Pengantar Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia adalah kondisi di mana terjadi peningkatan kadar bilirubin dalam darah melebihi batas normal. Bilirubin sendiri adalah pigmen kuning yang merupakan produk sampingan dari pemecahan sel darah merah tua. Meskipun seringkali dianggap sebagai kondisi yang umum dan seringkali jinak pada bayi baru lahir, hiperbilirubinemia juga dapat terjadi pada anak-anak dan orang dewasa, dan dalam beberapa kasus, dapat mengindikasikan masalah kesehatan yang serius. Pemahaman mendalam tentang kondisi ini, mulai dari metabolisme bilirubin hingga gejala, penyebab, diagnosis, dan penanganannya, sangat penting untuk memastikan hasil kesehatan yang optimal.
Pada neonatus, atau bayi baru lahir, hiperbilirubinemia sering disebut sebagai ikterus neonatorum atau "kuning pada bayi". Kondisi ini sangat umum, mempengaruhi sekitar 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi prematur. Mayoritas kasus adalah fisiologis (normal), tetapi sekitar 5-10% dapat bersifat patologis (tidak normal) dan berpotensi menyebabkan komplikasi serius seperti kernikterus jika tidak ditangani dengan tepat. Oleh karena itu, deteksi dini dan penatalaksanaan yang cermat sangat krusial, terutama pada populasi bayi baru lahir yang rentan.
Artikel ini akan menguraikan secara komprehensif berbagai aspek hiperbilirubinemia, dimulai dengan dasar-dasar metabolisme bilirubin, berbagai jenisnya, penyebab spesifik pada bayi dan dewasa, tanda dan gejala, metode diagnosis, hingga pilihan terapi dan pencegahan. Kami juga akan membahas potensi komplikasi serius, khususnya kernikterus, untuk menekankan pentingnya intervensi yang tepat waktu.
Memahami Metabolisme Bilirubin
Untuk memahami hiperbilirubinemia, penting untuk terlebih dahulu mengerti bagaimana bilirubin diproduksi, diolah, dan dikeluarkan dari tubuh. Proses ini melibatkan beberapa organ dan enzim, terutama hati.
1. Pembentukan Bilirubin (Pre-hepatik)
Mayoritas bilirubin (sekitar 75-80%) berasal dari pemecahan heme dari sel darah merah (eritrosit) tua atau yang rusak. Sel darah merah memiliki siklus hidup sekitar 120 hari pada orang dewasa dan jauh lebih singkat pada neonatus (sekitar 70-90 hari). Setelah masa hidupnya berakhir, sel darah merah dihancurkan oleh sistem retikuloendotelial, terutama di limpa, hati, dan sumsum tulang.
- Pemecahan Heme: Gugus heme dilepaskan dari hemoglobin dan diubah menjadi biliverdin oleh enzim heme oksigenase.
- Reduksi Biliverdin: Biliverdin kemudian direduksi menjadi bilirubin tak terkonjugasi (indirect bilirubin) oleh enzim biliverdin reduktase. Bilirubin tak terkonjugasi bersifat tidak larut dalam air (hidrofobik) dan toksik dalam bentuk bebasnya.
2. Transportasi Bilirubin (Sirkulasi)
Bilirubin tak terkonjugasi yang hidrofobik diangkut dalam darah terikat pada albumin, protein plasma utama. Ikatan dengan albumin ini mencegah bilirubin bebas mencapai dan merusak jaringan, terutama otak pada bayi baru lahir yang sawar darah otaknya belum matang. Kapasitas ikatan albumin ini penting; jika ada terlalu banyak bilirubin tak terkonjugasi atau jika ada zat lain (misalnya, obat-obatan tertentu, asam lemak bebas) yang bersaing untuk tempat ikatan albumin, bilirubin bebas dapat meningkat.
3. Konjugasi Bilirubin di Hati (Intra-hepatik)
Setelah tiba di hati, bilirubin tak terkonjugasi dilepaskan dari albumin dan diambil oleh hepatosit (sel hati). Di dalam hepatosit, bilirubin tak terkonjugasi undergoes a crucial transformation: it is conjugated with glucuronic acid. Proses ini dikatalisis oleh enzim uridine diphosphate-glucuronosyltransferase (UGT1A1).
- Uptake: Bilirubin tak terkonjugasi masuk ke dalam sel hati.
- Konjugasi: Dengan bantuan enzim UGT1A1, satu atau dua molekul asam glukuronat ditambahkan ke bilirubin, mengubahnya menjadi bilirubin terkonjugasi (direct bilirubin), yang juga dikenal sebagai bilirubin diglukuronida. Berbeda dengan bentuk tak terkonjugasi, bilirubin terkonjugasi bersifat larut dalam air (hidrofilik) dan tidak toksik.
4. Ekskresi Bilirubin (Post-hepatik)
Bilirubin terkonjugasi kemudian dikeluarkan dari hepatosit ke dalam saluran empedu (kanalikuli biliaris) melalui transporter aktif (MRP2). Dari saluran empedu, bilirubin terkonjugasi mengalir bersama empedu ke usus halus.
- Di Usus Halus: Di dalam usus, bilirubin terkonjugasi tidak diabsorpsi kembali. Bakteri usus mengubahnya menjadi urobilinogen.
- Ekskresi Feses: Sebagian besar urobilinogen dioksidasi menjadi sterkobilin, yang memberikan warna cokelat pada feses. Ini adalah jalur utama eliminasi bilirubin dari tubuh.
- Siklus Enterohepatik: Sebagian kecil urobilinogen dapat diserap kembali dari usus ke dalam darah. Sebagian dari urobilinogen yang diserap ini difiltrasi oleh ginjal dan diekskresikan dalam urin sebagai urobilin (memberikan warna kuning pada urin). Sebagian lainnya kembali ke hati. Pada bayi baru lahir, siklus enterohepatik ini bisa lebih aktif karena kurangnya bakteri usus dan adanya enzim beta-glukuronidase di usus, yang dapat mendekonjugasi bilirubin terkonjugasi kembali menjadi bilirubin tak terkonjugasi yang kemudian dapat diserap kembali.
Gangguan pada salah satu langkah dalam jalur metabolisme ini dapat menyebabkan penumpukan bilirubin, yang berujung pada hiperbilirubinemia dan manifestasi klinis ikterus (kulit dan sklera mata yang menguning).
Jenis-Jenis Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis bilirubin yang meningkat (tak terkonjugasi atau terkonjugasi) dan berdasarkan penyebabnya.
1. Hiperbilirubinemia Tak Terkonjugasi (Indirect Hyperbilirubinemia)
Ini adalah jenis yang paling umum, terutama pada bayi baru lahir. Peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi menunjukkan masalah pada tahap produksi, transportasi, atau konjugasi bilirubin. Bilirubin tak terkonjugasi bersifat larut lemak dan dapat melintasi sawar darah otak, berpotensi menyebabkan neurotoksisitas, terutama pada neonatus.
Penyebab Umum:
- Produksi Bilirubin Berlebihan: Peningkatan pemecahan sel darah merah.
- Hemolisis: Kondisi di mana sel darah merah hancur lebih cepat dari normal. Ini bisa karena inkompatibilitas golongan darah (Rh atau ABO), defisiensi G6PD, sferositosis herediter, atau proses autoimun.
- Polisitemia: Jumlah sel darah merah yang terlalu banyak, yang berarti lebih banyak sel untuk dipecah.
- Ekstravasasi Darah: Adanya perdarahan di jaringan tubuh, seperti sefalhematoma atau memar besar, di mana heme dari darah yang terperangkap dipecah menjadi bilirubin.
- Penurunan Klirens Bilirubin (Gangguan Konjugasi): Hati tidak mampu mengkonjugasi bilirubin secara efisien.
- Fisiologis Neonatus: Hati bayi baru lahir belum matang, sehingga aktivitas enzim UGT1A1 rendah. Ini adalah penyebab paling umum ikterus fisiologis.
- Sindrom Gilbert: Kelainan genetik umum yang jinak, menyebabkan penurunan ringan aktivitas enzim UGT1A1. Biasanya asimtomatik kecuali saat stres fisik atau puasa.
- Sindrom Crigler-Najjar: Kelainan genetik langka yang parah, di mana terdapat defisiensi parsial (tipe II) atau total (tipe I) enzim UGT1A1. Tipe I dapat berakibat fatal tanpa penanganan.
- Ikterus ASI (Breast Milk Jaundice): Beberapa zat dalam ASI diduga menghambat konjugasi bilirubin atau meningkatkan siklus enterohepatik. Berbeda dengan ikterus menyusui (breastfeeding jaundice).
- Hipotiroidisme: Hormon tiroid diperlukan untuk pematangan enzim konjugasi.
- Obat-obatan: Beberapa obat dapat menghambat fungsi UGT1A1.
- Peningkatan Siklus Enterohepatik:
- Ikterus Menyusui (Breastfeeding Jaundice): Terjadi pada minggu pertama kehidupan dan disebabkan oleh asupan ASI yang tidak adekuat, menyebabkan dehidrasi dan penurunan motilitas usus, meningkatkan reabsorpsi bilirubin.
- Stenosis Pilorus: Obstruksi pada lambung yang dapat meningkatkan siklus enterohepatik.
2. Hiperbilirubinemia Terkonjugasi (Direct Hyperbilirubinemia)
Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi menunjukkan adanya masalah pada hati itu sendiri atau pada saluran empedu yang mengalirkan bilirubin terkonjugasi dari hati ke usus. Bilirubin terkonjugasi bersifat larut air dan tidak berpotensi neurotoksik seperti bilirubin tak terkonjugasi, tetapi selalu patologis dan mengindikasikan gangguan serius.
Penyebab Umum:
- Gangguan Intrahepatik (Dalam Hati): Masalah pada sel hati yang mencegah ekskresi bilirubin terkonjugasi ke saluran empedu.
- Hepatitis Neonatal: Peradangan hati pada bayi baru lahir, sering kali idiopatik atau disebabkan oleh infeksi (misalnya, TORCH: Toxoplasmosis, Other [sifilis, virus varicella-zoster, parvovirus B19], Rubella, Cytomegalovirus, Herpes simplex virus) atau penyakit metabolik.
- Atresia Bilier Intrahepatik: Saluran empedu di dalam hati tidak terbentuk dengan baik atau rusak.
- Defisiensi Alfa-1 Antitripsin: Kelainan genetik yang dapat merusak hati.
- Galaktosemia dan Fruktosemia Herediter: Penyakit metabolik yang menyebabkan kerusakan hati jika tidak diobati.
- Sindrom Dubin-Johnson dan Rotor: Kelainan genetik langka yang memengaruhi ekskresi bilirubin terkonjugasi dari hepatosit.
- Sepsis: Infeksi berat yang dapat menyebabkan disfungsi hati.
- Nutrisi Parenteral Total (NPT) Berkepanjangan: NPT dapat menyebabkan kolestasis.
- Gangguan Ekstrahepatik (Luar Hati/Obstruksi Saluran Empedu): Sumbatan pada saluran empedu utama yang mencegah aliran empedu ke usus.
- Atresia Bilier: Penyebab paling umum kolestasis pada bayi baru lahir. Saluran empedu di luar hati tidak terbentuk atau tersumbat, memerlukan intervensi bedah (operasi Kasai) segera.
- Kista Koledokus: Pelebaran abnormal pada saluran empedu, yang dapat menyebabkan stasis empedu dan obstruksi.
- Batu Empedu atau Tumor: Meskipun jarang pada neonatus, ini adalah penyebab umum obstruksi bilier pada anak-anak yang lebih besar dan orang dewasa.
- Pankreatitis: Peradangan pankreas dapat menekan saluran empedu.
Penting untuk membedakan kedua jenis hiperbilirubinemia ini karena penyebab, prognosis, dan penanganannya sangat berbeda. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi pada neonatus memerlukan perhatian khusus untuk mencegah kernikterus, sementara hiperbilirubinemia terkonjugasi, di usia berapa pun, selalu memerlukan evaluasi medis mendalam untuk mengidentifikasi dan mengobati penyakit hati atau saluran empedu yang mendasarinya.
Penyebab Hiperbilirubinemia Spesifik pada Neonatus
Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir adalah masalah yang sangat umum dan seringkali membingungkan bagi orang tua. Memahami berbagai penyebabnya sangat penting untuk deteksi dini dan penanganan yang tepat.
1. Ikterus Fisiologis (Fisiological Jaundice)
Ini adalah jenis kuning yang paling umum pada bayi baru lahir dan dianggap sebagai bagian normal dari adaptasi bayi di luar kandungan. Muncul setelah 24 jam pertama kehidupan, memuncak pada hari ke-3 hingga ke-5, dan menghilang dalam waktu 1-2 minggu. Pada bayi prematur, puncaknya bisa lebih lambat dan berlangsung lebih lama.
Mekanisme:
- Peningkatan Produksi Bilirubin: Bayi baru lahir memiliki volume sel darah merah yang lebih tinggi dan masa hidup sel darah merah yang lebih pendek (sekitar 70-90 hari) dibandingkan orang dewasa, menyebabkan pemecahan sel darah merah yang lebih cepat.
- Penurunan Klirens Bilirubin: Hati bayi baru lahir belum sepenuhnya matang, sehingga aktivitas enzim UGT1A1 yang bertanggung jawab untuk konjugasi bilirubin masih rendah.
- Peningkatan Sirkulasi Enterohepatik: Pada bayi, usus mengandung enzim beta-glukuronidase yang tinggi dan kurangnya bakteri usus yang mengubah bilirubin terkonjugasi menjadi urobilinogen. Ini menyebabkan bilirubin terkonjugasi di usus dapat dihidrolisis kembali menjadi bilirubin tak terkonjugasi dan diserap kembali ke sirkulasi, memperpanjang ikterus.
2. Ikterus Patologis (Pathological Jaundice)
Ikterus ini terjadi karena kondisi medis yang mendasari dan memerlukan intervensi. Ciri-cirinya antara lain: muncul dalam 24 jam pertama kehidupan, kadar bilirubin meningkat sangat cepat, kadar bilirubin total sangat tinggi, ikterus bertahan lebih dari 2 minggu (pada bayi cukup bulan) atau 3 minggu (pada bayi prematur), dan feses berwarna pucat atau urin berwarna gelap.
Penyebab Umum Ikterus Patologis pada Neonatus:
- Inkompatibilitas Golongan Darah (Penyakit Hemolitik pada Bayi Baru Lahir):
- Inkompatibilitas Rh (Rhesus): Jika ibu Rh-negatif dan bayi Rh-positif, ibu dapat membentuk antibodi terhadap sel darah merah bayi. Antibodi ini melintasi plasenta dan menghancurkan sel darah merah bayi, menyebabkan hemolisis berat. Lebih sering terjadi pada kehamilan kedua dan seterusnya jika tidak ada pencegahan.
- Inkompatibilitas ABO: Jika ibu golongan darah O dan bayi golongan darah A atau B. Antibodi anti-A atau anti-B dari ibu dapat menyerang sel darah merah bayi. Biasanya lebih ringan daripada inkompatibilitas Rh, tetapi bisa juga serius.
- Inkompatibilitas Golongan Darah Minor: Jarang, melibatkan sistem golongan darah lain seperti Kell, Duffy, atau Kidd.
- Defisiensi Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase (G6PD):
Merupakan kelainan genetik yang paling umum terkait enzim, terutama pada populasi tertentu. Enzim G6PD berperan melindungi sel darah merah dari kerusakan oksidatif. Tanpa G6PD yang cukup, sel darah merah rentan hancur (hemolisis) saat terpapar stres oksidatif (misalnya, infeksi, obat-obatan tertentu, kacang fava), menyebabkan peningkatan produksi bilirubin.
- Sepsis dan Infeksi Lainnya:
Infeksi bakteri atau virus sistemik pada bayi baru lahir (sepsis) dapat menyebabkan kerusakan sel darah merah (hemolisis), disfungsi hati, atau peningkatan sirkulasi enterohepatik, yang semuanya berkontribusi pada hiperbilirubinemia.
- Perdarahan Tersembunyi/Ekstravasasi Darah:
- Sefalhematoma: Kumpulan darah di bawah kulit kepala bayi akibat trauma lahir.
- Memar Besar: Memar yang luas di tubuh bayi.
- Perdarahan Intrakranial: Pendarahan di dalam otak.
Semua kondisi ini menyebabkan penumpukan darah di luar sirkulasi yang kemudian dipecah, melepaskan heme dan meningkatkan produksi bilirubin.
- Polisitemia:
Kondisi di mana bayi memiliki volume sel darah merah yang sangat tinggi. Lebih banyak sel darah merah berarti lebih banyak sel yang akan dipecah, sehingga meningkatkan beban bilirubin pada hati.
- Sindrom Crigler-Najjar dan Gilbert:
Kelainan genetik langka yang memengaruhi enzim UGT1A1 yang bertanggung jawab untuk konjugasi bilirubin. Sindrom Crigler-Najjar lebih parah (tipe I bisa fatal), sementara Sindrom Gilbert biasanya ringan.
- Hipotiroidisme Kongenital:
Kekurangan hormon tiroid sejak lahir dapat memperlambat proses metabolisme, termasuk pematangan enzim konjugasi di hati, menyebabkan ikterus berkepanjangan.
- Atresia Bilier:
Ini adalah penyebab penting hiperbilirubinemia terkonjugasi pada bayi baru lahir. Saluran empedu di luar hati tidak terbentuk atau tersumbat, mencegah aliran empedu dari hati ke usus. Hal ini menyebabkan penumpukan bilirubin terkonjugasi dan kerusakan hati progresif jika tidak diobati. Feses bayi seringkali pucat (akolik) dan urin gelap.
- Kista Koledokus:
Pelebaran abnormal pada saluran empedu di luar hati yang dapat menyebabkan obstruksi dan penumpukan bilirubin terkonjugasi.
- Ikterus ASI (Breast Milk Jaundice):
Meskipun seringkali jinak, beberapa komponen dalam ASI (misalnya, pregnanediol, lipase) dapat menghambat konjugasi bilirubin atau meningkatkan siklus enterohepatik. Biasanya muncul setelah hari ke-4 dan dapat bertahan hingga beberapa minggu atau bulan.
- Ikterus Menyusui (Breastfeeding Jaundice):
Berbeda dengan ikterus ASI. Ini terjadi pada minggu pertama kehidupan karena asupan ASI yang tidak adekuat atau teknik menyusui yang salah, menyebabkan dehidrasi dan penurunan motilitas usus, meningkatkan sirkulasi enterohepatik bilirubin.
Penyebab Hiperbilirubinemia pada Anak dan Dewasa
Pada anak-anak yang lebih besar dan orang dewasa, hiperbilirubinemia biasanya menunjukkan adanya penyakit hati, saluran empedu, atau kondisi hemolitik. Klasifikasi penyebab sering dibagi menjadi pre-hepatik, hepatik, dan post-hepatik, berdasarkan letak masalah dalam jalur metabolisme bilirubin.
1. Penyebab Pre-Hepatik (Peningkatan Produksi Bilirubin Tak Terkonjugasi)
Ini terjadi ketika ada produksi bilirubin yang berlebihan sehingga hati tidak dapat mengkonjugasinya dengan cukup cepat. Hasilnya adalah peningkatan dominan bilirubin tak terkonjugasi.
- Anemia Hemolitik:
Kondisi di mana sel darah merah dihancurkan lebih cepat dari normal. Ini bisa disebabkan oleh:
- Kelainan Sel Darah Merah Intrinsik: Seperti sferositosis herediter, eliptositosis herediter, defisiensi G6PD, atau anemia sel sabit.
- Faktor Ekstrinsik: Seperti reaksi transfusi darah, anemia hemolitik autoimun, efek obat-obatan, atau infeksi tertentu (misalnya, malaria).
- Reabsorpsi Hematoma Besar:
Setelah cedera atau operasi, hematoma (kumpulan darah beku di luar pembuluh darah) yang besar dapat dipecah, melepaskan sejumlah besar heme yang kemudian diubah menjadi bilirubin.
- Eritropoiesis Inefektif:
Gangguan pada produksi sel darah merah di sumsum tulang yang mengakibatkan sel darah merah yang tidak matang dihancurkan sebelum dilepaskan ke sirkulasi. Contohnya adalah thalasemia atau anemia megaloblastik.
- Sindrom Gilbert:
Kelainan genetik umum yang jinak di mana ada penurunan aktivitas enzim UGT1A1 yang ringan. Individu dengan Sindrom Gilbert seringkali memiliki kadar bilirubin tak terkonjugasi yang sedikit meningkat, yang mungkin menjadi lebih jelas selama stres fisik, puasa, atau infeksi. Umumnya tidak berbahaya dan tidak memerlukan pengobatan.
- Sindrom Crigler-Najjar (Tipe II):
Bentuk yang lebih ringan dari Sindrom Crigler-Najjar (defisiensi parsial UGT1A1) yang dapat menyebabkan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang signifikan tetapi umumnya tidak separah tipe I. Biasanya tidak mengancam jiwa dan dapat diobati dengan fenobarbital.
2. Penyebab Hepatik (Gangguan Fungsi Hati)
Masalah terletak pada hati itu sendiri, yang memengaruhi pengambilan, konjugasi, atau ekskresi bilirubin. Ini dapat menyebabkan peningkatan bilirubin tak terkonjugasi, terkonjugasi, atau keduanya.
- Hepatitis Akut dan Kronis:
Peradangan hati akibat infeksi virus (Hepatitis A, B, C, D, E), autoimun, obat-obatan (misalnya, parasetamol dosis tinggi, antibiotik tertentu), alkohol, atau toksin. Peradangan mengganggu fungsi normal hepatosit, termasuk proses konjugasi dan ekskresi bilirubin.
- Sirosis Hati:
Tahap akhir dari penyakit hati kronis, di mana jaringan hati yang sehat digantikan oleh jaringan parut. Ini sangat mengganggu semua fungsi hati, termasuk metabolisme bilirubin.
- Kanker Hati (Hepatoma atau Metastasis):
Massa tumor di hati dapat merusak hepatosit atau menghambat aliran empedu di dalam hati.
- Obat-obatan Hepatotoksik:
Beberapa obat dapat menyebabkan kerusakan hati yang signifikan, seperti parasetamol (dosis berlebihan), isoniazid, metotreksat, statin, dan antibiotik tertentu.
- Sindrom Dubin-Johnson dan Rotor:
Kelainan genetik langka yang memengaruhi transportasi bilirubin terkonjugasi dari hepatosit ke saluran empedu. Sindrom Dubin-Johnson ditandai dengan pigmentasi gelap pada hati. Keduanya menyebabkan peningkatan dominan bilirubin terkonjugasi.
- Penyakit Metabolik dan Genetik:
Hemokromatosis (kelebihan zat besi), penyakit Wilson (kelebihan tembaga), defisiensi alfa-1 antitripsin, dan penyakit genetik lainnya dapat merusak hati.
- Kolestasis Intrahepatik:
Gangguan aliran empedu di dalam hati, yang bisa disebabkan oleh kehamilan (kolestasis gravidarum), sepsis, atau obat-obatan.
3. Penyebab Post-Hepatik (Obstruksi Aliran Empedu)
Ini terjadi ketika ada sumbatan pada saluran empedu di luar hati, yang mencegah bilirubin terkonjugasi mencapai usus. Ini selalu menyebabkan peningkatan dominan bilirubin terkonjugasi.
- Batu Empedu (Kolelitiasis):
Batu yang terbentuk di kandung empedu dapat berpindah dan menyumbat saluran empedu utama (duktus koledokus), menyebabkan kolestasis dan ikterus obstruktif. Ini adalah penyebab paling umum ikterus obstruktif pada orang dewasa.
- Kanker Pankreas (Kepala Pankreas):
Tumor di kepala pankreas dapat menekan dan menyumbat duktus koledokus yang melewatinya. Seringkali tanpa rasa sakit (silent jaundice) pada tahap awal.
- Striktur Saluran Empedu:
Penyempitan saluran empedu akibat peradangan, cedera pasca operasi, atau kondisi lain yang menyebabkan jaringan parut. Dapat menghambat aliran empedu.
- Kista Koledokus:
Pelebaran abnormal pada saluran empedu yang dapat menyebabkan obstruksi atau stasis empedu, lebih sering ditemukan pada anak-anak tetapi juga bisa pada dewasa.
- Pankreatitis Akut atau Kronis:
Peradangan pankreas yang parah dapat menyebabkan pembengkakan yang menekan saluran empedu, atau dalam kasus kronis, menyebabkan fibrosis yang menyempitkan saluran empedu.
- Kolangitis Sklerosing Primer (PSC):
Penyakit autoimun langka yang menyebabkan peradangan kronis dan fibrosis saluran empedu intrahepatik dan ekstrahepatik, mengakibatkan penyempitan dan obstruksi progresif.
- Infeksi Parasit:
Cacing seperti Ascaris lumbricoides dapat menyumbat saluran empedu, terutama di daerah endemik.
Tanda dan Gejala Hiperbilirubinemia
Tanda paling jelas dari hiperbilirubinemia adalah ikterus, yaitu menguningnya kulit dan sklera (bagian putih mata). Namun, ada gejala lain yang dapat menyertai atau mengindikasikan tingkat keparahan kondisi.
1. Ikterus (Kuning)
- Warna Kuning: Kulit, sklera (bagian putih mata), dan selaput lendir menjadi kuning. Pada bayi, kuning seringkali terlihat pertama kali di wajah, kemudian menyebar ke dada, perut, lengan, kaki, hingga telapak tangan dan telapak kaki seiring peningkatan kadar bilirubin. Tekan perlahan kulit bayi dengan jari; jika area yang ditekan menjadi kuning setelah tekanan dilepaskan, itu mengindikasikan ikterus.
- Progresi Warna: Intensitas dan penyebaran warna kuning umumnya berkorelasi dengan kadar bilirubin. Kuning yang hanya di wajah dan leher menunjukkan kadar bilirubin yang lebih rendah dibandingkan kuning yang sudah mencapai telapak tangan dan kaki.
2. Gejala Penyerta pada Neonatus
Pada bayi baru lahir, terutama jika kadar bilirubin sangat tinggi dan mendekati ambang batas neurotoksisitas, gejala lain dapat muncul yang mengindikasikan potensi risiko kerusakan otak (kernikterus).
- Letargi atau Kelesuan: Bayi tampak sangat mengantuk, sulit dibangunkan, dan kurang responsif.
- Kesulitan Menyusu: Bayi mungkin menolak menyusu atau menyusu dengan lemah dan tidak efektif, yang dapat memperburuk dehidrasi dan sirkulasi enterohepatik.
- Tangisan Nada Tinggi (High-pitched Cry): Tanda awal kerusakan neurologis.
- Iritabilitas: Bayi tampak gelisah atau rewel.
- Opistotonus: Postur tubuh abnormal di mana punggung melengkung ke belakang dan kepala tertekuk ke belakang. Ini adalah tanda neurologis lanjut yang serius.
- Kejang: Tanda kerusakan otak yang parah.
- Demam: Mungkin menandakan infeksi sebagai penyebab ikterus.
- Urin Gelap: Terutama pada hiperbilirubinemia terkonjugasi, karena bilirubin terkonjugasi diekskresikan dalam urin.
- Feses Pucat (Akolik): Indikasi obstruksi saluran empedu (hiperbilirubinemia terkonjugasi), karena bilirubin tidak mencapai usus untuk memberi warna pada feses.
3. Gejala Penyerta pada Anak dan Dewasa
Pada anak-anak yang lebih besar dan orang dewasa, gejala lain sangat bervariasi tergantung pada penyebab yang mendasari hiperbilirubinemia.
- Pruritus (Gatal): Sering terjadi pada kolestasis (gangguan aliran empedu), di mana garam empedu menumpuk di kulit. Ini bisa sangat mengganggu.
- Urin Gelap: Mirip dengan neonatus, menunjukkan peningkatan bilirubin terkonjugasi dalam darah yang kemudian diekskresikan melalui ginjal.
- Feses Pucat atau Berwarna Tanah Liat: Menunjukkan obstruksi total atau parsial pada saluran empedu, mencegah bilirubin mencapai usus.
- Nyeri Perut: Dapat disebabkan oleh batu empedu, pankreatitis, hepatitis, atau tumor.
- Mual dan Muntah: Sering menyertai gangguan hati atau saluran empedu.
- Kelelahan (Fatigue) dan Lemas: Gejala umum dari penyakit hati kronis atau anemia.
- Penurunan Berat Badan: Bisa menjadi tanda penyakit hati kronis atau keganasan.
- Demam dan Menggigil: Mungkin menunjukkan infeksi seperti kolangitis (infeksi saluran empedu) atau hepatitis.
- Hepatomegali (Pembesaran Hati) atau Splenomegali (Pembesaran Limpa): Dapat teraba saat pemeriksaan fisik, menunjukkan penyakit hati atau hemolisis.
- Ascites (Penumpukan Cairan di Perut) atau Edema (Pembengkakan): Tanda penyakit hati stadium lanjut.
- Spider Angioma (Lesi Vaskular di Kulit) atau Eritema Palmar (Kemerahan di Telapak Tangan): Tanda sirosis hati.
Penting: Setiap kasus ikterus, terutama pada bayi yang muncul dalam 24 jam pertama atau pada anak/dewasa yang disertai gejala serius seperti demam tinggi, nyeri perut parah, atau perubahan kesadaran, memerlukan evaluasi medis segera. Kuning yang disertai feses pucat dan urin gelap pada usia berapa pun juga harus ditangani sebagai kondisi serius hingga terbukti sebaliknya.
Diagnosis Hiperbilirubinemia
Diagnosis hiperbilirubinemia melibatkan kombinasi anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik, dan berbagai pemeriksaan laboratorium serta pencitraan. Tujuannya adalah untuk mengkonfirmasi keberadaan ikterus, menentukan kadar bilirubin, mengidentifikasi jenis bilirubin yang meningkat (tak terkonjugasi atau terkonjugasi), dan mencari penyebab yang mendasari.
1. Anamnesis (Wawancara Medis)
Informasi yang dikumpulkan dari pasien atau orang tua sangat penting untuk memandu diagnosis.
Pada Neonatus:
- Riwayat Kehamilan dan Persalinan: Golongan darah ibu (Rh dan ABO), infeksi TORCH selama kehamilan, obat-obatan yang dikonsumsi ibu, trauma saat lahir, lama kehamilan (prematuritas adalah faktor risiko).
- Riwayat Keluarga: Adanya riwayat ikterus pada saudara kandung sebelumnya (terutama yang memerlukan fototerapi atau transfusi tukar), riwayat penyakit hemolitik, atau penyakit hati genetik.
- Pola Menyusu: Apakah bayi menyusu dengan baik, frekuensi dan durasi menyusu, apakah bayi mendapatkan ASI atau susu formula, dan apakah ada tanda-tanda dehidrasi.
- Eliminasi: Warna urin dan feses (feses pucat atau urin gelap sangat penting untuk dicatat).
- Gejala Lain: Letargi, iritabilitas, kesulitan menyusu, demam, perubahan perilaku.
- Waktu Munculnya Ikterus: Penting untuk membedakan ikterus fisiologis (setelah 24 jam) dari patologis (dalam 24 jam pertama).
Pada Anak dan Dewasa:
- Onset dan Durasi Ikterus: Kapan pertama kali diperhatikan, apakah progresif atau intermiten.
- Gejala Penyerta: Nyeri perut, mual, muntah, demam, menggigil, gatal (pruritus), kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, perubahan warna urin (gelap) dan feses (pucat).
- Riwayat Medis: Penyakit hati sebelumnya (hepatitis, sirosis), batu empedu, pankreatitis, operasi sebelumnya, transfusi darah.
- Riwayat Obat-obatan: Penggunaan obat-obatan tertentu (termasuk obat bebas dan herbal) yang dapat menyebabkan kerusakan hati atau interaksi.
- Riwayat Alkohol dan Paparan Toksin: Konsumsi alkohol, paparan bahan kimia berbahaya.
- Riwayat Keluarga: Penyakit hati genetik, kelainan hemolitik.
- Riwayat Perjalanan: Terutama ke daerah endemik hepatitis atau parasit.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik akan fokus pada evaluasi ikterus dan mencari tanda-tanda penyebab yang mendasari.
- Inspeksi Kulit dan Sklera: Mengamati intensitas dan penyebaran kuning.
- Palpasi Abdomen: Meraba ukuran dan konsistensi hati dan limpa (hepatomegali, splenomegali).
- Neurologis: Pada neonatus, mencari tanda-tanda ensefalopati bilirubin (letargi, hipotonus, opistotonus, tangisan nada tinggi). Pada dewasa, menilai tingkat kesadaran dan mencari tanda-tanda ensefalopati hepatik.
- Tanda-tanda Perdarahan: Hematoma, memar besar.
- Tanda-tanda Dehidrasi: Turgor kulit, membran mukosa.
- Tanda-tanda Penyakit Hati Kronis: Spider angioma, eritema palmar, ascites, edema.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Ini adalah bagian inti dari diagnosis, untuk mengukur kadar bilirubin dan mencari penyebabnya.
- Pengukuran Bilirubin Serum:
- Bilirubin Total: Konsentrasi total bilirubin dalam darah.
- Bilirubin Tak Terkonjugasi (Indirek): Dihitung dari bilirubin total dikurangi bilirubin terkonjugasi. Peningkatan dominan menunjukkan hemolisis, masalah konjugasi hati, atau peningkatan sirkulasi enterohepatik.
- Bilirubin Terkonjugasi (Direk): Konsentrasi bilirubin yang sudah diolah hati. Peningkatan dominan menunjukkan masalah ekskresi di hati atau obstruksi saluran empedu. Penting untuk dicatat bahwa bilirubin terkonjugasi yang >20% dari bilirubin total, atau >1 mg/dL jika bilirubin total <5 mg/dL, atau >2 mg/dL jika bilirubin total >5 mg/dL, dianggap signifikan dan patologis.
- Pemeriksaan Darah Lengkap (DL):
- Hemoglobin dan Hematokrit: Untuk menilai anemia (misalnya, karena hemolisis).
- Jumlah Retikulosit: Peningkatan retikulosit (sel darah merah muda) menunjukkan peningkatan produksi sel darah merah, yang sering terjadi pada hemolisis.
- Morfologi Sel Darah Merah: Untuk mencari kelainan sel darah merah (misalnya, sferositosis, sel sabit) yang dapat menyebabkan hemolisis.
- Golongan Darah dan Uji Coombs:
- Golongan Darah ABO dan Rh (Ibu dan Bayi): Untuk mendeteksi potensi inkompatibilitas.
- Uji Coombs Langsung (Direct Coombs Test): Mencari antibodi yang melekat pada sel darah merah bayi (indikasi hemolisis autoimun atau aloimun seperti inkompatibilitas Rh/ABO).
- Uji Coombs Tidak Langsung (Indirect Coombs Test): Mencari antibodi dalam serum ibu yang dapat menyerang sel darah merah janin/bayi.
- Enzim Hati (Transaminase):
- ALT (Alanine Aminotransferase) dan AST (Aspartate Aminotransferase): Peningkatan menunjukkan kerusakan sel hati (hepatitis).
- Alkaline Phosphatase (ALP) dan Gamma-Glutamyl Transpeptidase (GGT): Peningkatan dominan menunjukkan kolestasis atau obstruksi saluran empedu.
- Albumin dan Waktu Protrombin/INR:
Menilai fungsi sintetis hati. Kadar albumin rendah atau waktu protrombin/INR memanjang menunjukkan disfungsi hati yang signifikan.
- Urinalisis:
Mencari bilirubin dalam urin (menunjukkan hiperbilirubinemia terkonjugasi) atau urobilinogen (dapat meningkat pada hemolisis atau menurun pada obstruksi bilier).
- Tes Tambahan Berdasarkan Kecurigaan Etiologi:
- Skrining G6PD: Jika dicurigai defisiensi G6PD.
- Uji Fungsi Tiroid: Untuk hipotiroidisme.
- Kultur Darah, Urin, LCS: Jika dicurigai sepsis atau infeksi.
- Tes TORCH: Jika dicurigai infeksi kongenital.
- Pemeriksaan Genetik: Untuk sindrom seperti Crigler-Najjar, Gilbert, Dubin-Johnson, Rotor, atau defisiensi alfa-1 antitripsin.
- Pemeriksaan Feses: Untuk warna (akolik pada atresia bilier) atau mencari parasit.
4. Pemeriksaan Pencitraan
Digunakan terutama untuk mengevaluasi struktur hati dan saluran empedu, terutama jika dicurigai obstruksi atau penyakit hati parenkim.
- Ultrasonografi (USG) Abdomen:
Pemeriksaan awal yang non-invasif untuk melihat ukuran hati dan limpa, adanya batu empedu, pelebaran saluran empedu, kista koledokus, atau tanda-tanda atresia bilier pada bayi. Pada atresia bilier, mungkin terlihat kantung empedu yang kecil atau tidak ada, dan tanda "triangular cord sign".
- Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP):
Pencitraan yang lebih detail untuk visualisasi saluran empedu dan pankreas, berguna dalam mendiagnosis striktur, tumor, atau batu yang tidak terlihat dengan USG.
- Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP):
Prosedur invasif yang digunakan baik untuk diagnosis maupun terapi, terutama pada obstruksi saluran empedu akibat batu atau striktur. Dilakukan pada kasus yang lebih kompleks.
- Biopsi Hati:
Diperlukan dalam beberapa kasus untuk diagnosis definitif penyakit hati tertentu, seperti hepatitis kronis, sirosis, atau kelainan metabolik yang memengaruhi hati.
Penatalaksanaan (Pengobatan) Hiperbilirubinemia
Penatalaksanaan hiperbilirubinemia sangat bervariasi tergantung pada penyebab yang mendasari, jenis bilirubin yang meningkat, usia pasien, dan tingkat keparahan ikterus. Tujuan utama adalah untuk mencegah komplikasi, terutama kernikterus pada neonatus, dan mengobati kondisi primer.
1. Penatalaksanaan pada Neonatus
Fokus utama adalah menurunkan kadar bilirubin tak terkonjugasi untuk mencegah neurotoksisitas. Pendekatan ini didasarkan pada kadar bilirubin, usia bayi (dalam jam), dan faktor risiko lainnya (misalnya, prematuritas, hemolisis).
a. Fototerapi
Fototerapi adalah terapi utama dan paling efektif untuk hiperbilirubinemia tak terkonjugasi pada neonatus.
- Mekanisme Kerja: Sinar fototerapi (biasanya biru-hijau, 460-490 nm) menembus kulit dan mengubah bilirubin tak terkonjugasi yang bersifat larut lemak menjadi isomer struktural (lumirubin) dan isomer konfigurasi (fotobilirubin). Isomer-isomer ini bersifat larut air dan dapat diekskresikan melalui urin dan empedu tanpa perlu konjugasi di hati.
- Indikasi: Didasarkan pada nomogram atau pedoman American Academy of Pediatrics (AAP) yang mempertimbangkan kadar bilirubin total serum, usia bayi dalam jam, dan faktor risiko. Semakin muda usia bayi dan semakin tinggi faktor risikonya, ambang batas untuk memulai fototerapi semakin rendah.
- Jenis Fototerapi:
- Fototerapi Konvensional: Menggunakan lampu neon atau LED di atas inkubator.
- Fototerapi Intensif: Menggunakan sumber cahaya ganda atau lebih kuat, atau menempatkan bayi di atas alas serat optik (fiberoptic blanket) untuk meningkatkan area permukaan yang terpapar.
- Perawatan Selama Fototerapi:
- Mata bayi harus dilindungi dengan penutup mata untuk mencegah kerusakan retina.
- Bayi harus sering diposisikan ulang untuk memaksimalkan paparan kulit terhadap cahaya.
- Pantau suhu tubuh bayi untuk mencegah hipertermia atau hipotermia.
- Pastikan hidrasi yang adekuat (misalnya, dengan sering menyusui atau pemberian cairan intravena jika diperlukan), karena fototerapi dapat meningkatkan kehilangan air.
- Pantau kadar bilirubin secara berkala.
- Efek Samping: Umumnya aman, tetapi dapat menyebabkan ruam kulit sementara, diare ringan, dehidrasi, atau sindrom bayi perunggu (bronze baby syndrome) pada kasus kolestasis.
b. Transfusi Tukar (Exchange Transfusion)
Transfusi tukar adalah prosedur yang lebih invasif dan dilakukan ketika fototerapi intensif tidak efektif, kadar bilirubin sangat tinggi dan berisiko kernikterus, atau pada kasus hemolisis berat (misalnya, inkompatibilitas Rh yang parah).
- Mekanisme Kerja: Sejumlah kecil darah bayi ditarik dan diganti dengan darah donor yang kompatibel secara bergantian. Tujuannya adalah untuk:
- Menurunkan kadar bilirubin secara cepat.
- Menghilangkan antibodi maternal yang menyerang sel darah merah bayi.
- Mengganti sel darah merah bayi yang rusak dengan sel darah merah donor yang tidak rentan terhadap kerusakan.
- Indikasi: Didasarkan pada kadar bilirubin yang mendekati atau melampaui ambang batas transfusi tukar pada nomogram, dan adanya tanda-tanda ensefalopati bilirubin.
- Komplikasi: Risiko transfusi tukar meliputi infeksi, gangguan elektrolit, gangguan koagulasi, trombositopenia, penyakit graft-versus-host, dan henti jantung. Ini adalah prosedur yang memerlukan pemantauan ketat di unit perawatan intensif neonatus (NICU).
c. Farmakoterapi (Obat-obatan)
- Intravenous Immunoglobulin (IVIG): Dapat diberikan pada kasus inkompatibilitas Rh atau ABO yang parah untuk mengurangi hemolisis. IVIG mengikat antibodi maternal dan mencegahnya menghancurkan sel darah merah bayi.
- Fenobarbital: Jarang digunakan karena efek sampingnya, tetapi dapat merangsang enzim UGT1A1 untuk mempercepat konjugasi bilirubin.
d. Penanganan Penyebab Dasar
- Ikterus Menyusui (Breastfeeding Jaundice): Pastikan bayi menyusu dengan efektif dan adekuat (frekuensi dan durasi yang cukup). Konsultasi dengan konsultan laktasi dapat membantu.
- Ikterus ASI (Breast Milk Jaundice): Dalam kasus yang jarang dan ekstrem, mungkin direkomendasikan untuk menghentikan ASI sementara (24-48 jam) dan menggantinya dengan susu formula untuk melihat penurunan kadar bilirubin. Namun, biasanya ASI dapat terus diberikan karena kondisinya jinak.
- Atresia Bilier: Memerlukan intervensi bedah yang disebut prosedur Kasai (hepatoportoenterostomi) untuk membuat jalur baru bagi empedu agar mengalir ke usus. Keberhasilan prosedur ini sangat tergantung pada deteksi dan tindakan dini (idealnya sebelum bayi berusia 60 hari).
- Infeksi: Antibiotik atau antivirus jika hiperbilirubinemia disebabkan oleh sepsis atau infeksi lainnya.
2. Penatalaksanaan pada Anak dan Dewasa
Penanganan pada kelompok usia ini berfokus pada diagnosis dan pengobatan penyakit yang mendasari.
- Pengobatan Penyakit Hati:
- Hepatitis: Antivirus untuk hepatitis virus kronis (Hepatitis B, C), kortikosteroid atau imunosupresan untuk hepatitis autoimun.
- Sirosis: Manajemen komplikasi (misalnya, diuretik untuk asites, laktulosa untuk ensefalopati hepatik). Dalam kasus lanjut, transplantasi hati mungkin menjadi pilihan.
- Penyakit Metabolik: Diet khusus untuk galaktosemia, kelasi zat besi untuk hemokromatosis, kelasi tembaga untuk penyakit Wilson.
- Kerusakan Hati Akibat Obat: Hentikan obat penyebab, berikan antidot jika tersedia (misalnya, N-asetilsistein untuk overdosis parasetamol).
- Penanganan Obstruksi Saluran Empedu:
- Batu Empedu:
- ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography): Dapat digunakan untuk mengangkat batu empedu dari saluran empedu atau memasang stent.
- Kolesistektomi: Operasi pengangkatan kandung empedu jika batu berasal dari sana.
- Striktur atau Tumor:
- Pemasangan Stent: Melalui ERCP atau PTC (Percutaneous Transhepatic Cholangiography) untuk membuka saluran empedu yang tersumbat.
- Operasi: Untuk mengangkat tumor atau memperbaiki striktur.
- Kista Koledokus: Pengangkatan kista melalui operasi.
- Batu Empedu:
- Penanganan Anemia Hemolitik:
Tergantung penyebabnya, mungkin termasuk kortikosteroid (untuk hemolisis autoimun), splenektomi (pengangkatan limpa), atau terapi suportif (transfusi darah).
- Simptomatik:
- Obat Anti-Gatal: Kolestiramin atau asam ursodeoksikolat dapat membantu mengurangi gatal (pruritus) yang disebabkan oleh penumpukan garam empedu.
Komplikasi Hiperbilirubinemia
Komplikasi hiperbilirubinemia bervariasi tergantung pada jenis bilirubin yang meningkat dan usia pasien. Pada neonatus, komplikasi paling serius adalah kernikterus. Pada anak dan dewasa, komplikasi umumnya terkait dengan penyakit dasar yang menyebabkan ikterus.
1. Kernikterus (Ensefalopati Bilirubin Kronis)
Ini adalah komplikasi paling parah dari hiperbilirubinemia tak terkonjugasi pada bayi baru lahir. Terjadi ketika kadar bilirubin tak terkonjugasi yang sangat tinggi melintasi sawar darah otak yang belum matang dan menumpuk di otak, terutama di ganglia basalis, hipokampus, dan batang otak. Akumulasi bilirubin ini bersifat toksik bagi neuron, menyebabkan kerusakan otak permanen.
Tahapan dan Gejala:
- Fase Akut (Ensefalopati Bilirubin Akut):
- Tahap Awal: Letargi, hipotonia (penurunan tonus otot), kesulitan menyusu, tangisan nada tinggi.
- Tahap Menengah: Irritabilitas, hipertonia (peningkatan tonus otot, ditandai dengan opistotonus - punggung melengkung ke belakang), demam, tangisan yang lebih melengking.
- Tahap Lanjut: Kejang, koma, apneu (henti napas), kematian.
- Fase Kronis (Kernikterus): Jika bayi selamat dari fase akut, mereka mungkin mengalami kerusakan neurologis permanen yang bermanifestasi sebagai:
- Cerebral Palsy Koreoatetoid: Gangguan gerakan yang ditandai dengan gerakan tak sadar dan tidak terkoordinasi.
- Gangguan Pendengaran: Seringkali neuropati auditori, yang dapat menyebabkan tuli parsial atau total.
- Displasia Enamel Gigi: Perubahan warna dan struktur enamel gigi.
- Gangguan Perkembangan Kognitif: Keterlambatan perkembangan, kesulitan belajar.
- Pandangan Mata Ke Atas (Gaze Palsy): Kesulitan menggerakkan mata ke atas.
Kernikterus dapat dicegah dengan deteksi dini dan penanganan yang agresif dari hiperbilirubinemia tak terkonjugasi pada neonatus. Ini adalah alasan mengapa pemantauan ikterus pada bayi baru lahir sangat serius.
2. Gagal Hati Akut atau Kronis
Pada anak dan dewasa, hiperbilirubinemia yang disebabkan oleh penyakit hati parah (misalnya, hepatitis fulminan, sirosis dekompensata) dapat berujung pada gagal hati, suatu kondisi yang mengancam jiwa di mana hati kehilangan kemampuannya untuk menjalankan fungsi vitalnya.
- Gagal Hati Akut: Terjadi dengan cepat, seringkali disertai ensefalopati hepatik dan koagulopati.
- Gagal Hati Kronis: Berkembang perlahan, dengan gejala seperti asites, varises esofagus, dan ensefalopati.
Dalam kedua kasus, kadar bilirubin terkonjugasi dan tak terkonjugasi dapat meningkat, dan penanganannya seringkali memerlukan transplantasi hati.
3. Kolangitis (Infeksi Saluran Empedu)
Pada hiperbilirubinemia terkonjugasi akibat obstruksi saluran empedu (misalnya, oleh batu atau tumor), empedu yang menumpuk dapat menjadi tempat berkembang biak bakteri, menyebabkan infeksi serius yang disebut kolangitis. Gejalanya meliputi demam, menggigil, nyeri perut kuadran kanan atas, dan ikterus (Charcot's triad).
4. Koagulopati
Hati menghasilkan faktor-faktor pembekuan darah yang penting. Pada penyakit hati berat atau kolestasis kronis (yang mengganggu penyerapan vitamin K, vitamin yang dibutuhkan untuk sintesis beberapa faktor pembekuan), dapat terjadi gangguan pembekuan darah (koagulopati), meningkatkan risiko perdarahan.
5. Defisiensi Vitamin Larut Lemak
Kolestasis berkepanjangan dapat mengganggu penyerapan vitamin A, D, E, dan K, yang larut dalam lemak dan memerlukan empedu untuk diserap. Defisiensi ini dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan:
- Vitamin A: Gangguan penglihatan malam, kekeringan pada mata.
- Vitamin D: Osteomalacia (pelunakan tulang) atau osteoporosis (tulang rapuh).
- Vitamin E: Neuropati perifer, miopati.
- Vitamin K: Gangguan pembekuan darah (koagulopati).
6. Gangguan Pertumbuhan dan Perkembangan
Pada bayi dan anak-anak dengan kolestasis kronis, malabsorpsi nutrisi dan stres metabolik dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, gagal tumbuh (failure to thrive), dan keterlambatan perkembangan.
7. Efek Samping Terapi
Meskipun terapi seperti fototerapi dan transfusi tukar sangat membantu, mereka juga memiliki potensi efek samping:
- Fototerapi: Dehidrasi, ruam kulit, sindrom bayi perunggu (kulit kebiruan-coklat pada bayi dengan kolestasis), dan mungkin risiko kerusakan retina jika mata tidak terlindungi.
- Transfusi Tukar: Infeksi, gangguan elektrolit (hipokalsemia, hiperkalemia), gangguan pembekuan, trombositopenia, penyakit graft-versus-host, dan komplikasi kardiovaskular.
Memahami potensi komplikasi ini menekankan pentingnya pemantauan ketat dan manajemen proaktif hiperbilirubinemia untuk mencegah morbiditas dan mortalitas yang signifikan.
Pencegahan Hiperbilirubinemia
Pencegahan hiperbilirubinemia, terutama pada neonatus, berfokus pada identifikasi faktor risiko dan intervensi dini. Meskipun tidak semua kasus dapat dicegah, banyak komplikasi serius dapat dihindari dengan strategi yang tepat.
1. Pencegahan pada Neonatus
- Pemeriksaan Antenatal yang Adekuat:
- Golongan Darah dan Rh Ibu: Deteksi inkompatibilitas Rh sejak dini memungkinkan pemberian imunoglobulin anti-D (RhoGAM) pada ibu Rh-negatif untuk mencegah sensitisasi.
- Skrining Antibodi: Pemeriksaan antibodi maternal yang tidak biasa dapat mengidentifikasi risiko inkompatibilitas golongan darah minor.
- Skrining Infeksi: Deteksi dan pengobatan infeksi maternal yang dapat menyebabkan ikterus kongenital pada bayi (misalnya, TORCH).
- Penanganan Optimal pada Persalinan:
Meminimalkan trauma lahir yang dapat menyebabkan sefalhematoma atau memar besar, yang merupakan sumber tambahan bilirubin.
- Promosi Menyusui yang Efektif:
Edukasi tentang teknik menyusui yang benar dan pemberian ASI yang adekuat sangat penting. ASI yang cukup dan sering dapat mencegah ikterus menyusui (breastfeeding jaundice) dan membantu mengeluarkan bilirubin melalui feses. Bayi harus disusui setidaknya 8-12 kali dalam 24 jam pertama kehidupan.
- Skrining Ikterus Neonatorum Universal:
Semua bayi baru lahir harus diskrining untuk ikterus sebelum keluar dari rumah sakit, idealnya pada usia 24-48 jam. Ini dapat dilakukan secara visual, dengan biliometer transkutaneus (TcB), atau pengukuran bilirubin total serum (TSB) jika ada faktor risiko atau kecurigaan klinis. Penilaian risiko harus dilakukan menggunakan nomogram yang spesifik usia.
- Manajemen Risiko yang Tepat:
- Identifikasi Faktor Risiko: Dokter dan perawat harus mengidentifikasi bayi dengan faktor risiko tinggi (prematuritas, inkompatibilitas golongan darah, defisiensi G6PD, riwayat saudara kandung dengan ikterus berat).
- Tindak Lanjut yang Cermat: Bayi yang keluar dari rumah sakit sebelum 72 jam harus dijadwalkan untuk kunjungan tindak lanjut dalam 1-2 hari untuk penilaian ikterus dan kecukupan menyusu.
- Pendidikan Orang Tua: Orang tua harus diedukasi tentang tanda-tanda ikterus yang perlu diwaspadai, cara memantau kuning, dan kapan harus mencari pertolongan medis segera.
- Intervensi Dini:
Jika kadar bilirubin meningkat, fototerapi harus dimulai sesuai pedoman untuk mencegah kenaikan lebih lanjut dan risiko kernikterus.
- Skrining Penyakit Metabolik dan Genetik:
Beberapa program skrining bayi baru lahir dapat mendeteksi kondisi seperti hipotiroidisme atau galaktosemia yang dapat menyebabkan ikterus berkepanjangan.
2. Pencegahan pada Anak dan Dewasa
Pencegahan pada kelompok usia ini umumnya terkait dengan pencegahan penyakit hati dan saluran empedu yang mendasari.
- Vaksinasi:
Vaksinasi terhadap Hepatitis A dan B untuk mencegah infeksi virus yang dapat menyebabkan hepatitis dan kerusakan hati.
- Gaya Hidup Sehat:
- Hindari Konsumsi Alkohol Berlebihan: Alkohol adalah penyebab umum penyakit hati alkoholik dan sirosis.
- Pertahankan Berat Badan Ideal: Obesitas merupakan faktor risiko untuk penyakit hati berlemak non-alkoholik (NAFLD), yang dapat berkembang menjadi sirosis.
- Diet Seimbang: Konsumsi makanan bergizi dan hindari makanan olahan berlebihan.
- Hindari Paparan Toksin dan Obat Hepatotoksik:
Berhati-hati dengan obat-obatan yang dapat merusak hati. Gunakan obat bebas (seperti parasetamol) sesuai dosis yang direkomendasikan. Hindari paparan bahan kimia industri atau toksin lingkungan yang diketahui merusak hati.
- Manajemen Kondisi Medis Kronis:
Pengelolaan yang baik dari kondisi seperti diabetes, hiperlipidemia, atau penyakit autoimun dapat mengurangi risiko komplikasi hati.
- Higiene yang Baik:
Praktek higiene yang baik (mencuci tangan, air bersih) dapat mencegah infeksi seperti Hepatitis A dan parasit yang dapat menyebabkan masalah hati atau saluran empedu.
- Skrining Rutin:
Bagi individu dengan faktor risiko tinggi penyakit hati (misalnya, riwayat keluarga penyakit hati, infeksi hepatitis kronis), skrining rutin dan pemeriksaan medis dapat membantu deteksi dini dan penanganan kondisi tersebut sebelum berkembang menjadi hiperbilirubinemia parah.
Prognosis Hiperbilirubinemia
Prognosis hiperbilirubinemia sangat tergantung pada penyebab yang mendasari, jenis bilirubin yang meningkat, usia pasien, dan seberapa cepat serta efektif penanganan diberikan.
1. Pada Neonatus
- Ikterus Fisiologis: Memiliki prognosis yang sangat baik. Kondisi ini biasanya sembuh spontan dalam 1-2 minggu tanpa intervensi dan tanpa meninggalkan sekuel.
- Ikterus Patologis Tak Terkonjugasi: Jika dideteksi dan ditangani secara tepat dan dini dengan fototerapi, prognosisnya umumnya baik. Namun, jika kadar bilirubin tak terkonjugasi menjadi sangat tinggi dan tidak diobati, risiko kernikterus sangat signifikan. Kernikterus menyebabkan kerusakan otak permanen yang dapat berakibat fatal atau meninggalkan disabilitas neurologis seumur hidup (cerebral palsy, gangguan pendengaran, keterlambatan perkembangan). Oleh karena itu, deteksi dini dan manajemen agresif sangat penting.
- Hiperbilirubinemia Terkonjugasi (Kolestasis Neonatal): Prognosisnya bervariasi tergantung pada penyebabnya.
- Atresia Bilier: Tanpa operasi Kasai, prognosisnya sangat buruk dengan perkembangan sirosis dan gagal hati dalam beberapa bulan. Dengan operasi Kasai yang berhasil dan dilakukan dini, beberapa bayi dapat memiliki fungsi hati yang baik selama bertahun-tahun, meskipun banyak yang pada akhirnya mungkin memerlukan transplantasi hati.
- Infeksi atau Penyakit Metabolik yang Dapat Diobati: Jika penyebabnya dapat diobati (misalnya, infeksi bakteri, hipotiroidisme, galaktosemia), prognosisnya bisa sangat baik dengan intervensi yang tepat.
- Penyakit Genetik Langka: Prognosis sangat bervariasi, dari jinak hingga fatal, tergantung pada kelainannya.
2. Pada Anak dan Dewasa
Prognosis hiperbilirubinemia pada kelompok usia ini secara langsung terkait dengan penyakit hati, saluran empedu, atau kondisi hemolitik yang mendasari.
- Sindrom Gilbert: Prognosis sangat baik. Ini adalah kondisi jinak yang tidak memerlukan pengobatan dan tidak menyebabkan komplikasi jangka panjang.
- Anemia Hemolitik: Prognosis tergantung pada penyebab dan respons terhadap pengobatan. Beberapa bentuk hemolisis dapat dikelola dengan baik, sementara yang lain mungkin memerlukan terapi suportif jangka panjang.
- Hepatitis Akut: Kebanyakan kasus hepatitis virus akut (terutama Hepatitis A) sembuh total dengan prognosis yang sangat baik. Namun, hepatitis fulminan yang parah dapat berakibat fatal tanpa transplantasi hati. Hepatitis B dan C kronis memiliki risiko progresi menjadi sirosis dan kanker hati, yang memburuk prognosis.
- Sirosis Hati: Sirosis adalah kondisi ireversibel. Prognosis tergantung pada stadium sirosis dan ada tidaknya komplikasi. Pasien dengan sirosis dekompensata memiliki prognosis yang lebih buruk dan sering memerlukan transplantasi hati.
- Obstruksi Saluran Empedu:
- Batu Empedu: Jika diobati dengan baik (pengangkatan batu), prognosisnya umumnya sangat baik.
- Kanker Pankreas atau Saluran Empedu: Memiliki prognosis yang buruk karena sering didiagnosis pada stadium lanjut.
- Striktur: Tergantung pada kemampuan untuk menghilangkan sumbatan dan mencegah kekambuhan.
Secara umum, deteksi dini dan intervensi medis yang cepat dan tepat adalah kunci untuk meningkatkan prognosis pada semua kasus hiperbilirubinemia, terlepas dari usia atau penyebabnya. Pemantauan berkelanjutan diperlukan untuk mencegah komplikasi dan mengelola kondisi yang mendasari.
Kesimpulan
Hiperbilirubinemia, atau kondisi kuning, adalah manifestasi klinis dari peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Meskipun seringkali merupakan kondisi yang umum dan jinak pada bayi baru lahir (ikterus fisiologis), kondisi ini juga dapat mengindikasikan masalah kesehatan yang mendasarinya, baik pada neonatus maupun pada anak-anak dan orang dewasa.
Memahami metabolisme bilirubin – mulai dari pembentukannya dari pemecahan sel darah merah, transportasinya, konjugasinya di hati, hingga ekskresinya – adalah fondasi untuk memahami berbagai jenis hiperbilirubinemia. Kondisi ini dapat diklasifikasikan menjadi hiperbilirubinemia tak terkonjugasi (seringkali akibat produksi berlebihan atau gangguan konjugasi) dan hiperbilirubinemia terkonjugasi (akibat gangguan ekskresi dari hati atau obstruksi saluran empedu).
Pada neonatus, penyebab bervariasi dari fisiologis yang normal hingga patologis yang serius seperti inkompatibilitas golongan darah, defisiensi G6PD, sepsis, dan atresia bilier. Pada anak dan dewasa, penyebabnya mencakup anemia hemolitik, penyakit hati (hepatitis, sirosis), dan obstruksi bilier (batu empedu, tumor pankreas). Tanda dan gejala meliputi ikterus, disertai berbagai gejala penyerta yang spesifik untuk setiap kelompok usia dan penyebabnya, dengan kernikterus menjadi komplikasi paling mengerikan pada bayi baru lahir.
Diagnosis yang akurat memerlukan anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium (pengukuran bilirubin total, terkonjugasi, dan tak terkonjugasi, serta tes-tes lain untuk mengidentifikasi etiologi). Pemeriksaan pencitraan seperti USG juga penting untuk menilai struktur hati dan saluran empedu.
Penatalaksanaan harus disesuaikan dengan penyebab. Pada neonatus, fototerapi adalah pilar utama, dengan transfusi tukar dicadangkan untuk kasus berat. Pada anak dan dewasa, pengobatan berfokus pada penyakit primer, seperti terapi untuk hepatitis, pengangkatan batu empedu, atau intervensi bedah untuk atresia bilier. Pencegahan berpusat pada skrining antenatal, promosi menyusui yang adekuat, skrining neonatus universal, dan gaya hidup sehat untuk mencegah penyakit hati.
Prognosis hiperbilirubinemia sangat bervariasi. Ikterus fisiologis memiliki hasil yang sangat baik, sementara ikterus patologis yang tidak ditangani dapat menyebabkan kerusakan otak permanen pada bayi. Pada dewasa, prognosis tergantung pada tingkat keparahan dan reversibilitas penyakit yang mendasari.
Kesimpulannya, hiperbilirubinemia adalah kondisi kompleks yang membutuhkan kewaspadaan, diagnosis cepat, dan penanganan yang tepat. Dengan pemahaman yang komprehensif dan intervensi yang responsif, komplikasi serius dapat dihindari, dan hasil kesehatan yang lebih baik dapat dicapai bagi semua pasien.