, metode diagnosis yang cermat, hingga strategi tatalaksana yang terintegrasi, demi meningkatkan kualitas hidup individu yang terdampak.
Androgen, meskipun secara kuantitatif diproduksi lebih banyak pada pria, memegang peran esensial dalam kesehatan wanita. Hormon ini berfungsi sebagai prekursor bagi estrogen, serta memiliki fungsi biologis independen, termasuk kontribusi pada libido, kepadatan tulang, dan massa otot. Pada wanita, sumber utama produksi androgen adalah ovarium dan kelenjar adrenal.
Biosintesis androgen dimulai dari kolesterol dan melibatkan serangkaian enzim dalam jalur steroidogenesis. Pada ovarium, produksi androgen terjadi di sel teka di bawah stimulasi Hormon Luteinizing (LH). Pada kelenjar adrenal, proses ini terjadi di zona retikularis dan diregulasi oleh Hormon Adrenokortikotropik (ACTH). Gangguan pada salah satu enzim kunci dalam jalur ini—seperti 21-hidroksilase atau 11-beta-hidroksilase—dapat menyebabkan penumpukan prekursor yang dialihkan ke jalur androgen, menghasilkan kondisi hiperandrogenisme bawaan.
Efek klinis dari kelebihan androgen bervariasi tergantung pada usia pasien, tingkat keparahan kelebihan hormon, dan sensitivitas jaringan target terhadap androgen. Manifestasi utama pada wanita usia reproduksi meliputi hirsutisme, akne, dan alopecia androgenik.
Ilustrasi jalur biosintesis androgen dari Kolesterol, menunjukkan peran Testosteron dan konversi perifer menjadi Dihidrotestosteron (DHT).
Hirsutisme didefinisikan sebagai pertumbuhan rambut terminal (tebal, gelap, kaku) pada pola yang biasanya maskulin, seperti di wajah (bibir atas, dagu), dada, perut bagian bawah, dan punggung. Ini adalah manifestasi klinis hiperandrogenisme yang paling umum. Penting untuk membedakan hirsutisme dari hipertrikosis, yaitu peningkatan umum dalam pertumbuhan rambut vellus (halus) yang tidak mengikuti pola spesifik androgen dan biasanya disebabkan oleh obat-obatan atau penyakit non-endokrin.
Penilaian objektif terhadap hirsutisme dilakukan menggunakan Skala Ferriman-Gallwey (FG Score). Skala ini menilai sembilan area tubuh yang sensitif terhadap androgen, memberikan skor 0 (tidak ada rambut terminal) hingga 4 (pertumbuhan padat yang signifikan) di setiap area. Skor total 8 atau lebih pada populasi Kaukasia (dan seringkali skor yang lebih rendah pada populasi Asia) dianggap sebagai penanda hirsutisme yang signifikan secara klinis.
Androgen menstimulasi kelenjar sebasea (minyak) di kulit, menyebabkan peningkatan produksi sebum (seborrhea). Kelebihan sebum ini, ditambah dengan keratinisasi abnormal, menyebabkan pembentukan komedo dan merupakan lingkungan ideal bagi proliferasi bakteri Cutibacterium acnes. Akne pada pasien hiperandrogen biasanya parah, inflamasi, dan sering muncul di area dagu, rahang, dan punggung atas.
Alopecia androgenik (pola kebotakan pria) pada wanita adalah kondisi penipisan rambut di kulit kepala, biasanya di area sentral atau vertex (puncak kepala), sementara garis rambut depan (frontal) dipertahankan. Hal ini disebabkan oleh DHT yang menyebabkan folikel rambut sensitif menjadi miniaturisasi (menyusut) seiring waktu. Ini sering kali merupakan salah satu manifestasi yang paling mengganggu secara psikologis.
Hiperandrogenisme, terutama yang berasal dari PCOS, sering mengganggu proses ovulasi yang normal. Hal ini dapat menyebabkan:
Meskipun Sindrom Ovarium Polikistik (PCOS) menyumbang lebih dari 80% kasus hiperandrogenisme pada wanita usia reproduksi, penting bagi dokter untuk mempertimbangkan penyebab lain yang berpotensi lebih serius, terutama ketika gejala muncul secara tiba-tiba atau sangat parah (virilisasi).
PCOS adalah gangguan endokrin multisistem yang dicirikan oleh trias klinis: hiperandrogenisme (klinis atau biokimia), disfungsi ovulasi (oligomenore/amenore), dan morfologi ovarium polikistik pada USG. Patogenesis PCOS bersifat multifaktorial dan melibatkan resistensi insulin, peningkatan produksi LH, dan disregulasi hipotalamus-hipofisis-ovarium.
Diagnosis PCOS memerlukan adanya dua dari tiga kriteria berikut:
Resistensi insulin dan risiko metabolik cenderung paling parah pada Fenotipe A dan B, di mana hiperandrogenisme dan anovulasi hadir bersamaan.
NCAH adalah bentuk yang lebih ringan dan onset lambat dari Hiperplasia Adrenal Kongenital (CAH), yang paling sering disebabkan oleh defisiensi parsial enzim 21-hidroksilase. Karena defisiensi ini tidak total, pasien dapat tampak asimtomatik hingga masa pubertas atau dewasa muda. Kurangnya enzim 21-hidroksilase menyebabkan prekursor steroid menumpuk dan dialihkan ke jalur androgen, menghasilkan kelebihan DHEA-S dan androgen lainnya. NCAH sering meniru gejala PCOS, termasuk hirsutisme dan gangguan siklus, menjadikannya diagnosis diferensial yang sangat penting.
Ini adalah penyebab hiperandrogenisme yang paling jarang tetapi paling serius. Tumor ini dapat berasal dari ovarium (misalnya, Tumor Sel Sertoli-Leydig) atau dari kelenjar adrenal. Kecurigaan tumor harus tinggi jika pasien menunjukkan virilisasi (gejala yang sangat maskulin, seperti pendalaman suara, klitoromegali, atau atrofi payudara) yang timbul secara cepat, atau jika kadar testosteron total sangat tinggi (sering kali > 150-200 ng/dL) atau DHEA-S sangat tinggi.
Sindrom Cushing, yang disebabkan oleh kelebihan kortisol, dapat menyebabkan hiperandrogenisme karena prekursor steroid juga dialihkan ke jalur androgen. Gejala Cushing (obesitas sentral, striae ungu, kelemahan otot) sering mendominasi gambaran klinis, namun hirsutisme dan akne juga merupakan manifestasi umum.
Beberapa obat, termasuk androgen eksogen (misalnya, steroid anabolik), dan obat-obatan yang dapat mengganggu metabolisme steroid atau protein pengikat, dapat menyebabkan hiperandrogenisme. Contohnya termasuk danazol, beberapa progestin sintetis, atau valproat.
Diagnosis hiperandrogenisme didasarkan pada kombinasi evaluasi klinis yang cermat dan konfirmasi biokimia, dengan tujuan utama menyingkirkan etiologi yang serius (tumor) dan membedakan antara PCOS dan NCAH.
Skema penyaringan hormon awal untuk membedakan antara PCOS, NCAH, dan Tumor. Fokus utama pada Testosteron Total dan DHEA-S.
USG dilakukan untuk menilai morfologi ovarium. Kriteria untuk ovarium polikistik meliputi:
Pencitraan juga vital dalam mencari massa (tumor) ovarium atau adrenal jika temuan biokimia sangat mencurigakan.
Tujuan tatalaksana hiperandrogenisme adalah multifaset: (1) Mengurangi manifestasi kosmetik (hirsutisme, akne), (2) Mengembalikan siklus menstruasi normal dan mencegah hiperplasia endometrium, (3) Mengelola risiko metabolik jangka panjang, dan (4) Mengatasi infertilitas (jika pasien merencanakan kehamilan).
Bagi sebagian besar pasien hiperandrogenisme yang mengalami obesitas atau kelebihan berat badan (terutama pada kasus PCOS), intervensi gaya hidup adalah fondasi dari seluruh pengobatan. Penurunan berat badan sebesar 5-10% saja dapat secara dramatis memperbaiki sensitivitas insulin, menurunkan kadar androgen, dan bahkan memicu ovulasi spontan.
KOK adalah terapi lini pertama untuk hirsutisme dan anovulasi pada wanita yang tidak merencanakan kehamilan. Mekanismenya meliputi:
Penting dicatat bahwa perbaikan signifikan pada hirsutisme biasanya memerlukan setidaknya 6 hingga 9 bulan pengobatan.
Jika KOK sendiri tidak cukup untuk mengontrol hirsutisme parah, agen antiandrogen dapat ditambahkan:
Terapi farmakologis harus selalu dilengkapi dengan metode mekanis. Elektrolisis atau terapi laser/IPL dapat memberikan perbaikan kosmetik yang cepat dan signifikan, terutama ketika dikombinasikan dengan obat-obatan yang mengurangi pertumbuhan rambut baru.
Metformin, sensitizer insulin oral, tidak secara resmi disetujui FDA untuk pengobatan hiperandrogenisme atau PCOS, namun digunakan secara luas. Metformin bekerja dengan mengurangi produksi glukosa hepatik dan meningkatkan sensitivitas insulin di jaringan perifer. Manfaatnya pada pasien hiperandrogen meliputi:
Meskipun kurang umum digunakan dibandingkan Metformin, Glitazone (agonis PPAR-gamma) juga meningkatkan sensitivitas insulin dan telah terbukti dapat menurunkan kadar androgen bebas pada wanita dengan PCOS, namun penggunaannya dibatasi oleh potensi efek samping seperti retensi cairan dan peningkatan risiko patah tulang.
Jika pasien hiperandrogen ingin hamil, terapi dialihkan dari obat antiandrogen dan KOK (yang harus dihentikan) ke agen induksi ovulasi.
Hiperandrogenisme, terutama dalam konteks PCOS, bukanlah sekadar masalah ginekologis, tetapi merupakan sindrom metabolik dan endokrin yang meningkatkan risiko komplikasi kesehatan serius sepanjang rentang hidup wanita.
Anovulasi kronis berarti endometrium (lapisan rahim) terpapar estrogen secara terus-menerus tanpa adanya progesteron yang berlawanan (yang hanya dihasilkan setelah ovulasi). Paparan estrogen tanpa lawan ini adalah pendorong utama hiperplasia endometrium dan meningkatkan risiko karsinoma endometrium (kanker rahim).
Inilah mengapa tatalaksana hiperandrogen harus selalu mencakup induksi perdarahan pengeluaran (melalui KOK atau progestin siklik) jika siklus menstruasi terjadi kurang dari 8 kali setahun.
Manifestasi kosmetik hiperandrogenisme (hirsutisme, akne, alopecia) dapat memiliki dampak psikologis yang mendalam, sering kali mengakibatkan:
Oleh karena itu, penanganan hiperandrogenisme harus bersifat holistik, sering kali melibatkan dukungan psikologis dan konseling.
Ketidakseimbangan Endokrin-Metabolik pada Hiperandrogenisme, seringkali didorong oleh resistensi insulin.
Penelitian terus berlanjut untuk mencari pendekatan terapeutik yang lebih bertarget, terutama bagi pasien yang tidak merespons terapi lini pertama atau yang memiliki fenotipe metabolik yang sangat parah.
Mio-inositol dan D-chiro-inositol (DCI) telah menarik perhatian besar sebagai terapi tambahan, terutama untuk PCOS. Inositol adalah molekul pembawa pesan kedua yang penting dalam pensinyalan insulin. Studi menunjukkan bahwa suplementasi inositol dapat memperbaiki sensitivitas insulin, menurunkan kadar androgen, dan bahkan memicu ovulasi pada beberapa pasien. Rasio kombinasi mio-inositol dan DCI (40:1) dianggap yang paling efektif, mencerminkan rasio fisiologis dalam plasma.
Obat-obatan seperti liraglutide dan semaglutide (agonis reseptor Peptida Mirip Glukagon-1), yang awalnya dikembangkan untuk diabetes dan obesitas, menunjukkan potensi besar. Selain manfaat penurunan berat badan yang substansial, obat ini dapat memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga secara tidak langsung dapat meredakan hiperandrogenisme.
Hiperandrogenisme dan PCOS seringkali disertai dengan inflamasi kronis tingkat rendah. Target anti-inflamasi, termasuk penggunaan statin pada pasien dengan dislipidemia berat (meskipun bukan terapi standar untuk hiperandrogenisme murni), sedang dieksplorasi untuk mengurangi risiko kardiovaskular dan metabolik yang terkait.
Mengidentifikasi NCAH tetap menjadi tantangan, terutama karena sering kali tumpang tindih dengan PCOS. Perbedaan mendasar terletak pada etiologi: NCAH adalah defek enzim tunggal yang dapat dikoreksi dengan glukokortikoid dosis rendah (seperti Deksametason pada malam hari), sementara PCOS adalah disregulasi multisistem yang memerlukan fokus pada resistensi insulin. Diagnosis yang salah antara keduanya dapat menyebabkan kegagalan terapi yang signifikan.
Mengingat variasi fenotipe dan spektrum gejala yang luas, tatalaksana hiperandrogenisme harus sangat dipersonalisasi. Tidak ada satu pendekatan yang cocok untuk semua. Perawatan harus ditinjau ulang secara berkala seiring perubahan tujuan hidup pasien (misalnya, dari mengelola penampilan menjadi merencanakan kehamilan).
Pasien dengan hiperandrogenisme kronis (PCOS) memerlukan pemantauan berkala, bahkan ketika gejalanya terkontrol. Ini termasuk:
Pengelolaan hiperandrogenisme yang optimal memerlukan tim yang terdiri dari:
Pemahaman bahwa hiperandrogenisme adalah suatu spektrum, bukan diagnosis tunggal, adalah kunci. Dengan diagnosis dini dan tatalaksana yang terintegrasi, risiko komplikasi jangka panjang—terutama yang berkaitan dengan kardiovaskular dan metabolik—dapat diminimalkan secara signifikan, memungkinkan individu untuk menjalani hidup yang lebih sehat dan seimbang.
Perbandingan folikel rambut (rambut vellus vs. rambut terminal yang dipicu androgen) dan hiperaktivitas kelenjar sebasea.
Untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam mengenai hiperandrogenisme dan memenuhi tuntutan konten yang ekstensif, kita harus menelaah mekanisme molekuler di balik resistensi insulin dan kelebihan produksi androgen pada tingkat sel.
Pada wanita dengan PCOS dan hiperandrogenisme, masalah utama bukan hanya pada kuantitas insulin yang disekresikan, tetapi pada respons sel terhadap sinyal insulin. Resistensi insulin dimulai pada tingkat pasca-reseptor. Insulin normalnya mengikat reseptornya, mengaktifkan jalur sinyal intraseluler yang melibatkan molekul seperti IRS (Insulin Receptor Substrates) dan jalur PI3K/Akt. Pada PCOS, terjadi fosforilasi serin berlebihan pada IRS-1. Fosforilasi ini menghambat sinyal normal insulin yang seharusnya mendorong penyerapan glukosa.
Namun, perlu ditekankan bahwa insulin memiliki jalur sinyal yang berbeda (jalur MAPK) yang tetap berfungsi bahkan dalam kondisi resistensi insulin. Jalur MAPK inilah yang bertanggung jawab untuk merangsang pertumbuhan dan proliferasi sel, termasuk sel teka ovarium. Oleh karena itu, hiperinsulinemia (kadar insulin tinggi) yang dihasilkan dari resistensi, secara paradoks, tetap mampu merangsang produksi androgen (via MAPK) sambil gagal memfasilitasi penyerapan glukosa (via PI3K/Akt yang terhambat).
Wanita dengan hiperandrogenisme menunjukkan peningkatan stres oksidatif dan peradangan kronis tingkat rendah. Sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α dan IL-6 berkontribusi pada resistensi insulin dan juga dapat secara langsung merangsang sel teka untuk meningkatkan steroidogenesis, memperburuk hiperandrogenisme. Peradangan ini juga memainkan peran dalam patogenesis disfungsi endotel (lapisan pembuluh darah), yang menjadi prekursor penyakit kardiovaskular.
Penelitian genetik menunjukkan bahwa beberapa gen yang terlibat dalam steroidogenesis, seperti CYP11A1, CYP17A1, dan reseptor LH, mungkin diekspresikan secara berlebihan pada pasien PCOS. Peningkatan ekspresi gen-gen ini, yang sering dipicu oleh lingkungan hiperinsulinemia dan LH tinggi, mengakibatkan peningkatan produksi steroid, yang sebagian besar dialihkan ke androgen karena folikel terhenti dan jalur aromatase (konversi androgen menjadi estrogen) terhambat.
Hiperandrogenisme, khususnya PCOS, memiliki komponen genetik yang kuat. Meskipun merupakan kondisi poligenik (dipengaruhi banyak gen), studi asosiasi genom luas (GWAS) telah mengidentifikasi beberapa lokus genetik yang terkait dengan PCOS. Beberapa lokus ini berhubungan dengan fungsi ovarium, sementara yang lain terkait dengan metabolisme insulin. Hal ini menjelaskan mengapa PCOS memiliki manifestasi yang begitu beragam, mulai dari fenotipe yang didominasi masalah reproduksi hingga fenotipe yang didominasi masalah metabolik.
Pemahaman genetik ini membuka jalan bagi terapi di masa depan yang dapat menargetkan protein spesifik yang disandi oleh gen yang terpengaruh, menawarkan pendekatan pengobatan yang jauh lebih presisi.
Mendiagnosis hiperandrogenisme pada remaja memerlukan pertimbangan khusus karena banyak gejala, seperti akne dan siklus yang tidak teratur, umum terjadi selama masa pubertas normal.
Kriteria Rotterdam standar sulit diterapkan pada remaja segera setelah menarke (haid pertama) karena anovulasi dan morfologi polikistik ovarium sering merupakan bagian dari maturasi normal poros HPO (Hipotalamus-Hipofisis-Ovarium). Oleh karena itu, diagnosis hiperandrogenisme pada remaja harus sangat berhati-hati dan biasanya hanya didasarkan pada:
Morfologi ovarium polikistik pada USG harus diabaikan sebagai kriteria utama pada remaja, karena sangat sering ditemukan pada populasi remaja yang sehat.
Intervensi dini pada remaja dengan hiperandrogenisme sangat penting untuk mengubah lintasan penyakit. Tatalaksana agresif terhadap resistensi insulin (melalui gaya hidup dan, jika perlu, Metformin) dapat mengurangi beban hiperandrogenisme seiring waktu, berpotensi memulihkan siklus ovulasi normal di masa dewasa, dan yang terpenting, mengurangi risiko metabolik yang muncul di usia muda.
Setelah berhasil mencapai kehamilan (baik spontan maupun melalui induksi), wanita hiperandrogenik menghadapi risiko kehamilan yang berbeda yang memerlukan manajemen proaktif.
Wanita dengan hiperandrogenisme (PCOS) memiliki risiko yang lebih tinggi untuk komplikasi obstetri, termasuk:
Kadar androgen yang tinggi pada pasien PCOS sering kali menurun secara spontan selama kehamilan karena adanya peningkatan dramatis SHBG yang diproduksi oleh plasenta. Namun, beberapa wanita mungkin memerlukan pemantauan ketat, dan pemberian Progesteron tambahan sering diresepkan untuk mendukung fase luteal, meskipun bukti manfaatnya secara rutin bervariasi.
Manajemen DMG dan preeklamsia pada kelompok ini harus dilakukan secara agresif, seringkali melibatkan pengawasan glukosa darah intensif dan intervensi diet yang ketat.
Secara keseluruhan, hiperandrogenisme mewakili salah satu tantangan endokrinologi yang paling kompleks karena interaksi yang erat antara hormon, metabolisme, dan genetik. Melalui pendekatan yang komprehensif, terfokus pada gaya hidup sebagai fondasi dan penggunaan terapi farmakologis yang bertarget, hasil jangka pendek (kosmetik dan reproduksi) serta jangka panjang (metabolik dan kardiovaskular) dapat ditingkatkan secara substansial. Edukasi pasien yang memadai mengenai sifat kronis kondisi ini dan pentingnya kepatuhan terhadap gaya hidup tetap menjadi pilar utama keberhasilan tatalaksana.