Representasi visual rantai periwayatan hadis musalsal yang saling terhubung.
Dalam khazanah ilmu hadis, terdapat berbagai klasifikasi dan kategori yang bertujuan untuk memahami kedalaman, keunikan, dan otentisitas setiap riwayat yang sampai kepada kita. Salah satu kategori yang menarik perhatian para ulama dan penuntut ilmu adalah Hadis Musalsal. Istilah ini merujuk pada hadis yang memiliki keistimewaan dalam rantai periwayatannya, di mana para perawi (rawi) secara berturut-turut melakukan atau mengatakan sesuatu, atau memiliki ciri tertentu yang sama, dari awal sanad hingga akhir. Keunikan ini bukan sekadar detail kecil, melainkan penanda akan perhatian luar biasa para ulama terhadap detail terkecil sekalipun dalam transmisi ilmu. Artikel ini akan mengupas tuntas mengenai definisi, macam-macam, serta keistimewaan hadis musalsal, membuka jendela pemahaman kita terhadap salah satu bentuk transmisi pengetahuan paling cermat dalam sejarah Islam.
Sebelum kita menyelami lebih jauh tentang hadis musalsal, penting untuk memahami posisi sentral hadis dalam Islam dan krusialnya sistem sanad. Hadis, yang merupakan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad ﷺ baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi'il), penetapan (taqrir), maupun sifat, adalah sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur'an. Tanpa hadis, banyak ajaran Al-Qur'an akan sulit dipahami secara praktis, misalnya tata cara salat, puasa, haji, dan berbagai muamalah.
Untuk memastikan keaslian dan keabsahan hadis, para ulama Islam mengembangkan suatu metodologi ilmiah yang sangat ketat, dikenal sebagai ilmu Musthalah Hadis. Inti dari metodologi ini adalah sistem sanad. Sanad adalah rantai para perawi yang menyampaikan matan (teks) hadis dari Nabi Muhammad ﷺ hingga kepada kita. Setiap individu dalam rantai ini diperiksa secara teliti mengenai kredibilitasnya (keadilan) dan kapasitas hafalannya (dhabit). Inilah yang membedakan hadis dari tradisi lisan lainnya di dunia, yang seringkali tidak memiliki sistem verifikasi sekuat ini.
Pentingnya sanad ditegaskan oleh ulama besar seperti Imam Abdullah bin Al-Mubarak yang menyatakan, "Sanad itu bagian dari agama. Kalau seandainya tidak ada sanad, niscaya setiap orang akan berbicara (mengatakan) apa saja yang ia kehendaki." Pernyataan ini menunjukkan bahwa sanad berfungsi sebagai benteng pelindung dari pemalsuan dan penyimpangan. Hadis musalsal adalah salah satu bukti konkret dari tingkat kehati-hatian dan ketelitian yang tinggi dalam menjaga sanad tersebut, memberikan lapisan validitas tambahan melalui konsistensi bentuk periwayatan di antara para perawinya.
Kata "musalsal" (مُسَلْسَل) berasal dari akar kata bahasa Arab "salsala" (سَلْسَلَ) yang berarti "merantaikan," "menghubungkan secara berurutan," atau "menjadikan sesuatu seperti rantai." Dari akar kata ini juga muncul kata "silsilah" (سِلْسِلَة) yang berarti rantai. Jadi, secara etimologi, hadis musalsal berarti hadis yang saling terhubung atau tersusun seperti rantai.
Dalam terminologi ilmu hadis, Hadis Musalsal didefinisikan sebagai hadis yang para perawinya meriwayatkan secara berturut-turut (silsilah), baik dari segi ucapan, perbuatan, sifat, atau keadaan lainnya yang serupa, dari awal sanad hingga akhir, atau pada sebagian besar sanadnya. Kesamaan atau kesinambungan ini bukanlah syarat sahnya hadis, melainkan merupakan ciri tambahan yang menunjukkan ketelitian dan perhatian para perawi dalam menyampaikan hadis, seolah-olah mereka ingin menegaskan bahwa mereka menerima hadis tersebut dalam kondisi yang sama persis seperti yang disampaikan sebelumnya.
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Nuzhah An-Nazhar mendefinisikan musalsal sebagai, "Hadis yang para perawinya saling mengikuti dalam suatu sifat atau keadaan, baik sifat bagi perawi itu sendiri, atau sifat bagi periwayatan, atau sifat bagi matan." Definisi ini mencakup berbagai bentuk tasaalsul (kesinambungan) yang akan kita bahas lebih lanjut.
Tasaalsul ini memberikan kesan kuat akan kesatuan periwayatan dan bisa menjadi indikator tambahan atas keakuratan transmisi. Seolah-olah setiap perawi berkata, "Saya mendengar hadis ini, dan saya mendengar guru saya mengatakan/melakukan hal yang sama ketika menyampaikan hadis ini kepada saya, dan dia pun mengatakan/melakukan hal yang sama ketika menerima dari gurunya," dan seterusnya hingga Nabi ﷺ.
Untuk sebuah hadis dapat dikategorikan sebagai musalsal, beberapa syarat atau karakteristik harus terpenuhi. Syarat-syarat ini berpusat pada keseragaman atau kesinambungan dalam periwayatan atau sifat perawi:
Penting untuk diingat bahwa status musalsal tidak secara otomatis meningkatkan derajat kesahihan sebuah hadis. Hadis yang musalsal bisa saja berstatus sahih, hasan, atau bahkan dhaif, tergantung pada kondisi perawi dan sanad secara umum. Tasaalsul lebih merupakan indikator metodologi periwayatan dan ketelitian, bukan penentu mutlak keabsahan matan.
Hadis musalsal dibagi menjadi beberapa macam berdasarkan sifat kesinambungan yang terdapat pada sanadnya. Berikut adalah pembagian utamanya:
Ini adalah jenis hadis musalsal di mana para perawi secara berturut-turut mengucapkan lafaz atau kalimat tertentu yang sama saat meriwayatkan hadis. Lafaz ini bisa berupa lafaz periwayatan itu sendiri atau lafaz lain yang menyertai periwayatan.
Contoh: Hadis "Ar-Rahimuna yarhamuhum Ar-Rahman..." (Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Dzat Yang Maha Penyayang...) yang dikenal sebagai Hadis Musalsal bil Awwaliyah (Hadis tentang Rahmat). Dalam periwayatan hadis ini, setiap perawi akan mengatakan, "Aku mendengar (sami'tu) si Fulan berkata, 'Aku mendengar (sami'tu) si Anu berkata, 'Aku mendengar (sami'tu) Rasulullah ﷺ bersabda...'." Dan bahkan seringkali dilanjutkan dengan, "Dan ini adalah hadis pertama yang aku dengar darinya," atau "Ini adalah hadis pertama yang dia riwayatkan kepadaku." Ini adalah bentuk tasaalsul yang sangat kuat dalam lafaz.
Jenis musalsal ini terjadi ketika para perawi secara berturut-turut melakukan suatu perbuatan atau gerakan tertentu saat menyampaikan hadis, mengikuti apa yang dilakukan oleh guru mereka, dan gurunya juga mengikuti gurunya lagi, hingga kepada Nabi ﷺ.
Contoh lain adalah ketika Rasulullah ﷺ mengusap janggutnya saat menyampaikan hadis, dan kemudian para sahabat yang meriwayatkan melakukan hal yang sama, diikuti oleh para tabi'in dan seterusnya. Ini menunjukkan peniruan perbuatan secara detail.
Musalsal ini berkaitan dengan keadaan atau kondisi para perawi yang sama secara berturut-turut, seperti tempat, waktu, atau status tertentu.
Sebenarnya ini adalah bagian dari Musalsal bil Haal, namun seringkali disebutkan terpisah karena penekanannya pada karakteristik pribadi perawi. Sifat ini bisa berupa usia, nama, hubungan kekerabatan, atau kondisi khusus lainnya yang dimiliki oleh setiap perawi secara berturut-turut.
Jenis ini merujuk pada kebiasaan yang dilakukan oleh para perawi secara berturut-turut, seperti kebiasaan mengulang-ulang hadis tiga kali, atau kebiasaan memberikan hadis tersebut kepada murid tertentu.
Meskipun status musalsal tidak serta merta meningkatkan derajat kesahihan hadis, keberadaannya membawa sejumlah keistimewaan dan faidah yang penting dalam ilmu hadis:
Tasaalsul adalah bukti nyata dari tingkat ketelitian dan kehati-hatian yang luar biasa dari para perawi. Mereka tidak hanya fokus pada matan hadis, tetapi juga pada detail-detail periwayatan, termasuk ucapan, perbuatan, atau kondisi saat hadis itu disampaikan. Ini menunjukkan komitmen mereka untuk menjaga transmisi ilmu seotentik mungkin, seolah-olah mereka ingin menyampaikan gambaran yang selengkap-lengkapnya tentang bagaimana hadis itu diterima.
Meskipun bukan syarat mutlak kesahihan, tasaalsul memberikan lapisan kepercayaan tambahan pada sanad. Ketika para perawi secara konsisten melakukan hal yang sama, itu bisa menjadi indikator bahwa tidak ada 'pemutusan' atau 'perubahan' yang signifikan dalam cara hadis itu diterima dan disampaikan. Ini memperkuat dugaan bahwa sanad tersebut terjaga dengan baik.
Sebagai contoh, musalsal bil "Sami'tu" secara berturut-turut memastikan bahwa setiap perawi benar-benar menerima hadis langsung dari gurunya, bukan melalui 'an'anah (dengan lafaz 'dari') yang terkadang bisa mengandung makna pendengaran langsung atau tidak langsung. Ini menghilangkan kemungkinan tadlis (penyamaran cacat sanad).
Menghafal dan mengulang-ulang tidak hanya matan hadis tetapi juga detail-detail periwayatannya (seperti ucapan tertentu atau perbuatan) menunjukkan kualitas ingatan dan pemahaman yang tinggi dari para perawi. Mereka tidak hanya menghafal teks, tetapi juga konteks dan cara penyampaiannya.
Bagi para penuntut ilmu, hadis musalsal memiliki faidah pedagogis yang besar. Ia melatih para murid untuk memperhatikan detail, tidak hanya pada isi (matan) tetapi juga pada bentuk (sanad dan cara penyampaian). Ini mengajarkan pentingnya kesempurnaan dalam transmisi ilmu.
Selain itu, hadis musalsal juga menjadi objek studi yang menarik dalam ilmu hadis, memungkinkan para ulama untuk menggali lebih dalam tentang metode pengajaran dan transmisi ilmu pada masa-masa awal Islam. Ia menjadi warisan yang menunjukkan kekayaan metodologi ilmu hadis.
Beberapa ulama dan penuntut ilmu percaya bahwa meriwayatkan hadis musalsal, terutama yang musalsal bil awwaliyah (hadis pertama yang diterima), memiliki keberkahan tersendiri. Ini lebih kepada aspek spiritual dan historis, di mana kesinambungan dalam periwayatan menjadi jembatan emosional dan spiritual dengan generasi sebelumnya hingga Nabi ﷺ.
Misalnya, "Hadis Musalsal bil Awwaliyah" (Hadis Rahmat) seringkali menjadi hadis pertama yang diajarkan oleh seorang guru kepada muridnya, dengan harapan agar keberkahan ilmu dan rahmat Allah senantiasa menyertai proses belajar-mengajar tersebut, sebagaimana telah menjadi kebiasaan ulama-ulama terdahulu.
Salah satu hadis musalsal yang paling terkenal dan paling sering dicari oleh para penuntut ilmu adalah Hadis Musalsal bil Awwaliyah, yang juga dikenal sebagai Hadis Rahmat. Keistimewaannya terletak pada kebiasaan para guru untuk meriwayatkannya sebagai hadis pertama kepada murid-murid mereka, sekaligus menjadi hadis pertama yang diterima oleh murid dari guru tersebut, dan seterusnya hingga Nabi ﷺ.
Dari Abdullah bin Amr bin Al-'Ash radhiyallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ، ارْحَمُوا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ.
"Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Dzat Yang Maha Penyayang. Sayangilah makhluk yang di bumi, niscaya Dzat yang di langit akan menyayangi kalian."
(HR. At-Tirmidzi, Abu Daud, dan Ahmad)
Tasaalsul dalam hadis ini bukan hanya pada matannya, melainkan pada kebiasaan para perawi untuk menyertakan pernyataan: "Ini adalah hadis pertama yang aku dengar dari guruku (Fulan), dan dia berkata, 'Ini adalah hadis pertama yang aku dengar dari guruku (Fulan),' hingga sanadnya sampai kepada Nabi ﷺ."
Kadang-kadang, tasaalsulnya juga meliputi perbuatan, seperti: "Fulan lalu mengusap kepalaku (atau berjabat tangan denganku) seraya berkata, 'Ini adalah hadis pertama yang aku dengar dari guruku, dan dia melakukan hal yang sama kepadaku...'"
Hadis ini menjadi simbol penting bagi kesinambungan ilmu dan rahmat dalam tradisi Islam. Para ulama mengajarkannya sebagai pembuka, melambangkan harapan agar seluruh ilmu yang akan dipelajari setelahnya diliputi oleh rahmat dan kasih sayang Allah.
Meskipun keistimewaan hadis musalsal sudah jelas, ada beberapa pandangan dan perdebatan di kalangan ulama terkait status dan bobotnya:
Mayoritas ulama sepakat bahwa tasaalsul bukanlah syarat untuk menetapkan hadis sebagai sahih atau hasan. Kriteria kesahihan hadis tetaplah pada terhubungnya sanad, keadilan dan kedhabitan perawi, tidak adanya syadz (kejanggalan), dan tidak adanya illat (cacat tersembunyi). Hadis musalsal bisa saja sahih, hasan, atau bahkan dhaif jika ada perawi yang bermasalah.
Imam An-Nawawi, misalnya, menyatakan bahwa hadis musalsal bisa jadi sahih, hasan, atau dhaif. Tasaalsul adalah salah satu bentuk 'gharaib' (keanehan/keunikan) yang dicatat oleh para muhaddits, bukan penentu kualitas utama.
Meskipun bukan penentu kesahihan, tasaalsul berfungsi sebagai penguat dan penambah keyakinan terhadap integritas sanad. Khususnya pada jenis musalsal bil qaul seperti "sami'tu", ia secara eksplisit mengkonfirmasi bahwa setiap perawi benar-benar mendengarkan langsung dari gurunya, yang merupakan bentuk periwayatan yang paling kuat.
Beberapa ulama bersikap skeptis terhadap konsistensi tasaalsul pada seluruh tingkatan sanad yang sangat panjang. Mereka berpendapat bahwa sulit untuk memastikan setiap perawi dalam rantai yang panjang benar-benar melakukan atau mengatakan hal yang persis sama. Terkadang, tasaalsul terjadi hanya pada beberapa tingkatan sanad dan kemudian terputus. Oleh karena itu, penelitian mendalam diperlukan untuk mengkonfirmasi status musalsal suatu hadis.
Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya tentang hadis musalsal, dan beliau menjawab, "Hadis musalsal sedikit sekali yang sahih." Ini menunjukkan pandangan yang hati-hati terhadap hadis musalsal, bukan berarti menolaknya, tetapi menekankan bahwa tidak semua hadis musalsal terbukti konsisten tasaalsulnya sepanjang sanad atau memiliki status sahih secara keseluruhan.
Terlepas dari perdebatan ini, hadis musalsal tetap memiliki tempat penting dalam ilmu riwayah (ilmu periwayatan) dan dirayah (ilmu pemahaman) hadis. Ia menunjukkan bagaimana para ulama hadis tidak hanya memperhatikan isi, tetapi juga bentuk dan cara penyampaian, menjadikannya salah satu metode unik dalam menjaga tradisi kenabian.
Hadis musalsal, dengan segala kekhasannya, memberikan kontribusi signifikan terhadap pemeliharaan hadis secara umum:
Di era modern ini, dengan meluasnya penggunaan teks cetak dan digital, praktik tasaalsul seperti yang dilakukan oleh ulama terdahulu mungkin tidak lagi relevan dalam konteks harian. Namun, studi hadis musalsal tetap penting untuk:
Tentu saja, kesulitan utama dalam mengidentifikasi musalsal adalah konfirmasi bahwa setiap perawi dalam rantai memang secara konsisten melakukan atau mengatakan hal yang sama. Ini seringkali membutuhkan penelitian silang yang mendalam terhadap biografi perawi dan kitab-kitab hadis.
Hadis musalsal adalah salah satu perbendaharaan berharga dalam ilmu hadis yang menggambarkan puncak ketelitian dan kehati-hatian para perawi dalam menjaga kemurnian ajaran Nabi Muhammad ﷺ. Dari definisinya sebagai hadis yang para perawinya secara berturut-turut memiliki sifat, ucapan, atau perbuatan yang sama, hingga macam-macamnya seperti musalsal bil qaul, bil fi'li, dan bil haal, setiap aspeknya menunjukkan dedikasi luar biasa untuk transmisi ilmu.
Meskipun tasaalsul tidak menjadi penentu utama kesahihan hadis, ia memiliki keistimewaan besar: sebagai bukti ketelitian perawi, penguat sanad, indikator kualitas ingatan, dan alat pedagogis yang bernilai. Hadis Musalsal bil Awwaliyah (Hadis Rahmat) menjadi contoh nyata bagaimana tradisi ini telah diwariskan dari generasi ke generasi, membawa keberkahan dan menanamkan nilai-nilai kasih sayang.
Di tengah modernitas, studi tentang hadis musalsal tetap relevan, tidak hanya untuk melestarikan warisan ilmiah, tetapi juga untuk menginspirasi kita semua agar lebih teliti, cermat, dan berdedikasi dalam setiap aspek pencarian dan penyebaran ilmu. Hadis musalsal adalah pengingat abadi akan keindahan dan kedalaman ilmu hadis, yang senantiasa menjaga cahaya kenabian agar tetap terang benderang untuk umat manusia.