Jejak Biksah: Jalan Pencerahan dan Bakti Tanpa Batas

Pengantar: Memahami Esensi Biksah

Dalam lanskap spiritualitas manusia, ada panggilan yang mendalam dan abadi untuk mencari kebenaran, untuk memahami hakikat eksistensi, dan untuk membebaskan diri dari penderitaan. Panggilan ini, yang telah bergema melintasi berbagai budaya dan peradaban, menemukan salah satu ekspresi paling mendalam dalam tradisi Buddhis melalui sosok yang dikenal sebagai "biksah". Meskipun seringkali kita familiar dengan istilah "biksu" atau "bikshuni" – istilah resmi untuk para monastik pria dan wanita dalam Buddhisme – penggunaan kata "biksah" di sini dimaksudkan untuk merangkum secara kolektif semangat dan dedikasi mereka yang telah memilih jalan penolakan (renunciation) demi mengejar pencerahan dan melayani kebaikan semua makhluk.

Biksah bukanlah sekadar gelar atau profesi; ia adalah sebuah identitas yang mencerminkan komitmen seumur hidup terhadap ajaran Dharma, kode etik yang ketat (Vinaya), praktik meditasi yang mendalam, dan upaya tiada henti untuk mengembangkan kebijaksanaan dan kasih sayang. Mereka adalah tulang punggung tradisi Buddhis, penjaga ajaran luhur, dan teladan hidup yang sederhana namun penuh makna di tengah dunia yang seringkali kompleks dan serba cepat. Kehidupan seorang biksah adalah sebuah odisei spiritual, sebuah perjalanan yang diwarnai oleh disiplin diri, pengorbanan, pelayanan, dan pencarian tanpa henti akan kedamaian batin serta pembebasan.

Artikel ini akan mengupas tuntas segala aspek kehidupan biksah, mulai dari asal-usul sejarah gerakan monastik Buddhis, kehidupan sehari-hari yang penuh disiplin, peran mereka dalam masyarakat, tantangan yang dihadapi di era modern, hingga makna mendalam dari penolakan yang mereka pilih. Kita akan menyelami detail Vinaya, menelusuri berbagai tradisi biksah di seluruh dunia, dan merefleksikan bagaimana keberadaan mereka terus memberikan inspirasi dan panduan bagi jutaan orang yang mencari jalan menuju kedamaian dan pencerahan. Melalui pemahaman yang lebih dalam tentang "biksah," kita berharap dapat menghargai pengorbanan dan kontribusi mereka yang tak ternilai bagi kemanusiaan dan warisan spiritual dunia.

Biksah Meditasi Ilustrasi sederhana seorang biksah dalam posisi meditasi lotus, melambangkan ketenangan dan pencerahan.
Simbol ketenangan dan pencarian kebijaksanaan.

Sejarah dan Asal-Usul Gerakan Monastik Buddhis

Untuk memahami biksah modern, kita harus menengok kembali ke awal mula Buddhisme, lebih dari 2.500 tahun yang lalu di anak benua India. Gerakan monastik Buddhis tidak muncul dari kekosongan, melainkan merupakan evolusi dari tradisi shramana (petapa) yang sudah ada di India pada masa itu. Banyak individu yang mencari kebenaran dan pembebasan dari siklus kelahiran dan kematian (samsara) memilih untuk meninggalkan kehidupan duniawi, mengembara tanpa harta benda, dan mendedikasikan diri pada praktik spiritual.

Siddhartha Gautama: Arketipe Biksah Pertama

Tokoh sentral dalam sejarah ini adalah Siddhartha Gautama, Pangeran Kapilavastu yang kemudian dikenal sebagai Buddha. Kisahnya adalah arketipe dari penolakan. Meskipun hidup dalam kemewahan dan perlindungan istana, Siddhartha terguncang oleh realitas penderitaan—penyakit, usia tua, dan kematian. Pengamatan terhadap seorang petapa yang tenang dan damai, meskipun tidak memiliki harta benda, memicu keputusan transformatif dalam dirinya. Pada usia 29 tahun, ia meninggalkan keluarga, takhta, dan semua kenyamanan duniawi untuk mencari solusi atas penderitaan universal. Tindakan ini, yang dikenal sebagai 'Peninggalan Agung' (Mahabhinishkramana), menjadikannya biksah pertama, meskipun pada saat itu istilah tersebut belum terbentuk.

Selama enam tahun pencariannya, Siddhartha mencoba berbagai praktik pertapaan ekstrem yang lazim pada masanya, namun menyadari bahwa jalan ekstrem ini tidak membawa pada pencerahan. Ia kemudian menemukan 'Jalan Tengah' (Madhyamapratipada) yang menghindari ekstremisme kenikmatan indrawi dan penyiksaan diri. Di bawah pohon Bodhi, ia mencapai Pencerahan Sempurna (Bodhi), menjadi Buddha, Yang Terbangun.

Pembentukan Sangha: Komunitas Monastik Pertama

Setelah pencerahannya, Buddha Gautama tidak memilih untuk hidup menyendiri. Ia memutuskan untuk membagikan ajarannya kepada orang lain. Lima petapa yang pernah menjadi rekannya dalam pencarian adalah murid pertamanya, yang kemudian menjadi inti dari Sangha—komunitas monastik Buddhis. Dengan demikian, "Tiga Permata" (Tiratana) dalam Buddhisme terbentuk: Buddha (Guru), Dharma (Ajaran), dan Sangha (Komunitas).

Pembentukan Sangha adalah momen krusial. Ini bukan hanya tentang sekelompok individu yang mengikuti seorang guru, tetapi pembentukan sebuah institusi yang terstruktur dengan aturan dan tata tertibnya sendiri. Buddha menetapkan Vinaya (kode disipliner) secara bertahap, merespons kebutuhan dan insiden yang muncul dalam komunitas. Aturan-aturan ini dirancang untuk menjaga kemurnian praktik, mempromosikan harmoni di antara para biksah, dan melindungi komunitas dari kesalahpahaman atau penyalahgunaan.

Pada awalnya, Sangha hanya terdiri dari biksu. Namun, kemudian, atas desakan bibi dan ibu angkatnya, Mahapajapati Gotami, dan dengan dukungan Ananda, salah satu murid utama Buddha, biksuni (bikshuni) Sangha juga didirikan. Ini adalah langkah revolusioner pada zamannya, mengakui potensi spiritual perempuan dan memberi mereka kesempatan yang sama untuk mengejar pencerahan dalam kerangka monastik.

Sejak pendiriannya, Sangha telah menjadi wadah bagi mereka yang serius ingin menempuh jalan Dharma. Dari India, Buddhisme dan tradisi monastiknya menyebar ke seluruh Asia—ke Sri Lanka, Asia Tenggara, Tiongkok, Tibet, Korea, Jepang, dan banyak negara lainnya—mengadaptasi dan berkembang seiring dengan budaya setempat, namun tetap mempertahankan inti dari ajaran dan disiplin biksah.

Kehidupan Sehari-hari Seorang Biksah: Disiplin dan Devosi

Kehidupan biksah adalah pola yang terstruktur, dirancang untuk mendukung perkembangan spiritual dan mengurangi keterikatan duniawi. Meskipun ada variasi antara tradisi (Theravada, Mahayana, Vajrayana) dan lokasi geografis, inti dari kehidupan monastik tetap sama: disiplin diri, meditasi, studi Dharma, dan pelayanan.

Rutin Harian: Pola Hidup yang Teratur

Pagi hari di vihara dimulai sebelum fajar. Para biksah bangun lebih awal, seringkali sekitar pukul 4 atau 5 pagi, untuk memulai hari dengan meditasi dan pembacaan paritta atau sutra. Ini adalah waktu hening yang berharga untuk menenangkan pikiran dan memperkuat komitmen spiritual.

  1. Meditasi Pagi: Duduk hening, fokus pada napas atau objek meditasi lainnya, untuk mengembangkan konsentrasi (samadhi) dan kewaspadaan (sati).
  2. Pembacaan Paritta/Sutra: Pembacaan teks-teks suci secara bersama-sama, seringkali dalam bahasa Pali, Sansekerta, atau bahasa lokal, untuk menghormati Buddha, Dharma, dan Sangha, serta untuk menginternalisasi ajaran.
  3. Pindapata (Mengemis Makanan): Di banyak tradisi, terutama Theravada, para biksah akan berjalan mengelilingi desa atau kota terdekat dengan mangkuk dana mereka (patra) untuk menerima makanan dari umat awam. Ini adalah praktik kerendahan hati, ketergantungan pada komunitas, dan kesempatan bagi umat awam untuk mendapatkan pahala melalui pemberian (dana). Ini bukan pengemis dalam artian mencari-cari, melainkan 'memberi kesempatan' bagi umat awam untuk berbuat baik.
  4. Makan: Makanan biasanya dimakan sebelum tengah hari. Di banyak tradisi, hanya ada satu kali makan utama dalam sehari, atau dua kali makan sebelum tengah hari, dan tidak makan setelah tengah hari (seperti yang ditetapkan dalam Vinaya).

Setelah makan dan tugas-tugas rumah tangga vihara, siang hari didedikasikan untuk studi Dharma, ceramah, dan kerja fisik yang diperlukan untuk menjaga vihara. Sore hari seringkali mencakup sesi meditasi kelompok lagi, diikuti dengan pembacaan paritta atau sutra malam. Malam hari mungkin dihabiskan untuk meditasi pribadi, membaca, atau berdiskusi Dharma. Tidur biasanya tidak lebih dari enam jam.

Penolakan (Renunciation) dan Kesederhanaan

Salah satu ciri khas kehidupan biksah adalah penolakan terhadap kepemilikan material dan gaya hidup yang mewah. Mereka hanya memiliki sedikit harta benda, yang disebut 'delapan kebutuhan' (delapan perlengkapan): tiga jubah, mangkuk dana, ikat pinggang, pisau cukur, jarum dan benang, serta penyaring air. Meskipun daftar ini dapat bervariasi dan interpretasi modern mungkin lebih fleksibel (misalnya, penggunaan teknologi untuk studi Dharma), semangat kesederhanaan tetaplah inti.

Penolakan ini tidak dimaksudkan sebagai penyiksaan diri, melainkan sebagai alat untuk mengurangi keterikatan (upadana) pada dunia material, yang diyakini sebagai akar penderitaan. Dengan membebaskan diri dari beban kepemilikan dan keinginan duniawi, seorang biksah dapat lebih fokus pada pengembangan batin dan tujuan spiritualnya.

Kesederhanaan juga terlihat dalam tempat tinggal mereka—seringkali di vihara yang sederhana, jauh dari hiruk pikuk kota, atau bahkan di hutan. Ini membantu menciptakan lingkungan yang kondusif untuk meditasi dan refleksi mendalam.

Mangkuk Dana Biksah Ilustrasi sederhana mangkuk dana (patra) biksah, melambangkan kesederhanaan, penolakan, dan ketergantungan pada kemurahan hati umat.
Mangkuk dana (patra), simbol ketergantungan dan pemberian.

Vinaya dan Disiplin Monastik: Pilar Kehidupan Biksah

Inti dari kehidupan biksah adalah kepatuhan pada Vinaya—kode disipliner yang ditetapkan oleh Buddha. Vinaya bukan sekadar daftar aturan; ia adalah kerangka etis dan moral yang memandu perilaku para biksah, memastikan harmoni dalam komunitas (Sangha), melindungi mereka dari kesalahan, dan mendukung kemajuan spiritual. Kata 'Vinaya' sendiri berarti 'disiplin' atau 'tindakan yang memimpin menuju kebebasan'.

Patimokkha: Inti dari Aturan Biksah

Bagi para biksu, ada 227 aturan dalam Patimokkha (bagi biksuni, jumlahnya lebih banyak). Aturan-aturan ini terbagi dalam beberapa kategori, yang paling berat adalah empat aturan Parajika. Pelanggaran terhadap salah satu aturan Parajika (seksual, pencurian, pembunuhan, klaim kekuatan supernatural palsu) akan mengakibatkan pengusiran permanen dari Sangha.

Kategori aturan Vinaya yang lebih rendah, seperti Sanghadisesa, Nissaggiya Pacittiya, dan Pacittiya, mengatur berbagai aspek kehidupan, mulai dari perilaku seksual yang tidak pantas, kepemilikan barang-barang berlebihan, hingga kesalahan kecil dalam ucapan dan tindakan. Pelanggaran aturan-aturan ini memerlukan pengakuan, penebusan, atau tindakan korektif lainnya.

Pembacaan Patimokkha dilakukan secara rutin (biasanya dua kali sebulan) di dalam komunitas Sangha. Ini adalah momen penting bagi para biksah untuk merenungkan perilaku mereka, mengakui pelanggaran (jika ada), dan memperbaharui komitmen mereka terhadap disiplin monastik.

Tujuan Vinaya: Bukan Sekadar Larangan

Vinaya bukan hanya tentang larangan, melainkan memiliki tujuan yang lebih dalam:

  1. Pemurnian Pikiran dan Tindakan: Aturan-aturan ini membantu para biksah untuk mengendalikan keinginan, amarah, dan kebodohan batin, menciptakan landasan yang kokoh untuk meditasi dan kebijaksanaan.
  2. Harmoni Komunitas: Dengan mematuhi aturan yang sama, para biksah dapat hidup bersama dalam damai dan saling menghormati, mengurangi potensi konflik dan perselisihan.
  3. Perlindungan Sangha: Vinaya melindungi Sangha dari kritik dan keraguan dari umat awam, memastikan bahwa komunitas monastik tetap menjadi teladan moral yang dihormati.
  4. Mendukung Jalan Pencerahan: Pada akhirnya, setiap aturan dirancang untuk mempermudah jalan menuju pembebasan dari penderitaan dan pencapaian Nibbana (Nirvana).

Pentingnya Ketaatan pada Vinaya

Ketaatan pada Vinaya menunjukkan komitmen seorang biksah terhadap jalan spiritual. Ini adalah bentuk latihan disiplin yang konstan, melatih pikiran untuk mengatasi godaan dan mengembangkan kontrol diri. Tanpa dasar moral yang kuat yang disediakan oleh Vinaya, praktik meditasi dan studi Dharma dapat terganggu atau bahkan menjadi tidak efektif. Vinaya juga melambangkan konsistensi dan integritas Sangha selama ribuan tahun, menjadi jembatan yang menghubungkan generasi biksah dari masa Buddha hingga kini.

Meskipun kadang terlihat kaku dari luar, bagi para biksah, Vinaya adalah panduan hidup yang membebaskan, bukan membatasi. Ia membebaskan mereka dari kekacauan duniawi dan memungkinkan mereka untuk fokus pada pengembangan kualitas batin yang mulia seperti kebijaksanaan, kasih sayang, dan kedamaian.

Peran Biksah dalam Masyarakat: Penjaga Dharma dan Pembimbing Spiritual

Meskipun memilih untuk menjauhi kehidupan duniawi, para biksah tidak hidup terpisah dari masyarakat. Sebaliknya, mereka memainkan peran vital sebagai pilar spiritual, penjaga ajaran, dan pembimbing moral bagi komunitas awam. Hubungan timbal balik antara Sangha dan umat awam adalah fondasi yang menjaga kelangsungan Buddhisme.

Pembimbing Spiritual dan Guru Dharma

Peran utama biksah adalah sebagai guru dan pembimbing spiritual. Mereka mendedikasikan hidup untuk mempelajari, menghafal, dan memahami ajaran Buddha (Dharma). Melalui ceramah Dharma (dhamma desana), diskusi, dan contoh hidup mereka, para biksah menyebarkan ajaran tentang Empat Kebenaran Mulia, Jalan Berunsur Delapan, karma, kelahiran kembali, dan praktik meditasi.

Mereka memberikan nasihat spiritual kepada umat awam yang mencari panduan dalam menghadapi tantangan hidup, mengatasi penderitaan, dan mengembangkan kualitas batin yang baik. Kehadiran mereka di vihara berfungsi sebagai pusat pembelajaran dan praktik bagi siapa saja yang tertarik.

Penjaga dan Pelestarai Ajaran

Selama berabad-abad, Sangha telah menjadi penjaga setia dan pelestari ajaran Buddha. Sebelum penulisan, ajaran-ajaran ini dihafal dan diturunkan secara lisan dari generasi biksah ke generasi berikutnya. Setelah itu, mereka bertanggung jawab untuk menyalin, mempelajari, dan menafsirkan teks-teks suci (Pali Canon, Sutra Mahayana, Tantra Vajrayana). Tanpa dedikasi para biksah, banyak ajaran berharga ini mungkin telah hilang ditelan waktu. Mereka juga melestarikan bahasa-bahasa kuno seperti Pali dan Sansekerta yang menjadi wadah bagi Dharma.

Teladan Moral dan Etika

Dengan mematuhi Vinaya dan menjalani kehidupan yang sederhana, jujur, dan penuh kasih, para biksah berfungsi sebagai teladan hidup bagi umat awam. Mereka menunjukkan bahwa ada cara hidup yang berbeda, yang memprioritaskan nilai-nilai spiritual daripada pencarian kekayaan, kekuasaan, atau kesenangan indrawi. Kehadiran mereka mengingatkan masyarakat akan pentingnya etika (sila), konsentrasi (samadhi), dan kebijaksanaan (panna) dalam kehidupan sehari-hari.

Banyak vihara juga terlibat dalam kegiatan sosial, meskipun ini bervariasi antar tradisi. Beberapa biksah dan biksuni aktif dalam pendidikan, perawatan kesehatan, konservasi lingkungan, atau membantu masyarakat yang membutuhkan, menunjukkan bahwa kasih sayang Buddhis tidak terbatas pada praktik spiritual semata, tetapi juga terwujud dalam tindakan nyata untuk kesejahteraan sosial.

Upacara dan Ritual Keagamaan

Para biksah juga memainkan peran penting dalam memimpin upacara dan ritual keagamaan Buddhis. Mulai dari pemberkahan rumah baru, upacara pernikahan, upacara pemakaman, hingga festival-festival besar seperti Waisak, kehadiran biksah memberikan legitimasi spiritual dan kekuatan pada acara-acara tersebut. Mereka melantunkan paritta perlindungan, memberikan khotbah, dan melakukan praktik-praktik yang diyakini membawa berkah dan kebaikan.

Hubungan Timbal Balik dengan Umat Awam (Dana)

Hubungan antara biksah dan umat awam adalah simbiosis yang saling menguntungkan. Para biksah menyediakan Dharma dan panduan spiritual, sementara umat awam mendukung kebutuhan material Sangha—makanan, jubah, tempat tinggal, dan obat-obatan. Praktik 'dana' (pemberian) ini bukan hanya tindakan amal, tetapi juga merupakan kesempatan bagi umat awam untuk mengembangkan kemurahan hati, mengurangi kemelekatan, dan mengumpulkan kebajikan. Ini adalah bentuk saling ketergantungan yang telah menjaga kelangsungan Buddhisme selama ribuan tahun.

Secara keseluruhan, peran biksah melampaui batas-batas vihara. Mereka adalah mercusuar kebijaksanaan dan kasih sayang, menjaga api Dharma tetap menyala dan membimbing jutaan orang di jalan menuju pencerahan.

Jenis-Jenis Biksah: Tradisi Monastik dalam Buddhisme

Buddhisme, meskipun bersatu dalam inti ajarannya, telah berkembang menjadi berbagai aliran dan tradisi di seluruh dunia. Variasi ini juga tercermin dalam kehidupan monastik, dengan biksah dari berbagai tradisi menunjukkan perbedaan dalam praktik, interpretasi Vinaya, dan peran dalam masyarakat. Tiga cabang utama Buddhisme adalah Theravada, Mahayana, dan Vajrayana, masing-masing dengan karakteristik monastiknya sendiri.

1. Biksah dalam Tradisi Theravada

Tradisi Theravada, yang berarti "Ajaran para Sesepuh," adalah bentuk Buddhisme tertua yang masih hidup dan dominan di Sri Lanka, Thailand, Myanmar, Laos, dan Kamboja. Monastisisme Theravada dikenal karena kesetiaannya yang ketat terhadap Vinaya Pali Canon, yang diyakini mencatat ajaran Buddha yang paling awal.

Biksah Theravada seringkali dapat dikenali dari jubah berwarna safron atau merah marun, kepala yang dicukur, dan penampilan yang tenang.

2. Biksah dalam Tradisi Mahayana

Buddhisme Mahayana, yang berarti "Kendaraan Agung," dominan di Tiongkok, Korea, Jepang, Vietnam, dan sebagian Asia Tengah. Tradisi ini menekankan pada konsep Bodhisattva—individu yang menunda pencerahan pribadinya untuk membantu semua makhluk mencapai pembebasan. Monastisisme Mahayana memiliki beberapa perbedaan dengan Theravada.

Jubah biksah Mahayana bervariasi dalam warna, dari abu-abu, cokelat, hitam, hingga kuning, tergantung pada aliran dan negara. Kepala yang dicukur adalah praktik umum.

3. Biksah dalam Tradisi Vajrayana (Tibet)

Buddhisme Vajrayana, juga dikenal sebagai Buddhisme Tibet, adalah bentuk Mahayana yang berkembang di Tibet, Bhutan, Nepal, dan Mongolia. Ia dikenal dengan ajaran tantra, visualisasi, dan penggunaan mantra untuk mempercepat jalan menuju pencerahan. Monastisisme adalah inti dari Vajrayana.

Biksah Vajrayana sering mengenakan jubah merah marun dan kuning, dan kadang-kadang topi khas dalam upacara. Kepala yang dicukur adalah norma.

Perbandingan dan Kesamaan

Meskipun ada perbedaan yang mencolok, semua tradisi biksah berbagi komitmen mendasar terhadap:

Variasi dalam praktik monastik adalah cerminan dari adaptasi Buddhisme terhadap berbagai budaya dan kebutuhan spiritual, namun esensi pencarian pencerahan dan pelayanan tetap menjadi benang merah yang mengikat semua biksah di seluruh dunia.

Jalur Menuju Kebiksahan: Proses Tahapan Penolakan

Memutuskan untuk menjadi seorang biksah bukanlah keputusan yang diambil dengan enteng. Ini adalah panggilan seumur hidup yang melibatkan pengorbanan besar dan komitmen mendalam. Proses ini, yang disebut juga sebagai 'penolakan' atau 'pemasukan' (pabbajja dan upasampada), adalah serangkaian tahapan yang melibatkan pelatihan intensif, evaluasi diri, dan upacara formal.

1. Calon Monastik (Anagarika/Samanera)

Sebelum seseorang dapat sepenuhnya ditahbiskan sebagai biksu atau biksuni, ia biasanya akan melalui periode percobaan. Ini bisa dimulai sebagai 'anagarika' (bagi pria, berarti 'tanpa rumah') atau 'mae chi' (bagi wanita di Thailand) yang menjalani kehidupan vihara tanpa mengambil sumpah monastik penuh. Mereka mengenakan pakaian putih, mencukur kepala, dan mematuhi beberapa prinsip moral dasar.

Setelah periode ini, jika tekadnya kuat, ia dapat mengambil sumpah 'samanera' (novis pria) atau 'samaneri' (novis wanita). Sebagai novis, mereka mengambil 'Sepuluh Sila' (Dasa Sila):

  1. Menghindari pembunuhan makhluk hidup.
  2. Menghindari pencurian.
  3. Menghindari perilaku seksual yang tidak pantas (semua aktivitas seksual).
  4. Menghindari ucapan tidak benar (bohong, fitnah, kata-kata kasar, omong kosong).
  5. Menghindari minuman memabukkan yang menyebabkan kelalaian.
  6. Menghindari makan setelah tengah hari.
  7. Menghindari hiburan (tarian, musik, pertunjukan).
  8. Menghindari perhiasan dan wewangian.
  9. Menghindari tidur di tempat tidur yang tinggi atau mewah.
  10. Menghindari menerima emas dan perak (uang).

Pada tahap novis, seorang biksah muda akan belajar tentang Vinaya, ajaran Dharma, dan kehidupan vihara di bawah bimbingan seorang guru senior (upajjhaya). Periode ini dapat berlangsung beberapa bulan hingga beberapa tahun, tergantung pada individu dan tradisi.

2. Penahbisan Penuh (Upasampada)

Upasampada adalah upacara penahbisan penuh yang mengubah seorang novis menjadi biksu (bhikkhu) atau biksuni (bhikkhuni) yang sepenuhnya ditahbiskan. Ini adalah momen yang sangat sakral dan penting.

Setelah upasampada, seorang biksu atau biksuni akan sepenuhnya terikat oleh aturan Vinaya yang ketat (227 aturan untuk biksu, 311 untuk biksuni dalam Theravada, meskipun jumlahnya bervariasi antar tradisi). Mereka akan terus belajar dan mempraktikkan Dharma di bawah bimbingan guru mereka, dengan tujuan akhir mencapai pencerahan.

Retret Musim Hujan (Vassa)

Di banyak tradisi Buddhis, terutama Theravada, para biksah menjalani retret musim hujan tiga bulan yang dikenal sebagai 'Vassa' (bahasa Pali untuk 'hujan'). Selama periode ini, mereka tinggal di satu tempat (vihara atau hutan) dan mendedikasikan diri sepenuhnya pada meditasi dan studi Dharma. Ini adalah waktu intensifikasi praktik spiritual, dan umat awam juga seringkali menggunakan kesempatan ini untuk lebih mendekatkan diri pada Dharma dan mendukung Sangha.

Makna Penolakan

Penolakan yang diwujudkan dalam proses menjadi biksah bukanlah tentang melarikan diri dari dunia atau tanggung jawab. Sebaliknya, ini adalah tindakan yang disengaja untuk menciptakan kondisi terbaik bagi pengembangan spiritual. Dengan melepaskan keterikatan pada keluarga, harta benda, status sosial, dan kesenangan indrawi, seorang biksah membebaskan dirinya untuk sepenuhnya fokus pada pemurnian pikiran, pengembangan kebijaksanaan, dan kultivasi kasih sayang. Ini adalah jalan yang menantang namun sangat memuaskan, yang pada akhirnya bertujuan untuk membebaskan diri dari penderitaan dan menunjukkan jalan yang sama kepada orang lain.

Biksah Perempuan (Bikshuni): Perjalanan dan Kebangkitan Kembali

Sejarah dan status biksah perempuan (bikshuni) dalam Buddhisme adalah topik yang kaya dan terkadang kontroversial. Meskipun Buddha Gautama awalnya enggan, ia akhirnya setuju untuk mendirikan Sangha biksuni atas desakan bibi dan ibu angkatnya, Mahapajapati Gotami, yang menjadi biksuni pertama. Ini adalah langkah yang revolusioner pada zamannya, memberikan perempuan kesempatan yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk mengejar pencerahan di luar struktur rumah tangga.

Pendirian Sangha Bikshuni

Menurut teks-teks Buddhis awal, Mahapajapati Gotami memohon kepada Buddha agar perempuan diizinkan meninggalkan kehidupan rumah tangga dan masuk ke dalam Sangha. Setelah beberapa penolakan, Buddha, atas intervensi Ananda, akhirnya setuju, namun dengan syarat bahwa biksuni harus mematuhi 'Delapan Garudharma' (aturan berat) sebagai tambahan dari Vinaya biksu. Aturan-aturan ini menempatkan biksuni dalam posisi yang subordinat terhadap biksu.

Terlepas dari Garudharma, pendirian Sangha biksuni menandai pengakuan akan kesetaraan spiritual antara pria dan wanita dalam Buddhisme—bahwa kemampuan untuk mencapai pencerahan tidak dibatasi oleh gender. Ini membuka jalan bagi ribuan perempuan untuk mendedikasikan hidup mereka pada Dharma.

Garis Silsilah Bikshuni dan Kemunduran

Garis silsilah bikshuni menyebar dari India ke Sri Lanka, dan kemudian dari Sri Lanka ke Tiongkok pada abad ke-5 Masehi. Dari Tiongkok, garis silsilah ini menyebar ke Korea, Jepang, dan Vietnam. Namun, di beberapa tradisi, terutama Theravada di Asia Tenggara, garis silsilah bikshuni asli India terputus berabad-abad yang lalu, kemungkinan karena invasi, bencana alam, atau kurangnya dukungan. Ini berarti bahwa, secara teknis, tidak ada biksuni yang ditahbiskan penuh menurut Vinaya Theravada yang ketat, meskipun ada 'mae chi' atau 'dasa sila matas' (wanita berjubah putih) yang mempraktikkan kehidupan monastik.

Sebaliknya, garis silsilah bikshuni di tradisi Mahayana (terutama dari Tiongkok) telah terus-menerus dipertahankan hingga saat ini, memungkinkan perempuan untuk sepenuhnya ditahbiskan di negara-negara seperti Tiongkok, Taiwan, Korea, dan Vietnam.

Kebangkitan Kembali Sangha Bikshuni Modern

Dalam beberapa dekade terakhir, ada upaya global yang signifikan untuk membangkitkan kembali garis silsilah bikshuni di tradisi di mana ia telah terputus, terutama di Theravada dan Vajrayana (Tibet). Para pendukung berpendapat bahwa penghidupan kembali Sangha bikshuni adalah penting untuk kesetaraan gender dalam Buddhisme dan untuk memenuhi kebutuhan spiritual perempuan di seluruh dunia.

Upaya ini telah menghadapi tantangan, terutama dari kalangan biksu senior yang konservatif yang berpendapat bahwa penahbisan biksuni harus dilakukan oleh forum ganda (biksu dan biksuni) dan bahwa garis biksuni yang terputus tidak dapat dihidupkan kembali tanpa mengorbankan Vinaya. Namun, banyak biksu dan biksuni progresif telah mendukung penahbisan ini, seringkali dengan memanfaatkan garis silsilah biksuni yang masih ada dari tradisi Mahayana.

Hasilnya, sekarang ada sejumlah biksuni yang ditahbiskan penuh di berbagai negara Theravada seperti Sri Lanka dan Thailand, serta di komunitas Vajrayana, meskipun status mereka mungkin masih diperdebatkan di beberapa kalangan.

Kontribusi Bikshuni

Para biksuni modern, seperti rekan-rekan biksu mereka, mendedikasikan diri pada studi Dharma, meditasi, dan pelayanan. Mereka sering menjadi guru yang inspiratif, pemimpin retret, dan tokoh masyarakat yang aktif. Kehadiran mereka memperkaya Sangha secara keseluruhan dan memberikan perspektif unik tentang praktik Dharma, terutama bagi perempuan awam.

Kebangkitan kembali Sangha bikshuni adalah refleksi dari evolusi dan adaptasi Buddhisme di dunia modern, menunjukkan komitmen abadi terhadap kesetaraan dan potensi pencerahan untuk semua, tanpa memandang gender.

Tantangan dan Adaptasi Biksah di Era Modern

Meskipun memiliki akar yang dalam di masa lalu, komunitas biksah tidak kebal terhadap perubahan dan tantangan yang dibawa oleh dunia modern. Dari globalisasi hingga teknologi, dari sekularisme hingga ekspektasi masyarakat yang berubah, para biksah harus menemukan cara untuk mempertahankan ajaran inti mereka sambil beradaptasi dengan realitas kontemporer. Tantangan ini, meskipun berat, juga membuka peluang baru untuk Dharma berkembang.

1. Globalisasi dan Westernisasi

Penyebaran Buddhisme ke Barat telah membawa tradisi monastik ke lingkungan budaya yang sangat berbeda. Biksu dan biksuni Barat, yang berasal dari latar belakang non-Buddhis, membawa perspektif baru dan pertanyaan yang menantang interpretasi tradisional. Mereka seringkali lebih fokus pada meditasi dan psikologi Buddhis daripada ritual tradisional. Ini menghasilkan adaptasi dalam gaya hidup, bahasa pengajaran, dan struktur vihara untuk melayani audiens yang beragam.

Di sisi lain, biksu dan biksuni Asia yang bermigrasi ke Barat menghadapi tantangan untuk mempertahankan Vinaya mereka di lingkungan sekuler yang tidak memahami atau mendukung praktik monastik. Ini memerlukan fleksibilitas dan kebijaksanaan dalam mengaplikasikan aturan.

2. Teknologi dan Komunikasi

Teknologi telah mengubah cara biksah berinteraksi dengan dunia. Internet, media sosial, dan platform komunikasi lainnya memungkinkan mereka untuk menyebarkan Dharma kepada khalayak global, berbagi ajaran, dan terhubung dengan umat awam di seluruh dunia. Banyak biksu dan biksuni memiliki saluran YouTube, podcast, atau blog di mana mereka memberikan ceramah dan panduan meditasi.

Namun, teknologi juga membawa tantangan: bagaimana menjaga kesederhanaan dan penolakan ketika perangkat canggih ada di mana-mana? Bagaimana menghindari keterikatan pada dunia maya? Bagaimana menyaring informasi dan menghindari penyalahgunaan? Ini membutuhkan pengembangan etika digital khusus bagi komunitas monastik.

3. Tantangan Ekonomi dan Dukungan Umat Awam

Di banyak negara, terutama di Asia, komunitas biksah masih sangat bergantung pada dukungan umat awam. Namun, dengan urbanisasi, sekularisasi, dan perubahan gaya hidup, pola dukungan ini mungkin berubah. Orang-orang mungkin kurang punya waktu untuk mengunjungi vihara atau kurang memiliki kebiasaan memberikan dana secara teratur. Ini dapat menimbulkan tekanan finansial pada vihara, terutama yang lebih kecil.

Ada juga isu-isu terkait pengelolaan keuangan yang transparan dan etis, terutama di vihara yang menerima sumbangan besar.

4. Sekularisme dan Relevansi

Di banyak masyarakat modern, ada kecenderungan peningkatan sekularisme, di mana agama dianggap kurang relevan dalam kehidupan sehari-hari. Biksu dan biksuni menghadapi tantangan untuk menunjukkan relevansi ajaran mereka di dunia yang semakin materialistis dan ilmiah. Mereka harus dapat mengartikulasikan bagaimana Dharma dapat mengatasi penderitaan modern seperti stres, kecemasan, dan kesepian.

Beberapa biksah beradaptasi dengan fokus pada aspek psikologis meditasi dan pengembangan perhatian penuh (mindfulness) yang lebih mudah diterima oleh audiens sekuler, sementara yang lain menekankan peran aktivisme sosial dan lingkungan sebagai ekspresi kasih sayang Buddhis.

5. Pelestarian dan Revitalisasi

Di beberapa wilayah, biara-biara kuno menghadapi ancaman kerusakan fisik atau hilangnya biksu dan biksuni karena perang, penindasan politik, atau kurangnya minat generasi muda. Tantangan ini termasuk melestarikan bangunan bersejarah, manuskrip kuno, dan tradisi unik yang terancam punah.

Upaya revitalisasi termasuk mendirikan kembali biara, pelatihan biksu dan biksuni baru, dan program pendidikan untuk anak-anak dan remaja agar mereka tertarik pada kehidupan monastik.

6. Integritas dan Skandal

Seperti institusi lainnya, Sangha juga menghadapi skandal sesekali, seperti pelanggaran Vinaya, penyalahgunaan kekuasaan, atau perilaku tidak etis. Ini dapat merusak kepercayaan masyarakat dan reputasi seluruh komunitas monastik. Tantangan ini membutuhkan sistem akuntabilitas yang lebih kuat, pendidikan etika yang berkelanjutan, dan kepemimpinan yang berani untuk mengatasi masalah ini secara transparan.

Meskipun menghadapi banyak rintangan, komunitas biksah terus beradaptasi dan berinovasi. Mereka tetap menjadi sumber kebijaksanaan, kasih sayang, dan kedamaian yang tak ternilai, menunjukkan bahwa jalan spiritual yang telah berusia ribuan tahun masih memiliki kekuatan transformatif yang mendalam di era modern.

Kesimpulan: Cahaya Abadi dari Jejak Biksah

Perjalanan kita melalui kehidupan biksah telah mengungkapkan sebuah tapestry yang kaya akan sejarah, disiplin, dedikasi, dan transformasi. Dari asal-usulnya yang sederhana di India kuno, melalui penyebarannya ke seluruh benua Asia, hingga adaptasinya di dunia modern yang terus berubah, komunitas monastik Buddhis—para biksu dan biksuni—telah menjadi mercusuar yang tak tergantikan dalam warisan spiritual kemanusiaan.

Kita telah melihat bagaimana keputusan Siddhartha Gautama untuk meninggalkan kehidupan duniawi telah menetapkan arketipe bagi semua biksah yang mengikutinya, sebuah jalan penolakan yang bukan tentang pelarian, melainkan pembebasan. Kehidupan sehari-hari mereka, yang diatur oleh Vinaya yang ketat, bukan sekadar serangkaian aturan, melainkan kerangka kerja yang memupuk pemurnian batin, harmoni komunitas, dan kemajuan menuju pencerahan. Disiplin diri, meditasi, studi Dharma, dan ketergantungan pada umat awam melalui praktik dana adalah pilar-pilar yang menopang eksistensi mereka.

Peran biksah dalam masyarakat melampaui batas-batas vihara. Mereka adalah penjaga tak ternilai dari ajaran Buddha (Dharma), guru spiritual yang membimbing jutaan jiwa, teladan moral yang menginspirasi, dan pemimpin upacara yang menjaga tradisi. Hubungan simbiotik antara Sangha dan umat awam adalah bukti bahwa kasih sayang dan kebijaksanaan dapat berkembang ketika ada dukungan dan rasa saling hormat.

Meskipun ada perbedaan dalam praktik dan interpretasi antara tradisi Theravada, Mahayana, dan Vajrayana, benang merah yang mengikat semua biksah adalah komitmen mendalam terhadap Tiga Permata dan tujuan mulia untuk mengakhiri penderitaan dan mencapai Nibbana. Kebangkitan kembali Sangha biksuni modern juga menjadi bukti evolusi dan adaptasi Buddhisme, menegaskan bahwa potensi pencerahan adalah untuk semua, tanpa memandang gender.

Namun, jalan biksah tidak tanpa tantangan. Globalisasi, teknologi, tekanan ekonomi, sekularisme, dan isu-isu integritas terus menguji ketahanan dan relevansi mereka. Meski demikian, para biksah dengan kebijaksanaan dan keberanian terus beradaptasi, menemukan cara-cara baru untuk menyebarkan Dharma dan melayani dunia, memastikan bahwa cahaya ajaran Buddha tetap bersinar terang di tengah kegelapan.

Pada akhirnya, "biksah" mewakili sebuah janji—janji untuk mencari kebenaran dengan sepenuh hati, untuk menumbuhkan kasih sayang tanpa batas, dan untuk hidup demi kebaikan semua makhluk. Kehadiran mereka di dunia ini adalah pengingat abadi bahwa di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, ada jalan menuju kedamaian batin, kebebasan, dan pencerahan yang dapat diakses oleh siapa saja yang berani menempuh jejak mereka.

Semoga perjalanan ini memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang dedikasi dan kontribusi para biksah, dan semoga inspirasi dari jalan mereka dapat membimbing kita semua menuju kehidupan yang lebih bermakna dan tercerahkan.