Dalam bentangan sejarah dan praktik Buddhisme yang kaya, peran dan kehadiran wanita telah menjadi pilar yang tak terpisahkan dalam menyebarkan dan melestarikan ajaran Dharma. Di antara mereka, para biksuni – sebutan bagi biarawati Buddhis yang telah menjalani penahbisan penuh – memegang posisi yang unik dan signifikan. Kisah mereka adalah cerminan dari ketekunan spiritual, pengabdian, dan perjuangan untuk mencapai pembebasan dalam kerangka ajaran Sang Buddha. Artikel ini akan menyelami kehidupan para biksuni, menelusuri sejarah, praktik, tantangan, dan kontribusi tak ternilai mereka bagi komunitas Buddhis di seluruh dunia, dari zaman kuno hingga era modern yang penuh dinamika.
Bunga teratai dan Roda Dharma, simbol kemurnian dan ajaran Sang Buddha.
Istilah "biksuni" berasal dari bahasa Pali "bhikkhuni" atau bahasa Sanskerta "bhikshuni," yang secara harfiah berarti "pengemis wanita" atau "wanita yang hidup dari sedekah." Namun, makna sebenarnya jauh melampaui terjemahan literal ini. Seorang biksuni adalah seorang biarawati Buddhis yang telah menerima penahbisan penuh (upasampada) dalam tradisi monastik Sang Buddha. Ini berarti ia telah secara resmi melepaskan kehidupan duniawi, mengadopsi gaya hidup asketik, dan berkomitmen untuk mengikuti seperangkat aturan disipliner yang ketat (Vinaya) yang ditetapkan oleh Sang Buddha untuk mencapai pencerahan.
Penahbisan biksuni melibatkan serangkaian ritual dan janji. Seorang wanita pertama-tama akan menjadi seorang samaneri (novis wanita), mirip dengan seorang samanera untuk pria. Setelah periode pelatihan dan studi yang memadai, dan jika ia memenuhi kriteria tertentu, ia dapat mengajukan diri untuk penahbisan penuh. Penahbisan penuh biksuni, secara historis, memerlukan kehadiran sangha biksu dan sangha biksuni, yang bersama-sama mengakui dan mengesahkan penahbisannya. Hal ini menunjukkan pentingnya dukungan komunal dalam perjalanan spiritual mereka.
Tujuan utama menjadi seorang biksuni adalah untuk mendedikasikan hidup sepenuhnya pada praktik Dharma, pengembangan kebijaksanaan (paññā), moralitas (sīla), dan konsentrasi (samādhi). Mereka hidup dalam komunitas monastik, yang disebut vihara atau aramaya, di mana mereka berlatih meditasi, mempelajari sutra-sutra, mengulang paritta, dan melayani komunitas. Pakaian khas mereka adalah jubah, biasanya berwarna safron, cokelat, atau abu-abu, tergantung pada tradisi dan negara, yang melambangkan kesederhanaan dan pelepasan.
Kisah pendirian sangha biksuni adalah salah satu babak paling penting dan terkadang kontroversial dalam sejarah Buddhisme. Pada awalnya, Sang Buddha hanya menetapkan penahbisan untuk pria. Namun, berkat ketekunan dan keberanian Mahapajapati Gotami, bibi sekaligus ibu tiri Sang Buddha, pintu penahbisan akhirnya terbuka bagi wanita.
Setelah wafatnya Raja Suddhodana, ayah Sang Buddha, Mahapajapati Gotami yang telah melahirkan Nanda dan membesarkan Pangeran Siddhartha setelah kematian ibunya, Ratu Maya, merasakan dorongan spiritual yang kuat. Ia bersama dengan sejumlah besar wanita lainnya, memohon kepada Sang Buddha untuk diizinkan menjalani kehidupan monastik. Kisah ini dicatat dalam Vinaya Pitaka, salah satu bagian dari Tipitaka (kitab suci Buddhis).
Awalnya, Sang Buddha menolak permohonan tersebut hingga tiga kali. Beliau khawatir penahbisan wanita dapat mempercepat kemunduran ajaran Dharma. Namun, dengan intervensi Ananda, murid terdekat dan pelayan setia Sang Buddha, yang bertanya apakah wanita mampu mencapai pencerahan dan nibbana seperti pria, Sang Buddha akhirnya mengiyakan bahwa wanita memang memiliki potensi spiritual yang sama.
Atas desakan Ananda dan pengakuan akan potensi spiritual wanita, Sang Buddha akhirnya menyetujui pendirian sangha biksuni, tetapi dengan syarat tambahan. Beliau menetapkan Delapan Garudhammas (Aturan Berat) yang harus diterima dan ditaati oleh para biksuni. Aturan-aturan ini menempatkan biksuni dalam posisi subordinat terhadap biksu, dan ini menjadi titik perdebatan dan interpretasi yang berkelanjutan dalam sejarah Buddhisme.
Delapan Garudhammas, meskipun menimbulkan perdebatan, merupakan syarat penting bagi pendirian sangha biksuni. Aturan-aturan ini, seperti yang tercatat, bertujuan untuk menjaga tatanan dan keberlangsungan ajaran dalam konteks sosial pada masa itu.
Dengan persetujuan ini, Mahapajapati Gotami menjadi biksuni pertama, dan diikuti oleh banyak wanita lainnya. Ini adalah momen revolusioner yang membuka jalan bagi ribuan wanita untuk menempuh jalur spiritual yang lebih dalam, yang sebelumnya hanya tersedia bagi pria. Pendirian sangha biksuni menunjukkan bahwa ajaran Buddha pada dasarnya bersifat inklusif, mengakui kemampuan spiritual setiap individu tanpa memandang gender.
Setelah didirikan di India, sangha biksuni berkembang pesat. Para biksuni memainkan peran vital dalam menyebarkan Dharma, mengajarkan kepada umat awam, dan mendukung komunitas monastik. Mereka dikenal karena kebijaksanaan, disiplin, dan kemampuan mereka dalam praktik meditasi.
Namun, dalam beberapa abad berikutnya, sangha biksuni di beberapa wilayah mulai menghadapi tantangan. Di India, penahbisan biksuni secara bertahap meredup, terutama setelah invasi dan gejolak sosial yang mengikis institusi Buddhis secara umum. Garis penahbisan biksuni di tradisi Theravada, yang berkembang di Sri Lanka dan Asia Tenggara, diyakini telah punah sepenuhnya sekitar abad ke-11 atau ke-12 karena berbagai alasan, termasuk invasi dan kurangnya penahbis wanita yang valid.
Berbeda dengan Theravada, tradisi Mahayana berhasil mempertahankan garis penahbisan biksuni. Dari India, garis penahbisan ini dibawa ke Tiongkok pada abad kelima, di mana ia berkembang pesat dan menjadi sangat kuat. Biarawati Tiongkok kemudian menyebarkan garis penahbisan ini ke Korea, Vietnam, dan selanjutnya ke negara-negara lain. Ini menjelaskan mengapa sangha biksuni Mahayana, terutama di Asia Timur, memiliki sejarah yang tak terputus hingga hari ini.
Seorang biksuni dalam posisi meditasi, melambangkan dedikasi pada praktik spiritual.
Inti dari kehidupan monastik seorang biksuni adalah ketaatan pada Vinaya, seperangkat aturan disipliner yang ditetapkan oleh Sang Buddha. Vinaya untuk biksuni, yang dikenal sebagai Bhikkhuni Patimokkha, berisi ratusan aturan, lebih banyak daripada yang berlaku untuk biksu (Bhikkhu Patimokkha). Jumlah aturan yang lebih banyak ini sering dikaitkan dengan Delapan Garudhammas dan upaya untuk melindungi sangha biksuni di awal pendiriannya.
Aturan-aturan ini mencakup berbagai aspek kehidupan, mulai dari hal-hal esensial seperti larangan membunuh, mencuri, berbohong, dan melakukan tindakan seksual, hingga peraturan yang lebih rinci mengenai pakaian, makanan, interaksi sosial, dan perilaku dalam komunitas monastik. Ketaatan pada Vinaya bukan sekadar formalitas; ini adalah fondasi untuk mengembangkan moralitas yang kuat (sīla), yang pada gilirannya menopang konsentrasi (samādhi) dan kebijaksanaan (paññā).
Setiap dua minggu, para biksuni berkumpul untuk upacara Uposatha, di mana Patimokkha dibacakan. Selama pembacaan ini, setiap biksuni diminta untuk merenungkan apakah ia telah melanggar aturan apa pun. Jika ada pelanggaran, ia harus mengakuinya dan menjalani penyesuaian atau penebusan yang sesuai. Proses ini memperkuat disiplin individu dan menjaga kemurnian komunitas sangha.
Kehidupan sehari-hari seorang biksuni ditandai dengan struktur dan dedikasi pada praktik spiritual. Meskipun ada variasi antara biara dan tradisi, umumnya rutinitas mencakup:
Kehidupan ini adalah jalan yang menantang namun penuh pahala, yang membutuhkan komitmen yang mendalam, kesabaran, dan tekad yang kuat. Dengan meninggalkan ikatan duniawi, para biksuni berharap dapat mencapai pembebasan dari penderitaan dan menunjukkan jalan menuju pencerahan kepada orang lain.
Sepanjang sejarah, biksuni telah menjadi pilar spiritual yang tak tergantikan dalam komunitas Buddhis. Mereka berfungsi sebagai teladan hidup yang sederhana, berdisiplin, dan berdedikasi pada pencarian kebijaksanaan. Kehadiran mereka mengingatkan umat awam akan kemungkinan untuk mencapai pencerahan dan mendorong mereka untuk menjalani kehidupan yang lebih bermoral dan penuh makna.
Di banyak negara, biksuni juga merupakan pendidik utama Dharma. Mereka mendirikan sekolah-sekolah, mengajar meditasi, dan memberikan ceramah yang menginspirasi. Di Tiongkok, Korea, dan Taiwan misalnya, biarawati seringkali memiliki pendidikan akademis yang tinggi dan memimpin institusi pendidikan Buddhis yang besar, menjadi dosen, atau peneliti. Mereka memainkan peran krusial dalam melestarikan, menginterpretasikan, dan menyebarkan ajaran Buddha kepada generasi baru.
Selain peran spiritual dan pendidikan, banyak biksuni juga aktif dalam pelayanan sosial dan kemanusiaan. Mereka mendirikan panti asuhan, rumah sakit, panti jompo, dan pusat-pusat rehabilitasi. Dalam banyak krisis, baik bencana alam maupun kemiskinan, para biksuni berada di garis depan, memberikan bantuan, dukungan moral, dan harapan kepada mereka yang menderita.
Di Taiwan, misalnya, gerakan Tzu Chi Foundation yang didirikan oleh Master Cheng Yen, seorang biksuni terkemuka, adalah contoh nyata bagaimana komunitas biksuni dapat memimpin upaya kemanusiaan skala besar di seluruh dunia. Mereka menunjukkan bahwa praktik spiritual tidak hanya terbatas pada meditasi di biara, tetapi juga mencakup tindakan welas asih aktif (karuṇā) untuk meringankan penderitaan semua makhluk.
Tanpa para biksuni, sebagian besar ajaran Buddha mungkin tidak akan sampai kepada kita hari ini. Mereka adalah para penjaga Dharma, yang telah menghafal, menyalin, dan mewariskan sutra-sutra dari generasi ke generasi. Di tengah tantangan dan perubahan zaman, ketekunan mereka dalam mempraktikkan dan mengajarkan ajaran telah memastikan kelangsungan Buddhisme.
Peran mereka sebagai pelestari budaya dan tradisi Buddhis juga tak bisa diremehkan. Mereka seringkali menjadi pusat dari komunitas yang menjaga ritual, seni, dan filosofi Buddhis agar tetap hidup dan relevan bagi masyarakat kontemporer.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, garis penahbisan biksuni dalam tradisi Theravada diyakini telah punah berabad-abad yang lalu. Ini menciptakan masalah besar bagi wanita di negara-negara Theravada (seperti Sri Lanka, Thailand, Myanmar, Kamboja, Laos) yang ingin menjalani penahbisan penuh dan menjadi biksuni yang diakui secara tradisional.
Secara tradisional, penahbisan biksuni membutuhkan sangha biksu dan sangha biksuni yang valid. Karena sangha biksuni Theravada tidak lagi ada, para biksu Theravada yang konservatif berpendapat bahwa penahbisan biksuni yang sah tidak dapat dilakukan lagi. Akibatnya, wanita yang ingin hidup monastik di negara-negara ini seringkali hanya bisa menjadi mae chi (Thailand), dasa sila mata (Sri Lanka), atau thilashin (Myanmar) – yaitu wanita berjubah putih yang menjalani sepuluh sila, tetapi tidak diakui sebagai biksuni penuh dan seringkali memiliki status serta dukungan yang lebih rendah dibandingkan biksu.
Namun, dalam beberapa dekade terakhir, ada gerakan kuat untuk merevitalisasi garis penahbisan biksuni Theravada. Ini telah dicapai melalui dua cara utama:
Para biksuni Theravada yang telah menerima penahbisan kembali ini, seperti Bhikkhuni Ayya Sudhamma di Amerika Serikat, Bhikkhuni Dhammananda di Thailand, dan Bhikkhuni Kusuma di Sri Lanka, telah menjadi pionir. Mereka menghadapi perlawanan, tetapi juga mendapatkan dukungan signifikan dari umat awam dan biksu yang lebih progresif, yang percaya bahwa mengembalikan penahbisan biksuni adalah sesuai dengan semangat inklusif ajaran Sang Buddha.
Selain isu penahbisan, biksuni di banyak bagian dunia juga menghadapi tantangan sosial dan budaya. Ini termasuk:
Meskipun demikian, ada peningkatan kesadaran dan dukungan untuk para biksuni di seluruh dunia. Organisasi-organisasi internasional dan komunitas Buddhis progresif bekerja untuk mengatasi tantangan ini, memastikan bahwa para biksuni menerima dukungan, perlindungan, dan kesempatan yang sama untuk berlatih dan mengajar Dharma.
Vihara, tempat para biksuni berlatih dan melayani komunitas.
Tradisi Mahayana, khususnya di Asia Timur, adalah tempat di mana sangha biksuni telah berkembang paling kuat dan tak terputus. Di negara-negara seperti Tiongkok, Korea, dan Taiwan, jumlah biksuni seringkali melebihi jumlah biksu, dan mereka memegang peran yang sangat dihormati dan berpengaruh.
Biksuni Mahayana seringkali menahbiskan diri mereka sendiri dan mempertahankan garis penahbisan yang valid sejak abad ke-5 Masehi. Kehadiran mereka yang kuat ini adalah bukti vitalitas dan kemampuan wanita untuk memimpin dan berkembang dalam praktik Buddhis.
Di tradisi Vajrayana, yang dominan di Tibet, Nepal, Bhutan, dan Mongolia, situasi untuk biksuni sedikit berbeda. Meskipun ada banyak biarawati, yang dikenal sebagai ani, sebagian besar dari mereka hanya menerima penahbisan novis (samaneri) atau janji-janji tambahan sebagai biarawati, tetapi tidak penahbisan penuh biksuni (bhikshuni upasampada) sesuai dengan Vinaya. Garis penahbisan biksuni yang utuh tidak pernah sepenuhnya didirikan di Tibet atau telah punah pada periode awal.
Namun, dalam beberapa dekade terakhir, ada upaya signifikan untuk mengubah situasi ini. Yang Mulia Dalai Lama telah secara terbuka mendukung gagasan untuk memberikan penahbisan biksuni penuh kepada biarawati Tibet, mengakui kesetaraan spiritual wanita. Beberapa biarawati Tibet telah melakukan perjalanan ke negara-negara Mahayana untuk menerima penahbisan penuh. Ini adalah langkah maju yang penting, meskipun masih ada perdebatan dan tantangan dalam mengintegrasikan kembali penahbisan biksuni penuh ke dalam sangha Tibet secara luas.
Biarawati Tibet, meskipun menghadapi kendala dalam penahbisan penuh, telah menunjukkan ketekunan luar biasa dalam studi filosofi Buddhis dan praktik meditasi. Banyak dari mereka kini menjadi guru-guru Dharma yang dihormati dan memimpin biara-biara.
Dengan menyebarnya Buddhisme ke negara-negara Barat, komunitas biksuni juga mulai terbentuk. Banyak wanita Barat yang tertarik pada ajaran Buddha dan ingin menjalani kehidupan monastik telah mencari penahbisan di tradisi Mahayana Asia Timur atau bergabung dengan komunitas Theravada yang kini telah merevitalisasi garis penahbisan biksuni.
Biksuni di Barat seringkali menghadapi tantangan unik dalam mengadaptasi praktik monastik ke dalam konteks budaya yang berbeda. Mereka berperan penting dalam menerjemahkan ajaran, mengadaptasi metode pengajaran, dan membangun komunitas monastik yang relevan bagi masyarakat Barat. Mereka juga menjadi jembatan antarbudaya, membantu menyebarkan pemahaman tentang Buddhisme di seluruh dunia.
Contoh biksuni Barat terkemuka termasuk Bhikkhuni Ayya Khema, seorang biarawati Theravada Jerman yang menjadi guru meditasi terkenal, dan Pema Chödrön, seorang biarawati Vajrayana Amerika yang ajarannya banyak menginspirasi.
Masa depan sangha biksuni terlihat cerah dengan adanya pertumbuhan dan pengakuan yang semakin meningkat. Semakin banyak wanita di seluruh dunia yang tertarik pada kehidupan monastik Buddhis, dan gerakan untuk mendukung dan merevitalisasi sangha biksuni terus mendapatkan momentum.
Di negara-negara yang sebelumnya tidak memiliki sangha biksuni penuh, seperti Sri Lanka dan Thailand, kini ada komunitas biksuni yang tumbuh, meskipun masih kecil dan menghadapi beberapa resistensi. Keberanian dan ketekunan para biksuni pionir ini membuka jalan bagi generasi berikutnya.
Organisasi-organisasi Buddhis internasional dan akademisi juga berperan dalam mendukung kesetaraan gender dalam Buddhisme. Konferensi-konferensi diadakan, penelitian dilakukan, dan publikasi diterbitkan untuk menyoroti pentingnya dan sejarah sangha biksuni.
Salah satu tantangan berkelanjutan bagi sangha biksuni adalah bagaimana menjaga kemurnian dan keaslian Vinaya di tengah perubahan zaman. Aturan-aturan yang ditetapkan ribuan tahun lalu di India mungkin memerlukan interpretasi dan aplikasi yang bijaksana dalam konteks modern, tanpa mengorbankan esensi disiplin monastik.
Diskusi mengenai adaptasi Vinaya, terutama Delapan Garudhammas, terus berlanjut. Banyak yang berpendapat bahwa beberapa aturan tersebut bersifat kondisional dan perlu dievaluasi kembali untuk mencerminkan kesetaraan gender dan kebutuhan komunitas biksuni saat ini. Namun, perubahan Vinaya adalah proses yang sangat kompleks dan memerlukan konsensus luas dari seluruh sangha.
Di samping itu, para biksuni juga perlu menavigasi dunia modern yang penuh dengan teknologi dan informasi. Bagaimana mereka dapat menggunakan alat-alat ini untuk menyebarkan Dharma tanpa terperangkap dalam jebakan duniawi adalah pertanyaan penting yang harus mereka jawab.
Kelangsungan dan kemajuan sangha biksuni sangat bergantung pada dukungan umat awam. Dukungan ini tidak hanya dalam bentuk materi (makanan, tempat tinggal, pakaian, obat-obatan), tetapi juga dalam bentuk pengakuan, rasa hormat, dan partisipasi dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh para biksuni. Ketika umat awam menghargai dan mendukung para biksuni, ini menciptakan lingkungan yang subur bagi praktik Dharma untuk berkembang.
Melalui dukungan ini, para biksuni dapat terus mendedikasikan diri pada praktik, studi, dan pelayanan, menjadi sumber inspirasi dan bimbingan spiritual bagi seluruh masyarakat. Mereka adalah permata berharga dalam Sangha, dan keberadaan mereka adalah berkah bagi dunia.
Perjalanan seorang biksuni adalah jalan yang mulia dan penuh tantangan. Dari Mahapajapati Gotami hingga para biarawati modern di seluruh dunia, wanita telah membuktikan kemampuan spiritual, ketekunan, dan dedikasi mereka dalam mengikuti jejak Sang Buddha.
Meskipun menghadapi berbagai rintangan historis dan kontemporer, sangha biksuni terus berkembang, melestarikan Dharma, dan memberikan kontribusi yang tak ternilai bagi masyarakat. Keberadaan mereka adalah pengingat yang kuat bahwa pencerahan dan pembebasan adalah tujuan yang dapat dicapai oleh siapa saja, tanpa memandang gender, asalkan ada tekad, disiplin, dan praktik yang benar. Semoga cahaya Dharma yang dipancarkan oleh para biksuni ini terus menerangi jalan bagi banyak orang yang mencari kedamaian dan kebijaksanaan sejati.
Dengan semangat cinta kasih universal dan welas asih, para biksuni akan terus menjadi mercusuar spiritual, membimbing dan melayani dunia dengan ajaran abadi Sang Buddha. Kisah mereka adalah inspirasi yang tak pernah lekang oleh waktu, bukti hidup dari potensi tak terbatas yang ada dalam diri setiap individu untuk mencapai kebebasan tertinggi.
Biksuni, atau bhikkhuni, adalah pilar yang tak tergantikan dalam komunitas Buddhis. Mereka adalah penjaga Dharma, teladan spiritual, dan pelayan masyarakat. Kehadiran mereka menegaskan universalitas ajaran Buddha dan kesetaraan semua makhluk dalam mencapai pencerahan. Perjuangan mereka untuk mempertahankan dan merevitalisasi sangha biksuni adalah cerminan dari tekad yang mendalam untuk hidup sesuai dengan cita-cita Bodhisattva dan mencapai pembebasan dari penderitaan.
Masa depan sangha biksuni bergantung pada pengakuan yang terus meningkat, dukungan yang tak tergoyahkan dari komunitas Buddhis secara keseluruhan, dan kemampuan mereka untuk beradaptasi dengan tantangan dunia modern sambil tetap berpegang teguh pada esensi Vinaya dan ajaran Buddha. Seiring berjalannya waktu, diharapkan bahwa biksuni akan mendapatkan status dan kesempatan yang sepenuhnya setara di semua tradisi Buddhis, memungkinkan lebih banyak wanita untuk mengikuti panggilan spiritual mereka dan berkontribusi penuh pada penyebaran Dharma.
Dengan demikian, perjalanan spiritual biksuni tidak hanya milik mereka sendiri, tetapi juga merupakan bagian integral dari warisan Buddhis yang kaya dan berkelanjutan, yang terus menginspirasi jutaan orang di seluruh dunia untuk mencari kebijaksanaan, belas kasih, dan kedamaian sejati.