Pendahuluan: Detak Jantung Kebudayaan Indonesia
Dalam khazanah budaya Nusantara yang kaya dan beragam, suara tambul atau instrumen pukul menduduki posisi yang sangat sentral. Dari Sabang hingga Merauke, "bertambul" — sebuah istilah yang merujuk pada aktivitas memukul tambul atau gendang — telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, merentang melintasi berbagai aspek seperti ritual keagamaan, upacara adat, hiburan, komunikasi, hingga ekspresi seni. Lebih dari sekadar alat musik, tambul adalah perwujudan narasi budaya, penanda identitas, dan jembatan penghubung antara dunia profan dan sakral.
Artikel ini akan membawa kita pada sebuah perjalanan menyeluruh untuk mengungkap kedalaman makna, sejarah panjang, ragam bentuk, fungsi sosial, teknik permainan, dan relevansi "bertambul" dalam konteks Indonesia masa kini. Kita akan menyelami bagaimana instrumen-instrumen ini, dengan resonansi dan ritmenya yang khas, telah membentuk dan terus membentuk lanskap kebudayaan kita, menjadi suara yang tak pernah pudar di tengah modernitas yang terus bergerak maju. Dari gemuruh bedug yang menandai waktu salat hingga irama dinamis kendang yang mengiringi tarian sakral, setiap pukulan tambul adalah gema dari jiwa Nusantara yang tak lekang oleh waktu.
Memahami "bertambul" berarti menyelami jiwa bangsa Indonesia. Ini adalah upaya untuk mengapresiasi warisan tak benda yang tak ternilai, sebuah kekayaan yang terus beresonansi, mengingatkan kita akan akar-akar budaya yang kuat dan keberlanjutan tradisi di tengah arus perubahan zaman. Mari kita mulai eksplorasi ini.
Sejarah dan Asal-Usul Bertambul
Akar Prasejarah: Dentuman Pertama Manusia
Sejarah bertambul di Nusantara bisa dilacak jauh ke belakang, bahkan sebelum tercatat dalam tulisan. Bukti arkeologi dan antropologi menunjukkan bahwa manusia purba di wilayah ini telah menggunakan berbagai benda untuk menghasilkan suara ritmis. Batang kayu berongga, batu, bahkan bagian tubuh hewan yang dikeringkan, kemungkinan besar menjadi cikal bakal tambul. Fungsi awalnya diperkirakan berkaitan dengan ritual spiritual, penanda bahaya, atau sebagai alat komunikasi sederhana antar kelompok.
Analisis terhadap kebudayaan megalitikum di beberapa daerah di Indonesia, seperti Sumatera, Jawa, dan Sulawesi, mengungkap adanya penggunaan batu-batu besar atau arca yang, meskipun bukan instrumen pukul langsung, seringkali dikaitkan dengan upacara yang melibatkan suara dan ritme. Ini menunjukkan bahwa konsep menghasilkan suara ritmis untuk tujuan spiritual atau sosial telah mengakar kuat dalam peradaban awal.
Pengaruh Asia dan Perkembangan Awal
Perkembangan tambul modern di Nusantara tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kebudayaan dari benua Asia, khususnya India dan Cina. Sejak awal milenium pertama Masehi, jalur perdagangan maritim membawa serta berbagai gagasan, teknologi, dan bentuk seni. Instrumen-instrumen pukul seperti gendang (yang berasal dari kata ‘dhola’ dalam bahasa Sanskerta) diperkirakan masuk dan kemudian diadaptasi oleh masyarakat lokal.
Pada masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, seperti Sriwijaya dan Majapahit, tambul mulai memiliki bentuk yang lebih terstruktur dan peran yang lebih spesifik dalam upacara keagamaan dan hiburan istana. Relief-relief candi seperti Borobudur dan Prambanan seringkali menggambarkan berbagai alat musik, termasuk jenis tambul atau gendang, yang menunjukkan betapa pentingnya peran instrumen ini dalam kehidupan religius dan sosial pada masa itu. Gendang-gendang dengan ukiran indah dan bahan berkualitas tinggi mungkin menjadi simbol status dan kekuatan.
Era Islam dan Peran Bedug serta Rebana
Kedatangan agama Islam ke Nusantara pada abad ke-13 membawa serta jenis-jenis tambul baru dan memperkaya fungsi yang sudah ada. Bedug, sebuah gendang berukuran besar yang ditabuh di masjid, menjadi penanda waktu salat dan perayaan hari besar Islam. Keberadaan bedug di setiap masjid menunjukkan integrasi harmonis antara tradisi lokal dengan ajaran agama baru.
Rebana, sebuah tambul berbentuk pipih dengan bingkai kayu dan kulit di satu sisi, juga menjadi sangat populer. Instrumen ini tidak hanya digunakan dalam musik pengiring pengajian atau qasidah, tetapi juga dalam berbagai seni pertunjukan Islam seperti tari Zapin dan Saman. Perkembangan ini menunjukkan adaptasi dan kreativitas masyarakat dalam mengintegrasikan elemen budaya baru ke dalam kerangka tradisi mereka sendiri.
Modernisasi dan Tantangan Pelestarian
Seiring berjalannya waktu, bertambul terus berevolusi. Di era kolonial, beberapa bentuk seni tradisional mengalami tekanan, namun banyak yang bertahan dan bahkan berkembang di bawah perlindungan komunitas adat. Setelah kemerdekaan, pemerintah dan berbagai lembaga budaya mulai melakukan upaya pelestarian dan pengembangan seni bertambul.
Namun, di era modern ini, tantangan semakin besar. Arus globalisasi, dominasi musik modern, dan kurangnya minat generasi muda menjadi ancaman serius bagi kelestarian tradisi bertambul. Meskipun demikian, masih banyak seniman, budayawan, dan komunitas yang gigih mempertahankan, mengembangkan, dan memperkenalkan bertambul kepada khalayak yang lebih luas, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Anatomi dan Jenis-Jenis Instrumen Bertambul
Istilah "tambul" atau "gendang" sebenarnya adalah kategori luas untuk instrumen pukul membranofon. Meskipun memiliki prinsip dasar yang sama (membran yang direntangkan pada resonansi untuk menghasilkan suara), setiap jenis tambul di Indonesia memiliki keunikan dalam bentuk, ukuran, bahan, dan cara memainkannya.
Komponen Dasar Tambul
Secara umum, instrumen tambul terdiri dari beberapa komponen utama:
- Membran/Kulit: Bagian yang dipukul untuk menghasilkan suara. Biasanya terbuat dari kulit hewan (sapi, kambing, kerbau, ular) yang dikeringkan dan direntangkan. Ketebalan dan jenis kulit sangat memengaruhi karakter suara.
- Resonator/Badan: Bagian berongga yang memperkuat suara yang dihasilkan oleh membran. Umumnya terbuat dari kayu (nangka, cempaka, kelapa, jati), bambu, atau bahkan logam. Bentuk dan ukuran resonator sangat krusial dalam menentukan resonansi dan nada instrumen.
- Sistem Pengencang: Mekanisme untuk merentangkan kulit agar menghasilkan nada yang diinginkan. Bisa berupa tali (rotan, kulit, serat), paku, pasak kayu, atau baut logam (pada instrumen modern). Sistem ini juga memungkinkan penyesuaian nada.
- Pemukul: Beberapa tambul dimainkan dengan tangan kosong, sementara yang lain menggunakan alat pemukul berupa stik kayu, palu, atau rotan.
Ragam Jenis Tambul di Nusantara
Indonesia adalah surga bagi para penjelajah instrumen pukul. Berikut adalah beberapa jenis tambul yang paling representatif:
1. Kendang (Jawa, Bali, Sunda)
Kendang adalah salah satu tambul paling ikonik, terutama dalam ansambel gamelan Jawa, Sunda, dan Bali. Bentuknya menyerupai kerucut ganda yang terpotong, dengan dua membran (sisi) yang memiliki diameter berbeda. Sisi yang lebih besar (suara rendah) disebut 'bum' atau 'dhang', dan sisi yang lebih kecil (suara tinggi) disebut 'tak' atau 'thung'. Kendang dimainkan dengan kombinasi telapak tangan, jari, dan terkadang stik kecil. Ada berbagai ukuran kendang:
- Kendang Gede/Ageng: Ukuran terbesar, sebagai pemimpin irama.
- Kendang Ciblon/Batangan: Ukuran menengah, untuk variasi irama yang lebih kompleks.
- Ketipung: Ukuran terkecil, sebagai pengisi ritme cepat.
Kendang tidak hanya sebagai pengatur tempo, tetapi juga sebagai pemimpin irama, memberikan isyarat kepada penari atau musisi lain. Materialnya umumnya dari kayu nangka atau cempaka dengan kulit kerbau atau sapi.
2. Bedug (Seluruh Indonesia)
Bedug adalah tambul berukuran besar yang umumnya digantung di masjid atau mushola. Badannya terbuat dari gelondongan kayu besar yang dilubangi, dan hanya memiliki satu membran kulit sapi atau kerbau yang direntangkan pada salah satu sisinya. Bedug dipukul dengan pemukul khusus berukuran besar. Fungsi utamanya adalah sebagai penanda waktu salat, khususnya saat azan subuh dan magrib, serta sebagai penanda perayaan hari besar Islam seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Suara bedug yang berat dan menggelegar memiliki resonansi yang kuat dan bisa terdengar dari jarak jauh, berfungsi sebagai panggilan komunitas.
3. Rebana (Melayu, Betawi, Sunda, Jawa)
Rebana adalah tambul berbentuk pipih seperti bingkai, dengan satu membran kulit yang direntangkan pada salah satu sisi bingkai kayu. Bagian tepi bingkai sering dilengkapi dengan kerincingan logam kecil (jingle) yang ikut bergetar saat dipukul, menambah efek suara. Rebana dimainkan dengan tangan kosong dan sangat populer dalam musik bernuansa Islam (qasidah, hadroh), seni Betawi, serta berbagai upacara adat Melayu. Ada banyak jenis rebana berdasarkan ukuran dan daerah, misalnya rebana biang di Betawi yang berukuran sangat besar, hingga rebana kecil yang dimainkan dalam grup.
4. Tifa (Maluku dan Papua)
Tifa adalah tambul khas dari wilayah timur Indonesia. Bentuknya unik, menyerupai piala atau jam pasir, dengan satu sisi membran kulit yang umumnya terbuat dari kulit biawak atau rusa. Badan tifa diukir dari kayu utuh (biasanya kayu lenggua atau ipil) dan sering dihiasi dengan ukiran motif etnik yang indah. Tifa dimainkan dengan tangan kosong, dan ukurannya bervariasi dari kecil hingga sangat besar. Ini adalah instrumen utama dalam berbagai upacara adat, tari-tarian, dan musik tradisional di Maluku dan Papua.
5. Dol (Bengkulu)
Dol adalah tambul khas dari Bengkulu yang berukuran sangat besar, menyerupai gentong kayu besar dengan satu sisi membran kulit sapi. Diameter dol bisa mencapai 80-120 cm. Dol dimainkan dengan dua alat pemukul besar yang terbuat dari kayu. Suaranya sangat menggelegar dan dimainkan secara berkelompok dalam festival Tabot, sebuah perayaan keagamaan untuk memperingati gugurnya cucu Nabi Muhammad SAW, Imam Husain.
6. Rapai (Aceh)
Rapai adalah tambul berbingkai dari Aceh yang memiliki kemiripan dengan rebana, namun dengan kerincingan yang lebih banyak dan bervariasi. Ada beberapa jenis rapai seperti Rapai Geleng, Rapai Pase, dan Rapai Bubee, masing-masing dengan karakteristik suara dan fungsi yang berbeda. Rapai adalah instrumen utama dalam kesenian Rapai Geleng, sebuah pertunjukan tari dan musik yang energik dan penuh semangat.
7. Gong dan Kempul (Jawa, Bali)
Meskipun bukan gendang, gong dan kempul adalah instrumen pukul metalofon yang juga sangat penting dalam ansambel gamelan. Gong menghasilkan suara yang dalam dan bergaung panjang, berfungsi sebagai penanda awal dan akhir gatra (unit musikal), sementara kempul memberikan aksen pada bagian-bagian tertentu dalam komposisi. Keduanya dipukul dengan pemukul berlapis kain atau karet.
8. Gendang Beleq (Sasak, Lombok)
Gendang Beleq adalah tambul khas Suku Sasak di Lombok, berukuran besar dan dimainkan secara berkelompok dalam ansambel yang disebut "Gendang Beleq". Instrumen ini memiliki dua membran kulit, mirip kendang tetapi jauh lebih besar dan dimainkan dengan tongkat pemukul khusus. Gendang Beleq memiliki peran sentral dalam upacara adat, pernikahan, penyambutan tamu penting, dan festival.
Keragaman ini hanya sebagian kecil dari kekayaan instrumen bertambul di Indonesia. Setiap daerah, bahkan setiap komunitas, seringkali memiliki variasi unik dengan nama dan fungsi yang berbeda, mencerminkan kearifan lokal dalam memanfaatkan sumber daya alam dan mengembangkan ekspresi artistik.
Fungsi dan Peran Sosial Bertambul dalam Masyarakat
Bertambul bukanlah sekadar aktivitas bermusik; ia adalah medium multi-fungsi yang menembus berbagai lapisan kehidupan sosial, spiritual, dan budaya masyarakat Indonesia. Dentuman ritmisnya memiliki kekuatan untuk mempersatukan, memanggil, merayakan, meratapi, dan menceritakan kisah. Berikut adalah elaborasi peran penting bertambul:
1. Fungsi Ritual Keagamaan dan Spiritual
Dari zaman prasejarah hingga era modern, tambul selalu memiliki ikatan erat dengan aspek spiritual dan keagamaan. Ia seringkali menjadi jembatan antara dunia manusia dan alam gaib, atau antara umat dan Tuhannya.
- Panggilan Ibadah: Bedug di masjid adalah contoh paling nyata. Suara bedug bukan hanya penanda waktu salat, tetapi juga seruan yang mempersatukan umat untuk beribadah. Di beberapa daerah, bedug juga dipukul dalam perayaan Idul Fitri dan Idul Adha sebagai simbol kegembiraan dan syukur.
- Upacara Adat dan Kepercayaan Lokal: Di banyak komunitas adat, tambul digunakan dalam ritual penyembuhan, pengusiran roh jahat, atau memanggil arwah leluhur. Misalnya, tifa di Papua sering mengiringi upacara inisiasi atau penyembuhan. Suara tambul diyakini dapat menciptakan kondisi trans, memurnikan lingkungan, atau mengusir energi negatif.
- Ritual Panen dan Kesuburan: Di beberapa daerah pertanian, tambul dimainkan dalam upacara kesuburan atau panen raya sebagai wujud syukur kepada dewa-dewi pertanian atau roh bumi, memohon hasil panen yang melimpah di musim berikutnya.
- Pengiring Mantra dan Doa: Dalam tradisi mistis atau meditasi, ritme tambul dapat membantu menciptakan fokus dan mengintensifkan pengalaman spiritual.
2. Fungsi Komunikasi dan Penanda Sosial
Sebelum era teknologi komunikasi modern, tambul adalah alat vital untuk menyampaikan pesan ke seluruh komunitas.
- Penanda Waktu: Selain bedug untuk salat, beberapa jenis tambul digunakan untuk menandai waktu makan, waktu bekerja, atau pergantian jaga.
- Panggilan Berkumpul: Suara tambul dengan pola tertentu bisa menjadi panggilan untuk berkumpul, baik untuk rapat desa, perayaan, atau acara penting lainnya.
- Peringatan Bahaya: Dalam situasi darurat seperti kebakaran, banjir, atau serangan musuh, pola pukulan tambul yang khas akan segera memberitahu seluruh penduduk desa tentang bahaya yang mengancam. Ini adalah sistem peringatan dini yang efektif dan masih digunakan di beberapa daerah terpencil.
- Informasi Kematian: Di beberapa komunitas, pukulan tambul dengan ritme tertentu mengumumkan kabar duka, memberitahu warga bahwa ada seseorang yang meninggal dunia.
3. Fungsi Hiburan dan Seni Pertunjukan
Ini adalah fungsi yang paling dikenal secara luas, di mana tambul menjadi inti dari berbagai bentuk seni.
- Musik Pengiring Tarian: Dari tari klasik Jawa (Bedhaya, Srimpi) yang diiringi kendang gamelan, tari Saman Aceh yang diiringi tepukan tangan dan rapai, hingga tari perang Papua yang diiringi tifa, tambul adalah jiwa dari setiap gerakan tari. Ritme tambul memberikan energi, tempo, dan dinamika pada tarian.
- Musik Teater dan Drama: Dalam pertunjukan wayang kulit, ketoprak, atau ludruk, kendang berperan sebagai pengatur tempo narasi, penanda pergantian adegan, dan pemberi emosi pada dialog atau aksi karakter.
- Konser Musik Tradisional: Ansambel gamelan, musik keroncong, atau grup hadroh tidak lengkap tanpa instrumen tambul sebagai inti ritmisnya.
- Penyambutan Tamu dan Festival: Bertambul seringkali menjadi bagian dari upacara penyambutan tamu penting atau pembukaan festival budaya, menunjukkan kemegahan dan kegembiraan.
4. Fungsi Edukasi dan Transmisi Budaya
Bertambul adalah media penting untuk mewariskan nilai-nilai budaya, sejarah, dan pengetahuan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
- Pengajaran Seni dan Filosofi: Belajar memainkan tambul bukan hanya tentang teknik, tetapi juga tentang memahami filosofi di balik ritme, harmoni, dan peran instrumen dalam konteks budayanya.
- Penceritaan Sejarah: Melalui lagu dan tarian yang diiringi tambul, kisah-kisah leluhur, mitos, dan sejarah suatu komunitas seringkali diturunkan.
- Pembentukan Karakter: Bermain dalam ansambel tambul mengajarkan kerja sama, disiplin, kesabaran, dan pendengaran yang tajam.
5. Fungsi Ekonomi dan Kreatif
Di luar fungsi tradisionalnya, bertambul juga memiliki dimensi ekonomi dan kreatif.
- Industri Kerajinan: Pembuatan tambul secara tradisional menciptakan mata pencarian bagi pengrajin kayu, kulit, dan seniman ukir.
- Industri Pariwisata: Pertunjukan bertambul menjadi daya tarik wisata, baik di tingkat lokal maupun internasional, menciptakan peluang ekonomi bagi seniman dan pelaku budaya.
- Inovasi Musik: Bertambul terus menginspirasi musisi kontemporer untuk menciptakan karya-karya baru, memadukan elemen tradisional dengan genre musik modern.
Secara keseluruhan, bertambul adalah representasi hidup dari kekayaan dan kompleksitas budaya Indonesia. Ia adalah suara yang tidak hanya mengisi telinga, tetapi juga meresapi jiwa, membentuk identitas, dan merajut jalinan komunitas.
Teknik Memainkan Bertambul: Dari Pukulan Dasar hingga Ritme Kompleks
Memainkan tambul, atau bertambul, bukanlah sekadar memukul kulit. Ini adalah seni yang membutuhkan kepekaan, koordinasi, dan pemahaman mendalam terhadap ritme, dinamika, serta karakter suara yang ingin dihasilkan. Setiap jenis tambul memiliki teknik permainan yang khas, namun ada prinsip-prinsip dasar yang bisa diamati.
1. Postur dan Posisi
Sebelum pukulan pertama dilayangkan, postur tubuh pemain tambul sangat penting. Postur yang benar memungkinkan kelenturan gerakan, efisiensi energi, dan suara yang optimal.
- Kendang: Pemain kendang biasanya duduk bersila atau bertumpu pada satu lutut, dengan kendang diletakkan di pangkuan atau digantung dengan penyangga. Posisi ini memungkinkan kedua tangan leluasa memukul kedua sisi membran.
- Rebana: Rebana umumnya dipegang dengan satu tangan (atau disandarkan pada paha) dan dipukul dengan tangan lainnya, atau dipegang dengan kedua tangan jika ukurannya besar.
- Tifa: Tifa sering dipegang atau diletakkan di tanah, dengan posisi duduk bersila atau berdiri, tergantung ukuran tifa dan jenis tarian atau ritual yang diiringi.
- Bedug: Karena ukurannya yang besar, bedug biasanya digantung atau diletakkan pada penyangga khusus dan dimainkan dengan berdiri atau duduk di bangku.
2. Pukulan Dasar dan Artikulasi
Suara tambul dihasilkan dari berbagai jenis sentuhan dan pukulan. Setiap pukulan memiliki nama dan karakter suara yang unik.
- Pukulan Terbuka (Open Stroke): Pukulan di mana tangan atau pemukul memukul membran dan langsung diangkat kembali, menghasilkan suara yang nyaring, bergaung, dan bertenaga. Contoh: "Dhang" atau "Bum" pada kendang.
- Pukulan Tertutup (Muted/Slapped Stroke): Pukulan di mana tangan atau pemukul menempel pada membran setelah memukul, menghasilkan suara yang lebih pendek, teredam, atau 'kering'. Contoh: "Ket" atau "Tak" pada kendang.
- Tepukan Jari (Finger Tap): Menggunakan ujung jari untuk menghasilkan suara yang lebih ringan dan renyah. Sering digunakan untuk mengisi atau memperindah ritme.
- Sentuhan Telapak Tangan (Palm Stroke): Menggunakan bagian telapak tangan yang lebih lebar untuk menghasilkan suara yang lebih tebal atau 'basah'.
- Pukulan Dengan Pemukul (Stick/Mallet Stroke): Digunakan pada tambul seperti dol atau bedug, menghasilkan suara yang sangat kuat dan resonan.
Pemain tambul yang mahir dapat menciptakan nuansa suara yang sangat beragam hanya dengan memvariasikan tekanan, kecepatan, area pukulan (pusat, tepi), dan bagian tangan yang digunakan.
3. Variasi Ritme dan Dinamika
Inti dari bertambul adalah ritme. Tidak hanya tentang kecepatan, tetapi juga tentang pola, aksen, dan dinamika.
- Tempo: Kecepatan ritme, dari lambat (lamba), sedang (andheg), hingga cepat (cepengan). Perubahan tempo seringkali menandakan perubahan suasana atau bagian dalam suatu pertunjukan.
- Aksen: Penekanan pada pukulan tertentu dalam sebuah pola ritme. Aksen memberikan 'denyut' dan karakter pada irama.
- Dinamika: Perubahan keras-lembutnya suara (forte-piano). Pemain tambul dapat mengatur dinamika untuk menciptakan ketegangan, relaksasi, atau memberikan emosi pada musik.
- Sinkronisasi dan Interaksi: Dalam ansambel, pemain tambul harus mampu berinteraksi dan berkoordinasi dengan instrumen lain, mendengarkan, dan merespons untuk menciptakan harmoni ritmis yang padu. Pemain kendang, misalnya, seringkali menjadi pemimpin irama yang memberikan isyarat kepada musisi lain.
- Improvisasi: Pemain tambul yang berpengalaman seringkali memiliki kemampuan improvisasi yang tinggi, menambahkan variasi dan ornamen ritmis tanpa meninggalkan pola dasar atau melanggar aturan musikal yang berlaku.
4. Teknik Khusus dan Gaya Regional
Setiap daerah memiliki teknik dan gaya bertambul yang unik:
- Gaya Kendang Jawa: Terkenal dengan kemampuannya menciptakan 'rasa' (citarasa musikal) melalui variasi pukulan dan improvisasi yang halus.
- Gaya Kendang Bali: Lebih dinamis dan energik, seringkali dengan pola yang saling mengisi dan membalas antara dua kendang (lanang dan wadon).
- Teknik Rapai Geleng Aceh: Memadukan pukulan tangan, tepukan, dan gerakan tubuh yang sinkron dan bersemangat.
- Pukulan Dol Bengkulu: Mengandalkan kekuatan dan koordinasi kelompok untuk menghasilkan suara yang masif dan menggelegar.
- Tifa Papua: Seringkali dimainkan dengan pola ritme yang repetitif namun hipnotis, kadang diiringi teriakan atau nyanyian.
Mempelajari teknik bertambul bukan hanya tentang menguasai gerakan fisik, tetapi juga tentang menyelami filosofi dan jiwa dari setiap instrumen. Ini adalah proses panjang yang membutuhkan dedikasi, kesabaran, dan bimbingan dari para guru dan maestro yang telah mewarisi pengetahuan ini secara turun-temurun.
Simbolisme dan Makna Filosofis Bertambul
Di balik dentuman ritmisnya, bertambul mengandung lapisan-lapisan makna filosofis dan simbolis yang dalam, mencerminkan pandangan dunia, nilai-nilai, dan kepercayaan masyarakat Nusantara. Instrumen ini bukan hanya alat musik, melainkan representasi dari kehidupan, alam semesta, dan hubungan manusia dengan Sang Pencipta.
1. Suara sebagai Jembatan Spiritual
Dalam banyak kebudayaan, suara diyakini memiliki kekuatan spiritual. Dentuman tambul seringkali dianggap sebagai 'bahasa' yang dapat berkomunikasi dengan alam gaib, roh leluhur, atau kekuatan ilahi. Ritme yang repetitif atau hipnotis dapat menciptakan kondisi trans, memungkinkan partisipan untuk terhubung dengan dimensi spiritual. Di beberapa tradisi, suara tambul dianggap sebagai 'suara semesta' atau 'nafas kehidupan' yang menggerakkan segala sesuatu.
"Setiap pukulan gendang adalah doa yang dipanjatkan, setiap ritme adalah perjalanan jiwa yang diungkapkan."
2. Harmoni dan Persatuan
Dalam sebuah ansambel, tambul seringkali menjadi inti ritmis yang menyatukan berbagai instrumen dan pemain. Ini melambangkan pentingnya harmoni dan persatuan dalam masyarakat. Setiap pukulan tambul, meskipun berbeda, harus selaras dengan pukulan lainnya untuk menciptakan kesatuan suara yang indah. Ini mengajarkan pentingnya kerja sama, saling mendengarkan, dan menghargai peran masing-masing individu dalam suatu komunitas.
- Dua Sisi Kendang: Kendang dengan dua sisi membran (besar dan kecil) sering diinterpretasikan sebagai dualisme dalam kehidupan: maskulin dan feminin, siang dan malam, baik dan buruk. Keduanya harus dipukul secara seimbang untuk menciptakan harmoni, melambangkan pentingnya keseimbangan dalam hidup.
- Ansambel Kolektif: Pertunjukan bertambul seringkali merupakan upaya kolektif, di mana tidak ada satu pun pemain yang lebih penting dari yang lain. Semua berkontribusi pada penciptaan karya seni yang utuh, mencerminkan nilai gotong royong dan kebersamaan.
3. Kehidupan, Kelahiran, dan Kematian
Bunyi tambul sering dikaitkan dengan siklus kehidupan. Dentuman pertama bisa melambangkan detak jantung bayi yang baru lahir atau awal mula kehidupan. Ritme yang bersemangat bisa menggambarkan vitalitas dan gairah hidup. Sedangkan ritme yang lambat dan berat bisa melambangkan kesedihan, perpisahan, atau perjalanan menuju akhirat.
- Upacara Kelahiran dan Inisiasi: Di beberapa masyarakat, tambul dimainkan untuk menyambut kelahiran bayi atau dalam upacara inisiasi remaja, menandai transisi penting dalam hidup.
- Upacara Kematian: Suara tambul juga sering mengiringi upacara pemakaman, membantu mengantarkan arwah ke alam baka atau sebagai bentuk penghormatan terakhir.
4. Kekuatan, Semangat, dan Keberanian
Ritme yang cepat dan dinamis dari tambul, terutama dalam konteks tari perang atau ritual penyemangat, seringkali melambangkan kekuatan, keberanian, dan semangat juang. Suara tambul dapat membangkitkan adrenalin dan mempersiapkan mental individu untuk menghadapi tantangan. Ini terlihat jelas dalam tifa yang mengiringi tari perang Papua atau gendang beleq di Lombok yang membangkitkan semangat prajurit.
5. Transisi dan Perubahan
Bertambul sering digunakan sebagai penanda transisi. Dari pergantian hari (azan bedug), pergantian musim (ritual panen), hingga pergantian status sosial (pernikahan, penobatan raja). Suara tambul menandai momen-momen krusial dalam siklus waktu dan kehidupan manusia, memberikan struktur dan makna pada setiap perubahan.
6. Identitas dan Akar Budaya
Bagi banyak komunitas, jenis tambul dan cara memainkannya adalah bagian integral dari identitas budaya mereka. Suara tambul menjadi penanda asal-usul, sejarah, dan warisan leluhur. Ketika seseorang mendengar suara tambul tertentu, ia secara instan dapat mengidentifikasinya dengan suatu daerah atau kelompok etnis. Ini memperkuat rasa memiliki dan kebanggaan akan warisan budaya.
Memahami simbolisme dan makna filosofis bertambul memperkaya apresiasi kita terhadap instrumen ini. Ia bukan hanya sebuah objek fisik, melainkan sebuah wadah yang menyimpan kearifan lokal, sejarah panjang, dan jiwa dari masyarakat yang menciptakannya.
Bertambul di Era Modern: Adaptasi, Inovasi, dan Tantangan Pelestarian
Di tengah pusaran modernisasi dan globalisasi, tradisi bertambul menghadapi dinamika yang kompleks. Di satu sisi, ada ancaman pelestarian; di sisi lain, muncul peluang untuk adaptasi, inovasi, dan rekontekstualisasi yang menjamin keberlanjutannya.
1. Adaptasi dan Inovasi Musikal
Musisi kontemporer semakin tertarik untuk mengeksplorasi potensi bertambul di luar konteks tradisionalnya. Ini melahirkan bentuk-bentuk musik baru yang menarik:
- Fusi dengan Genre Modern: Kendang, rebana, atau tifa kini sering ditemukan dalam genre musik pop, rock, jazz, elektronik, hingga world music. Penggabungan ritme tradisional dengan instrumen modern menciptakan suara yang segar dan menarik bagi audiens baru.
- Eksperimentasi Suara: Para pemain tambul juga bereksperimen dengan teknik pukulan baru, penggunaan efek suara elektronik, atau modifikasi pada instrumen itu sendiri untuk menghasilkan palet suara yang lebih luas.
- Komposisi Kontemporer: Banyak komposer Indonesia yang menciptakan karya-karya orkestra atau ansambel baru yang secara khusus mengintegrasikan tambul tradisional sebagai elemen sentral, menunjukkan bahwa instrumen ini memiliki relevansi artistik yang abadi.
- Platform Digital: Seniman memanfaatkan YouTube, Spotify, dan media sosial lainnya untuk memperkenalkan musik bertambul kepada audiens global, memecahkan batasan geografis.
Adaptasi ini bukan berarti menghilangkan esensi tradisional, melainkan memperluas jangkauan dan daya tarik bertambul, membuktikan bahwa warisan budaya dapat tumbuh dan berkembang dalam konteks zaman baru.
2. Upaya Pelestarian dan Revitalisasi
Meskipun ada arus modernisasi, upaya pelestarian tradisi bertambul juga gencar dilakukan. Berbagai pihak menyadari pentingnya menjaga warisan ini tetap hidup.
- Sanggar dan Komunitas Seni: Di seluruh Indonesia, banyak sanggar seni dan komunitas lokal yang secara aktif mengajarkan teknik dan filosofi bertambul kepada generasi muda. Mereka menjadi benteng utama pelestarian.
- Pendidikan Formal: Beberapa institusi pendidikan tinggi seni di Indonesia (misalnya ISI dan ISBI) memiliki program studi yang fokus pada musik tradisional, termasuk bertambul, memastikan transmisi pengetahuan secara akademis.
- Festival dan Pertunjukan: Festival budaya lokal, nasional, hingga internasional seringkali menampilkan pertunjukan bertambul, memberikan panggung bagi para seniman dan mengenalkannya kepada masyarakat luas. Contohnya Festival Gamelan Internasional, Festival Bedug, atau festival seni daerah.
- Dokumentasi dan Penelitian: Peneliti, antropolog, dan etnomusikolog terus mendokumentasikan berbagai aspek bertambul, mulai dari sejarah, teknik, hingga makna sosialnya, sebagai arsip penting untuk masa depan.
- Regenerasi Seniman: Program pelatihan dan beasiswa sering diberikan untuk mendorong generasi muda agar mau belajar dan menjadi penerus tradisi bertambul.
3. Tantangan yang Dihadapi
Namun, di balik upaya pelestarian dan inovasi, bertambul juga menghadapi tantangan signifikan:
- Kurangnya Minat Generasi Muda: Daya tarik musik populer global seringkali menggeser minat anak muda terhadap musik tradisional. Banyak yang menganggapnya kuno atau kurang "keren".
- Globalisasi dan Homogenisasi Budaya: Arus budaya global dapat mengikis keunikan budaya lokal, termasuk tradisi bertambul, yang mungkin kalah bersaing dengan genre musik yang lebih dominan secara global.
- Regenerasi Pemain dan Pengrajin: Tidak mudah menemukan generasi baru yang mau mendedikasikan diri untuk menjadi pemain tambul atau, yang lebih krusial, menjadi pengrajin tambul yang mahir. Keahlian ini membutuhkan proses belajar yang panjang dan seringkali kurang menjanjikan secara ekonomi.
- Ketersediaan Bahan Baku: Beberapa jenis tambul membutuhkan kayu atau kulit hewan tertentu yang mungkin semakin langka atau dilindungi, menyulitkan proses pembuatan instrumen.
- Pemasaran dan Apresiasi: Promosi dan pemasaran pertunjukan bertambul masih perlu ditingkatkan agar dapat menarik audiens yang lebih luas dan mendapatkan apresiasi yang layak.
4. Masa Depan Bertambul
Masa depan bertambul sangat bergantung pada keseimbangan antara pelestarian akar tradisi dan keberanian untuk berinovasi. Dengan terus mendorong pendidikan, memberikan ruang bagi eksperimentasi artistik, dan meningkatkan kesadaran akan nilai budaya yang terkandung di dalamnya, bertambul dapat terus beresonansi dan menjadi bagian integral dari identitas budaya Indonesia yang dinamis. Ini adalah investasi budaya yang tak ternilai, memastikan bahwa detak jantung Nusantara akan terus berirama di setiap generasi.
Semangat untuk "bertambul" harus terus digelorakan. Bukan hanya untuk menjaga agar instrumen tidak punah, tetapi untuk memastikan bahwa nilai-nilai kebersamaan, harmoni, dan kearifan lokal yang diusungnya dapat terus menginspirasi dan memperkaya kehidupan kita semua.
Studi Kasus Regional: Keunikan Bertambul di Berbagai Penjuru Nusantara
Kekayaan bertambul di Indonesia tidak hanya terletak pada jenis-jenis instrumennya, tetapi juga pada bagaimana setiap daerah memberikan sentuhan unik, baik dalam bentuk, fungsi, maupun teknik permainannya. Setiap pukulan adalah cerminan dari lanskap budaya, sejarah, dan filosofi masyarakat setempat.
1. Jawa: Kendang dalam Gamelan yang Agung
Pulau Jawa adalah salah satu pusat kebudayaan dengan tradisi bertambul yang paling kaya, terutama dengan keberadaan gamelan. Kendang di Jawa bukan hanya sekadar instrumen ritmis; ia adalah "pemimpin" yang mengendalikan tempo dan dinamika seluruh ansambel gamelan. Tanpa kendang, gamelan tidak akan memiliki jiwa.
- Kendang Gamelan: Terdiri dari beberapa ukuran, mulai dari kendang ageng (paling besar, suara paling rendah), kendang ciblon (menengah, untuk variasi ritmis), hingga ketipung (kecil, ritme cepat). Bahan utamanya kayu nangka dengan kulit kerbau atau sapi.
- Peran dalam Gamelan: Pemain kendang harus memiliki kepekaan musikal yang tinggi untuk "berdialog" dengan penari, vokalis (sindhen), dan instrumen lainnya. Pukulan kendang memberikan isyarat untuk perubahan tempo, dinamika, atau transisi lagu.
- Filosofi: Kendang sering melambangkan hati atau emosi, yang menggerakkan dan menghidupkan seluruh tubuh (ansambel gamelan).
- Seni Terkait: Mengiringi tari Bedhaya, Srimpi, wayang kulit, ketoprak, dan berbagai upacara adat lainnya.
2. Bali: Kendang Lanang-Wadon yang Enerjik
Tradisi bertambul di Bali juga sangat kuat, terutama dalam ansambel gamelan Bali yang dikenal dengan ritme cepat dan energiknya. Kendang Bali memiliki kemiripan bentuk dengan kendang Jawa, namun gaya permainannya sangat berbeda.
- Kendang Lanang dan Kendang Wadon: Gamelan Bali sering menggunakan sepasang kendang, yaitu kendang lanang (laki-laki, suara lebih tinggi) dan kendang wadon (perempuan, suara lebih rendah). Keduanya dimainkan secara berdialog, saling mengisi dan membalas, menciptakan pola ritmis yang kompleks dan dinamis.
- Teknik Permainan: Pukulan kendang Bali lebih sering menggunakan telapak tangan dan jari dengan tenaga yang kuat, menghasilkan suara yang lantang dan penuh semangat, sangat cocok untuk mengiringi tari Barong, Rejang, atau Kecak.
- Material: Umumnya menggunakan kayu cempaka atau nangka dengan kulit sapi atau babi.
- Fungsi: Selain mengiringi tarian, kendang juga penting dalam upacara keagamaan Hindu-Bali seperti odalan, piodalan, atau kremasi (ngaben).
3. Sumatera: Dari Gendang Dol hingga Rebana dan Rapai
Pulau Sumatera memiliki ragam tambul yang sangat bervariasi, dari yang berukuran kolosal hingga yang berbingkai pipih.
- Dol (Bengkulu): Merupakan gendang berukuran sangat besar, menyerupai gentong, dengan satu sisi membran kulit sapi. Dol dimainkan dengan dua pemukul besar dan menjadi inti dari Festival Tabot, perayaan untuk mengenang gugurnya Imam Husain. Suara dol yang menggelegar menciptakan suasana sakral sekaligus meriah.
- Rapai (Aceh): Tambul berbingkai dari Aceh ini memiliki banyak jenis, seperti Rapai Geleng, Rapai Pase, dan Rapai Bubee. Rapai menjadi instrumen utama dalam kesenian Rapai Geleng, sebuah pertunjukan tari dan musik yang melibatkan puluhan penabuh rapai yang bergerak dan menari secara sinkron.
- Gendang Melayu (Riau, Kepri): Gendang ini sering mengiringi tari Zapin dan lagu-lagu Melayu, biasanya dimainkan berpasangan atau berkelompok untuk menciptakan ritme yang khas dan memikat.
- Gendang Tambur (Minangkabau): Mirip bedug namun lebih kecil, sering digunakan dalam upacara adat atau sebagai penanda di surau-surau.
4. Kalimantan: Gendang dalam Harmoni Dayak
Masyarakat Dayak di Kalimantan juga memiliki beragam jenis tambul yang menjadi bagian integral dari ritual dan seni mereka.
- Gendang Melayu/Dayak: Bentuknya silindris dengan dua membran. Digunakan dalam berbagai upacara adat seperti pernikahan, kematian, atau ritual pertanian. Ukiran pada badan gendang seringkali memiliki motif-motif Dayak yang kaya simbol.
- Tawaq: Meskipun bukan gendang membranofon, tawaq adalah gong besar dari Kalimantan yang juga instrumen pukul penting, sering berpadu dengan gendang untuk menciptakan ritme yang kaya dan melengkapi ansambel musik Dayak.
5. Sulawesi: Gendang dan Pukulan Khas Makassar
Di Sulawesi, gendang memiliki peran penting dalam berbagai upacara adat dan seni pertunjukan, terutama di Sulawesi Selatan.
- Gendang Makassar/Pattunrung: Gendang ini memiliki suara yang khas dan sering dimainkan dalam upacara adat Makassar seperti mappakaraja (penobatan raja), a'ngaru (sumpah setia), atau pesta pernikahan. Teknik permainannya seringkali melibatkan improvisasi dan pola ritme yang kompleks.
- Gendang Bugis: Mirip dengan gendang Makassar, sering digunakan dalam tari tradisional dan upacara adat masyarakat Bugis.
6. Papua dan Maluku: Tifa, Detak Jantung Hutan dan Lautan
Tifa adalah instrumen tambul paling ikonik dari wilayah timur Indonesia, khususnya Papua dan Maluku.
- Tifa: Berbentuk piala atau jam pasir, diukir dari kayu utuh (lenggua atau ipil) dengan satu membran kulit biawak atau rusa. Tifa dimainkan dengan tangan kosong, dan sering dihiasi dengan ukiran motif etnik yang memukau.
- Fungsi: Tifa adalah inti dari hampir setiap tarian, upacara adat, dan ritual penting masyarakat Papua dan Maluku. Ia mengiringi tari perang, tari penyambutan, upacara inisiasi, hingga ekspresi kegembiraan. Suara tifa adalah identitas yang tak terpisahkan dari masyarakat timur Indonesia.
- Variasi: Ada berbagai ukuran tifa, dari yang kecil dan ringan hingga yang sangat besar, masing-masing dengan karakteristik suara dan fungsi yang berbeda.
Setiap wilayah di Nusantara memiliki cerita bertambulnya sendiri, sebuah narasi yang terukir dalam setiap pukulan, setiap ritme, dan setiap resonansi. Ini adalah bukti tak terbantahkan akan kekayaan dan keunikan budaya Indonesia yang patut dilestarikan dan dibanggakan.
Masa Depan Bertambul: Peluang, Ancaman, dan Rekomendasi Pelestarian
Bertambul, sebagai detak jantung kebudayaan Indonesia, berdiri di persimpangan jalan antara tradisi yang kaya dan masa depan yang terus berubah. Untuk memastikan warisan ini terus hidup dan beresonansi bagi generasi mendatang, penting untuk memahami peluang dan ancaman, serta merumuskan rekomendasi strategis.
1. Peluang untuk Bertambul
Era modern, meskipun membawa tantangan, juga membuka berbagai peluang bagi bertambul:
- Keterbukaan Global Terhadap World Music: Dunia semakin menghargai keunikan dan otentisitas musik tradisional dari berbagai belahan dunia. Bertambul memiliki potensi besar untuk dikenal di panggung internasional sebagai bagian dari 'world music'.
- Inovasi dan Fusi Musikal: Kolaborasi dengan genre musik modern seperti jazz, pop, rock, atau elektronik dapat menciptakan karya-karya baru yang menarik bagi audiens yang lebih luas, termasuk generasi muda. Fusi ini tidak harus mengorbankan esensi tradisional, tetapi justru memperkaya.
- Teknologi Digital dan Media Sosial: Platform seperti YouTube, TikTok, Instagram, dan Spotify dapat menjadi alat yang ampuh untuk mempromosikan dan mendistribusikan konten bertambul, menjangkau jutaan orang secara instan. Video tutorial, pertunjukan virtual, atau kolaborasi daring dapat meningkatkan visibilitas.
- Pariwisata Budaya: Bertambul dapat menjadi daya tarik utama dalam paket pariwisata budaya. Pertunjukan otentik di desa-desa adat atau festival-festival besar dapat menarik wisatawan dan menciptakan peluang ekonomi bagi seniman lokal.
- Pendidikan dan Kurikulum: Integrasi bertambul ke dalam kurikulum pendidikan formal, baik di sekolah dasar hingga perguruan tinggi, dapat menumbuhkan minat dan pemahaman sejak dini.
- Filantropi dan Dukungan Pemerintah: Semakin banyak organisasi nirlaba, yayasan, dan program pemerintah yang memberikan dukungan finansial dan non-finansial untuk pelestarian seni tradisional.
2. Ancaman yang Perlu Diwaspadai
Bersamaan dengan peluang, ada beberapa ancaman serius yang mengintai kelangsungan bertambul:
- Alienasi Generasi Muda: Kurangnya minat dan apresiasi dari generasi muda, yang lebih terpapar pada budaya populer global, adalah ancaman terbesar. Mereka mungkin menganggap seni tradisional kuno atau tidak relevan.
- Ketergantungan pada Maestro Tua: Pengetahuan dan keahlian bertambul seringkali hanya dikuasai oleh segelintir maestro dan sesepuh. Jika tidak ada penerus, pengetahuan ini bisa hilang bersama mereka.
- Komodifikasi yang Berlebihan: Ketika bertambul hanya dilihat sebagai produk wisata tanpa menghargai nilai sakral atau budayanya, ia berisiko kehilangan kedalaman dan otentisitasnya.
- Kerusakan Lingkungan: Beberapa bahan baku tambul (kayu langka, kulit hewan tertentu) semakin sulit didapat karena deforestasi atau perlindungan satwa, mengancam keberlanjutan produksi instrumen.
- Globalisasi dan Homogenisasi: Tekanan untuk menyesuaikan diri dengan selera global dapat menyebabkan hilangnya keunikan dan kekhasan regional dari bertambul.
- Kurangnya Dokumentasi dan Penelitian: Banyak aspek bertambul yang belum terdokumentasi dengan baik, berisiko hilang tanpa jejak.
3. Rekomendasi Strategis untuk Pelestarian
Untuk menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang, diperlukan pendekatan multisektoral dan berkelanjutan:
- Pendidikan dan Literasi Budaya:
- Integrasi Kurikulum: Memasukkan pengenalan dan praktik bertambul ke dalam kurikulum pendidikan formal sejak dini.
- Program Ekstrakurikuler: Memperbanyak sanggar dan kegiatan ekstrakurikuler bertambul di sekolah dan komunitas.
- Workshop dan Pelatihan: Mengadakan workshop reguler untuk anak-anak dan remaja, diajar oleh maestro dan seniman lokal.
- Dukungan dan Apresiasi Seniman:
- Insentif: Memberikan beasiswa, hibah, atau penghargaan kepada para seniman dan pengrajin tambul untuk mendorong regenerasi.
- Ruang Kreasi: Menyediakan fasilitas dan dukungan untuk eksperimentasi dan inovasi musikal yang melibatkan bertambul.
- Kesejahteraan Seniman: Memastikan seniman mendapatkan penghasilan yang layak dari karyanya agar tradisi ini menarik bagi generasi muda sebagai profesi.
- Pemanfaatan Teknologi dan Media:
- Konten Digital Kreatif: Membuat video edukasi, dokumenter, dan pertunjukan berkualitas tinggi untuk platform digital.
- Arsip Digital: Membangun arsip digital yang komprehensif tentang berbagai jenis bertambul, sejarah, dan teknik permainannya.
- Kampanye Media Sosial: Mengadakan kampanye yang menarik dan relevan untuk meningkatkan kesadaran dan minat publik.
- Kolaborasi dan Jaringan:
- Antar-Komunitas: Mendorong pertukaran budaya dan kolaborasi antar-komunitas pemegang tradisi bertambul di seluruh Indonesia.
- Internasional: Membangun jaringan dengan musisi dan institusi seni internasional untuk pertukaran pengalaman dan peluang tampil.
- Lintas Sektor: Melibatkan pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat sipil dalam upaya pelestarian.
- Regulasi dan Perlindungan:
- Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual: Melindungi seni bertambul sebagai warisan budaya tak benda Indonesia.
- Kebijakan Lingkungan: Mendukung praktik keberlanjutan dalam pengadaan bahan baku instrumen.
Dengan langkah-langkah proaktif ini, bertambul tidak hanya akan bertahan, tetapi juga akan terus berkembang, menjadi simbol kebanggaan nasional dan sumber inspirasi yang tak terbatas bagi dunia. Suara tambul adalah janji bahwa Indonesia akan selalu memiliki detak jantung yang berirama, kaya akan sejarah, dan penuh dengan makna.
Penutup: Gema Tak Berkesudahan
Perjalanan kita dalam menjelajahi dunia "bertambul" telah mengungkapkan betapa dalamnya akar dan luasnya jangkauan instrumen pukul tradisional di Nusantara ini. Dari detak primal manusia purba, resonansi candi-candi megah, gema panggilan ibadah, hingga irama modern yang berkolaborasi dengan teknologi, tambul telah membuktikan dirinya sebagai penjaga waktu, pencerita kisah, dan penjembatan spiritual.
Lebih dari sekadar alat musik, bertambul adalah cerminan filosofi hidup masyarakat Indonesia: tentang harmoni dalam perbedaan, kekuatan dalam persatuan, kebijaksanaan alam, dan keabadian jiwa. Setiap pukulan adalah denyut nadi yang berirama, mengalirkan kehidupan dari generasi ke generasi, membawa serta nilai-nilai luhur yang membentuk identitas bangsa.
Dalam menghadapi tantangan zaman, semangat untuk melestarikan dan mengembangkan bertambul adalah sebuah keharusan. Ini bukan hanya tugas para seniman dan budayawan, melainkan tanggung jawab kolektif kita semua. Dengan terus belajar, mengapresiasi, mendukung, dan berinovasi, kita memastikan bahwa gema tambul akan terus berkesudahan, mengisi ruang dan waktu dengan melodi dan ritme yang tak lekang oleh zaman. Semoga artikel ini dapat memperkaya pemahaman kita dan memantik semangat untuk lebih mencintai serta melestarikan warisan budaya Indonesia yang tak ternilai ini.
Mari terus bertambul, karena dalam setiap dentumannya, kita menemukan kembali diri kita, akar kita, dan melodi abadi dari Nusantara.