Alt Text: Petani sedang melakukan Matun (penyiangan) di sawah berair.
Matun, sebuah istilah yang melekat erat dalam khazanah pertanian Indonesia, bukan sekadar aktivitas mencabut gulma. Ia adalah ritual agrikultur, penanda siklus tanam, dan manifestasi nyata dari hubungan harmonis antara petani, tanaman, dan tanah. Praktik matun mencerminkan kearifan lokal yang mendalam, di mana ketelitian manual berpadu dengan pemahaman ekologi lahan basah. Dalam konteks ketahanan pangan nasional, matun memegang peranan krusial, menentukan perbedaan antara panen melimpah dan kegagalan total.
Secara etimologi, matun berasal dari bahasa Jawa yang merujuk pada kegiatan menyiangi atau membersihkan gulma (rumput liar) dari areal pertanian, khususnya sawah padi. Kegiatan ini dilakukan secara manual, seringkali dengan tangan kosong, atau dibantu alat sederhana seperti koret atau sabit kecil. Matun adalah langkah wajib yang dilakukan beberapa kali selama siklus pertumbuhan padi, biasanya dimulai sekitar 15 hingga 30 hari setelah tanam (HST), dan diulang sesuai kebutuhan hingga fase primordia.
Pentingnya matun tidak terlepas dari sejarah pertanian di Nusantara yang didominasi oleh sistem irigasi lahan basah. Padi sawah, meskipun membutuhkan banyak air, juga menyediakan lingkungan yang ideal bagi pertumbuhan gulma air (seperti eceng gondok muda) dan gulma berdaun lebar (seperti genjer atau Jawan). Tanpa intervensi matun, gulma-gulma ini akan menjadi pesaing utama dalam perebutan nutrisi tanah, sinar matahari, dan ruang tumbuh. Dalam peradaban agraris kuno, pengetahuan tentang kapan dan bagaimana matun harus dilakukan diturunkan secara lisan, menjadi bagian integral dari sistem pranata mangsa.
Gulma dianggap sebagai musuh abadi petani karena beberapa alasan fundamental yang secara langsung mempengaruhi produktivitas:
Studi menunjukkan bahwa kerugian hasil panen akibat gulma yang tidak dikendalikan dapat mencapai 40% hingga 80%, tergantung pada jenis dan kepadatan gulma. Oleh karena itu, matun bukan sekadar pembersihan; ia adalah investasi tenaga kerja yang menghasilkan keuntungan hasil panen yang signifikan.
Matun harus tepat waktu. Keterlambatan beberapa minggu saja dapat membuat gulma terlalu kuat untuk dicabut atau sudah menyebar luas. Terdapat beberapa fase matun yang dikenal dalam tradisi pertanian Jawa dan Sunda:
Dilakukan sekitar 15 hingga 25 hari setelah tanam (HST). Fokus utama pada fase ini adalah menghilangkan gulma yang muncul bersamaan dengan anakan padi, sebelum mereka sempat menancapkan akar yang terlalu dalam. Matun wiwitan sangat krusial karena pada masa ini padi sedang dalam masa pertumbuhan vegetatif paling rentan.
Dilakukan antara 35 hingga 45 HST. Pada fase ini, padi sudah mulai beranak banyak (tiller). Matun kedua bertujuan untuk membersihkan gulma yang tumbuh terlambat atau yang berhasil bertahan dari matun pertama. Jika matun kedua ini terlewatkan, gulma akan sangat sulit dikendalikan saat padi memasuki fase generatif.
Kadang-kadang, petani melakukan penyiangan ringan (ngirap) menjelang masa bunting padi (sekitar 60 HST) hanya untuk memastikan tidak ada gulma yang menghambat pertumbuhan malai padi. Namun, matun pada fase ini harus dilakukan sangat hati-hati agar tidak merusak perakaran padi yang sedang sensitif.
Metode matun tradisional adalah pekerjaan yang membutuhkan ketahanan fisik, ketekunan, dan keahlian spesifik. Petani, seringkali dengan punggung membungkuk atau berlutut di lumpur, bergerak mundur di antara barisan tanaman padi. Teknik utama meliputi:
Ini adalah metode paling umum dan paling efektif untuk gulma yang masih kecil. Petani memegang pangkal gulma dan mencabutnya hingga ke akar, lalu membenamkannya kembali ke lumpur di antara barisan padi. Gulma yang dibenamkan ini kemudian akan membusuk dan berfungsi sebagai pupuk hijau alami. Ketelitian tangan sangat penting agar tidak salah mencabut anakan padi yang terlihat mirip gulma pada pandangan pertama.
Kored (sejenis pisau kecil dengan pegangan pendek) digunakan untuk gulma yang akarnya sudah cukup kuat atau untuk lahan yang tanahnya agak keras. Kored membantu memotong gulma tepat di bawah permukaan tanah atau mencungkil akarnya. Alat ini sangat populer di Jawa Barat dan sering diadaptasi bentuknya sesuai preferensi lokal.
Meskipun bukan alat fisik, manajemen air adalah bagian integral dari matun. Mengeringkan sawah sejenak (intermittent drainage) dapat menghambat pertumbuhan gulma air (seperti alisma) dan memaksa gulma tersebut layu, membuatnya lebih mudah dicabut atau mati dengan sendirinya. Namun, hal ini harus diimbangi agar tidak menyebabkan stres pada tanaman padi.
Ketepatan dan ketelitian dalam proses matun, di mana setiap jengkal sawah harus diperiksa secara visual, adalah indikator utama keberhasilan praktik pertanian berkelanjutan. Proses ini memerlukan waktu berjam-jam di bawah terik matahari atau guyuran hujan, menegaskan betapa kerasnya profesi petani.
Tidak semua gulma sama. Keefektifan matun sangat bergantung pada kemampuan petani mengidentifikasi jenis gulma yang dominan di lahannya, karena setiap gulma memerlukan strategi penanganan yang berbeda. Gulma padi sawah diklasifikasikan menjadi tiga kategori utama:
Gulma jenis ini memiliki ciri-ciri mirip padi, seperti batang yang bulat dan daun yang sempit serta memanjang. Ini adalah jenis gulma yang paling sulit dibedakan pada fase awal pertumbuhan padi, membuat matun manual sangat diperlukan.
Ditandai dengan batang berbentuk segitiga (triangular) dan tidak berongga. Mereka mampu bertahan di kondisi air yang sangat jenuh atau bahkan kekeringan parsial.
Ini adalah jenis gulma yang paling mudah dibedakan dari padi, tetapi dapat tumbuh sangat cepat dan menutupi permukaan air.
Strategi matun yang efektif adalah rotasi dan diversifikasi. Jika petani selalu menanam varietas padi yang sama, jenis gulma tertentu akan menjadi kebal atau dominan. Matun yang konsisten, berpadu dengan rotasi tanaman (meskipun sulit dilakukan di sawah irigasi teknis), dapat menekan populasi gulma secara alami.
Filosofi matun adalah mematikan gulma secara tuntas. Mencabut hanya bagian atas (topping) akan merangsang pertumbuhan tunas baru yang lebih kuat. Petani yang ahli memastikan bahwa sistem perakaran, terutama pada gulma jawan dan teki, terangkat seluruhnya, atau setidaknya bagian pangkalnya terpotong di bawah titik tumbuh utama. Keahlian ini didapatkan dari pengalaman bertahun-tahun meraba dan membedakan tekstur akar padi dan akar gulma di bawah lapisan lumpur keruh.
Di banyak daerah pedesaan, matun bukan hanya tugas individu, tetapi merupakan acara komunal yang disebut dengan tradisi gotong royong, sambatan, atau gugur gunung. Sifat padat karya dari matun, yang menuntut banyak tangan dalam waktu singkat, menjadikan praktik kolektif ini sebagai solusi paling efisien dan sekaligus penguat ikatan sosial.
Dalam sistem gotong royong matun, petani tidak selalu dibayar dengan uang tunai. Seringkali, berlaku sistem tukar tenaga kerja (bebanan). Hari ini, kelompok petani membantu sawah A; esok hari, pemilik sawah A wajib membantu sawah B. Sistem ini memastikan bahwa pekerjaan yang masif dapat diselesaikan tepat waktu, sebelum gulma mencapai fase kematangan penuh.
Irama pekerjaan matun seringkali diiringi dengan nyanyian atau celotehan, menghilangkan kejenuhan dan mengubah pekerjaan yang melelahkan menjadi momen kebersamaan. Peran perempuan dalam matun sangat dominan. Di banyak budaya Jawa dan Sunda, matun secara historis merupakan tugas yang banyak dilakukan oleh kaum perempuan karena dianggap memiliki ketelitian tangan yang lebih baik dan ketahanan fisik saat membungkuk di lumpur selama berjam-jam.
Di masa lalu, sawah yang rutin dan rapi di-matun adalah indikator kesejahteraan dan dedikasi pemiliknya. Sawah yang penuh gulma bukan hanya menandakan risiko panen buruk, tetapi juga mencerminkan kurangnya kepedulian atau kesulitan finansial pemilik lahan untuk mempekerjakan buruh matun. Dalam masyarakat agraris, kebersihan sawah adalah cerminan martabat sosial.
Meskipun secara fisik sangat melelahkan, matun juga memberikan manfaat psikologis. Gerakan ritmis, fokus pada tugas, dan kontak langsung dengan bumi sering dianggap sebagai bentuk meditasi aktif. Bagi petani tradisional, proses matun adalah bentuk dialog dengan tanah, memastikan bahwa mereka telah melakukan yang terbaik untuk ‘mengasuh’ tanaman padi.
Seiring berjalannya waktu, matun manual menghadapi tantangan besar, terutama karena peningkatan biaya tenaga kerja, urbanisasi, dan migrasi tenaga kerja muda dari desa ke kota. Ketersediaan buruh matun semakin menurun, memaksa petani mencari alternatif.
Solusi tercepat dan termurah bagi banyak petani modern adalah penggunaan herbisida (obat pembasmi gulma). Penggunaan herbisida dapat mengurangi kebutuhan tenaga kerja secara drastis. Namun, praktik ini membawa konsekuensi serius:
Oleh karena itu, matun manual tetap dianggap sebagai metode pengendalian gulma yang paling ramah lingkungan dan berkelanjutan, meskipun membutuhkan investasi waktu dan tenaga yang besar.
Di beberapa wilayah yang sudah menerapkan sistem Jajar Legowo (penanaman dengan jarak barisan yang jelas), alat penyiang mekanis tangan (hand weeder) mulai diperkenalkan. Alat ini memiliki roda bergerigi atau bilah pisau yang didorong di antara barisan padi, mengaduk lumpur dan mencabut gulma tanpa merusak akar padi.
Tren pertanian berkelanjutan saat ini mendorong petani untuk mengadopsi IWM, yang memadukan berbagai strategi untuk meminimalkan ketergantungan pada satu metode saja. IWM untuk matun meliputi:
Integrasi strategi ini bertujuan agar matun tetap menjadi bagian dari siklus, namun beban kerja yang ditanggung petani dapat diringankan melalui teknologi dan perencanaan yang lebih baik.
Sawah adalah ekosistem lahan basah buatan. Kehadiran air memainkan peran ganda; ia membantu padi tumbuh tetapi juga memicu perkecambahan gulma. Matun harus dipertimbangkan bersama dengan manajemen air.
Petani secara tradisional menggunakan kedalaman air sawah sebagai alat matun alami. Menjaga kedalaman air yang stabil (sekitar 5–10 cm) setelah penanaman dapat menenggelamkan beberapa jenis biji gulma yang membutuhkan udara untuk berkecambah. Namun, jika air terlalu dangkal, gulma rumput akan mudah tumbuh. Jika air terlalu dalam, padi muda bisa tertekan, tetapi beberapa gulma air (seperti genjer) akan tumbuh subur.
Saat matun manual dilakukan, tangan dan kaki petani secara tidak langsung mengaduk lapisan lumpur (pembentukan puddled soil). Pengadukan ini memiliki efek samping yang menguntungkan, yaitu aerasi (penambahan oksigen) pada lapisan tanah atas. Aerasi membantu meningkatkan aktivitas mikroorganisme yang bertanggung jawab memecah bahan organik menjadi nutrisi yang siap diserap oleh akar padi. Jadi, matun tidak hanya menghilangkan gulma, tetapi juga merawat kesehatan tanah.
Gulma yang terlalu rapat, terutama yang berdaun lebar dan menutupi permukaan air, dapat mengurangi suhu air di bawahnya secara signifikan. Perubahan suhu air ini bisa menyebabkan stres pada akar padi, yang membutuhkan suhu hangat untuk pertumbuhan optimal. Dengan matun, petani mengembalikan keseimbangan paparan sinar matahari pada permukaan air, memastikan suhu lingkungan akar tetap stabil dan mendukung pertumbuhan.
Proses matun yang teratur menunjukkan bahwa pengelolaan gulma di sawah tidak bisa dipisahkan dari pengelolaan sumber daya air. Keduanya adalah dua sisi mata uang yang sama dalam pertanian lahan basah.
Alt Text: Diagram menunjukkan proses Matun menghilangkan gulma sehingga nutrisi tersedia penuh untuk padi.
Di Indonesia, terdapat ribuan varietas padi lokal yang telah beradaptasi dengan kondisi geografis spesifik. Matun memiliki peran yang berbeda-beda tergantung karakteristik varietas padi yang ditanam.
Padi varietas unggul (seperti Ciherang atau Inpari) biasanya memiliki umur pendek dan pertumbuhan anakan yang seragam serta cepat. Karena pertumbuhan cepat ini, periode matun menjadi lebih singkat dan kritikal. Petani harus melakukan matun dengan sangat efisien dalam waktu 10-20 hari setelah tanam agar gulma tidak mendahului pertumbuhan cepat padi.
Sebaliknya, pada varietas padi lokal tua (misalnya Padi Gogo atau varietas beras merah tertentu yang ditanam di sawah), masa vegetatifnya lebih panjang (mencapai 150 hari atau lebih). Meskipun pertumbuhannya lebih lambat, varietas lokal seringkali memiliki kemampuan kompetisi gulma yang lebih baik. Namun, karena siklus yang panjang, risiko munculnya gelombang gulma kedua dan ketiga lebih tinggi, menuntut matun susulan yang lebih sering dan berkelanjutan.
Di sawah irigasi teknis, manajemen air lebih mudah dikendalikan. Petani dapat membanjiri atau mengeringkan lahan untuk memfasilitasi matun. Di lahan tadah hujan, matun menjadi sangat menantang. Jika musim kemarau datang lebih awal, lumpur sawah mengeras. Mencabut gulma dari tanah yang keras (disebut juga ngarit, atau memotong) jauh lebih sulit dan merusak daripada mencabut di lumpur basah. Petani di lahan tadah hujan harus memanfaatkan setiap periode kebasahan tanah setelah hujan untuk segera melakukan matun secara intensif.
Dalam analisis ekonomi pertanian, biaya matun manual seringkali merupakan salah satu komponen terbesar dari biaya produksi, kedua setelah biaya pupuk. Jika buruh matun dibayar harian, biayanya dapat mencapai 20-30% dari total biaya operasional. Karena tingginya biaya ini, petani sering kali melakukan perhitungan cermat: apakah kerugian hasil panen akibat gulma lebih besar daripada biaya upah matun? Hampir selalu, biaya matun akan tertutupi oleh peningkatan hasil panen yang signifikan (setidaknya 25% lebih tinggi jika matun dilakukan dengan baik).
Investasi pada matun adalah investasi pada kualitas bulir dan kuantitas gabah. Sawah yang bersih dari gulma menghasilkan bulir padi yang lebih padat, karena semua nutrisi terfokus pada pengisian malai, bukan pada pertumbuhan vegetatif gulma.
Ketika populasi global terus meningkat dan lahan pertanian menyusut, efisiensi menjadi kunci. Di masa depan, matun mungkin tidak lagi sepenuhnya manual, tetapi tetap mempertahankan prinsip-prinsip organik dan presisi.
Penelitian di bidang agrikultur presisi mulai mengembangkan robot-robot kecil yang mampu bergerak otonom di sawah. Robot ini dilengkapi dengan AI dan sistem penglihatan (computer vision) yang dapat membedakan antara tanaman padi dan gulma. Mereka kemudian dapat menghilangkan gulma secara mekanis atau menyemprotkan herbisida ultra-lokal (spot spraying) hanya pada gulma tersebut, meminimalkan penggunaan bahan kimia secara keseluruhan.
Meskipun teknologi ini masih mahal dan belum terjangkau petani Indonesia, konsepnya—yaitu penyiangan yang sangat tepat sasaran—menjanjikan masa depan di mana matun dilakukan dengan ketelitian super tanpa perlu tenaga kerja manusia yang berlebihan.
Bioteknologi juga berupaya membantu matun dengan mengembangkan varietas padi yang secara genetik lebih toleran terhadap keberadaan gulma, atau yang memiliki kemampuan alelopati. Alelopati adalah kemampuan tanaman untuk melepaskan zat kimia tertentu dari akarnya yang dapat menghambat pertumbuhan gulma di sekitarnya. Jika varietas padi masa depan dapat melakukan "matun" secara kimiawi dan alami dari akarnya sendiri, beban kerja fisik petani akan sangat berkurang.
Meskipun teknologi datang, kearifan lokal matun tidak boleh hilang. Matun mengajarkan tentang observasi detail, kesabaran, dan penghargaan terhadap ekosistem. Konservasi praktik matun tradisional dapat menjadi pelajaran penting bagi generasi muda tentang pentingnya pangan organik dan intervensi minimal dalam agroekosistem. Pengalaman menyentuh lumpur dan merawat tanaman dari dekat adalah warisan yang tak ternilai.
Matun, dari sudut pandang sejarah dan budaya, adalah pilar yang menopang fondasi pertanian padi di Indonesia. Dari tindakan membungkuk seorang diri di sawah, hingga kegiatan gotong royong yang meriah, matun adalah simbol ketahanan pangan dan kerja keras kolektif. Meskipun tantangan modern seperti herbisida dan migrasi tenaga kerja mengancam keberlanjutannya, prinsip matun—ketekunan dalam membersihkan, merawat, dan memastikan setiap tanaman padi mendapatkan hak nutrisinya—akan selalu menjadi filosofi inti pertanian yang berkelanjutan dan berhasil. Kita hanya bisa menghargai segenap kerja keras yang tercurah dalam setiap proses matun, yang pada akhirnya menghasilkan nasi di meja makan kita.
Detail teknis matun, mulai dari pemilihan alat kored yang sesuai dengan jenis tanah (tanah liat, tanah berpasir, atau tanah organik yang kaya) hingga penentuan arah gerak mencabut (maju, mundur, atau menyamping) merupakan serangkaian keputusan mikro yang menentukan efisiensi kerja. Petani tidak hanya mencabut, tetapi juga merasakan tekstur tanah dan kelembaban, menggunakan indra mereka sebagai alat diagnostik yang paling akurat.
Dalam konteks perubahan iklim, matun menjadi semakin penting. Curah hujan yang tidak teratur dapat menyebabkan fluktuasi air yang drastis di sawah, memicu ledakan pertumbuhan gulma air secara tiba-tiba. Petani harus lebih sigap dan responsif dalam menjadwalkan matun darurat. Jika dahulu matun bisa dijadwalkan berdasarkan kalender tanam yang ketat, kini fleksibilitas dan kecepatan respons menjadi kunci utama agar gulma tidak mengambil alih sawah sebelum padi sempat menguat.
Oleh karena itu, setiap helai rumput yang dicabut melalui matun mewakili perjuangan melawan entropi alam, sebuah upaya terus-menerus untuk menjaga ketertiban dalam sistem yang secara inheren mendorong kekacauan. Matun adalah penjaga hasil panen, memastikan bahwa energi matahari dan nutrisi tanah diubah menjadi pangan, bukan menjadi sampah biomassa gulma.
Matun memainkan peran sentral dalam menggerakkan ekonomi mikro pedesaan. Di luar pemilik lahan, ada segmen masyarakat yang hidup dari menjadi buruh matun. Buruh harian lepas ini, seringkali terdiri dari ibu-ibu rumah tangga atau petani kecil yang tidak sedang menanam, membentuk kelompok kerja yang sangat spesifik. Upah matun bervariasi tergantung musim tanam, tingkat kesulitan (kepadatan gulma), dan ketersediaan tenaga kerja. Pada puncak musim tanam, ketika semua petani membutuhkan matun secara bersamaan, upah harian buruh bisa melonjak tinggi.
Fenomena ini menciptakan siklus kredit informal di desa. Pemilik sawah mungkin harus meminjam uang atau menjual sebagian aset kecilnya untuk membayar buruh matun tepat waktu. Sebaliknya, buruh matun mengandalkan penghasilan ini untuk kebutuhan harian keluarga. Ketergantungan ekonomi ini memperkuat ikatan sosial (gotong royong komersial) sekaligus meningkatkan risiko finansial jika panen gagal.
Matun juga berkorelasi erat dengan kualitas pupuk yang digunakan. Jika petani menggunakan pupuk kimia secara berlebihan (terutama Nitrogen), gulma akan merespons dengan pertumbuhan yang eksplosif. Ini memaksa petani untuk melakukan matun lebih intensif dan lebih sering, sehingga meningkatkan biaya operasional dua kali lipat—biaya pupuk tinggi dan biaya matun tinggi. Hal ini menyoroti pentingnya matun dalam strategi pertanian organik, di mana pupuk organik (yang diserap lebih lambat) membantu mengendalikan laju pertumbuhan gulma, sehingga mengurangi frekuensi matun.
Aspek yang sering diabaikan dari matun adalah dampak fisiknya yang luar biasa. Matun adalah pekerjaan yang sangat ergonomis-buruk. Petani menghabiskan berjam-jam dalam posisi membungkuk permanen (90 derajat atau lebih), dengan kaki terendam lumpur, yang dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan kronis:
Meskipun demikian, petani tradisional telah mengembangkan teknik adaptasi, seperti penggunaan topi caping yang lebar, pakaian berlengan panjang, dan istirahat teratur (ngaso) untuk memulihkan energi. Alat penyiang mekanis kecil diperkenalkan sebagian besar untuk mengatasi masalah ergonomi ini, memungkinkan petani untuk bekerja sambil berdiri atau berjalan, alih-alih merangkak di lumpur.
Matun, meskipun menggunakan istilah lokal Indonesia, adalah praktik universal di seluruh Asia Tenggara yang bergantung pada padi sawah. Di Vietnam, praktik ini disebut nhổ cỏ; di Thailand, disebut thong na; dan di Filipina, disebut pagdidiit atau weeding. Meskipun nama dan alatnya berbeda, prinsip intinya sama: menghilangkan kompetitor utama tanaman padi.
Perbedaan regional terletak pada intensitas dan periode. Di Filipina dan Thailand yang sawahnya sering mengalami kekeringan parsial, matun manual mungkin lebih fokus pada gulma teki-tekian. Sementara di Indonesia yang memiliki sistem irigasi lebih stabil, tantangan terbesar adalah gulma rumput yang menyerupai padi. Perbandingan ini menunjukkan bahwa matun bukan hanya tradisi, tetapi sebuah respons ekologis terhadap kondisi lahan basah yang spesifik.
Petani ahli memanfaatkan drainase sawah sebagai bagian tak terpisahkan dari matun. Sekitar 2-3 minggu setelah tanam, sawah dikeringkan total selama 3-5 hari. Kekeringan singkat ini bertujuan untuk memberi "stres" pada gulma yang baru berkecambah, terutama gulma air. Ketika sawah diairi kembali, gulma yang lemah akan mati atau menjadi sangat rentan dicabut. Padi, karena sudah menancapkan akar lebih dalam, umumnya mampu bertahan dari kekeringan sesaat ini.
Pengendalian gulma jangka panjang (lebih dari satu musim tanam) juga melibatkan rotasi. Setelah panen padi, beberapa petani beralih menanam palawija (jagung, kedelai, atau kacang-kacangan) untuk satu musim. Rotasi tanaman ini mengubah lingkungan tumbuh (dari lahan basah menjadi lahan kering), yang secara drastis mengurangi populasi gulma air spesifik padi untuk musim tanam berikutnya. Matun kemudian menjadi lebih mudah pada musim padi berikutnya karena tekanan gulma awal sudah berkurang.
Matun adalah pengejawantahan dari prinsip telaten (ketekunan dan kesabaran) dalam filosofi hidup petani Jawa. Ini adalah pekerjaan yang menuntut kehadiran pikiran penuh (mindfulness). Mencabut satu per satu, mengulanginya lagi dan lagi, hingga sawah terlihat bersih. Filosofi ini memastikan bahwa kualitas hasil panen tidak dikompromikan demi kecepatan. Petani tahu betul bahwa hasil matun yang tergesa-gesa pada akhirnya akan kembali menghukum mereka dengan panen yang buruk.
Setiap daerah di Nusantara memiliki terminologi unik dan variasi ritual untuk matun. Di Subang, proses matun sering disebut ngarambet. Di beberapa daerah lain di Jawa, istilah wiwit (awal) sering dikaitkan dengan matun pertama sebagai penanda dimulainya perawatan intensif. Meskipun namanya beragam, tujuan akhir tetap sama: memastikan pertumbuhan emas hijau (padi) tanpa gangguan. Matun adalah fondasi dari swasembada pangan yang menjadi cita-cita bangsa.
Matun menuntut pengamatan mikro terhadap lingkungan sawah. Seorang petani yang berpengalaman dapat memprediksi jenis gulma apa yang akan dominan hanya dengan melihat jenis tanah, warna air, dan sejarah tanam lahan tersebut. Jika tanah terlihat kaya bahan organik dan agak berpasir, kemungkinan gulma rumput (Jawan) akan mendominasi. Jika airnya cenderung stagnan dan keruh, gulma air berdaun lebar (Eceng atau Genjer) akan menjadi masalah utama. Pengetahuan diagnostik yang diperoleh dari pengalaman bertahun-tahun ini adalah inti dari kearifan lokal matun.
Penggunaan kored atau sabit kecil juga memerlukan teknik khusus. Gerakan yang terlalu dangkal hanya akan memotong bagian atas gulma, membiarkan titik tumbuh utama tetap hidup. Gerakan yang terlalu dalam dapat merusak perakaran padi di sebelahnya. Keseimbangan antara kedalaman dan ketepatan adalah keahlian yang hanya diasah melalui ribuan jam matun di sawah. Alat matun seringkali dibuat secara personal oleh pandai besi desa, disesuaikan dengan lekuk tangan petani dan jenis tanah yang mereka garap, menegaskan kembali bahwa matun adalah seni yang sangat personal.
Dalam konteks modern, ketika lahan pertanian semakin terfragmentasi dan modal menjadi terbatas, matun manual seringkali menjadi pilihan terakhir. Di beberapa desa, petani membentuk koperasi matun, di mana peralatan penyiang mekanis tangan dibeli bersama dan digunakan secara bergiliran. Koperasi ini membantu mendistribusikan beban biaya dan memastikan bahwa matun tetap bisa dilakukan tepat waktu, meskipun ketersediaan buruh harian sedang langka. Inisiatif kolektif semacam ini adalah evolusi dari tradisi gotong royong lama menuju model bisnis pertanian yang lebih terorganisir.
Analisis dampak matun terhadap mikrobioma tanah juga menunjukkan hasil yang menarik. Tindakan mengaduk lumpur dan membenamkan gulma yang baru dicabut kembali ke dalam tanah memicu siklus dekomposisi yang cepat. Gulma yang membusuk menjadi pupuk hijau yang kaya karbon organik, meningkatkan kesuburan tanah tanpa perlu tambahan kimia. Matun dengan demikian berfungsi ganda: sebagai pemberantas gulma dan sebagai praktik pemupukan organik yang berkelanjutan. Ini adalah keunggulan mutlak matun manual dibandingkan herbisida, yang hanya membunuh tanpa memberikan manfaat nutrisi balik ke tanah.
Keseluruhan, matun adalah narasi tentang ketahanan dan dedikasi. Ia mengajarkan bahwa hasil terbaik diperoleh dari interaksi hati-hati dan berkelanjutan dengan alam. Sebagaimana sawah membutuhkan air, tanah membutuhkan nutrisi, padi membutuhkan matun untuk memastikan kelangsungan hidupnya. Matun adalah bahasa bumi, yang diterjemahkan petani menjadi hasil panen yang menghidupi jutaan jiwa.