Hadis Mursal: Definisi, Hukum, dan Perdebatan Ilmiah

Memahami salah satu jenis hadis yang paling sering diperdebatkan dalam ilmu Mustalah Hadis.

Ilustrasi Hadis Mursal Simbol gulungan kertas (representasi hadis) dengan dua tautan rantai yang terputus, menunjukkan adanya mata rantai yang hilang atau terputus dalam isnad hadis.
Ilustrasi konseptual hadis mursal, menunjukkan sebuah gulungan hadis dengan mata rantai sanad yang terputus.

Ilmu Hadis adalah disiplin ilmu yang sangat fundamental dalam studi Islam, berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan umat Islam dengan ajaran dan teladan Nabi Muhammad SAW. Hadis, sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an, memiliki peran krusial dalam menjelaskan syariat, menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an, serta menjadi pedoman moral dan etika. Namun, tidak semua hadis memiliki kualitas yang sama. Para ulama hadis telah mengembangkan metodologi yang canggih untuk memverifikasi keaslian dan validitas setiap hadis, sebuah proses yang melibatkan penelitian mendalam terhadap sanad (rantai perawi) dan matan (teks) hadis. Di antara berbagai kategori hadis yang dikaji, "Hadis Mursal" menempati posisi yang unik dan seringkali menjadi subjek perdebatan sengit di kalangan ulama.

Hadis Mursal, secara etimologis, berasal dari kata kerja "arsala" (أَرْسَلَ) yang berarti "melepaskan" atau "mengutus". Dalam konteks ilmu hadis, ini merujuk pada "sanad yang dilepaskan" atau "sanad yang terputus". Secara terminologi, Hadis Mursal didefinisikan sebagai hadis yang diriwayatkan oleh seorang Tabi'i (generasi setelah Sahabat Nabi) langsung dari Nabi Muhammad SAW, tanpa menyebutkan Sahabat yang menjadi penghubung antara Tabi'i tersebut dan Nabi. Dengan kata lain, ada satu mata rantai yang hilang dalam sanad, yaitu Sahabat Nabi.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai status hukum Hadis Mursal: apakah ia dapat diterima sebagai hujah (argumen hukum) dalam syariat Islam atau tidak? Perdebatan ini tidak hanya bersifat akademis, tetapi memiliki implikasi praktis yang mendalam terhadap penetapan hukum-hukum fiqh. Mazhab-mazhab fiqh yang berbeda memiliki pandangan yang beragam, didasari oleh prinsip-prinsip metodologi dan penafsiran yang berbeda terhadap integritas sanad yang terputus ini. Artikel ini akan mengupas tuntas Hadis Mursal, mulai dari definisi linguistik dan terminologisnya, karakteristik, perbedaannya dengan jenis hadis dha'if lainnya, pandangan mazhab fiqh, argumentasi ulama yang menerima dan menolak, hingga implikasinya dalam fikih dan ilmu hadis kontemporer.

I. Definisi Hadis Mursal: Linguistik dan Terminologis

Untuk memahami Hadis Mursal secara komprehensif, penting untuk mengawali dengan definisi yang jelas, baik dari segi bahasa maupun terminologi syariat.

1.1. Definisi Linguistik (Bahasa)

Kata "Mursal" (مُرْسَلٌ) adalah isim maf'ul (partisip pasif) dari fi'il tsulatsi mazid "arsala" (أَرْسَلَ) yang berarti "mengutus", "melepaskan", atau "meninggalkan". Dalam konteks ini, ia bisa diartikan sebagai "yang diutus" atau "yang dilepaskan". Konsep "melepaskan" atau "meninggalkan" ini sangat relevan dengan karakteristik hadis mursal, di mana salah satu perawi dalam sanad telah "dilepaskan" atau "ditinggalkan", yakni tidak disebutkan.

Contoh penggunaan kata "arsala" dalam Al-Qur'an atau hadis seringkali merujuk pada pengutusan Rasul atau melepaskan sesuatu. Dalam konteks sanad hadis, ia mengindikasikan adanya suatu bagian yang "terlepas" dari rantai normal, yaitu rantai yang idealnya menghubungkan Tabi'i melalui Sahabat ke Nabi SAW.

1.2. Definisi Terminologis (Istilah Ilmu Hadis)

Secara terminologi dalam ilmu hadis, definisi Hadis Mursal telah dirumuskan oleh para ulama dengan cermat. Imam As-Sakhawi dalam kitabnya Fathul Mughits, misalnya, menyebutkan bahwa mursal adalah: "مَا سَقَطَ مِنْ آخِرِ إِسْنَادِهِ مَنْ لاَ يَكُونُ صَحَابِيًّا، وَكَانَ السَّاقِطُ وَاحِدًا". Artinya, "apa yang gugur dari akhir sanadnya seorang yang bukan Sahabat, dan yang gugur itu hanya satu." Namun, definisi yang lebih umum dan diterima luas adalah:

"Hadis yang diriwayatkan oleh seorang Tabi'i secara langsung dari Nabi Muhammad SAW, tanpa menyebutkan Sahabat yang seharusnya menjadi perawi antara Tabi'i tersebut dan Nabi."

Penjelasan lebih lanjut:

  • Tabi'i (التابعي): Adalah generasi setelah Sahabat Nabi. Mereka adalah orang-orang yang bertemu dan berguru kepada Sahabat, tetapi tidak bertemu langsung dengan Nabi Muhammad SAW. Seorang Tabi'i memiliki otoritas keilmuan yang tinggi karena berguru langsung kepada Sahabat yang notabene adalah murid langsung Nabi.
  • Secara Langsung dari Nabi Muhammad SAW: Ini berarti Tabi'i tersebut berkata, "Rasulullah SAW bersabda...", atau "Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda...", atau "Telah sampai kepadaku dari Rasulullah SAW..." tanpa menyebutkan "dari Sahabat Fulan".
  • Tanpa Menyebutkan Sahabat: Inilah inti dari kemursalan. Mata rantai Sahabat yang seharusnya ada di antara Tabi'i dan Nabi SAW tidak disebutkan. Para ulama bersepakat bahwa Sahabat Nabi semuanya adalah perawi yang 'adil (terpercaya) dan dhabit (akurat), sehingga keberadaan mereka dalam sanad tidak mengurangi nilai hadis. Namun, ketika mereka tidak disebutkan, timbul pertanyaan tentang siapa Sahabat yang hilang dan apakah ketiadaan penyebutan ini memengaruhi keabsahan hadis.

Para ulama juga membedakan antara mursal yang "hakiki" dan mursal yang "hukmi". Mursal hakiki adalah yang sesuai definisi di atas, sedangkan mursal hukmi adalah hadis yang memiliki ciri kemursalan meskipun perawinya mungkin bukan Tabi'i secara ketat, tetapi memiliki karakteristik sanad yang sama.

II. Karakteristik dan Rukun Hadis Mursal

Hadis Mursal memiliki karakteristik yang sangat spesifik yang membedakannya dari jenis hadis lain. Memahami karakteristik ini esensial untuk mengidentifikasi dan menganalisis Hadis Mursal dalam studi ilmu hadis.

2.1. Unsur-unsur Utama dalam Sanad Hadis Mursal

Sanad Hadis Mursal selalu terdiri dari beberapa unsur utama:

  1. Nabi Muhammad SAW: Beliau adalah sumber Matan hadis.
  2. Sahabat Nabi: Perawi yang seharusnya mendengar langsung dari Nabi atau dari Sahabat lain yang mendengar dari Nabi, kemudian menyampaikan kepada Tabi'i. Dalam Hadis Mursal, Sahabat ini tidak disebutkan.
  3. Tabi'i: Perawi yang meriwayatkan hadis langsung dari Nabi, seolah-olah dia mendengarnya langsung, padahal dia tidak pernah bertemu Nabi. Tabi'i adalah orang yang bertemu dan belajar dari Sahabat.
  4. Perawi Setelah Tabi'i: Ini bisa berupa Tabi'in (generasi setelah Tabi'i) atau perawi-perawi lainnya hingga sampai kepada pembukuan hadis.

2.2. Kemurnian Sanad yang Terputus

Ciri paling menonjol dari Hadis Mursal adalah adanya "inqita'" (keterputusan) pada sanadnya, yaitu pada bagian antara Tabi'i dan Nabi Muhammad SAW. Keterputusan ini spesifik: hanya satu perawi yang hilang, yaitu seorang Sahabat. Jika yang hilang lebih dari satu perawi, atau yang hilang bukan Sahabat, maka ia akan masuk ke dalam kategori hadis dha'if lainnya, seperti Munqati' atau Mu'dal.

Penting untuk diingat bahwa Tabi'i tersebut terkadang adalah seorang yang "Kabir" (senior) dan terpercaya, yang memiliki reputasi tinggi dalam meriwayatkan hadis. Hal ini menjadi salah satu argumen utama bagi ulama yang menerima Hadis Mursal sebagai hujah.

2.3. Perbedaan dengan Jenis Mursal Lain

a. Mursal Shahabi

Mursal Shahabi adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang Sahabat dari Nabi SAW, tetapi Sahabat tersebut sebenarnya tidak mendengar langsung dari Nabi, melainkan dari Sahabat lain atau dari Tabi'i. Namun, Sahabat tersebut meriwayatkannya seolah-olah dia mendengarnya langsung dari Nabi. Ulama umumnya menerima Mursal Shahabi karena semua Sahabat dianggap 'adil dan tidak mungkin meriwayatkan kecuali dari sumber yang terpercaya.

b. Mursal Kabir (Senior Tabi'i) dan Mursal Shaghir (Junior Tabi'i)

Sebagian ulama membedakan mursal berdasarkan Tabi'i yang meriwayatkannya. Mursal Kabir adalah yang diriwayatkan oleh Tabi'i senior yang banyak bertemu dengan Sahabat dan sangat cermat. Mursal Shaghir adalah yang diriwayatkan oleh Tabi'i junior. Perbedaan ini terkadang memengaruhi pandangan ulama terhadap penerimaan Hadis Mursal, di mana mursal dari Tabi'i senior lebih cenderung diterima.

Karakteristik-karakteristik ini menunjukkan betapa kompleksnya kajian Hadis Mursal dan mengapa ia menjadi titik sentral perdebatan dalam ilmu hadis. Keterputusan sanad pada Hadis Mursal bukanlah keterputusan sembarangan, melainkan keterputusan pada titik krusial yang memerlukan analisis mendalam.

III. Perbedaan Hadis Mursal dengan Jenis Hadis Dha'if Lainnya

Dalam ilmu Mustalah Hadis, terdapat berbagai kategori hadis dha'if (lemah) yang diklasifikasikan berdasarkan jenis dan letak keterputusan sanad, atau karena adanya cacat pada perawi. Hadis Mursal, meskipun termasuk salah satu jenis hadis dha'if, memiliki ciri khas yang membedakannya dari kategori lain. Pemahaman terhadap perbedaan ini sangat penting untuk penentuan status dan hukum suatu hadis.

3.1. Hadis Munqati' (المُنْقَطِعُ)

Definisi: Munqati' adalah hadis yang sanadnya terputus di satu tempat, dan yang gugur itu adalah satu atau lebih perawi, tetapi tidak pada awal atau akhir sanad secara spesifik (dari arah Tabi'i ke atas atau dari arah perawi setelah Tabi'i ke bawah). Bisa saja keterputusan terjadi di tengah-tengah sanad.

Perbedaan dengan Mursal:

  • Lokasi Keterputusan: Pada Mursal, keterputusan hanya terjadi di akhir sanad (dari sisi Tabi'i, yaitu antara Tabi'i dan Nabi, dengan hilangnya Sahabat). Pada Munqati', keterputusan bisa terjadi di mana saja dalam sanad, kecuali di bagian Tabi'i dari Nabi, dan yang gugur itu tidak hanya satu orang.
  • Jumlah Perawi yang Hilang: Mursal secara spesifik hanya kehilangan satu perawi (seorang Sahabat). Munqati' bisa kehilangan satu atau lebih perawi.
  • Identitas Perawi yang Hilang: Dalam Mursal, perawi yang hilang adalah Sahabat (yang hukumnya 'adil menurut mayoritas). Dalam Munqati', perawi yang hilang bisa siapa saja (Sahabat, Tabi'i, atau Tabi'ut Tabi'in), dan statusnya tidak diketahui ('adil atau dha'if).

Semua hadis mursal adalah munqati', tetapi tidak semua hadis munqati' adalah mursal. Mursal adalah jenis khusus dari munqati' yang memiliki ciri spesifik.

3.2. Hadis Mu'dal (المُعْضَلُ)

Definisi: Mu'dal adalah hadis yang sanadnya terputus dua perawi atau lebih secara berturut-turut pada satu tempat dalam sanadnya. Kata "mu'dal" berarti "sukar" atau "musykil", karena kesulitan dalam menelusuri sanad yang terputus terlalu banyak.

Perbedaan dengan Mursal:

  • Jumlah Perawi yang Hilang: Mursal hanya kehilangan satu perawi (Sahabat). Mu'dal kehilangan minimal dua perawi atau lebih secara berturut-turut.
  • Tingkat Keterputusan: Mu'dal dianggap lebih lemah daripada Mursal dan Munqati' karena semakin banyak perawi yang hilang secara berurutan, semakin besar kemungkinan adanya perawi yang dha'if atau masalah lain dalam sanad.

Jika seorang Tabi'i meriwayatkan langsung dari Nabi, dan ada dua Sahabat yang hilang secara berurutan, maka itu akan menjadi Mu'dal, bukan Mursal.

3.3. Hadis Mu'allaq (المُعَلَّقُ)

Definisi: Mu'allaq adalah hadis yang sanadnya terputus dari awal (sisi pembukuan hadis atau perawi yang paling dekat dengan kita), yaitu satu perawi atau lebih, bahkan seluruh sanadnya, dihapus. Kata "mu'allaq" berarti "menggantung", karena sanadnya menggantung tanpa perawi di awalnya.

Perbedaan dengan Mursal:

  • Lokasi Keterputusan: Mursal terputus di akhir sanad (antara Tabi'i dan Nabi). Mu'allaq terputus di awal sanad (antara perawi paling akhir dan perawi sebelumnya, atau bahkan seluruh sanadnya).
  • Perawi yang Hilang: Dalam Mu'allaq, perawi yang hilang bisa dari generasi mana saja, bukan spesifik Sahabat.

Contoh Mu'allaq adalah ketika Imam Bukhari meriwayatkan hadis langsung dari Nabi SAW tanpa menyebutkan sanadnya, seperti "وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم" (Dan Rasulullah SAW bersabda), padahal beliau tidak sezaman dengan Nabi.

3.4. Hadis Mudallas (المُدَلَّسُ)

Definisi: Mudallas adalah hadis yang perawinya meriwayatkan dari gurunya yang ia pernah dengar darinya, tetapi meriwayatkannya dengan lafazh yang mengesankan bahwa ia mendengarnya langsung dari guru tersebut, padahal ia tidak mendengarnya. Atau, ia menyebutkan gurunya dengan nama atau sifat yang tidak dikenal sehingga identitas aslinya kabur, yang bertujuan menyembunyikan kelemahan pada sanad.

Perbedaan dengan Mursal:

  • Keterputusan yang Disengaja: Dalam Mursal, keterputusan (yakni hilangnya Sahabat) terjadi karena Tabi'i memang tidak bertemu Nabi. Dalam Mudallas, perawi seolah-olah menyembunyikan keterputusan atau kelemahan perawi lain dengan menggunakan redaksi yang ambigu (misalnya, "dari Fulan" bukan "aku mendengar Fulan").
  • Tujuan: Mursal tidak memiliki tujuan menyembunyikan kelemahan perawi yang diketahui. Mudallas bertujuan menyembunyikan kelemahan perawi lain atau keterputusan sanad secara sengaja atau tidak sengaja.

Dengan demikian, Hadis Mursal memiliki tempatnya sendiri dalam klasifikasi hadis dha'if. Keterputusan spesifik pada mata rantai Sahabat adalah ciri khas yang membedakannya, dan ini menjadi fondasi utama bagi perdebatan tentang hukum dan kehujahannya di antara para ulama.

IV. Hukum Hadis Mursal Menurut Empat Mazhab Fiqh dan Ulama Hadis

Status hukum Hadis Mursal, yaitu apakah ia dapat dijadikan sebagai dalil (hujah) dalam penetapan hukum syariat atau tidak, merupakan salah satu isu paling hangat dan kontroversial dalam ilmu hadis dan fiqh. Para ulama dari berbagai mazhab fiqh dan juga ulama hadis memiliki pandangan yang berbeda-beda, didasari oleh metodologi, prinsip ushul fiqh, dan pandangan mereka terhadap integritas perawi Tabi'i.

4.1. Mazhab Hanafi

Mazhab Hanafi, yang didirikan oleh Imam Abu Hanifah, adalah mazhab yang paling lunak dalam penerimaan Hadis Mursal. Mereka secara umum menerima Hadis Mursal sebagai hujah dan menggunakannya sebagai dalil dalam penetapan hukum, dengan beberapa syarat tertentu. Pandangan ini didasarkan pada beberapa alasan:

  1. Kepercayaan terhadap Tabi'i: Ulama Hanafi berpendapat bahwa seorang Tabi'i yang meriwayatkan hadis dari Nabi SAW secara mursal adalah seorang yang terpercaya, 'adil, dan berilmu. Mereka tidak akan meriwayatkan kecuali dari seorang Sahabat yang juga terpercaya. Jika Tabi'i tersebut merasa perlu menyembunyikan nama Sahabat, itu pasti karena Sahabat tersebut adalah Sahabat yang kurang dikenal namun tetap terpercaya, atau Tabi'i tersebut takut akan 'ain (pandangan) jika Sahabat itu terlalu masyhur.
  2. Praktik Ulama Salaf: Banyak ulama salaf (termasuk para Sahabat dan Tabi'in) yang menggunakan hadis mursal sebagai dalil. Ini menunjukkan adanya konsensus implisit atau penerimaan umum terhadap mursal pada generasi awal.
  3. Kebutuhan akan Dalil: Dalam banyak kasus, hadis mursal mungkin satu-satunya sumber yang menjelaskan suatu masalah, dan menolaknya akan menghilangkan dalil yang penting.

Namun, penerimaan ini tidak mutlak tanpa syarat. Beberapa ulama Hanafi menambahkan bahwa mursal hanya diterima jika Tabi'i yang meriwayatkannya adalah seorang yang dikenal cermat (dhabit) dan teliti dalam periwayatannya.

4.2. Mazhab Maliki

Mazhab Maliki, yang didirikan oleh Imam Malik bin Anas, juga memiliki kecenderungan untuk menerima Hadis Mursal sebagai hujah, terutama jika mursal tersebut berasal dari Tabi'i yang terpercaya dan terkemuka di Madinah, atau jika ia didukung oleh praktik (amal) penduduk Madinah. Pandangan Imam Malik sangat dipengaruhi oleh tradisi dan praktik (amal) penduduk Madinah, yang diyakini mewarisi ajaran Nabi secara langsung.

Alasan penerimaan mereka mirip dengan Hanafi:

  1. Kepercayaan pada Tabi'i Madinah: Imam Malik sangat percaya pada integritas dan keilmuan para Tabi'i di Madinah, yang merupakan pusat ilmu pada masa itu. Mereka dianggap tidak akan meriwayatkan kecuali dari Sahabat yang terpercaya.
  2. Amal Ahlul Madinah: Jika Hadis Mursal didukung oleh praktik (amal) masyarakat Madinah, maka itu menjadi penguat yang kuat bagi kehujahannya. Imam Malik menganggap amal penduduk Madinah sebagai salah satu sumber hukum yang penting.
  3. Tidak Adanya Dalil Penolak: Tidak ada dalil pasti dari Al-Qur'an atau hadis sahih yang secara eksplisit menolak mursal.

Beberapa ulama Maliki bahkan menganggap mursal dari Tabi'i senior Madinah setara dengan Musnad (hadis bersambung) jika tidak ada hadis musnad lain yang bertentangan.

4.3. Mazhab Syafi'i

Mazhab Syafi'i, yang didirikan oleh Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i, adalah mazhab yang paling ketat dalam penerimaan Hadis Mursal. Imam Asy-Syafi'i secara umum menolak Hadis Mursal sebagai hujah kecuali jika memenuhi syarat-syarat yang sangat ketat. Pendekatan ketat ini tercermin dalam kitabnya, Ar-Risalah, di mana beliau membahas masalah mursal secara mendalam.

Alasan penolakan utama adalah:

  1. Keterputusan Sanad: Imam Asy-Syafi'i berargumen bahwa ketidakhadiran Sahabat dalam sanad berarti ada mata rantai yang hilang. Kita tidak tahu siapa Sahabat yang hilang itu, apakah dia seorang Sahabat yang terpercaya atau mungkin seorang Tabi'i lain yang dha'if yang dia meriwayatkan darinya. Meskipun semua Sahabat itu 'adil, Tabi'i bisa saja meriwayatkan dari Tabi'i lain yang lemah, yang kemudian dari Sahabat.
  2. Prinsip Kehati-hatian: Dalam penetapan hukum syariat, kehati-hatian adalah prinsip utama. Keterputusan sanad menimbulkan keraguan, dan keraguan harus dihindari.
  3. Ketiadaan Jaminan: Tidak ada jaminan bahwa Tabi'i tersebut hanya akan meriwayatkan dari Sahabat yang terpercaya. Tabi'i mungkin saja meriwayatkan dari Tabi'i lain yang lemah, atau bahkan dari Sahabat yang mungkin kurang dikenal.

Namun, Imam Asy-Syafi'i memberikan pengecualian. Hadis Mursal dapat diterima jika memenuhi salah satu dari syarat-syarat berikut:

  • Diriwayatkan juga melalui sanad lain secara muttasil (bersambung) dan sahih.
  • Diriwayatkan juga melalui mursal lain dari jalur Tabi'i yang berbeda.
  • Didukung oleh fatwa Sahabat.
  • Didukung oleh praktik (amal) sebagian besar ulama.
  • Jika perawi mursal itu adalah Tabi'i yang sangat senior dan terpercaya, yang dikenal sangat cermat dan tidak meriwayatkan kecuali dari yang terpercaya, seperti Sa'id bin Al-Musayyab.

Jika mursal memenuhi salah satu syarat ini, maka kelemahannya dapat tertutupi dan ia naik derajatnya menjadi hujah.

4.4. Mazhab Hanbali

Mazhab Hanbali, yang didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, memiliki pandangan yang cenderung mirip dengan Mazhab Syafi'i dalam hal kehati-hatian, namun sedikit lebih fleksibel. Imam Ahmad secara umum lebih memilih hadis musnad (bersambung) daripada mursal. Namun, jika tidak ada hadis musnad yang bertentangan, dan mursal tersebut didukung oleh faktor lain, ia dapat diterima.

Pandangan Imam Ahmad dapat dirangkum sebagai berikut:

  1. Keterputusan Sanad adalah Kelemahan: Seperti Asy-Syafi'i, Imam Ahmad menganggap keterputusan sanad sebagai kelemahan mendasar.
  2. Penerimaan dalam Kondisi Tertentu: Mursal dapat diterima jika:
    • Didukung oleh mursal lain dari jalur berbeda.
    • Didukung oleh hadis musnad yang kuat.
    • Didukung oleh pendapat Sahabat.
    • Diriwayatkan oleh Tabi'i yang sangat terpercaya yang dikenal tidak meriwayatkan kecuali dari yang tsiqah (terpercaya).
  3. Lebih Memilih Mursal dari Tabi'i Senior: Imam Ahmad lebih condong menerima mursal dari Tabi'i senior dan terkemuka seperti Sa'id bin Al-Musayyab.

Pada dasarnya, Mazhab Hanbali berada di antara Mazhab Hanafi/Maliki yang longgar dan Mazhab Syafi'i yang sangat ketat. Mereka mencoba menyeimbangkan antara kehati-hatian dalam menerima riwayat dengan kebutuhan untuk memanfaatkan sumber-sumber hadis yang ada.

4.5. Pandangan Umum Ulama Hadis

Sebagian besar ulama hadis, termasuk para muhadditsin terkemuka seperti Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa'i, dan Ibnu Majah, cenderung pada pendapat yang menolak Hadis Mursal secara mutlak sebagai hujah, kecuali jika ditemukan penguat yang menjadikannya naik derajat. Mereka menempatkan syarat sanad yang muttasil (bersambung) sebagai salah satu syarat utama hadis sahih atau hasan. Bagi mereka, keterputusan sanad adalah 'illat (cacat) yang menjadikan hadis tersebut dha'if.

Namun, mereka juga tidak mengabaikan mursal sepenuhnya. Mereka akan mencari jalur sanad lain yang muttasil untuk hadis tersebut. Jika ditemukan, mursal tersebut dapat menguatkan hadis muttasil atau setidaknya dijadikan syahid (pendukung) atau mutaba'ah (pelacak). Ini menunjukkan bahwa meskipun mursal tidak diterima sebagai dalil mandiri, ia tetap memiliki nilai dalam konteks penelitian hadis.

Ringkasnya, Hadis Mursal adalah jenis hadis yang kelemahannya terletak pada keterputusan sanad di antara Tabi'i dan Nabi SAW. Hukum penerimaannya sangat bervariasi di antara mazhab fiqh dan ulama hadis, mencerminkan kompleksitas dan kedalaman metodologi ilmu hadis dalam memverifikasi keaslian dan kehujjahan suatu riwayat.

V. Argumentasi Ulama yang Menerima Hadis Mursal

Ulama yang cenderung menerima Hadis Mursal sebagai hujah, seperti mayoritas ulama Mazhab Hanafi dan Maliki, serta sebagian ulama lainnya, mendasarkan pandangan mereka pada beberapa argumen kuat. Argumen-argumen ini berakar pada pemahaman mereka tentang integritas Tabi'i dan praktik generasi salaf.

5.1. Integritas dan Kredibilitas Tabi'i

Argumen utama bagi penerimaan mursal adalah kepercayaan penuh pada integritas ('adalah) dan kecermatan (dhabt) seorang Tabi'i yang meriwayatkannya. Mereka berpendapat:

  • Hanya Meriwayatkan dari Terpercaya: Seorang Tabi'i yang 'adil dan berilmu tidak akan meriwayatkan hadis kecuali dari sumber yang terpercaya (tsiqah). Jika mereka tidak menyebutkan nama Sahabat, itu bukan karena Sahabat itu dha'if, melainkan karena Sahabat tersebut adalah seorang yang 'adil yang mungkin kurang dikenal, atau Tabi'i tersebut telah mengetahui hadis tersebut dari beberapa Sahabat dan ingin meringkas sanadnya, atau ia lupa nama Sahabat tersebut.
  • Tabi'i Adalah Ulama Besar: Para Tabi'i senior adalah ulama-ulama besar yang merupakan murid langsung para Sahabat. Mereka sangat selektif dalam memilih guru dan riwayat. Oleh karena itu, jika seorang Tabi'i besar menyatakan "Nabi bersabda...", itu adalah indikasi kuat bahwa ia telah memverifikasi riwayat tersebut dari Sahabat yang terpercaya.
  • Mengutamakan Riwayat, Bukan Nama: Bagi Tabi'i, yang terpenting adalah isi riwayat (matan) dan kepastian bahwa itu berasal dari Nabi, bukan semata-mata menyebutkan semua nama perawi di sanad.

Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, yang sangat bergantung pada praktik Tabi'in di Kufah dan Madinah, sangat menghargai status Tabi'i dan meyakini bahwa mereka tidak mungkin sengaja menghilangkan nama perawi yang dha'if.

5.2. Praktik Generasi Salaf

Para ulama yang menerima mursal juga mengemukakan bahwa Hadis Mursal banyak digunakan dan diterima sebagai hujah oleh generasi Sahabat dan Tabi'in itu sendiri, serta para fuqaha (ahli fiqh) di awal Islam. Mereka berpendapat:

  • Konsensus Implisit: Jika mursal tidak sah sebagai hujah, tentu akan ada penolakan masif dari para Sahabat dan Tabi'in terhadap praktik periwayatan mursal. Namun, sejarah menunjukkan bahwa mursal digunakan secara luas dan diterima tanpa keberatan yang signifikan pada masa-masa awal.
  • Banyak Digunakan dalam Fiqh: Banyak hukum fiqh yang ditetapkan oleh para fuqaha mujtahid awal didasarkan pada Hadis Mursal. Jika kita menolaknya secara mutlak, maka akan banyak hukum yang kehilangan dasar dalilnya.

Sebagai contoh, banyak riwayat dari Imam Zuhri (seorang Tabi'i besar) yang mursal, namun diterima dan digunakan oleh ulama pada zamannya. Ini menjadi bukti bahwa mursal memiliki tempat dalam tradisi keilmuan Islam awal.

5.3. Ketiadaan Dalil yang Menolak Mursal Secara Mutlak

Argumen lain adalah bahwa tidak ada dalil syar'i, baik dari Al-Qur'an maupun hadis sahih, yang secara eksplisit menyatakan bahwa mursal tidak boleh dijadikan hujah. Hukum asal dalam masalah muamalat dan dalil adalah boleh, kecuali ada dalil yang melarangnya. Dalam hal ini, karena tidak ada larangan eksplisit, maka mursal seharusnya dapat diterima.

Selain itu, Sahabat yang hilang dalam sanad adalah Sahabat yang semuanya 'adil, sehingga tidak ada keraguan tentang integritas perawi yang hilang tersebut. Keberadaannya dalam sanad tidak akan mengubah kualitas hadis dari sisi ke'adalahan perawinya. Kecurigaan terhadap adanya Tabi'i dha'if di antara Tabi'i yang meriwayatkan dan Sahabat dianggap sebagai kecurigaan yang berlebihan (wahm) yang tidak didasarkan pada bukti konkret.

5.4. Penguatan Melalui Faktor Lain

Meskipun beberapa mazhab menerima mursal secara umum, semua sepakat bahwa kekuatan mursal akan semakin bertambah jika didukung oleh faktor-faktor lain, seperti:

  • Adanya sanad lain yang muttasil dan sahih.
  • Adanya mursal lain dari Tabi'i yang berbeda.
  • Didukung oleh praktik atau ijma' ulama.
  • Didukung oleh fatwa atau perkataan Sahabat.

Faktor-faktor ini menunjukkan bahwa bahkan bagi mereka yang menerima mursal, penguatan eksternal tetap sangat dihargai untuk menghilangkan keraguan yang mungkin timbul.

Secara keseluruhan, argumen penerimaan mursal berpusat pada keyakinan akan integritas dan kehati-hatian Tabi'i, legitimasi praktik generasi awal, dan tidak adanya dalil eksplisit yang melarangnya. Pandangan ini mencerminkan pendekatan yang lebih pragmatis dan berorientasi pada penggunaan dalil semaksimal mungkin untuk penetapan hukum syariat.

VI. Argumentasi Ulama yang Menolak atau Membatasi Hadis Mursal

Di sisi lain spektrum, mayoritas ulama hadis dan ulama Mazhab Syafi'i serta Hanbali memiliki pandangan yang lebih ketat terhadap Hadis Mursal, umumnya menolaknya sebagai hujah kecuali dengan syarat-syarat tertentu yang sangat ketat. Penolakan ini didasari oleh prinsip-prinsip metodologi hadis yang menekankan pentingnya sanad yang utuh dan tidak terputus.

6.1. Prinsip Keterputusan Sanad Adalah Kelemahan

Argumen paling fundamental adalah bahwa keterputusan sanad itu sendiri merupakan cacat ('illah) dalam hadis. Ilmu hadis dibangun di atas prinsip bahwa hadis sahih harus memiliki sanad yang bersambung (muttasil) dari awal hingga akhir. Ketika ada perawi yang tidak disebutkan, maka kita tidak dapat memastikan identitas dan integritas perawi tersebut.

  • Tidak Diketahui Identitas Perawi: Meskipun yang hilang adalah seorang Sahabat, dan semua Sahabat dianggap 'adil, masalahnya bukan hanya Sahabat yang hilang. Ada kemungkinan Tabi'i tersebut meriwayatkan dari Tabi'i lain yang lemah, yang kemudian dari Sahabat. Dalam skenario ini, yang hilang bukanlah Sahabat, melainkan seorang Tabi'i yang dha'if. Karena identitas perawi yang hilang tidak diketahui (majhul), kita tidak dapat memverifikasi ke'adalahan dan kedhabitan (keakuratan)nya.
  • Pelanggaran Syarat Hadis Sahih: Salah satu syarat hadis sahih adalah ittisal (sanadnya bersambung). Hadis Mursal jelas-jelas tidak memenuhi syarat ini karena adanya inqita' (keterputusan). Oleh karena itu, ia secara otomatis tidak bisa dikategorikan sebagai hadis sahih.
  • Perawi yang Hilang Mungkin Bukan Sahabat: Ulama seperti Imam Asy-Syafi'i menyoroti kemungkinan bahwa Tabi'i tersebut, meskipun 'adil, bisa saja meriwayatkan dari seorang Tabi'i lain yang dha'if, yang kemudian dari seorang Sahabat. Jika demikian, maka yang tersembunyi adalah perawi dha'if, dan ini tentu mengurangi validitas hadis.

6.2. Prinsip Kehati-hatian dalam Dalil Syar'i

Dalam penetapan hukum syariat, terutama yang berkaitan dengan halal dan haram, prinsip kehati-hatian (ihtiyat) adalah sangat penting. Hadis Mursal, dengan keraguan yang melekat pada sanadnya, dianggap tidak memenuhi standar kehati-hatian yang diperlukan untuk dijadikan dalil mandiri.

  • Keraguan Menghalangi Keyakinan: Adanya keraguan tentang siapa perawi yang hilang dan statusnya, membuat hadis mursal tidak bisa mencapai tingkat keyakinan (yaqin) yang diperlukan untuk penetapan hukum.
  • Menutup Pintu Kesalahan: Pendekatan yang ketat ini bertujuan untuk menutup pintu bagi riwayat-riwayat yang mungkin mengandung kelemahan tersembunyi, sehingga syariat tetap terjaga kemurniannya.

6.3. Kemungkinan Adanya 'Illat (Cacat) Tersembunyi

Ulama yang menolak mursal berargumen bahwa kemursalan itu sendiri adalah sebuah 'illat (cacat) pada hadis. Meskipun Tabi'i perawi mursal itu terpercaya, kita tidak tahu detail mengenai perawi yang dia lompati. Bisa jadi perawi yang dilompati adalah seorang yang lemah, atau bahkan ada lebih dari satu perawi yang dilompati.

Imam Asy-Syafi'i, dalam Ar-Risalah, memberikan contoh bahwa seorang Tabi'i, meskipun tsiqah, bisa saja melakukan tadlis (menyembunyikan cacat sanad). Meskipun jarang, kemungkinan ini ada dan harus dipertimbangkan dalam metodologi hadis yang ketat.

6.4. Perbedaan dengan Mursal Shahabi

Para ulama yang menolak mursal juga membedakannya dengan Mursal Shahabi. Mursal Shahabi adalah ketika seorang Sahabat meriwayatkan dari Nabi tanpa mendengar langsung, melainkan melalui Sahabat lain. Ini diterima karena semua Sahabat dijamin ke'adalahan-nya oleh Al-Qur'an dan Sunnah, sehingga tidak ada keraguan tentang perawi yang "hilang" (yaitu Sahabat lain yang terpercaya).

Namun, dalam Hadis Mursal biasa, perawi yang hilang adalah Sahabat yang tidak disebutkan oleh Tabi'i. Keraguan muncul karena Tabi'i tersebut mungkin saja mengambil dari Tabi'i lain yang lemah, yang kemudian dari Sahabat. Dengan demikian, status perawi yang "tidak ada" tersebut tidak terjamin sebagaimana jaminan terhadap Sahabat.

6.5. Penerimaan Bersyarat sebagai Bentuk Kompromi

Meskipun menolak mursal secara mutlak, ulama seperti Imam Asy-Syafi'i tidak serta merta membuang mursal begitu saja. Mereka menerima mursal jika ada penguat eksternal yang mengangkat derajatnya, seperti:

  • Adanya sanad lain yang muttasil (bersambung) untuk matan yang sama.
  • Adanya mursal lain dari Tabi'i yang berbeda yang menguatkannya.
  • Jika matan mursal tersebut selaras dengan pendapat Sahabat.
  • Jika matan mursal tersebut sesuai dengan sebagian besar pendapat ulama fiqh.

Ini menunjukkan bahwa Hadis Mursal tidak sepenuhnya diabaikan, melainkan dinilai berdasarkan konteks dan dukungan dari riwayat lain. Namun, ia tidak dapat berdiri sendiri sebagai dalil yang kuat.

Secara keseluruhan, argumen penolakan Hadis Mursal didasarkan pada prinsip kehati-hatian, integritas sanad yang harus utuh, dan potensi adanya cacat tersembunyi pada perawi yang tidak disebutkan. Ini adalah pendekatan yang bertujuan untuk menjaga kemurnian dan keabsahan dalil-dalil syariat dengan standar verifikasi yang sangat tinggi.

VII. Implikasi Hadis Mursal dalam Fiqh dan Usul Fiqh

Perdebatan mengenai Hadis Mursal, apakah ia diterima sebagai hujah atau tidak, memiliki implikasi yang sangat mendalam dan luas dalam disiplin ilmu fiqh (hukum Islam) dan ushul fiqh (metodologi hukum Islam). Status mursal secara langsung memengaruhi cara para mujtahid (ahli hukum yang melakukan ijtihad) dalam merumuskan hukum syariat dan menentukan dalil-dalil yang sah.

7.1. Penetapan Hukum Fiqh

Perbedaan pandangan terhadap mursal secara langsung menyebabkan perbedaan dalam hukum-hukum fiqh yang dihasilkan oleh mazhab-mazhab yang berbeda:

  • Mazhab Hanafi dan Maliki: Karena kecenderungan mereka untuk menerima mursal (dengan atau tanpa syarat minor), mazhab ini dapat menggunakan Hadis Mursal sebagai dalil untuk menetapkan hukum. Ini berarti bahwa mereka memiliki basis dalil yang lebih luas dibandingkan mazhab lain, dan ini dapat menghasilkan hukum-hukum yang unik bagi mazhab mereka. Contohnya, banyak hukum dalam fiqh Hanafi yang didasarkan pada mursal, seperti beberapa detail dalam shalat atau muamalat, yang mungkin tidak ditemukan dalil musnadnya.
  • Mazhab Syafi'i dan Hanbali: Karena pendekatan mereka yang lebih ketat, mazhab ini akan menolak Hadis Mursal sebagai dalil mandiri. Jika suatu masalah hanya memiliki dalil berupa mursal dan tidak ada penguat lain yang mengangkat derajatnya, maka mereka mungkin akan:
    • Mencari dalil lain dari Al-Qur'an, Sunnah musnad yang sahih, ijma', atau qiyas.
    • Mengatakan bahwa tidak ada dalil yang kuat untuk masalah tersebut, sehingga hukumnya kembali kepada hukum asal (misalnya, mubah).
    • Menggunakan kaidah Sadd Adz-Dzara'i (menutup pintu keburukan) atau Istishab (melanjutkan hukum asal).
    Ini berarti hukum-hukum yang dihasilkan oleh mazhab Syafi'i dan Hanbali mungkin berbeda secara signifikan dari Hanafi atau Maliki jika dalil utamanya adalah mursal.

Misalnya, dalam beberapa masalah yang berkaitan dengan muamalah atau ibadah, satu mazhab mungkin menetapkan hukum wajib atau sunnah berdasarkan mursal, sementara mazhab lain menetapkan hukum mubah atau bahkan makruh karena menolak mursal tersebut dan tidak menemukan dalil lain.

7.2. Metodologi Istinbat Hukum (Ushul Fiqh)

Dalam ushul fiqh, perdebatan tentang mursal secara langsung berkaitan dengan hierarki dan kehujjahan dalil. Pertanyaan utama di sini adalah: "Apakah Hadis Mursal termasuk dalam kategori Sunnah yang dapat menjadi dalil syar'i?"

  • Definisi Sunnah: Jika mursal diterima, maka definisi Sunnah sebagai dalil dapat sedikit meluas untuk mencakup riwayat-riwayat yang sanadnya tidak sepenuhnya muttasil tetapi memiliki indikasi kuat keabsahan.
  • Syarat Kehujjahan Hadis: Bagi yang menolak mursal, syarat ittisal (sanad bersambung) adalah mutlak bagi hadis yang dijadikan dalil. Mereka menempatkan mursal di bawah standar ini dan hanya menerimanya sebagai penguat, bukan dalil utama.
  • Konsep Hadis Dha'if: Status mursal sebagai dha'if tetapi terkadang diterima menjadi anomali menarik dalam klasifikasi hadis. Ini menunjukkan bahwa tidak semua hadis dha'if diperlakukan sama dalam ushul fiqh. Beberapa dha'if, seperti mursal yang didukung, dapat naik derajatnya menjadi hasan li ghairihi (hasan karena penguat dari luar) atau bahkan sahih li ghairihi.
  • Taqwa dan Wara' Tabi'i: Perdebatan juga mencerminkan tingkat kepercayaan pada taqwa dan wara' (kehati-hatian) Tabi'i. Ulama yang menerima mursal menempatkan kepercayaan yang sangat tinggi pada Tabi'i, meyakini bahwa mereka tidak mungkin berbohong atau menyembunyikan kelemahan. Sebaliknya, ulama yang menolak mursal cenderung lebih berhati-hati, mengutamakan kejelasan sanad di atas segala-galanya, meskipun menghargai Tabi'i.

7.3. Peran dalam Tarjih (Penguatan Dalil)

Meskipun banyak ulama menolak Hadis Mursal sebagai dalil mandiri, hampir semua ulama sepakat bahwa mursal dapat digunakan untuk tujuan tarjih (menguatkan salah satu dalil yang bertentangan) atau untuk mengangkat derajat hadis dha'if lainnya. Jika ada dua dalil musnad yang bertentangan, dan salah satunya didukung oleh mursal, maka mursal tersebut bisa menjadi penguat bagi dalil yang didukungnya.

Dalam konteks kritik hadis, seorang muhaddits mungkin akan mencari jalur-jalur mursal untuk melihat apakah matan hadis tersebut memiliki syawahid (penguat dalam bentuk hadis lain dengan matan serupa) atau mutaba'at (penguat dalam bentuk hadis lain dengan sanad yang berbeda tetapi matan yang sama) yang dapat menguatkan suatu riwayat, meskipun sanadnya tidak sempurna.

7.4. Pengaruh terhadap Fleksibilitas Fiqh

Penerimaan mursal memberikan fleksibilitas lebih besar dalam ijtihad, memungkinkan para fuqaha untuk merumuskan hukum dalam situasi di mana dalil musnad yang sahih mungkin langka atau tidak ada. Ini sangat relevan dalam kasus-kasus hukum yang muncul belakangan atau detail-detail yang tidak secara eksplisit disebutkan dalam hadis musnad.

Namun, penolakan mursal mendorong para fuqaha untuk lebih berhati-hati dan mengandalkan dalil-dalil yang lebih kuat, yang dapat mengurangi jumlah hukum yang dapat ditetapkan secara pasti jika dalilnya sangat terbatas. Ini adalah sebuah keseimbangan antara kehati-hatian metodologis dan kebutuhan praktis untuk merumuskan hukum dalam berbagai situasi.

Dengan demikian, implikasi Hadis Mursal tidak hanya terbatas pada masalah teknis ilmu hadis, tetapi juga meresap ke dalam jantung perumusan hukum Islam, memengaruhi corak dan kekayaan fiqh Islam di berbagai mazhab.

VIII. Metode Kritik Hadis Terhadap Hadis Mursal

Meskipun Hadis Mursal memiliki keterputusan sanad, ia tidak serta merta dibuang atau diabaikan dalam ilmu hadis. Para muhadditsin (ahli hadis) telah mengembangkan metodologi yang canggih untuk menganalisis dan mengevaluasi Hadis Mursal, bahkan jika mereka tidak menerimanya sebagai hujah mandiri. Tujuannya adalah untuk mencari tahu apakah ada faktor eksternal yang dapat menguatkan mursal tersebut, atau apakah ia memiliki jalur lain yang bersambung.

8.1. Mencari Sanad Lain yang Muttasil (Bersambung)

Ini adalah metode utama dan paling efektif. Jika Hadis Mursal ditemukan memiliki sanad lain yang muttasil dan sahih atau hasan, maka keterputusan pada jalur mursal dapat teratasi. Sanad muttasil ini menjadi penguat (syahid atau mutaba'ah) bagi matan mursal tersebut, dan hadis tersebut secara keseluruhan dapat dipertimbangkan sebagai sahih atau hasan.

Contoh: Jika ada Tabi'i A meriwayatkan mursal dari Nabi SAW (yaitu Tabi'i A → Nabi), lalu ditemukan jalur lain seperti Tabi'i B → Sahabat Fulan → Nabi SAW untuk matan yang sama. Maka mursal dari Tabi'i A tersebut dapat dikuatkan oleh jalur muttasil dari Tabi'i B.

Metode ini membutuhkan penelitian yang sangat luas dan mendalam terhadap kitab-kitab hadis, terutama musannaf (kumpulan hadis yang disusun berdasarkan bab fiqh), musnad (kumpulan hadis yang disusun berdasarkan nama Sahabat), dan kitab-kitab jarh wa ta'dil (kritik dan pujian perawi) untuk melacak semua jalur periwayatan yang mungkin.

8.2. Mencari Mursal Lain dari Jalur Berbeda

Jika tidak ditemukan sanad muttasil, para muhadditsin akan mencari apakah ada mursal lain yang meriwayatkan matan yang sama, tetapi dari Tabi'i yang berbeda. Jika sebuah matan diriwayatkan oleh beberapa Tabi'i yang berbeda secara mursal, ini dapat menjadi indikasi bahwa matan tersebut memiliki dasar yang kuat dan kemungkinan besar benar-benar berasal dari Nabi SAW. Kelemahan keterputusan sanad pada satu jalur mursal dapat dikompensasi oleh banyaknya jalur mursal lain yang menguatkannya.

Prinsipnya adalah "banyaknya jalur periwayatan menguatkan satu sama lain". Meskipun masing-masing mursal secara individual lemah karena keterputusan, akumulasi dari beberapa mursal untuk matan yang sama dapat mengangkat derajat hadis tersebut menjadi hasan li ghairihi atau bahkan sahih li ghairihi (jika didukung oleh sejumlah besar jalur yang mendekati mutawatir).

8.3. Mendukung dengan Qaul Sahabi atau Ijma' Ulama

Seperti yang disebutkan oleh Imam Asy-Syafi'i, jika Hadis Mursal didukung oleh fatwa atau perkataan seorang Sahabat, atau jika matannya sesuai dengan ijma' (konsensus) ulama, maka ini dapat menjadi faktor penguat yang signifikan. Dukungan dari Sahabat menunjukkan bahwa Sahabat tersebut juga memiliki pemahaman yang sama terhadap suatu masalah, yang bisa jadi didasarkan pada pengetahuan langsung dari Nabi atau dari Sahabat lain. Ijma' ulama juga merupakan dalil yang kuat yang dapat menguatkan mursal.

8.4. Meneliti Perawi Tabi'i

Identitas dan status Tabi'i yang meriwayatkan mursal juga menjadi objek penelitian. Beberapa Tabi'i memiliki reputasi yang sangat tinggi dalam ilmu hadis dan dikenal sangat cermat serta tidak meriwayatkan kecuali dari sumber yang terpercaya. Mursal dari Tabi'i semacam ini, seperti Sa'id bin Al-Musayyab, seringkali lebih mudah diterima atau setidaknya dianggap lebih kuat dibandingkan mursal dari Tabi'i yang kurang dikenal atau kurang cermat.

Para ulama hadis akan merujuk pada kitab-kitab rijalul hadis (biografi perawi) untuk mengevaluasi ke'adalahan (integritas moral) dan kedhabitan (akurasi hafalan) Tabi'i tersebut. Jika Tabi'i adalah seorang "kabir" (senior) dan "tsiqah" (terpercaya), maka kemursalan dari dirinya seringkali lebih dapat ditolerir.

8.5. Analisis Matan Hadis

Meskipun kritik hadis primer berfokus pada sanad, analisis matan juga penting. Para muhadditsin akan memeriksa apakah matan Hadis Mursal tersebut bertentangan dengan Al-Qur'an, Hadis Mutawatir, Hadis Sahih yang telah terbukti kuat, atau prinsip-prinsip syariat yang sudah mapan. Jika matan mursal bertentangan dengan dalil yang lebih kuat, maka ia akan ditolak, terlepas dari penguat sanadnya.

Analisis matan juga mencakup pemeriksaan terhadap syuduz (kejanggalan) dan 'illat (cacat tersembunyi) pada matan itu sendiri. Matan yang janggal atau memiliki indikasi cacat, meskipun sanadnya nampak baik, dapat menyebabkan hadis tersebut ditolak.

Dengan metode-metode ini, para ulama hadis memastikan bahwa Hadis Mursal tidak diperlakukan secara sembarangan. Meskipun keterputusan sanad adalah kelemahan, mereka melakukan upaya maksimal untuk mencari tahu apakah hadis tersebut memiliki validitas yang tersembunyi atau dukungan yang dapat mengangkat derajatnya, demi menjaga kemurnian dan keotentikan ajaran Islam.

IX. Peran Hadis Mursal dalam Pengembangan Ilmu Hadis

Terlepas dari perdebatan seputar kehujahannya, Hadis Mursal telah memainkan peran yang sangat signifikan dalam pengembangan dan evolusi ilmu hadis itu sendiri. Kompleksitasnya memaksa para ulama untuk mengembangkan metodologi yang lebih canggih dan nuansa yang lebih dalam dalam studi hadis. Mursal bukan sekadar jenis hadis yang lemah, tetapi ia adalah katalisator bagi inovasi metodologis.

9.1. Mendorong Pengembangan Ilmu Sanad dan Jarh wa Ta'dil

Perdebatan tentang mursal secara langsung memicu para ulama untuk mengembangkan secara lebih rinci ilmu sanad dan ilmu Rijalul Hadis (ilmu tentang biografi perawi hadis). Untuk menentukan apakah suatu mursal dapat diterima, ulama harus menyelidiki:

  • Identitas Tabi'i: Apakah Tabi'i tersebut seorang senior atau junior? Apakah ia dikenal cermat (dhabit) dan jujur ('adil)? Dari siapa saja ia biasa meriwayatkan hadis? Ini melahirkan kebutuhan untuk mengumpulkan data biografis yang luas tentang para perawi.
  • Kemungkinan Tadlis: Apakah Tabi'i tersebut dikenal sering melakukan tadlis (menyembunyikan cacat sanad)? Pertanyaan ini mengarah pada pengembangan kriteria dan identifikasi para Mudallis (perawi yang melakukan tadlis).
  • Pelacakan Jalur Sanad: Upaya untuk menemukan sanad muttasil (bersambung) atau mursal lain yang menguatkan suatu hadis mendorong para ulama untuk melakukan penelitian sanad yang sangat ekstensif, membandingkan berbagai riwayat dari berbagai sumber. Ini merupakan fondasi bagi ilmu syawahid dan mutaba'at.

Dengan demikian, mursal, dengan "kerentanan" sanadnya, menjadi titik tolak bagi para ulama untuk membangun benteng verifikasi yang lebih kokoh di sekeliling keseluruhan korpus hadis.

9.2. Pembentukan Kriteria Penerimaan Hadis yang Lebih Ketat

Jika pada awalnya penerimaan hadis mungkin lebih longgar, munculnya Hadis Mursal dan perdebatan seputarnya mendorong para ulama untuk merumuskan kriteria hadis sahih dan hasan yang lebih presisi. Persyaratan ittisal (sanad bersambung), 'adalah (integritas perawi), dhabt (keakuratan perawi), ketiadaan syuduz (kejanggalan), dan ketiadaan 'illat (cacat tersembunyi) menjadi lebih terlembagakan dan ditekankan. Imam Asy-Syafi'i, dengan penolakannya terhadap mursal kecuali dengan syarat ketat, adalah salah satu figur sentral dalam kristalisasi metodologi hadis ini.

9.3. Pemahaman Nuansa dalam Kategori Hadis Dha'if

Hadis Mursal juga membantu ulama memahami bahwa kategori "dha'if" bukanlah sebuah monolit. Ada berbagai tingkatan dan jenis kelemahan, dan tidak semua hadis dha'if diperlakukan sama. Hadis Mursal, meskipun dha'if karena inqita', memiliki potensi untuk naik derajatnya jika ada penguat eksternal. Ini memunculkan konsep "hasan li ghairihi" dan "sahih li ghairihi", menunjukkan bahwa kelemahan internal suatu sanad dapat ditutupi atau diperbaiki oleh kekuatan eksternal.

Pembahasan mursal juga membuka pintu bagi perbandingan yang lebih rinci antara mursal, munqati', mu'dal, dan mu'allaq, yang semuanya berkontribusi pada klasifikasi hadis dha'if yang sangat rinci dan komprehensif.

9.4. Memperkaya Diskusi Ushul Fiqh

Dalam bidang ushul fiqh, Hadis Mursal menjadi salah satu kasus paling menarik untuk membahas sumber-sumber hukum, hierarki dalil, dan kaidah-kaidah istinbat (penarikan hukum). Perdebatan tentang mursal memaksa para fuqaha untuk merenungkan pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti:

  • Bagaimana kita menyeimbangkan antara kehati-hatian metodologis dan kebutuhan praktis untuk menetapkan hukum?
  • Sampai sejauh mana kepercayaan pada integritas perawi dapat mengkompensasi kekurangan sanad?
  • Apa batas toleransi terhadap 'illat (cacat) dalam sebuah dalil?

Diskusi-diskusi ini memperkaya khazanah ushul fiqh dan membantu membentuk kerangka kerja yang lebih canggih untuk memahami bagaimana syariat Islam diturunkan dari sumber-sumbernya.

9.5. Membentuk Tradisi Kritik yang Seimbang

Melalui perdebatan tentang mursal, ulama hadis dan fiqh mengembangkan tradisi kritik yang seimbang: tidak terlalu kaku sehingga mengabaikan semua riwayat yang tidak sempurna, namun juga tidak terlalu longgar sehingga menerima setiap riwayat tanpa verifikasi. Mereka mencari kebenaran dengan cermat, mempertimbangkan segala kemungkinan, dan berusaha membangun jembatan antara riwayat yang nampak lemah dengan riwayat yang kuat.

Dengan demikian, Hadis Mursal, dengan segala kontroversinya, telah menjadi salah satu batu penjuru yang membentuk kedalaman, kekayaan, dan kecanggihan metodologi ilmu hadis dan ushul fiqh. Ia adalah bukti nyata bagaimana ulama Islam bekerja keras untuk menjaga kemurnian Sunnah Nabi Muhammad SAW.

X. Kesimpulan

Perjalanan kita dalam memahami Hadis Mursal telah mengungkapkan kompleksitas dan kedalaman ilmu hadis serta implikasinya dalam fiqh Islam. Hadis Mursal, sebagai hadis yang diriwayatkan oleh seorang Tabi'i langsung dari Nabi Muhammad SAW tanpa menyebutkan Sahabat yang menjadi penghubung, merupakan salah satu jenis hadis dha'if yang paling banyak diperdebatkan.

Secara linguistik, "mursal" berarti "yang dilepaskan" atau "yang terputus", mengacu pada keterputusan sanad. Secara terminologi, ia secara spesifik merujuk pada hilangnya perawi Sahabat antara Tabi'i dan Nabi. Karakteristik ini membedakannya dari jenis hadis dha'if lain seperti Munqati', Mu'dal, atau Mu'allaq, yang memiliki keterputusan di tempat atau jumlah perawi yang berbeda.

Perbedaan pandangan mazhab fiqh terhadap kehujjahan Hadis Mursal sangat mencolok: Mazhab Hanafi dan Maliki cenderung menerimanya sebagai hujah (dengan syarat tertentu), dilandasi keyakinan akan integritas Tabi'i dan praktik generasi salaf. Sebaliknya, Mazhab Syafi'i dan Hanbali cenderung menolaknya sebagai dalil mandiri, kecuali jika ia memiliki penguat eksternal yang kuat, dengan alasan prinsip kehati-hatian dan pentingnya sanad yang bersambung.

Argumentasi yang menerima mursal berpusat pada keadilan dan keilmuan Tabi'i yang diyakini tidak akan meriwayatkan kecuali dari sumber terpercaya, serta tidak adanya dalil eksplisit yang melarangnya. Sementara itu, argumentasi penolakan didasarkan pada prinsip bahwa keterputusan sanad adalah cacat, identitas perawi yang hilang tidak diketahui, dan kehati-hatian dalam menetapkan hukum syariat.

Implikasi dari perbedaan pandangan ini sangat besar dalam penetapan hukum fiqh, yang dapat menghasilkan hukum yang berbeda antara satu mazhab dengan mazhab lainnya. Dalam ushul fiqh, ia mendorong perdebatan mengenai kriteria kehujjahan hadis dan fleksibilitas dalam penggunaan dalil. Namun, para ulama hadis, bahkan yang menolak mursal sebagai dalil mandiri, tidak mengabaikannya. Mereka mengembangkan metodologi kritik yang canggih, termasuk mencari jalur sanad lain yang muttasil atau mursal lain, menganalisis status Tabi'i, dan mencocokkan matan dengan dalil lain, untuk menguatkan atau menyingkirkan keraguan terhadapnya.

Pada akhirnya, Hadis Mursal bukan sekadar masalah teknis semata. Ia adalah cerminan dari kegigihan dan kecermatan ulama Islam dalam menjaga kemurnian dan keotentikan ajaran Nabi Muhammad SAW. Perdebatan seputar mursal telah memperkaya ilmu hadis dan ushul fiqh, mendorong pengembangan metodologi yang lebih ketat, dan mengajarkan kepada kita pentingnya kritik ilmiah yang seimbang dalam memahami warisan keagamaan yang agung ini. Dengan pemahaman yang mendalam tentang Hadis Mursal, kita dapat lebih menghargai kompleksitas dan kekayaan tradisi keilmuan Islam, serta pentingnya setiap detail dalam menjaga kemurnian sunnah Nabi.