Melanoma, meskipun relatif jarang dibandingkan dengan karsinoma sel basal atau sel skuamosa, merupakan bentuk kanker kulit yang paling mematikan. Keganasan ini berasal dari melanosit, sel-sel pigmen yang bertanggung jawab menghasilkan melanin—zat yang memberi warna pada kulit, rambut, dan mata. Meskipun sering muncul di kulit, melanoma juga dapat berkembang di area lain seperti mata (melanoma okular) dan selaput lendir (melanoma mukosa).
Tingkat agresivitas melanoma terletak pada kecenderungannya untuk bermetastasis dengan cepat ke organ dan jaringan yang jauh, bahkan ketika lesi primer masih berukuran kecil. Oleh karena itu, pemahaman mendalam tentang faktor risiko, deteksi dini, dan penatalaksanaan mutakhir sangat penting dalam upaya peningkatan prognosis dan kelangsungan hidup pasien.
Melanoma adalah penyakit multifaktorial, di mana interaksi kompleks antara faktor lingkungan (terutama paparan ultraviolet) dan predisposisi genetik menentukan risiko seseorang untuk mengembangkannya. Pemahaman terhadap faktor-faktor risiko ini menjadi landasan utama bagi strategi pencegahan yang efektif.
Paparan radiasi ultraviolet, baik dari matahari maupun sumber buatan seperti tempat penyamakan kulit (tanning beds), adalah faktor lingkungan yang paling signifikan. Radiasi UV diklasifikasikan menjadi UVA dan UVB, yang masing-masing memiliki peran berbeda dalam merusak melanosit.
UVB (290–320 nm) adalah penyebab utama luka bakar matahari (sunburn). Kerusakan DNA akibat UVB bersifat langsung, menyebabkan pembentukan dimer pirimidin (seperti dimer siklobutana pirimidin atau CPD) yang jika tidak diperbaiki oleh mekanisme perbaikan seluler, dapat memicu mutasi pada gen penting, termasuk tumor supresor.
UVA (320–400 nm) menembus lebih dalam ke lapisan dermis dan dikaitkan dengan penuaan dini, namun juga berperan dalam karsinogenesis. UVA menyebabkan kerusakan DNA tidak langsung melalui produksi spesies oksigen reaktif (ROS), yang menghasilkan kerusakan oksidatif pada DNA, protein, dan lipid. Paparan kronis UVA, sering dikaitkan dengan penggunaan tanning beds, meningkatkan risiko melanoma secara substansial.
Sekitar 5 hingga 10 persen kasus melanoma terjadi pada anggota keluarga, mengindikasikan adanya sindrom melanoma familial.
Ini adalah gen predisposisi melanoma yang paling umum. Gen CDKN2A mengkode dua protein penting: p16 (penghambat kinase yang mengatur siklus sel G1) dan p14ARF (yang menstabilkan p53). Mutasi pada CDKN2A sangat meningkatkan risiko melanoma dan seringkali dikaitkan dengan sindrom nevus atipikal familial (FAMMM).
Meskipun lebih jarang, mutasi pada gen CDK4 (Cyclin-Dependent Kinase 4) juga dapat menyebabkan predisposisi melanoma herediter. CDK4 berfungsi dalam jalur sinyal yang mengatur proliferasi sel, dan mutasi ini sering membuat sel resisten terhadap kontrol yang diatur oleh p16.
Karakteristik fisik individu memainkan peran penting dalam kerentanan terhadap melanoma:
Perkembangan melanoma adalah proses bertahap yang melibatkan akumulasi mutasi genetik yang mengganggu jalur sinyal seluler yang mengatur pertumbuhan, diferensiasi, dan apoptosis. Kemajuan dalam onkologi molekuler telah mengidentifikasi beberapa jalur sinyal utama yang mengalami disregulasi.
Jalur Mitogen-Activated Protein Kinase (MAPK) adalah jalur sinyal terpenting yang mendorong proliferasi sel melanosit. Jalur ini terdiri dari serangkaian protein kinase yang, ketika diaktifkan, memberikan sinyal pertumbuhan dari permukaan sel ke inti sel.
Mutasi gen BRAF adalah kelainan genetik yang paling sering ditemukan pada melanoma (terjadi pada sekitar 40–50% kasus). Mutasi yang paling umum adalah V600E, di mana asam amino valin digantikan oleh asam glutamat pada posisi 600. Mutasi ini menghasilkan protein BRAF yang secara konstitutif aktif (selalu 'hidup'), yang secara independen mendorong jalur MAPK, memicu pertumbuhan sel tanpa perlu sinyal eksternal.
Mutasi gen NRAS terjadi pada sekitar 15–20% melanoma, seringkali pada pasien yang hasil tes BRAF-nya negatif. NRAS adalah anggota keluarga protein RAS yang merupakan hulu dari BRAF. Mutasi NRAS juga menghasilkan aktivasi terus-menerus pada jalur MAPK, meskipun memiliki karakteristik klinis yang berbeda dan prognosis yang umumnya lebih buruk dibandingkan melanoma BRAF-mutan.
Salah satu ciri khas keganasan adalah kemampuan sel untuk berproliferasi tanpa batas (imortalitas). Hal ini sering dicapai melalui pengaktifan ulang telomerase, sebuah enzim yang mempertahankan panjang telomer (ujung kromosom).
Mutasi pada promotor gen TERT (komponen katalitik telomerase) adalah mutasi non-pengkodean yang paling umum pada melanoma. Mutasi ini meningkatkan ekspresi TERT secara signifikan, memberikan sel-sel melanoma kemampuan untuk membelah tanpa mengalami penuaan seluler (senescence).
Melanoma adalah salah satu tumor yang paling bersifat imunogenik, artinya sistem kekebalan tubuh seringkali mencoba menyerangnya. Namun, sel melanoma telah mengembangkan mekanisme yang canggih untuk menghindari deteksi imun, terutama melalui ekspresi molekul checkpoint imun seperti PD-L1 (Programmed Death-Ligand 1). Interaksi PD-L1 dengan reseptor PD-1 pada sel T menyebabkan 'pemutusan' serangan imun, yang memungkinkan tumor untuk tumbuh tanpa hambatan. Pemahaman ini menjadi dasar bagi terapi imun modern.
Melanoma diklasifikasikan berdasarkan penampilan klinis dan pola pertumbuhannya di bawah mikroskop. Mengetahui subtipe sangat penting karena memengaruhi perilaku biologis tumor dan prognosis pasien.
Ini adalah subtipe yang paling umum (sekitar 70% dari kasus). SSM biasanya dimulai pada nevus yang sudah ada sebelumnya. Ia memiliki fase pertumbuhan radial yang panjang, yang berarti ia menyebar secara horizontal di sepanjang lapisan epidermis sebelum akhirnya menyerang dermis (fase pertumbuhan vertikal). Secara klinis, seringkali tampak sebagai bercak atau plak yang permukaannya tidak teratur dan berwarna-warni.
Melanoma nodular adalah subtipe paling agresif kedua (sekitar 15-30%). NM unik karena segera memasuki fase pertumbuhan vertikal. Artinya, ia tumbuh ke dalam (invasif) dengan cepat tanpa fase pertumbuhan radial yang signifikan. Secara klinis, ia muncul sebagai nodul yang meninggi, seringkali berwarna hitam kebiruan atau merah, dan mungkin berdarah. Diagnosis NM seringkali tertunda karena kemiripannya dengan nodul jinak lain, namun kedalaman Breslow-nya biasanya sudah signifikan saat didiagnosis.
LMM biasanya terjadi pada individu lanjut usia di area kulit yang mengalami kerusakan akibat sinar matahari kronis (wajah, leher, lengan). Fase prekursornya (Lentigo Maligna) adalah melanoma in situ yang dapat bertahan selama bertahun-tahun atau bahkan puluhan tahun. Ketika menjadi invasif, ia disebut LMM. Lesinya berupa bercak pigmen besar, rata, dan berwarna tidak seragam.
ALM adalah subtipe yang paling umum pada individu berkulit gelap dan sering ditemukan pada lokasi non-kulit, seperti telapak tangan, telapak kaki, dan di bawah kuku (subungual). Karena lokasinya yang tidak biasa, ALM sering terlambat didiagnosis, dan prognosisnya cenderung lebih buruk. Lesi subungual sering disalahartikan sebagai trauma atau infeksi jamur.
Setelah biopsi, ahli patologi menilai fitur-fitur yang menentukan stadium dan prognosis:
Deteksi dini adalah kunci keberhasilan pengobatan melanoma. Pemeriksaan kulit secara mandiri dan profesional menggunakan aturan sederhana sangat dianjurkan, terutama bagi mereka yang berisiko tinggi.
Alat skrining klinis paling dasar yang membantu membedakan tahi lalat jinak dari melanoma potensial:
Jika ada kecurigaan klinis, biopsi harus dilakukan. Jenis biopsi yang ideal adalah biopsi eksisional (mengambil seluruh lesi dengan margin sempit). Biopsi cukur (shave biopsy) tidak dianjurkan untuk lesi berpigmen yang dicurigai melanoma karena dapat mengganggu pengukuran kedalaman Breslow yang sangat penting untuk penentuan stadium.
Setelah diagnosis histopatologi ditegakkan, penilaian stadium diperlukan untuk menentukan sejauh mana kanker telah menyebar. Sistem staging yang digunakan adalah sistem AJCC (American Joint Committee on Cancer), yang sangat bergantung pada temuan patologi (Breslow, ulserasi) dan status kelenjar getah bening.
Sistem staging AJCC didasarkan pada tiga komponen (TNM): Tumor (T), Kelenjar Getah Bening (N), dan Metastasis (M). Staging yang akurat memandu keputusan pengobatan, terutama mengenai apakah terapi adjuvan (tambahan) diperlukan.
Kategori T ditentukan oleh kedalaman Breslow dan adanya ulserasi:
Fakta bahwa adanya ulserasi pada tumor yang tipis (T1) dapat menaikkan stadiumnya menunjukkan betapa kuatnya faktor ini sebagai indikator agresivitas biologis.
SLNB adalah prosedur standar untuk menentukan apakah sel kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening regional, yang merupakan langkah pertama dalam penyebaran sistemik. Prosedur ini direkomendasikan untuk melanoma dengan kedalaman Breslow > 0.8 mm atau pada melanoma yang lebih tipis tetapi memiliki fitur berisiko tinggi (misalnya, ulserasi atau tingkat mitosis tinggi).
Jika kelenjar getah bening sentinel (kelenjar pertama yang menerima drainase dari tumor) positif, risiko metastasis yang lebih luas meningkat tajam.
Kategori N didasarkan pada jumlah kelenjar yang terlibat dan tingkat penyebaran:
Kategori M menunjukkan penyebaran ke organ jauh (paru-paru, otak, hati, tulang, kulit yang tidak regional). M1c (metastasis ke organ selain paru-paru, atau metastasis ke otak) menunjukkan prognosis terburuk.
Pengobatan melanoma telah mengalami revolusi besar dalam dekade terakhir berkat pengembangan imunoterapi dan terapi target. Pilihan pengobatan sangat tergantung pada stadium penyakit dan status molekuler tumor.
Pembedahan tetap menjadi pilar utama pengobatan untuk melanoma terlokalisir (Stadium 0 hingga II).
Setelah diagnosis dikonfirmasi melalui biopsi, operasi definitif dilakukan untuk mengangkat lesi primer dengan margin jaringan normal di sekitarnya. Lebar margin eksisi ditentukan oleh kedalaman Breslow tumor:
Tujuan dari WLE adalah mencapai margin bebas tumor yang memadai untuk meminimalkan risiko kekambuhan lokal.
Jika SLNB positif, keputusan dibuat apakah diperlukan Diseksi Kelenjar Getah Bening Komplet (CLND). Meskipun data terbaru telah mempertanyakan manfaat CLND secara rutin, prosedur ini tetap dipertimbangkan dalam kasus tertentu dengan beban penyakit kelenjar yang tinggi. Untuk pasien dengan kelenjar positif, terapi adjuvan sistemik sangat direkomendasikan.
Pada pasien dengan penyakit stadium III (risiko kambuh tinggi) atau stadium IV (metastasis), terapi sistemik menjadi inti dari pengobatan.
Imunoterapi telah mengubah prognosis melanoma metastatik secara dramatis. Obat-obatan ini bekerja dengan melepaskan 'rem' yang digunakan sel kanker untuk menonaktifkan sel T pasien.
Obat seperti Pembrolizumab dan Nivolumab memblokir reseptor PD-1 pada sel T. Dengan menghalangi interaksi antara PD-1 pada sel T dan PD-L1 pada sel tumor, sel T diaktifkan kembali dan mampu mengenali serta menghancurkan sel melanoma. ICIs ini efektif dalam pengaturan adjuvan (setelah operasi untuk stadium III) dan untuk penyakit metastatik.
Ipilimumab adalah antibodi monoklonal yang menargetkan CTLA-4. CTLA-4 adalah mekanisme penghambat pada tahap awal aktivasi sel T. Kombinasi Ipilimumab (anti-CTLA-4) dan Nivolumab (anti-PD-1) sering digunakan pada melanoma metastatik yang agresif karena menunjukkan respons yang lebih tinggi, meskipun toksisitasnya juga lebih tinggi.
Terapi target hanya efektif jika tumor pasien memiliki mutasi genetik yang ditargetkan, paling sering mutasi BRAF V600.
Obat seperti Vemurafenib dan Dabrafenib secara langsung menghambat aktivitas kinase protein BRAF yang bermutasi. Ini secara efektif mematikan sinyal pertumbuhan yang didorong oleh mutasi V600, yang menyebabkan kematian sel kanker yang bergantung pada sinyal tersebut.
MEK (Mitogen-activated protein kinase kinase) berada di hilir BRAF dalam jalur MAPK. Penghambat MEK, seperti Trametinib dan Cobimetinib, digunakan dalam kombinasi dengan penghambat BRAF. Kombinasi ini bertujuan untuk: 1) meningkatkan efikasi karena MEK adalah titik sinyal yang penting, dan 2) mengurangi toksisitas yang terkait dengan penghambat BRAF monoterapi (terutama hiperproliferasi kulit sekunder).
Penggunaan terapi kombinasi BRAF/MEK (misalnya, Dabrafenib + Trametinib) telah menjadi standar perawatan untuk melanoma BRAF-mutan stadium IV, menawarkan tingkat respons yang cepat dan signifikan, yang seringkali diperlukan untuk penyakit metastasis yang masif.
Peran kemoterapi (misalnya, Dakarbazin) telah sangat berkurang karena keberhasilan ICIs dan terapi target. Kemoterapi sekarang umumnya hanya dipertimbangkan pada pasien yang tidak memenuhi syarat atau gagal merespons terapi modern.
Untuk metastasis otak (yang umum terjadi pada melanoma), radioterapi (Stereotactic Radiosurgery atau Radiasi Seluruh Otak) sering digunakan bersamaan dengan terapi sistemik. Untuk metastasis pada anggota tubuh yang sulit diatasi, kadang digunakan perfusi isolasi anggota tubuh yang terisolasi (Isolated Limb Perfusion) yang memberikan kemoterapi dosis tinggi secara lokal.
Mengingat melanoma adalah kanker yang sangat terkait dengan faktor lingkungan, pencegahan primer adalah upaya yang paling hemat biaya dan efektif.
Strategi pencegahan berfokus pada meminimalkan paparan radiasi UV, terutama pada masa kanak-kanak dan remaja, ketika kerusakan DNA terakumulasi paling cepat.
Skrining teratur sangat penting, terutama bagi individu dengan banyak nevus atau riwayat keluarga:
Meskipun kemajuan dalam ICIs dan terapi target telah meningkatkan kelangsungan hidup secara signifikan, sekitar 50% pasien melanoma metastatik pada akhirnya mengembangkan resistensi terhadap terapi ini atau memiliki penyakit yang tidak merespons (refrakter primer). Hal ini memicu penelitian intensif di beberapa bidang.
Resistensi terhadap penghambat BRAF/MEK seringkali disebabkan oleh aktivasi jalur sinyal alternatif (misalnya, jalur PI3K/AKT) atau munculnya mutasi kedua. Penelitian saat ini berfokus pada terapi rangkap tiga (Triple Therapy), yang menambahkan penghambat jalur sinyal ketiga (seperti penghambat PI3K) atau menggabungkan terapi target dengan imunoterapi untuk mengatasi mekanisme pelarian tumor yang kompleks.
Untuk pasien yang tidak merespons ICIs, upaya sedang dilakukan untuk meningkatkan "keterbukaan" tumor. Ini mencakup:
Salah satu tantangan terbesar adalah memprediksi pasien mana yang akan merespons pengobatan tertentu. Penelitian biomarker mencakup analisis genomik, transkriptomik, dan mikrobioma (karena bakteri usus diketahui memengaruhi respons terhadap imunoterapi) untuk mengembangkan tanda prediktif yang dapat memandu dokter dalam memilih terapi yang paling mungkin berhasil pada setiap individu pasien.
Melanoma tidak selalu muncul di kulit. Subtipe yang berasal dari lokasi selain kulit (ekstrakutaneus) menyajikan tantangan diagnostik dan prognostik yang unik. Dua subtipe utama adalah melanoma okular dan melanoma mukosa.
Melanoma uveal adalah keganasan primer paling umum di mata, yang berasal dari melanosit di lapisan uvea (iris, badan siliaris, dan koroid). Tidak seperti melanoma kulit, melanoma uveal jarang dikaitkan dengan paparan UV.
Melanoma mukosa terjadi pada permukaan lembab dan lapisan yang melapisi organ seperti rongga mulut, nasofaring, saluran pencernaan, dan saluran kemih/genital. Subtipe ini sangat langka (sekitar 1% dari semua melanoma) dan tidak memiliki kaitan yang jelas dengan paparan UV.
Diagnosis melanoma, terutama pada stadium lanjut, membawa beban psikologis yang signifikan. Manajemen yang komprehensif harus mencakup dukungan psikososial dan manajemen efek samping yang terkait dengan terapi modern.
Meskipun ICIs sangat efektif, mereka dapat menyebabkan efek samping yang dimediasi kekebalan (irAEs), di mana sistem kekebalan menyerang organ normal (misalnya, kolitis, tiroiditis, hepatitis). irAEs memerlukan intervensi cepat dan seringkali memerlukan kortikosteroid dosis tinggi untuk menekan respons imun yang berlebihan. Pemahaman pasien tentang potensi irAEs dan pelaporan dini adalah esensial.
Pasien melanoma memerlukan pengawasan seumur hidup. Hal ini mencakup tidak hanya skrining kekambuhan tetapi juga dukungan untuk mengatasi kecemasan (misalnya, scanxiety—kecemasan menjelang pemindaian) dan dampak jangka panjang dari terapi. Kelompok dukungan dan konseling onkologi memainkan peran penting dalam membantu pasien menavigasi perjalanan kompleks penyakit ini.
Kesimpulannya, melanoma tetap merupakan penyakit yang menantang, tetapi kemajuan dalam ilmu genomik dan imunoonkologi telah mengubahnya dari diagnosis yang hampir selalu fatal menjadi kondisi yang dapat dikelola secara kronis bagi banyak pasien. Fokus berkelanjutan pada deteksi dini dan penelitian mengenai resistensi molekuler akan menjadi kunci untuk lebih meningkatkan kelangsungan hidup global.