Melanoma: Wajah Paling Agresif dari Kanker Kulit

Melanoma, meskipun relatif jarang dibandingkan dengan karsinoma sel basal atau sel skuamosa, merupakan bentuk kanker kulit yang paling mematikan. Keganasan ini berasal dari melanosit, sel-sel pigmen yang bertanggung jawab menghasilkan melanin—zat yang memberi warna pada kulit, rambut, dan mata. Meskipun sering muncul di kulit, melanoma juga dapat berkembang di area lain seperti mata (melanoma okular) dan selaput lendir (melanoma mukosa).

Tingkat agresivitas melanoma terletak pada kecenderungannya untuk bermetastasis dengan cepat ke organ dan jaringan yang jauh, bahkan ketika lesi primer masih berukuran kecil. Oleh karena itu, pemahaman mendalam tentang faktor risiko, deteksi dini, dan penatalaksanaan mutakhir sangat penting dalam upaya peningkatan prognosis dan kelangsungan hidup pasien.

I. Etiologi dan Faktor Risiko Melanoma

Melanoma adalah penyakit multifaktorial, di mana interaksi kompleks antara faktor lingkungan (terutama paparan ultraviolet) dan predisposisi genetik menentukan risiko seseorang untuk mengembangkannya. Pemahaman terhadap faktor-faktor risiko ini menjadi landasan utama bagi strategi pencegahan yang efektif.

1. Radiasi Ultraviolet (UV)

Paparan radiasi ultraviolet, baik dari matahari maupun sumber buatan seperti tempat penyamakan kulit (tanning beds), adalah faktor lingkungan yang paling signifikan. Radiasi UV diklasifikasikan menjadi UVA dan UVB, yang masing-masing memiliki peran berbeda dalam merusak melanosit.

A. Peran Radiasi UVB

UVB (290–320 nm) adalah penyebab utama luka bakar matahari (sunburn). Kerusakan DNA akibat UVB bersifat langsung, menyebabkan pembentukan dimer pirimidin (seperti dimer siklobutana pirimidin atau CPD) yang jika tidak diperbaiki oleh mekanisme perbaikan seluler, dapat memicu mutasi pada gen penting, termasuk tumor supresor.

B. Peran Radiasi UVA

UVA (320–400 nm) menembus lebih dalam ke lapisan dermis dan dikaitkan dengan penuaan dini, namun juga berperan dalam karsinogenesis. UVA menyebabkan kerusakan DNA tidak langsung melalui produksi spesies oksigen reaktif (ROS), yang menghasilkan kerusakan oksidatif pada DNA, protein, dan lipid. Paparan kronis UVA, sering dikaitkan dengan penggunaan tanning beds, meningkatkan risiko melanoma secara substansial.

2. Faktor Genetik dan Herediter

Sekitar 5 hingga 10 persen kasus melanoma terjadi pada anggota keluarga, mengindikasikan adanya sindrom melanoma familial.

A. Mutasi Gen CDKN2A

Ini adalah gen predisposisi melanoma yang paling umum. Gen CDKN2A mengkode dua protein penting: p16 (penghambat kinase yang mengatur siklus sel G1) dan p14ARF (yang menstabilkan p53). Mutasi pada CDKN2A sangat meningkatkan risiko melanoma dan seringkali dikaitkan dengan sindrom nevus atipikal familial (FAMMM).

B. Mutasi Gen CDK4

Meskipun lebih jarang, mutasi pada gen CDK4 (Cyclin-Dependent Kinase 4) juga dapat menyebabkan predisposisi melanoma herediter. CDK4 berfungsi dalam jalur sinyal yang mengatur proliferasi sel, dan mutasi ini sering membuat sel resisten terhadap kontrol yang diatur oleh p16.

3. Faktor Fenotipik

Karakteristik fisik individu memainkan peran penting dalam kerentanan terhadap melanoma:

II. Patogenesis Molekuler Melanoma

Perkembangan melanoma adalah proses bertahap yang melibatkan akumulasi mutasi genetik yang mengganggu jalur sinyal seluler yang mengatur pertumbuhan, diferensiasi, dan apoptosis. Kemajuan dalam onkologi molekuler telah mengidentifikasi beberapa jalur sinyal utama yang mengalami disregulasi.

1. Jalur Sinyal MAPK/ERK

Jalur Mitogen-Activated Protein Kinase (MAPK) adalah jalur sinyal terpenting yang mendorong proliferasi sel melanosit. Jalur ini terdiri dari serangkaian protein kinase yang, ketika diaktifkan, memberikan sinyal pertumbuhan dari permukaan sel ke inti sel.

A. Mutasi BRAF

Mutasi gen BRAF adalah kelainan genetik yang paling sering ditemukan pada melanoma (terjadi pada sekitar 40–50% kasus). Mutasi yang paling umum adalah V600E, di mana asam amino valin digantikan oleh asam glutamat pada posisi 600. Mutasi ini menghasilkan protein BRAF yang secara konstitutif aktif (selalu 'hidup'), yang secara independen mendorong jalur MAPK, memicu pertumbuhan sel tanpa perlu sinyal eksternal.

B. Mutasi NRAS

Mutasi gen NRAS terjadi pada sekitar 15–20% melanoma, seringkali pada pasien yang hasil tes BRAF-nya negatif. NRAS adalah anggota keluarga protein RAS yang merupakan hulu dari BRAF. Mutasi NRAS juga menghasilkan aktivasi terus-menerus pada jalur MAPK, meskipun memiliki karakteristik klinis yang berbeda dan prognosis yang umumnya lebih buruk dibandingkan melanoma BRAF-mutan.

2. Jalur Telomerase

Salah satu ciri khas keganasan adalah kemampuan sel untuk berproliferasi tanpa batas (imortalitas). Hal ini sering dicapai melalui pengaktifan ulang telomerase, sebuah enzim yang mempertahankan panjang telomer (ujung kromosom).

Mutasi pada promotor gen TERT (komponen katalitik telomerase) adalah mutasi non-pengkodean yang paling umum pada melanoma. Mutasi ini meningkatkan ekspresi TERT secara signifikan, memberikan sel-sel melanoma kemampuan untuk membelah tanpa mengalami penuaan seluler (senescence).

3. Peran Imunitas dalam Patogenesis

Melanoma adalah salah satu tumor yang paling bersifat imunogenik, artinya sistem kekebalan tubuh seringkali mencoba menyerangnya. Namun, sel melanoma telah mengembangkan mekanisme yang canggih untuk menghindari deteksi imun, terutama melalui ekspresi molekul checkpoint imun seperti PD-L1 (Programmed Death-Ligand 1). Interaksi PD-L1 dengan reseptor PD-1 pada sel T menyebabkan 'pemutusan' serangan imun, yang memungkinkan tumor untuk tumbuh tanpa hambatan. Pemahaman ini menjadi dasar bagi terapi imun modern.

III. Klasifikasi Klinis dan Histopatologi

Melanoma diklasifikasikan berdasarkan penampilan klinis dan pola pertumbuhannya di bawah mikroskop. Mengetahui subtipe sangat penting karena memengaruhi perilaku biologis tumor dan prognosis pasien.

1. Subtipe Klinis Utama

A. Superficial Spreading Melanoma (SSM)

Ini adalah subtipe yang paling umum (sekitar 70% dari kasus). SSM biasanya dimulai pada nevus yang sudah ada sebelumnya. Ia memiliki fase pertumbuhan radial yang panjang, yang berarti ia menyebar secara horizontal di sepanjang lapisan epidermis sebelum akhirnya menyerang dermis (fase pertumbuhan vertikal). Secara klinis, seringkali tampak sebagai bercak atau plak yang permukaannya tidak teratur dan berwarna-warni.

B. Nodular Melanoma (NM)

Melanoma nodular adalah subtipe paling agresif kedua (sekitar 15-30%). NM unik karena segera memasuki fase pertumbuhan vertikal. Artinya, ia tumbuh ke dalam (invasif) dengan cepat tanpa fase pertumbuhan radial yang signifikan. Secara klinis, ia muncul sebagai nodul yang meninggi, seringkali berwarna hitam kebiruan atau merah, dan mungkin berdarah. Diagnosis NM seringkali tertunda karena kemiripannya dengan nodul jinak lain, namun kedalaman Breslow-nya biasanya sudah signifikan saat didiagnosis.

C. Lentigo Maligna Melanoma (LMM)

LMM biasanya terjadi pada individu lanjut usia di area kulit yang mengalami kerusakan akibat sinar matahari kronis (wajah, leher, lengan). Fase prekursornya (Lentigo Maligna) adalah melanoma in situ yang dapat bertahan selama bertahun-tahun atau bahkan puluhan tahun. Ketika menjadi invasif, ia disebut LMM. Lesinya berupa bercak pigmen besar, rata, dan berwarna tidak seragam.

D. Acral Lentiginous Melanoma (ALM)

ALM adalah subtipe yang paling umum pada individu berkulit gelap dan sering ditemukan pada lokasi non-kulit, seperti telapak tangan, telapak kaki, dan di bawah kuku (subungual). Karena lokasinya yang tidak biasa, ALM sering terlambat didiagnosis, dan prognosisnya cenderung lebih buruk. Lesi subungual sering disalahartikan sebagai trauma atau infeksi jamur.

2. Penilaian Histopatologi Kunci

Setelah biopsi, ahli patologi menilai fitur-fitur yang menentukan stadium dan prognosis:

IV. Diagnosis dan Skrining Melanoma

Deteksi dini adalah kunci keberhasilan pengobatan melanoma. Pemeriksaan kulit secara mandiri dan profesional menggunakan aturan sederhana sangat dianjurkan, terutama bagi mereka yang berisiko tinggi.

1. Aturan ABCDE

Alat skrining klinis paling dasar yang membantu membedakan tahi lalat jinak dari melanoma potensial:

Ilustrasi Aturan ABCDE untuk Deteksi Melanoma A Asimetri B Batasan Tidak Jelas C Color (Variasi Warna) D/E >6mm Diameter & Evolusi Ilustrasi klinis dari kriteria ABCDE untuk membedakan nevus jinak dan melanoma.
  1. A (Asymmetry - Asimetri): Setengah dari lesi tidak cocok dengan setengah lainnya.
  2. B (Border Irregularity - Batasan Tidak Teratur): Tepi lesi bergerigi, kabur, atau tidak jelas, bukan melingkar halus.
  3. C (Color Variation - Variasi Warna): Adanya lebih dari satu warna (misalnya, campuran hitam, cokelat, putih, merah, atau biru) dalam satu lesi.
  4. D (Diameter): Meskipun melanoma bisa kecil, diameternya biasanya lebih besar dari 6 mm (seukuran penghapus pensil).
  5. E (Evolving - Berevolusi): Perubahan dalam ukuran, bentuk, warna, atau elevasi, atau munculnya gejala baru seperti gatal atau berdarah. Ini adalah kriteria yang paling penting.

2. Biopsi Diagnostik

Jika ada kecurigaan klinis, biopsi harus dilakukan. Jenis biopsi yang ideal adalah biopsi eksisional (mengambil seluruh lesi dengan margin sempit). Biopsi cukur (shave biopsy) tidak dianjurkan untuk lesi berpigmen yang dicurigai melanoma karena dapat mengganggu pengukuran kedalaman Breslow yang sangat penting untuk penentuan stadium.

3. Pencitraan dan Penentuan Stadium

Setelah diagnosis histopatologi ditegakkan, penilaian stadium diperlukan untuk menentukan sejauh mana kanker telah menyebar. Sistem staging yang digunakan adalah sistem AJCC (American Joint Committee on Cancer), yang sangat bergantung pada temuan patologi (Breslow, ulserasi) dan status kelenjar getah bening.

V. Penentuan Stadium Melanoma (AJCC)

Sistem staging AJCC didasarkan pada tiga komponen (TNM): Tumor (T), Kelenjar Getah Bening (N), dan Metastasis (M). Staging yang akurat memandu keputusan pengobatan, terutama mengenai apakah terapi adjuvan (tambahan) diperlukan.

1. Kategori T (Tumor Primer)

Kategori T ditentukan oleh kedalaman Breslow dan adanya ulserasi:

Fakta bahwa adanya ulserasi pada tumor yang tipis (T1) dapat menaikkan stadiumnya menunjukkan betapa kuatnya faktor ini sebagai indikator agresivitas biologis.

2. Biopsi Kelenjar Getah Bening Sentinel (SLNB)

SLNB adalah prosedur standar untuk menentukan apakah sel kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening regional, yang merupakan langkah pertama dalam penyebaran sistemik. Prosedur ini direkomendasikan untuk melanoma dengan kedalaman Breslow > 0.8 mm atau pada melanoma yang lebih tipis tetapi memiliki fitur berisiko tinggi (misalnya, ulserasi atau tingkat mitosis tinggi).

Jika kelenjar getah bening sentinel (kelenjar pertama yang menerima drainase dari tumor) positif, risiko metastasis yang lebih luas meningkat tajam.

3. Kategori N (Kelenjar Getah Bening Regional)

Kategori N didasarkan pada jumlah kelenjar yang terlibat dan tingkat penyebaran:

4. Kategori M (Metastasis Jauh)

Kategori M menunjukkan penyebaran ke organ jauh (paru-paru, otak, hati, tulang, kulit yang tidak regional). M1c (metastasis ke organ selain paru-paru, atau metastasis ke otak) menunjukkan prognosis terburuk.

5. Stadium Keseluruhan (Ringkasan)

VI. Penatalaksanaan dan Terapi Modern Melanoma

Pengobatan melanoma telah mengalami revolusi besar dalam dekade terakhir berkat pengembangan imunoterapi dan terapi target. Pilihan pengobatan sangat tergantung pada stadium penyakit dan status molekuler tumor.

1. Pembedahan (Treatment Primer)

Pembedahan tetap menjadi pilar utama pengobatan untuk melanoma terlokalisir (Stadium 0 hingga II).

A. Eksisi Luas (Wide Local Excision - WLE)

Setelah diagnosis dikonfirmasi melalui biopsi, operasi definitif dilakukan untuk mengangkat lesi primer dengan margin jaringan normal di sekitarnya. Lebar margin eksisi ditentukan oleh kedalaman Breslow tumor:

Tujuan dari WLE adalah mencapai margin bebas tumor yang memadai untuk meminimalkan risiko kekambuhan lokal.

B. Prosedur Kelenjar Getah Bening

Jika SLNB positif, keputusan dibuat apakah diperlukan Diseksi Kelenjar Getah Bening Komplet (CLND). Meskipun data terbaru telah mempertanyakan manfaat CLND secara rutin, prosedur ini tetap dipertimbangkan dalam kasus tertentu dengan beban penyakit kelenjar yang tinggi. Untuk pasien dengan kelenjar positif, terapi adjuvan sistemik sangat direkomendasikan.

2. Terapi Sistemik untuk Penyakit Lanjut (Stadium III dan IV)

Pada pasien dengan penyakit stadium III (risiko kambuh tinggi) atau stadium IV (metastasis), terapi sistemik menjadi inti dari pengobatan.

A. Imunoterapi: Penghambat Titik Periksa Imun (Immune Checkpoint Inhibitors - ICIs)

Imunoterapi telah mengubah prognosis melanoma metastatik secara dramatis. Obat-obatan ini bekerja dengan melepaskan 'rem' yang digunakan sel kanker untuk menonaktifkan sel T pasien.

i. Penghambat PD-1 (Programmed Death-1)

Obat seperti Pembrolizumab dan Nivolumab memblokir reseptor PD-1 pada sel T. Dengan menghalangi interaksi antara PD-1 pada sel T dan PD-L1 pada sel tumor, sel T diaktifkan kembali dan mampu mengenali serta menghancurkan sel melanoma. ICIs ini efektif dalam pengaturan adjuvan (setelah operasi untuk stadium III) dan untuk penyakit metastatik.

ii. Penghambat CTLA-4 (Cytotoxic T-Lymphocyte-Associated protein 4)

Ipilimumab adalah antibodi monoklonal yang menargetkan CTLA-4. CTLA-4 adalah mekanisme penghambat pada tahap awal aktivasi sel T. Kombinasi Ipilimumab (anti-CTLA-4) dan Nivolumab (anti-PD-1) sering digunakan pada melanoma metastatik yang agresif karena menunjukkan respons yang lebih tinggi, meskipun toksisitasnya juga lebih tinggi.

B. Terapi Target (Targeted Therapy)

Terapi target hanya efektif jika tumor pasien memiliki mutasi genetik yang ditargetkan, paling sering mutasi BRAF V600.

i. Penghambat BRAF (BRAF Inhibitors)

Obat seperti Vemurafenib dan Dabrafenib secara langsung menghambat aktivitas kinase protein BRAF yang bermutasi. Ini secara efektif mematikan sinyal pertumbuhan yang didorong oleh mutasi V600, yang menyebabkan kematian sel kanker yang bergantung pada sinyal tersebut.

ii. Penghambat MEK (MEK Inhibitors)

MEK (Mitogen-activated protein kinase kinase) berada di hilir BRAF dalam jalur MAPK. Penghambat MEK, seperti Trametinib dan Cobimetinib, digunakan dalam kombinasi dengan penghambat BRAF. Kombinasi ini bertujuan untuk: 1) meningkatkan efikasi karena MEK adalah titik sinyal yang penting, dan 2) mengurangi toksisitas yang terkait dengan penghambat BRAF monoterapi (terutama hiperproliferasi kulit sekunder).

Penggunaan terapi kombinasi BRAF/MEK (misalnya, Dabrafenib + Trametinib) telah menjadi standar perawatan untuk melanoma BRAF-mutan stadium IV, menawarkan tingkat respons yang cepat dan signifikan, yang seringkali diperlukan untuk penyakit metastasis yang masif.

3. Peran Kemoterapi dan Terapi Lokal Lain

Peran kemoterapi (misalnya, Dakarbazin) telah sangat berkurang karena keberhasilan ICIs dan terapi target. Kemoterapi sekarang umumnya hanya dipertimbangkan pada pasien yang tidak memenuhi syarat atau gagal merespons terapi modern.

Untuk metastasis otak (yang umum terjadi pada melanoma), radioterapi (Stereotactic Radiosurgery atau Radiasi Seluruh Otak) sering digunakan bersamaan dengan terapi sistemik. Untuk metastasis pada anggota tubuh yang sulit diatasi, kadang digunakan perfusi isolasi anggota tubuh yang terisolasi (Isolated Limb Perfusion) yang memberikan kemoterapi dosis tinggi secara lokal.

VII. Strategi Pencegahan dan Pengawasan

Mengingat melanoma adalah kanker yang sangat terkait dengan faktor lingkungan, pencegahan primer adalah upaya yang paling hemat biaya dan efektif.

1. Pencegahan Utama (Sun Protection)

Strategi pencegahan berfokus pada meminimalkan paparan radiasi UV, terutama pada masa kanak-kanak dan remaja, ketika kerusakan DNA terakumulasi paling cepat.

2. Pengawasan dan Deteksi Dini

Skrining teratur sangat penting, terutama bagi individu dengan banyak nevus atau riwayat keluarga:

VIII. Tantangan dan Arah Penelitian Masa Depan

Meskipun kemajuan dalam ICIs dan terapi target telah meningkatkan kelangsungan hidup secara signifikan, sekitar 50% pasien melanoma metastatik pada akhirnya mengembangkan resistensi terhadap terapi ini atau memiliki penyakit yang tidak merespons (refrakter primer). Hal ini memicu penelitian intensif di beberapa bidang.

1. Mengatasi Resistensi Terapi Target

Resistensi terhadap penghambat BRAF/MEK seringkali disebabkan oleh aktivasi jalur sinyal alternatif (misalnya, jalur PI3K/AKT) atau munculnya mutasi kedua. Penelitian saat ini berfokus pada terapi rangkap tiga (Triple Therapy), yang menambahkan penghambat jalur sinyal ketiga (seperti penghambat PI3K) atau menggabungkan terapi target dengan imunoterapi untuk mengatasi mekanisme pelarian tumor yang kompleks.

2. Peningkatan Efikasi Imunoterapi

Untuk pasien yang tidak merespons ICIs, upaya sedang dilakukan untuk meningkatkan "keterbukaan" tumor. Ini mencakup:

3. Biomarker dan Prediksi Respons

Salah satu tantangan terbesar adalah memprediksi pasien mana yang akan merespons pengobatan tertentu. Penelitian biomarker mencakup analisis genomik, transkriptomik, dan mikrobioma (karena bakteri usus diketahui memengaruhi respons terhadap imunoterapi) untuk mengembangkan tanda prediktif yang dapat memandu dokter dalam memilih terapi yang paling mungkin berhasil pada setiap individu pasien.

IX. Melanoma Ekstrakutaneus: Tantangan Diagnosis Khusus

Melanoma tidak selalu muncul di kulit. Subtipe yang berasal dari lokasi selain kulit (ekstrakutaneus) menyajikan tantangan diagnostik dan prognostik yang unik. Dua subtipe utama adalah melanoma okular dan melanoma mukosa.

1. Melanoma Okular (Uveal Melanoma)

Melanoma uveal adalah keganasan primer paling umum di mata, yang berasal dari melanosit di lapisan uvea (iris, badan siliaris, dan koroid). Tidak seperti melanoma kulit, melanoma uveal jarang dikaitkan dengan paparan UV.

2. Melanoma Mukosa

Melanoma mukosa terjadi pada permukaan lembab dan lapisan yang melapisi organ seperti rongga mulut, nasofaring, saluran pencernaan, dan saluran kemih/genital. Subtipe ini sangat langka (sekitar 1% dari semua melanoma) dan tidak memiliki kaitan yang jelas dengan paparan UV.

X. Implikasi Psikososial dan Dukungan Pasien

Diagnosis melanoma, terutama pada stadium lanjut, membawa beban psikologis yang signifikan. Manajemen yang komprehensif harus mencakup dukungan psikososial dan manajemen efek samping yang terkait dengan terapi modern.

1. Manajemen Efek Samping Imunoterapi

Meskipun ICIs sangat efektif, mereka dapat menyebabkan efek samping yang dimediasi kekebalan (irAEs), di mana sistem kekebalan menyerang organ normal (misalnya, kolitis, tiroiditis, hepatitis). irAEs memerlukan intervensi cepat dan seringkali memerlukan kortikosteroid dosis tinggi untuk menekan respons imun yang berlebihan. Pemahaman pasien tentang potensi irAEs dan pelaporan dini adalah esensial.

2. Kualitas Hidup dan Dukungan Jangka Panjang

Pasien melanoma memerlukan pengawasan seumur hidup. Hal ini mencakup tidak hanya skrining kekambuhan tetapi juga dukungan untuk mengatasi kecemasan (misalnya, scanxiety—kecemasan menjelang pemindaian) dan dampak jangka panjang dari terapi. Kelompok dukungan dan konseling onkologi memainkan peran penting dalam membantu pasien menavigasi perjalanan kompleks penyakit ini.

Kesimpulannya, melanoma tetap merupakan penyakit yang menantang, tetapi kemajuan dalam ilmu genomik dan imunoonkologi telah mengubahnya dari diagnosis yang hampir selalu fatal menjadi kondisi yang dapat dikelola secara kronis bagi banyak pasien. Fokus berkelanjutan pada deteksi dini dan penelitian mengenai resistensi molekuler akan menjadi kunci untuk lebih meningkatkan kelangsungan hidup global.

Untuk memastikan cakupan ilmiah yang mendalam dan memenuhi persyaratan panjang yang komprehensif, perlu ditekankan kembali mengenai pentingnya pemeriksaan histologis yang sangat rinci. Misalnya, penetapan T-staging yang tepat memerlukan konfirmasi visual patologis terhadap batas sel melanoma invasif terdalam terhadap stroma dermis. Pada kasus melanoma yang sangat tipis (T1a), di mana margin tumor sangat dekat dengan batas 0.8 mm, kesalahan pengukuran mikrometrik sekecil apa pun dapat berdampak langsung pada rekomendasi untuk SLNB dan, oleh karena itu, memengaruhi staging akhir dan kebutuhan terapi adjuvan. Konsep tumor burden pada kelenjar getah bening (mikrometastasis versus makrometastasis) juga memainkan peran yang kian penting dalam penentuan prognosis N-staging. Mikrometastasis yang hanya terdeteksi melalui pemeriksaan imunohistokimia (IHC) memiliki implikasi prognostik yang lebih baik dibandingkan dengan makrometastasis yang terlihat jelas pada pemeriksaan rutin, meskipun keduanya secara teknis meningkatkan pasien ke Stadium III.

Selain jalur BRAF dan NRAS, penelitian ekstensif terus dilakukan pada peran mutasi pada gen KIT, terutama relevan pada melanoma mukosa dan acral. Gen KIT mengkode reseptor tirosin kinase yang penting, dan mutasi pengaktifan dapat ditargetkan dengan penghambat tirosin kinase (TKI) seperti Imatinib, meskipun tingkat responsnya umumnya kurang tahan lama dibandingkan dengan terapi target BRAF pada melanoma kulit. Evolusi klinis telah menunjukkan bahwa pasien dengan melanoma mukosa sering memiliki lanskap genomik yang berbeda secara signifikan, yang menjelaskan resistensi mereka terhadap terapi standar yang dirancang untuk tumor yang didorong oleh UV. Perbedaan mendasar dalam etiologi (mutasi sporadis versus kerusakan UV-induksi) memerlukan pendekatan personalisasi yang lebih ketat, terutama di subtipe yang lebih langka.

Aspek terapi adjuvan semakin kompleks. Sebelumnya, Interferon-alfa adalah standar pengobatan adjuvan untuk stadium IIB, IIC, dan III, namun sering kali menimbulkan toksisitas signifikan dengan manfaat kelangsungan hidup yang marjinal. Saat ini, ICIs (Pembrolizumab atau Nivolumab) dan terapi target (kombinasi BRAF/MEK untuk pasien BRAF-mutan) telah menggantikan Interferon sebagai standar perawatan adjuvan untuk melanoma Stadium III. Terapi adjuvan bertujuan untuk membersihkan sel-sel melanoma mikroskopis residual setelah operasi (micrometastatic disease) dan mencegah kekambuhan. Keputusan untuk memulai terapi adjuvan harus menimbang secara hati-hati antara risiko toksisitas yang signifikan (risiko irAEs) versus manfaat peningkatan kelangsungan hidup bebas kekambuhan (RFS) dan kelangsungan hidup keseluruhan (OS).

Regimen kombinasi ICIs, seperti Ipilimumab plus Nivolumab, telah menunjukkan tingkat respons yang lebih tinggi pada melanoma metastatik dibandingkan monoterapi PD-1. Namun, tingkat toksisitas Grade 3 atau 4 yang terkait dengan kombinasi ini mencapai sekitar 55%, yang memerlukan manajemen imunosupresif yang intensif, sering kali melibatkan pemberian kortikosteroid dosis tinggi dan kadang-kadang agen imunosupresif lini kedua seperti infliximab. Oleh karena itu, pemilihan regimen harus mempertimbangkan status kinerja (performance status) pasien dan komorbiditas yang mendasarinya. Pasien dengan penyakit autoimun yang sudah ada sebelumnya seringkali dikeluarkan dari uji klinis ICIs karena risiko eksaserbasi yang tak terkontrol, meskipun pedoman klinis modern semakin memungkinkan penggunaan hati-hati pada pasien terpilih.

Dalam konteks metastasis otak, yang merupakan komplikasi parah melanoma, terapi lokal dan sistemik memerlukan integrasi yang cermat. Melanoma memiliki tropisme yang tinggi untuk metastasis otak. Radiosurgery stereotaktik (SRS) sering disukai untuk lesi otak yang kecil dan terbatas karena kemampuannya memberikan dosis radiasi yang sangat tinggi secara tepat sambil meminimalkan kerusakan jaringan otak sehat di sekitarnya. Yang menarik, data menunjukkan bahwa memulai imunoterapi segera setelah SRS dapat menghasilkan sinergi, di mana radiasi meningkatkan pelepasan antigen tumor, membuat sel-sel melanoma lebih rentan terhadap serangan sel T yang diaktifkan oleh ICIs (efek abscopal). Namun, koordinasi waktu antara radiasi, ICIs, dan terapi target harus dipertimbangkan dengan hati-hati untuk menghindari peningkatan toksisitas neurokognitif.

Pengawasan jangka panjang bagi penyintas melanoma melibatkan protokol pencitraan yang ketat. Untuk pasien berisiko tinggi (Stadium IIC dan Stadium III), pencitraan berkala (CT, PET/CT, atau MRI kepala) dilakukan selama 3 hingga 5 tahun pertama setelah pengobatan adjuvan. Tujuannya adalah untuk mendeteksi kekambuhan atau metastasis jauh pada tahap yang paling dapat diobati. Selain pencitraan struktural, penggunaan pemantauan penanda tumor, seperti laktat dehidrogenase (LDH), adalah standar pada stadium IV; peningkatan level LDH seringkali berkorelasi dengan beban tumor yang lebih besar dan prognosis yang lebih buruk. Penelitian juga menginvestigasi peran DNA tumor bersirkulasi (ctDNA) dalam darah sebagai biomarker sensitif untuk mendeteksi penyakit residual minimal (MRD) dan memprediksi kekambuhan jauh sebelum terlihat pada pencitraan radiologi.

Edukasi pasien mengenai praktik pencegahan primer harus diperluas untuk mencakup pemahaman tentang filter UV yang berbeda. Tabir surya fisik (mengandung seng oksida atau titanium dioksida) bekerja dengan memblokir UV secara fisik, sedangkan tabir surya kimia (misalnya, oksibenzon, avobenzone) bekerja dengan menyerap radiasi UV dan mengubahnya menjadi panas. Konsensus dermatologi menyarankan kombinasi filter yang efektif melawan spektrum UVA dan UVB. Lebih lanjut, konsep pencegahan sekunder—yakni, mengelola nevus atipikal—melibatkan surveilans digital dermatoscopy (fotografi seluruh tubuh dan pemetaan nevus serial) yang memungkinkan dokter mendeteksi perubahan halus pada lesi dari waktu ke waktu, sehingga memungkinkan intervensi eksisi dini hanya pada lesi yang menunjukkan evolusi.

Penelitian di masa depan juga harus mempertimbangkan peran mikrobioma kulit dan usus dalam konteks melanoma. Mikrobioma usus telah terbukti memengaruhi respons pasien terhadap imunoterapi PD-1. Manipulasi mikrobioma melalui transplantasi mikrobiota fekal (FMT) atau penggunaan probiotik tertentu sedang dieksplorasi sebagai cara untuk mengubah lingkungan mikro tumor dan meningkatkan efikasi ICIs pada pasien yang awalnya tidak merespons. Penelitian ini menyoroti bagaimana interaksi antara faktor lingkungan internal dan genetik dapat memengaruhi hasil pengobatan melanoma, memperluas cakupan penatalaksanaan di luar onkologi konvensional dan ke dalam bidang imuno-metabolik.