Gelembung Hiperbola: Perbedaan antara realitas kecil dan narasi yang dilebih-lebihkan.
Fenomena melebih-lebihkan, atau yang seringkali dikenal sebagai hiperbola dalam konteks retorika, merupakan salah satu aspek yang paling inheren dalam interaksi dan komunikasi manusia. Ia tidak hanya sekadar alat linguistik untuk menekankan poin, namun telah menjelma menjadi sebuah mekanisme psikologis dan sosial yang kompleks, membentuk persepsi kita terhadap diri sendiri, orang lain, dan dunia di sekitar kita. Tindakan ini—memperbesar fakta, mendramatisasi peristiwa, atau mengamplifikasi emosi—adalah pedang bermata dua: ia bisa menghidupkan narasi yang kering, tetapi juga berpotensi mengikis fondasi kepercayaan.
Melebih-lebihkan adalah pelarian dari batasan realitas yang terkadang terasa monoton atau tidak memuaskan. Dalam esensi dasarnya, ia adalah modifikasi intensitas. Suatu insiden yang 'agak buruk' diubah menjadi 'bencana terparah abad ini'; rasa lapar yang normal diubah menjadi 'kelaparan yang bisa melahap seekor gajah'. Analisis mendalam terhadap kecenderungan ini memerlukan eksplorasi tidak hanya pada apa yang kita katakan, tetapi mengapa kita merasa perlu mengatakan hal tersebut dengan intensitas yang lebih besar dari yang sebenarnya terjadi.
Secara evolusioner, kemampuan untuk melebih-lebihkan bahaya (misalnya, membuat suara gemerisik daun terdengar seperti langkah pemangsa raksasa) mungkin pernah menjadi mekanisme pertahanan yang berguna. Namun, dalam masyarakat modern, hiperbola lebih sering berfungsi sebagai alat sosial untuk menarik perhatian, menciptakan identitas yang menonjol, atau memanipulasi opini. Kehadirannya tidak terbatas pada ranah pribadi; ia merajalela di pasar, media, politik, dan bahkan dalam pelaporan sains.
Mengapa individu, bahkan yang berintegritas tinggi, sesekali tergoda untuk mengubah kebenaran menjadi sesuatu yang lebih besar atau lebih kecil dari proporsi sebenarnya? Jawaban atas pertanyaan ini seringkali berakar dalam kebutuhan mendasar manusia: pengakuan, validasi, dan kontrol terhadap narasi personal.
Di era di mana perhatian adalah mata uang yang paling berharga (Attention Economy), narasi yang biasa-biasa saja akan tenggelam. Melebih-lebihkan berfungsi sebagai 'penarik perhatian' yang kuat. Seseorang mungkin melebih-lebihkan pencapaiannya di tempat kerja atau kesulitan dalam hidupnya agar kisah tersebut memiliki 'nilai kejut' (shock value) yang cukup untuk diperhatikan oleh lingkungan sosialnya.
Manusia secara inheren rentan terhadap bias kognitif. Bias optimisme, misalnya, menyebabkan kita melebih-lebihkan kemungkinan hasil positif sambil meremehkan risiko negatif. Dalam konteks narasi pribadi, ini diwujudkan ketika kita melebih-lebihkan persiapan kita untuk suatu ujian ('Saya sudah belajar 100 jam tanpa tidur!') atau kemampuan kita untuk menyelesaikan tugas yang sulit.
Dorongan untuk mengendalikan narasi adalah motor penggerak hiperbola. Ketika fakta mentah tidak mendukung argumen kita, modifikasi intensitas menjadi taktik yang efektif. Ini bukan selalu kebohongan total, melainkan distorsi skala yang strategis untuk memenangkan perdebatan atau membela posisi diri.
Tidak semua bentuk melebih-lebihkan bersifat destruktif. Dalam banyak konteks, hiperbola adalah seni komunikasi yang memperkaya pengalaman mendengarkan atau membaca. Ia adalah bumbu yang membuat cerita menjadi lezat dan mengesankan.
Dalam sastra, hiperbola diakui sebagai figur retorika yang sah. Tujuannya adalah untuk menciptakan gambar mental yang jelas, menekankan kontras, atau membangkitkan respons emosional yang kuat. Penyair dan penulis memanfaatkan kelebihan ini untuk melampaui deskripsi harfiah, membawa pembaca ke ranah imajinasi yang diperluas.
Misalnya, menyatakan bahwa 'air matanya membanjiri seluruh desa' jelas bukan pernyataan faktual, tetapi secara instan mengomunikasikan kedalaman kesedihan yang tak terukur. Penggunaan hiperbola yang disengaja dan artistik ini diterima karena adanya 'kontrak' antara penulis dan pembaca: pembaca mengetahui bahwa pernyataan tersebut tidak dimaksudkan untuk ditanggapi secara harfiah.
Di lingkungan sosial, hiperbola adalah bahan bakar utama bagi gosip dan rumor. Informasi, ketika berpindah dari satu mulut ke mulut yang lain, cenderung mengalami amplifikasi. Detail yang biasa-biasa saja diubah menjadi skandal yang mengejutkan. Proses ini terjadi karena beberapa faktor:
Namun, dalam ranah sosial ini, batas antara hiperbola yang tidak berbahaya dan distorsi yang merusak reputasi sangatlah tipis. Ketika amplifikasi menghilangkan kebenaran inti dan menggantikannya dengan fabrikasi dramatis, ia menjadi fitnah.
Di luar komunikasi pribadi, melebih-lebihkan adalah taktik profesional yang digunakan secara sistematis di berbagai industri untuk mencapai tujuan ekonomi atau kekuasaan. Di sini, hiperbola bukan lagi gaya, melainkan strategi yang dikalkulasi.
Dalam dunia periklanan, konsep 'puffery' sangat relevan. Puffery adalah klaim yang sangat dilebih-lebihkan atau subyektif yang tidak dapat diuji secara faktual dan diharapkan tidak dianggap serius oleh konsumen yang rasional. Contohnya adalah iklan yang menyatakan, 'Ini adalah kopi terbaik di alam semesta'. Hukum umumnya memperbolehkan puffery karena dianggap sebagai retorika promosi yang tidak menimbulkan kerugian nyata.
Namun, garis antara puffery yang sah dan klaim palsu yang dapat dituntut sangatlah kabur. Masalah muncul ketika hiperbola mencakup detail spesifik yang dapat diverifikasi (misalnya, melebih-lebihkan persentase efektivitas produk, kapasitas baterai, atau durasi layanan). Ketika amplifikasi mencapai level ini, ia bertransformasi menjadi penipuan yang etisnya dipertanyakan dan seringkali ilegal.
Iklan yang melebih-lebihkan menargetkan emosi daripada logika. Mereka menjual harapan dan identitas yang diperbesar. Konsumen tidak hanya membeli deterjen, mereka membeli janji bahwa hidup mereka akan menjadi 'lima kali lebih bersih dan bebas dari kekhawatiran'—sebuah hiperbola gaya hidup yang jauh dari realitas produk itu sendiri.
Politik adalah medan yang subur bagi melebih-lebihkan. Di sini, hiperbola digunakan untuk menggalang dukungan, mendemonstrasikan kekuatan, atau mendiskreditkan lawan. Politisi cenderung melebih-lebihkan keberhasilan mereka sendiri ('Angka pengangguran telah turun ke level terendah dalam sejarah umat manusia!') dan secara dramatis melebih-lebihkan kegagalan lawan ('Kebijakan mereka akan menghancurkan perekonomian dalam semalam!').
Salah satu taktik paling ampuh dalam propaganda adalah menciptakan narasi krisis yang diperbesar. Ancaman nyata mungkin ada, tetapi intensitasnya ditingkatkan secara eksponensial untuk membenarkan tindakan ekstrem, memobilisasi massa, atau mengalihkan perhatian dari isu-isu domestik yang sensitif. Ketika retorika politik selalu berada dalam mode hiperbola ('Darurat Nasional!'), publik menjadi terbiasa, dan sensitivitas mereka terhadap ancaman nyata justru berkurang—fenomena yang dikenal sebagai 'kelelahan krisis' (crisis fatigue).
Media sosial telah menjadi katalisator terbesar untuk hiperbola pribadi. Platform ini mendorong individu untuk menyusun citra diri yang disempurnakan—sebuah versi yang jauh lebih besar, lebih bahagia, dan lebih sukses dari realitas sehari-hari mereka. Ini melahirkan era 'Hiper-Realisme' digital, di mana realitas tidak diwakili, melainkan diproduksi secara berlebihan.
Pengguna secara naluriah tahu bahwa hanya momen puncak dan peristiwa paling dramatis dalam hidup mereka yang layak diunggah. Pernikahan menjadi 'perayaan paling epik sepanjang masa'; makanan menjadi 'pengalaman kuliner yang melampaui batas'. Ini menciptakan lingkaran umpan balik yang merusak: semakin banyak orang melebih-lebihkan hidup mereka, semakin besar tekanan pada orang lain untuk melakukan hal yang sama agar tidak terlihat 'gagal' atau 'biasa-biasa saja'.
Sistem metrik digital, seperti jumlah suka atau tayangan, secara inheren mendorong hiperbola. Sebuah video harus menjanjikan 'rahasia yang akan mengubah hidup Anda selamanya' agar mendapatkan klik. Judul yang jujur—'Saya mencoba resep kue baru hari ini'—tidak akan bersaing dengan judul yang dilebih-lebihkan—'Resep Kue Ini Menyelamatkan Pernikahan Saya!'. Nilai konten diukur bukan dari keasliannya, tetapi dari tingkat dramatisasi yang berhasil diciptakan.
Para influencer, yang mata pencahariannya bergantung pada keterlibatan audiens, seringkali didorong untuk melebih-lebihkan pengalaman mereka, baik itu dalam hal kemewahan perjalanan, keindahan fisik yang dicapai melalui filter, atau keparahan suatu penderitaan (dikenal sebagai “trauma dumping” yang dilebih-lebihkan).
Dalam konteks berita palsu dan teori konspirasi, melebih-lebihkan adalah alat diseminasi utama. Klaim yang sensasional dan diperbesar secara dramatis (misalnya, 'Pemerintah diam-diam menculik semua anak!') jauh lebih menarik dan mudah menyebar daripada analisis fakta yang rumit dan nuansatif. Hiperbola dalam misinformasi bertujuan untuk memicu ketakutan dan kemarahan instan, yang mengesampingkan pemikiran kritis.
Meskipun hiperbola dapat berfungsi sebagai alat sastra atau promosi, ketika menjadi modus operandi standar dalam komunikasi, ia membawa konsekuensi sosial dan psikologis yang signifikan.
Konsekuensi paling mendasar dari melebih-lebihkan yang terus-menerus adalah erosi kepercayaan. Ketika pendengar atau pembaca berulang kali dihadapkan pada narasi yang terbukti tidak sesuai dengan realitas, mereka mengembangkan tingkat skeptisisme yang tinggi terhadap semua bentuk komunikasi. Ini menciptakan “krisis kredibilitas” di mana publik kesulitan membedakan antara ancaman nyata, klaim yang kredibel, dan kebohongan yang diperbesar.
Dalam ranah pribadi, seseorang yang dikenal sering melebih-lebihkan akan kehilangan bobot kata-katanya. Bahkan ketika mereka menyampaikan kebenaran yang penting, audiens mereka cenderung mengurangi intensitas pesan tersebut secara otomatis, mengasumsikan adanya hiperbola tersembunyi.
Ironisnya, melebih-lebihkan kesulitan atau penderitaan pribadi, yang dimaksudkan untuk menarik empati, seringkali menghasilkan efek sebaliknya. Jika setiap masalah kecil dilebih-lebihkan menjadi tragedi besar, ketika krisis nyata melanda, kemampuan orang lain untuk merespons dengan intensitas yang sesuai akan tumpul. Ini menciptakan fenomena di mana penderitaan yang sah pun diabaikan karena audiens sudah “terlalu sering mendengar serigala” (The Boy Who Cried Wolf).
Secara internal, kecenderungan untuk melebih-lebihkan pengalaman buruk dapat memperburuk kecemasan dan stres. Ketika pikiran secara konsisten mengubah tantangan kecil menjadi hambatan yang tidak dapat diatasi, individu tersebut hidup dalam keadaan darurat mental yang konstan. Ini dapat berkontribusi pada gejala seperti Catastrophizing, di mana seseorang selalu menganggap hasil terburuk mutlak sebagai kemungkinan yang paling mungkin.
Untuk memahami sepenuhnya fenomena ini, penting untuk mengklasifikasikan tindakan melebih-lebihkan berdasarkan intensi dan fokusnya:
Ini terjadi ketika individu melebih-lebihkan kesulitan yang mereka hadapi untuk menjelaskan kegagalan atau kinerja yang buruk. Fungsi utamanya adalah melindungi ego dan citra diri dari kritik. Dengan menyatakan bahwa 'proyek itu mustahil, bahkan bagi para ahli', mereka menempatkan diri di posisi pahlawan yang kalah, bukan orang yang tidak kompeten.
Jenis ini dominan dalam pemasaran dan narasi diri di media sosial. Fokusnya adalah meningkatkan persepsi nilai atau pentingnya subjek. Melebih-lebihkan kesuksesan, kekayaan, atau pengalaman ekstrem. Tujuannya adalah untuk menarik sumber daya (uang, koneksi, perhatian) dengan mengasumsikan aura keunggulan yang tidak proporsional.
Digunakan dalam konflik atau politik, tujuannya adalah untuk memperbesar kelemahan, ancaman, atau kejahatan lawan. Ini adalah alat intimidasi. Dengan melebih-lebihkan bahaya yang ditimbulkan oleh kelompok lain, narator membenarkan permusuhan atau penolakan total. Ini adalah taktik polarisasi yang efektif.
Bagaimana otak kita memproses informasi yang dilebih-lebihkan? Meskipun kita tahu secara sadar bahwa “kopi terbaik di alam semesta” adalah pernyataan yang konyol, hiperbola masih efektif karena memicu jalur kognitif tertentu.
Hiperbola tidak berusaha meyakinkan secara logis; ia berusaha membangkitkan emosi. Pernyataan yang kuat menghasilkan respons emosional yang lebih cepat dan intens dibandingkan dengan pernyataan yang netral dan berhati-hati. Emosi, pada gilirannya, meningkatkan daya ingat. Kita lebih cenderung mengingat cerita yang 'paling lucu yang pernah ada' daripada cerita yang 'cukup lucu'.
Dalam komunikasi modern, pengulangan klaim yang dilebih-lebihkan (misalnya, di iklan atau media politik) membuat klaim tersebut terasa lebih benar dari waktu ke waktu. Efek Frekuensi, atau ilusi kebenaran, menyebabkan kita menyamakan intensitas pengulangan dengan keakuratan. Ketika narasi krisis dipompa secara hiperbolis setiap hari, otak mulai menginternalisasikannya sebagai fakta, terlepas dari bukti empiris.
Karena kita dibanjiri informasi, kita menggunakan jalan pintas mental (heuristik) untuk memprosesnya. Hiperbola adalah jalan pintas yang efektif. Ketika seseorang menyatakan 'semua orang sudah melakukannya', hiperbola tersebut berfungsi sebagai isyarat sosial (social proof) yang kuat, memungkinkan kita untuk menghindari penelitian mendalam. Kita cenderung menerima premis yang dilebih-lebihkan secara instan untuk menghemat energi kognitif.
Salah satu area di mana melebih-lebihkan memiliki konsekuensi paling serius adalah dalam pelaporan temuan ilmiah. Meskipun sains didasarkan pada ketelitian dan kehati-hatian, proses penyampaiannya kepada publik seringkali membutuhkan dramatisasi.
Para ilmuwan sendiri mungkin melebih-lebihkan signifikansi temuan mereka untuk mengamankan pendanaan atau publikasi. Namun, amplifikasi terbesar terjadi ketika temuan tersebut melewati 'gerbang' komunikasi ilmiah ke jurnalisme populer.
Jurnalisme sains seringkali harus menyederhanakan penelitian yang kompleks menjadi 'cerita' yang menarik. Akibatnya, hubungan yang lemah dalam penelitian dapat diubah menjadi klaim kausal yang pasti ('Penemuan ini menyembuhkan kanker!'), efek yang kecil diperbesar menjadi 'terobosan monumental', dan hasil studi pada hewan diubah menjadi janji pengobatan bagi manusia.
Fenomena ini berkontribusi pada 'Janji Palsu' (False Hope) di masyarakat dan juga memperparah krisis replikasi (replication crisis) dalam sains, karena klaim awal yang dilebih-lebihkan gagal direplikasi oleh peneliti lain dengan hasil yang sama dramatisnya.
Melebih-lebihkan dalam jurnalisme (Sensasionalisme) seringkali disengaja untuk meningkatkan jumlah pembaca atau klik. Judul yang hiperbolis (clickbait) menjanjikan kejutan yang jarang dipenuhi oleh isi artikel itu sendiri. Praktik ini merusak integritas media secara keseluruhan dan melatih konsumen untuk mencari stimulasi ekstrem, membuat berita faktual yang seimbang terasa membosankan.
Secara etika, batas antara melebih-lebihkan yang dapat diterima dan kebohongan yang merusak terletak pada intensi dan ekspektasi audiens.
Di ruang komedi, politik, atau sastra, audiens memiliki toleransi yang tinggi terhadap hiperbola. Mereka memasuki 'kontrak fiksi' di mana mereka tahu bahwa pernyataan tersebut tidak 100% literal. Namun, dalam konteks profesional, hukum, atau medis, toleransi terhadap amplifikasi adalah nol.
Sebuah kebohongan adalah pernyataan yang secara faktual salah, disampaikan dengan maksud menipu. Hiperbola, dalam bentuknya yang paling murni, adalah pernyataan yang secara faktual benar pada intinya, tetapi skala atau intensitasnya sengaja ditingkatkan. Garisnya dilanggar ketika peningkatan skala tersebut menghilangkan makna faktual inti, atau ketika intensitas palsu tersebut menimbulkan kerugian nyata atau kerugian finansial pada pihak lain.
Melebih-lebihkan yang berfokus pada kualitas (misalnya, 'rasa yang paling surgawi') lebih mudah diterima sebagai puffery. Namun, ketika amplifikasi menyentuh aspek kuantitatif (angka, data, persentase), risiko etika meningkat drastis. Melebih-lebihkan 'dua kali lipat' keuntungan Anda padahal hanya meningkat 5% adalah kebohongan yang disamarkan sebagai hiperbola.
Dalam mencari komunikasi yang lebih autentik dan kredibel, individu perlu menyadari dan mengelola dorongan untuk selalu melebih-lebihkan.
Salah satu tantangan terbesar adalah menerima bahwa realitas seringkali penuh dengan nuansa dan keabu-abuan, bukan hitam atau putih dramatis. Mengakui bahwa suatu kejadian 'cukup menantang' atau 'sedikit di atas rata-rata' memerlukan kedewasaan dan keberanian untuk menolak daya tarik sensasionalisme. Ini adalah praktik komunikasi yang disebut “radikal kejujuran”—kemauan untuk melaporkan keadaan secara tepat, tanpa bumbu.
Sebelum menyampaikan suatu klaim, penting untuk melakukan pemeriksaan diri. Tanyakan: Apa intensi saya? Apakah saya melebih-lebihkan ini untuk mendapatkan perhatian atau untuk mengkomunikasikan kebenaran? Jika narasi tersebut disajikan tanpa hiperbola, apakah ia masih memiliki nilai? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini membantu menormalkan kebenaran yang tidak berlebihan.
Dalam lingkungan kerja atau akademik, menghindari hiperbola berarti melatih diri untuk menggunakan data yang akurat dan bahasa yang spesifik. Daripada mengatakan 'Semua orang di tim saya sangat sibuk', sampaikan 'Beban kerja rata-rata tim saya telah meningkat 25% dalam kuartal terakhir'. Spesifisitas melawan amplifikasi. Detail yang akurat seringkali lebih meyakinkan daripada klaim yang paling dramatis.
Kecenderungan untuk melebih-lebihkan tidak hanya membentuk narasi personal, tetapi juga narasi kolektif, terutama dalam penulisan sejarah dan mitos pendirian suatu bangsa atau komunitas.
Sejarah sering kali tidak dicatat secara steril, melainkan disaring melalui lensa kepentingan nasional dan kebutuhan psikologis untuk memiliki identitas yang mulia. Kemenangan dalam perang dilebih-lebihkan menjadi 'keajaiban militer yang tak tertandingi'; para pendiri dilebih-lebihkan menjadi figur yang nyaris tanpa cacat moral. Hiperbola heroik ini berfungsi untuk memperkuat kohesi sosial dan menanamkan rasa bangga pada generasi berikutnya.
Mitos yang dilebih-lebihkan ini, meskipun mungkin menyimpang dari kebenaran faktual, memiliki fungsi sosiologis yang vital: mereka memberikan makna, tujuan, dan landasan moral bagi komunitas. Tantangannya adalah bagaimana mengapresiasi fungsi mitos ini tanpa membiarkan distorsi tersebut merusak penelitian historis yang jujur.
Sebaliknya, trauma dan tragedi kolektif juga sering dilebih-lebihkan dalam retrospeksi, bukan untuk membesar-besarkan penderitaan (yang mungkin sudah sangat besar), tetapi untuk memastikan bahwa peristiwa tersebut tidak pernah terlupakan dan untuk memperkuat klaim moral atas keadilan atau reparasi. Dalam beberapa kasus, peningkatan skala penderitaan ini dapat menjadi kontroversial, terutama ketika angka-angka korban dilebih-lebihkan oleh berbagai pihak yang bersaing untuk mendapatkan pengakuan sebagai korban terbesar.
Dalam konteks bisnis dan manajemen proyek, melebih-lebihkan paling sering terlihat dalam janji yang diberikan di awal ('overpromising'). Budaya kerja yang menghargai optimisme yang tidak realistis mendorong karyawan atau perusahaan untuk melebih-lebihkan kemampuan, kecepatan, dan hasil yang dapat mereka capai.
Ketika manajemen secara hiperbolis menjanjikan peluncuran produk yang “revolusioner” dalam waktu dua bulan, padahal tim tahu itu membutuhkan setidaknya enam bulan, hasilnya adalah stres kronis, kelelahan, dan pada akhirnya, “underdelivering” (menyampaikan hasil di bawah ekspektasi yang dilebih-lebihkan). Siklus ini menghancurkan moral tim dan kredibilitas kepemimpinan.
Perusahaan yang secara konsisten melebih-lebihkan janji produk mereka menciptakan ekspektasi konsumen yang tidak mungkin dipenuhi, yang mengarah pada ulasan buruk, hilangnya loyalitas pelanggan, dan kerusakan merek jangka panjang. Dalam jangka panjang, kehati-hatian dan janji yang realistis menghasilkan loyalitas yang jauh lebih besar daripada janji hiperbolis yang gagal.
Jika melebih-lebihkan adalah pelarian dari realitas, maka komunikasi yang autentik adalah perangkulan realitas dengan segala kompleksitasnya. Filsafat komunikasi yang sehat menghargai presisi dan kesesuaian antara kata dan dunia.
Sebuah deskripsi yang tepat, yang menggunakan kata yang paling akurat daripada yang paling dramatis, memiliki kekuatan yang jauh lebih mendalam. Ketika seseorang secara sadar memilih kata 'sulit' alih-alih 'mustahil', kata 'sulit' tersebut mendapatkan bobot dan kredibilitas. Kebiasaan ini memerlukan disiplin linguistik yang menolak godaan untuk mencapai intensitas instan melalui amplifikasi. Pesan yang jujur tidak membutuhkan volume yang tinggi untuk didengar.
Budaya hiperbola modern mengajari kita bahwa hanya yang luar biasa dan yang ekstrem yang layak untuk dibicarakan atau dihargai. Komunikasi yang sehat memerlukan pergeseran fokus, menghargai detail-detail kecil dan momen-momen biasa. Ini adalah penolakan terhadap narasi bahwa kebahagiaan harus selalu 'maksimal' atau penderitaan harus selalu 'tak tertahankan'. Kehidupan sehari-hari, ketika digambarkan dengan kejujuran, seringkali mengandung drama dan keindahan yang jauh lebih kaya daripada narasi yang dilebih-lebihkan.
Melebih-lebihkan adalah cerminan dari kompleksitas psikis dan sosial kita. Ia adalah sebuah mekanisme yang serbaguna: alat untuk seni, taktik untuk pemasaran, perisai untuk ego, dan senjata dalam perang politik. Kehadirannya yang meresap menuntut kita untuk menjadi konsumen informasi yang cerdas, yang secara konstan menyaring klaim yang disajikan kepada kita.
Kemampuan untuk melebih-lebihkan mungkin tidak akan pernah hilang dari sifat manusia, karena ia memuaskan kebutuhan mendalam kita akan drama, pengakuan, dan kejelasan yang seringkali tidak ditawarkan oleh realitas yang serba kacau. Tantangan modern kita bukanlah menghilangkan hiperbola sepenuhnya—karena ia terlalu berharga sebagai bumbu sastra—tetapi untuk mengendalikannya.
Kita harus belajar mengidentifikasi kapan hiperbola digunakan secara strategis untuk menipu atau memanipulasi, dan kapan ia hanyalah ekspresi emosional yang tidak berbahaya. Dengan mengembangkan toleransi yang lebih tinggi terhadap kebenaran yang tidak sensasional, dan dengan menghargai keindahan serta bobot dari kata-kata yang akurat, kita dapat mulai membangun kembali fondasi kepercayaan yang tergerus oleh era komunikasi yang terlampau dramatis.
Jalan menuju komunikasi yang lebih kredibel dimulai dengan pengakuan bahwa kebenaran, bahkan dalam bentuknya yang paling sederhana dan paling biasa, memiliki daya tarik yang melebihi narasi yang paling liar sekalipun. Kualitas narasi sejati terletak pada kejujuran, bukan pada intensitas yang dipaksakan.