Gulungan kitab suci dan pena, simbol penulisan Injil yang mencatat ajaran Kristus.
Injil Matius merupakan gerbang pembuka Perjanjian Baru, memainkan peran krusial sebagai jembatan yang menghubungkan narasi ilahi Israel kuno dengan kehidupan, pelayanan, dan ajaran Yesus Kristus. Ditulis terutama untuk audiens Yahudi Kristen, Matius berupaya keras membuktikan satu klaim teologis utama: bahwa Yesus dari Nazaret adalah Mesias yang dinubuatkan, pewaris takhta Daud, dan pemenuhan sempurna dari Hukum Taurat dan para nabi. Kekuatan Injil ini terletak pada struktur yang cermat, penekanan pada ajaran Kristus (khotbah), dan penggunaan ekstensif kutipan Perjanjian Lama yang dikenal sebagai Formula Pemenuhan (Fulfillment Formula).
Dengan 28 pasal yang terstruktur rapi, Matius tidak hanya menyajikan kisah Yesus tetapi juga sebuah manual teologis mengenai bagaimana kehidupan orang percaya harus diatur di bawah otoritas Kerajaan Surga. Artikel ini akan mengupas tuntas struktur, ciri khas, dan tema-tema teologis mendasar yang menjadikan Injil Matius sebagai dokumen fundamental bagi Gereja universal, menelusuri secara detail ajaran, polemik, dan visi eskatologisnya yang khas.
Tradisi gereja secara bulat mengaitkan Injil pertama ini kepada Matius, yang juga dikenal sebagai Lewi, seorang pemungut cukai yang dipanggil Yesus untuk menjadi salah satu dari Dua Belas murid (Mat. 9:9). Identitas Matius sebagai pemungut cukai memberinya latar belakang unik: ia adalah seorang terpelajar, terlatih dalam bahasa Aram dan kemungkinan besar Yunani, serta akrab dengan catatan dan pembukuan—sebuah prasyarat yang sangat membantu dalam menyusun Injil yang sangat terstruktur ini.
Meskipun tanggal pasti penulisan diperdebatkan, konsensus umum menempatkannya antara tahun 70 M hingga 90 M. Penempatan pasca-70 M didukung oleh penggunaan bahasa yang menyiratkan kehancuran Bait Suci (Mat. 22:7) sebagai peristiwa masa lalu atau yang akan datang segera, dan refleksi teologis yang lebih matang terhadap hubungan antara Gereja dan Sinagoge. Tempat penulisan yang paling mungkin adalah Antiokhia, Suriah, sebuah kota metropolitan besar dengan komunitas Yahudi dan Kristen yang signifikan, di mana perdebatan mengenai ketaatan Hukum Taurat sangat intens.
Audiens utama Matius adalah Yahudi Kristen yang sedang berjuang untuk mendefinisikan identitas mereka setelah kejatuhan Yerusalem pada tahun 70 M. Pada saat itu, batas antara Yudaisme dan Kekristenan semakin jelas, dan Matius ingin meyakinkan para pembacanya bahwa iman kepada Yesus adalah kelanjutan yang sah, bahkan pemenuhan, dari sejarah keselamatan Israel. Ini menjelaskan mengapa Matius sering menggunakan frasa "supaya genaplah yang difirmankan Tuhan oleh nabi," dan mengapa silsilah Kristus (Mat. 1:1-17) ditarik kembali hingga Abraham.
Matius menggunakan Perjanjian Lama (PL) lebih dari Injil lain, mengutipnya secara langsung sebanyak 65 kali dan merujuknya ratusan kali. Ada sepuluh kutipan PL formal yang hanya ditemukan dalam Matius, yang dikenal sebagai 'Kutipan Pemenuhan'. Setiap kutipan berfungsi untuk menegaskan bahwa setiap peristiwa dalam kehidupan Yesus, mulai dari kelahiran (1:23) hingga masuk ke Yerusalem (21:5), telah direncanakan dan dinubuatkan oleh Tuhan sejak dahulu kala. Hal ini secara efektif menghubungkan Yesus sebagai klimaks dari narasi historis Israel.
Matius dikenal karena struktur pengajarannya yang sangat rapi. Berbeda dengan Markus yang fokus pada aksi, Matius fokus pada perkataan (logia) Yesus. Struktur Injil ini sering dibagi menjadi lima blok naratif, yang masing-masing diakhiri dengan frasa penutup yang mirip: "Setelah Yesus selesai menyampaikan pengajaran ini..." (Contohnya, Mat. 7:28; 11:1; 13:53; 19:1; 26:1).
Ini adalah pengajaran Yesus yang paling terkenal dan merupakan Piagam Agung Kerajaan Surga. Khotbah di Bukit menetapkan standar etika yang radikal, yang menunjukkan bahwa ketaatan sejati melampaui kepatuhan lahiriah terhadap hukum. Khotbah ini mencakup:
Diskursus ini berfokus pada pelatihan dan pengutusan Dua Belas Murid. Ini adalah instruksi praktis mengenai tugas, wewenang, dan tantangan yang akan dihadapi oleh para murid dalam mewartakan Kerajaan Surga.
Diskursus ini, yang berpusat pada tujuh perumpamaan besar, menjelaskan sifat Kerajaan Surga kepada kerumunan, sekaligus menyembunyikan maknanya dari mereka yang menolak Yesus. Ini adalah kunci untuk memahami bagaimana Kerajaan Surga berfungsi dalam "periode intertestamental" (masa antara kedatangan pertama dan kedua Kristus).
Diskursus ini dikenal sebagai "Piagam Gereja" karena berisi instruksi mengenai kehidupan dalam komunitas orang percaya (Ekklesia). Hal ini menyoroti kerendahan hati, pengampunan, dan disiplin gerejawi.
Diskursus terakhir ini adalah nubuat besar Yesus mengenai akhir zaman, kedatangan kedua, dan penghakiman. Ini adalah perpisahan Yesus yang penuh peringatan dan tuntutan etika.
Penyajian Yesus sebagai Raja Mesianis adalah tema yang dominan dan paling menonjol. Injil ini dibuka dengan silsilah yang dengan sengaja dibagi menjadi tiga kelompok empat belas generasi, untuk menghubungkan Yesus secara langsung dengan Daud (nilai numerik nama Daud dalam bahasa Ibrani adalah 14). Matius secara konsisten menggunakan gelar-gelar yang merujuk pada keagungan dan klaim politik Yesus.
Matius adalah satu-satunya Injil yang menggunakan frasa "Kerajaan Surga" (sekitar 32 kali), yang merupakan sinonim untuk "Kerajaan Allah" (digunakan oleh Markus dan Lukas). Perbedaan istilah ini mungkin karena penghormatan Matius terhadap kepekaan Yahudi yang menghindari penyebutan langsung nama Allah.
Kerajaan Surga dalam Matius memiliki dualitas penting:
Kepemilikan Kerajaan Surga menuntut kebenaran yang radikal, yang dijelaskan secara rinci dalam Khotbah di Bukit. Ini bukan hanya masalah keyakinan, tetapi implementasi etika ilahi dalam kehidupan sehari-hari.
Konsep kebenaran (dikaiosynē) sangat fundamental. Matius menekankan bahwa kebenaran yang dituntut Yesus harus "melebihi" kebenaran yang ditunjukkan oleh ahli Taurat dan orang Farisi (5:20). Ini bukan berarti melakukan lebih banyak ritual, tetapi memiliki motivasi hati yang murni dan ketaatan yang menyeluruh terhadap kehendak Allah.
Perbedaan antara kebenaran Farisi dan kebenaran Kerajaan Surga terletak pada:
Matius adalah satu-satunya Injil kanonik yang menggunakan kata Yunani ekklesia (gereja) sebanyak dua kali (16:18 dan 18:17). Ini menunjukkan bahwa Matius, yang menulis pada masa komunitas Kristen mulai terstruktur, memberikan landasan teologis bagi komunitas baru ini.
Pasal 16:18, di mana Yesus menyatakan kepada Petrus, "Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku (ekklesia)," adalah kunci pendirian institusional Gereja. Pasal 18, Khotbah Komunitas, kemudian memberikan manual operasional untuk Gereja, termasuk cara menangani konflik dan dosa.
Meskipun Matius sangat berfokus pada misi Yesus kepada Israel, Injil ini ditutup dengan visi universal yang sangat kuat. Setelah kebangkitan, Amanat Agung (Mat. 28:18-20) membatalkan batasan misi awal (Mat. 10:6) dan mengarahkan para murid untuk menjadikan semua bangsa sebagai murid. Ini adalah titik balik teologis yang memastikan Kekristenan bukanlah sekte Yahudi, melainkan gerakan global.
Amanat Agung (28:19-20) merupakan ringkasan teologi Matius: Kristus memiliki seluruh otoritas di surga dan di bumi, dan otoritas ini harus diwujudkan melalui pengajaran, pembaptisan, dan kepatuhan terhadap segala sesuatu yang telah Dia perintahkan.
Narasi kelahiran Matius sangat berbeda dari Lukas. Matius fokus pada Yusuf, menunjukkan bagaimana ia menerima dan melindungi garis keturunan Daud, dan bagaimana kelahiran Yesus memenuhi serangkaian nubuat. Ini adalah bagian yang paling banyak menggunakan Kutipan Pemenuhan.
Pasal 23 adalah salah satu bagian paling keras dalam Perjanjian Baru, di mana Yesus mengarahkan kritik tajam—Tujuh Celaka—kepada ahli Taurat dan orang Farisi. Kritik ini esensial bagi teologi Matius karena membedakan secara definitif antara kebenaran sejati (Kerajaan Surga) dan legalisme hipokrit.
Yesus mengecam mereka bukan karena ketaatan mereka terhadap Hukum, tetapi karena:
Matius secara strategis menempatkan serangkaian sepuluh mukjizat setelah Khotbah di Bukit. Jika Khotbah di Bukit adalah otoritas Yesus dalam perkataan, maka mukjizat adalah otoritas-Nya dalam tindakan. Urutan mukjizat ini menunjukkan bahwa Yesus memiliki kuasa atas penyakit (kusta, kelumpuhan), alam (badai), roh jahat (kerasukan), dan bahkan kematian.
Mukjizat dalam Matius selalu memiliki makna ganda:
Matius menyajikan kisah sengsara dengan penekanan pada peran Yudaisme institusional dalam penolakan Yesus, yang berfungsi untuk membenarkan pemisahan komunitas Matius dari Sinagoge. Ada beberapa elemen unik dalam narasi Matius:
Posisi Matius sebagai Injil pertama dalam kanon tidak terjadi secara kebetulan. Injil ini berfungsi sebagai penghubung teologis dan naratif yang paling efektif antara dua wasiat, menafsirkan nubuatan PL melalui lensa kehidupan Kristus. Bagi para pembaca awal, Matius menjawab pertanyaan mendasar: Bagaimana Yesus, yang disalibkan, bisa menjadi Mesias yang dinanti-nantikan?
Sifat terstruktur Matius, terutama lima diskursus panjang, menjadikannya Injil yang paling cocok untuk pengajaran, memorisasi, dan pembentukan kredo bagi Gereja mula-mula. Khotbah di Bukit menjadi dasar etika Kristen, sementara Khotbah Komunitas menyediakan kerangka kerja bagi kehidupan jemaat. Matius bukan sekadar biografi; ia adalah buku panduan untuk menjadi murid.
Matius umumnya dianggap sebagai salah satu dari tiga Injil Sinoptik (bersama Markus dan Lukas) dan sebagian besar akademisi mendukung Prioritas Markus (Markus ditulis pertama). Dalam konteks Hipotesis Dua Sumber (Markus dan Q), materi unik Matius (disebut "M") adalah yang paling signifikan. Materi M ini termasuk kisah kelahiran, beberapa perumpamaan (seperti lalang), dan narasi unik tentang penghakiman akhir zaman.
Kontribusi terbesar Matius (M) adalah presentasi sistematik ajaran Yesus. Ia tidak hanya mengumpulkan ucapan Yesus (seperti yang mungkin dilakukan oleh sumber Q), tetapi ia mengorganisasikannya menjadi unit-unit tematik yang kohesif dan mudah diajarkan, yang merupakan warisan paling abadi dari Matius sebagai pemungut cukai yang teliti.
Perdebatan mengenai Hukum Taurat (Torah) adalah inti dari konteks Matius, terutama dalam konflik internal antara pengikut Yesus yang Yahudi dan komunitas Yudaisme yang lebih luas. Matius 5:17 adalah ayat kunci: "Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi; Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya."
Penggenapan yang dimaksud Matius mencakup dua aspek:
Dengan menuntut agar kebenaran murid-murid melampaui Farisi, Yesus menunjukkan bahwa standar moral yang baru (yang sebenarnya merupakan standar moral yang lama, tetapi dipulihkan) adalah mutlak dan hanya dapat dicapai melalui anugerah dan otoritas-Nya.
Matius juga mencakup beberapa peraturan yang unik dalam konteks etika gereja, yang menunjukkan kepeduliannya terhadap masalah praktis. Misalnya, Matius adalah satu-satunya Injil Sinoptik yang mencatat pengecualian bagi perceraian ("kecuali karena percabulan," Mat. 19:9), yang disebut sebagai exception clause. Hal ini menunjukkan perhatian Matius terhadap keutuhan komunitas dan penanganan kasus-kasus sulit dalam kehidupan jemaat.
Khotbah Olif (Mat. 24-25) adalah tulang punggung eskatologi dalam Injil Matius. Yesus memberikan rincian tentang akhir zaman yang bertujuan bukan untuk memuaskan rasa penasaran kronologis, tetapi untuk mendorong kesiapan moral dan etis.
Ketiga perumpamaan terakhir (pasal 25)—sepuluh gadis, talenta, dan domba/kambing—semuanya berfungsi untuk menekankan kewaspadaan. Kedatangan Tuhan akan terjadi secara tak terduga (seperti pencuri di malam hari), dan oleh karena itu, para murid harus hidup dalam keadaan kesiapan yang konstan.
Bagian terakhir, Penghakiman Domba dan Kambing, adalah salah satu bagian yang paling kuat dan menantang. Kriteria yang digunakan Raja Mesias untuk memisahkan manusia pada penghakiman bukanlah hanya keyakinan verbal, melainkan tindakan nyata kasih terhadap "saudara-saudara-Ku yang paling hina ini" (yang secara tradisional ditafsirkan sebagai sesama orang Kristen yang menderita, atau bahkan manusia yang paling membutuhkan secara umum).
Ini menyimpulkan tuntutan kebenaran Matius: etika Kerajaan Surga harus diwujudkan dalam kepedulian yang radikal terhadap orang miskin dan yang terpinggirkan. Tanpa praktik kasih, tuntutan Kerajaan Surga tidak terpenuhi.
Injil Matius menjadi Injil yang paling sering digunakan oleh Gereja mula-mula. Dokumen-dokumen awal Kristen, seperti Didache (pengajaran Dua Belas Rasul), menunjukkan ketergantungan yang kuat pada Khotbah di Bukit dan instruksi disiplin gerejawi Matius.
Sepanjang sejarah, Matius telah menjadi sumber inspirasi utama:
Injil Matius berhasil meletakkan dasar bagi pemahaman Kekristenan sebagai penggenapan Yudaisme, sekaligus mendefinisikan batas-batas komunitas baru (Ekklesia) yang didirikan oleh otoritas Raja Mesias yang telah bangkit.
Matius menyajikan kepada kita Yesus yang adalah Guru yang ulung (Rabi Agung), pemberi Hukum yang baru, dan Raja yang penuh otoritas. Ia adalah Mesias yang tidak hanya dinubuatkan oleh nabi-nabi Israel tetapi juga yang menggenapi semua nubuatan tersebut dengan kehidupan-Nya yang sempurna, ketaatan-Nya yang radikal, dan kemenangan-Nya atas kematian. Injil ini tetap menjadi dokumen esensial yang menantang para pembacanya untuk mencari kebenaran yang melampaui, hidup di bawah etika Kerajaan, dan dengan aktif menjadikan semua bangsa sebagai murid-Nya.
Perluasan narasi Matius pada bagian-bagian yang terkait dengan otoritas dan kuasa sangat penting. Misalnya, dalam konteks pelayanan Yesus di Galilea (Pasal 4-9), Matius sengaja mengemas kisah-kisah mukjizat dan pengajaran agar menunjukkan Yesus sebagai figur Musa yang baru, yang tidak hanya memberikan Taurat dari gunung (Khotbah di Bukit), tetapi juga memimpin umat-Nya menuju keselamatan melalui mukjizat dan demonstrasi kuasa ilahi. Hal ini sangat resonan bagi audiens Yahudi yang menghargai kesinambungan dengan para pemimpin sejarah mereka.
Setelah pengutusan murid dan penjelasan tentang Kerajaan melalui perumpamaan, Matius mencatat periode kontroversi yang intens (Pasal 11 dan 12). Ini adalah masa di mana Yesus secara terbuka menghadapi penolakan, baik dari Yohanes Pembaptis yang merasa ragu (11:2-6) maupun dari para pemimpin agama. Pasal 12, khususnya, mencatat perdebatan sengit mengenai Sabat dan Tuduhan Beelzebul.
Tuduhan bahwa Yesus mengusir setan dengan kuasa Beelzebul adalah titik puncak penolakan. Respons Yesus (12:25-37) sangat teologis: jika Ia mengusir setan dengan kuasa Allah, itu membuktikan bahwa Kerajaan Surga telah tiba (12:28). Penolakan terhadap tanda ini, menurut Matius, adalah dosa yang tidak terampuni (penghujatan terhadap Roh Kudus), karena itu adalah penolakan terhadap manifestasi nyata dari kuasa Allah yang bekerja melalui Mesias.
Penekanan Matius pada ketidakpercayaan dan penolakan ini berfungsi untuk menjelaskan kepada komunitasnya mengapa Israel secara keseluruhan tidak menerima Yesus. Ini bukan kegagalan rencana ilahi, melainkan respons yang diizinkan yang mengarah pada pengalihan fokus misi kepada "bangsa-bangsa" (seperti yang diisyaratkan oleh Kutipan Pemenuhan dalam 12:21 tentang harapan bangsa-bangsa).
Meskipun Perumpamaan Bab 13 adalah pusat dari Diskursus 3, konsep Kerajaan Surga diperluas melalui perumpamaan lain yang unik bagi Matius. Perumpamaan Talenta (25:14-30), misalnya, menekankan pertanggungjawaban dan investasi. Ini bukan hanya tentang kewaspadaan pasif (seperti sepuluh gadis), tetapi tentang penggunaan aktif sumber daya dan karunia yang telah diberikan Tuhan hingga Dia kembali. Nilai Kerajaan menuntut hasil nyata dari murid-murid.
Demikian pula, Perumpamaan Hamba yang Tidak Berbelas Kasihan (18:23-35) memperkuat tema pengampunan yang harus datang dari hati. Matius menunjukkan bahwa jika Raja (Allah) telah mengampuni hutang yang tak terbayangkan (dosa), maka hamba (murid) harus memberikan pengampunan yang sama kepada sesama manusia. Ini adalah cerminan dari Doa Bapa Kami: pengampunan bersyarat pada pengampunan yang kita berikan kepada orang lain.
Otoritas yang diberikan kepada Petrus (16:19) dan kemudian kepada Gereja secara kolektif (18:18) untuk "mengikat dan melepaskan" adalah salah satu kontribusi teologis paling penting Matius. Dalam konteks Yahudi, istilah ini merujuk pada otoritas rabi untuk menyatakan apa yang dilarang ('mengikat') dan apa yang diizinkan ('melepaskan') dalam interpretasi Hukum Taurat.
Dalam Matius, otoritas ini diberikan kepada Gereja untuk membuat keputusan doktrinal dan disipliner. Ini adalah dasar bagi Gereja untuk melaksanakan disiplin (seperti yang dijelaskan dalam Mat. 18) dan untuk menetapkan standar etika bagi komunitas baru, menegaskan bahwa komunitas ini, dipimpin oleh otoritas Kristus, memiliki hak untuk menafsirkan dan menerapkan Hukum ilahi dalam era baru Mesias.
Tentu, beberapa bagian Matius—terutama kutukan terhadap Farisi (Pasal 23) dan seruan "Biarlah darah-Nya ditanggungkan atas kami dan atas anak-anak kami!" oleh orang banyak dalam sidang Pilatus (27:25)—telah disalahgunakan secara tragis sepanjang sejarah untuk membenarkan tindakan anti-Semitisme. Namun, interpretasi modern menekankan bahwa Matius menulis dalam konteks persaingan internal yang sengit antara dua kelompok yang masih merupakan bagian dari Yudaisme, bukan sebagai serangan dari luar.
Tuduhan 'Celaka' adalah kritik nabi internal yang ditujukan untuk reformasi dan kebenaran, bukan kecaman total terhadap seluruh bangsa. Frasa "darah-Nya ditanggungkan atas kami" lebih merupakan pengakuan retoris yang dramatis atas tanggung jawab moral dalam narasi daripada kutukan teologis yang ditujukan untuk semua generasi Yahudi yang akan datang.
Matius secara signifikan menggunakan struktur dan simbolisme numerik. Pembagian silsilah Yesus menjadi 3 x 14 generasi (1:17) adalah contoh paling jelas. Angka tujuh, yang sering muncul dalam narasinya (tujuh perumpamaan, tujuh celaka, pengampunan "tujuh puluh kali tujuh kali"), merujuk pada kesempurnaan dan kepenuhan ilahi. Struktur yang teratur ini menunjukkan bahwa seluruh narasi Yesus, mulai dari leluhur hingga Amanat Agung, adalah tindakan yang diatur secara sempurna oleh Providence Ilahi.
Kehadiran Yesus sebagai Immanuel ("Allah menyertai kita") yang dinubuatkan (1:23) dan kemudian janji-Nya di Amanat Agung, "Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman" (28:20), membentuk kerangka inklusif (inclusio) yang menegaskan Kehadiran Allah di tengah umat-Nya melalui Yesus Kristus. Ini adalah janji yang memberikan dasar bagi keberanian dan ketekunan para murid dalam melaksanakan tugas global mereka.
Seluruh narasi Matius adalah panggilan untuk menjalani hidup yang "lebih benar" dalam Kerajaan Allah yang telah hadir. Ini adalah undangan kepada pembacanya untuk mengakui Yesus sebagai Raja, menaati Taurat yang digenapi oleh-Nya, dan mewujudkan kasih dan keadilan Kerajaan di dunia hingga Ia datang kembali dengan kemuliaan dan otoritas yang tak terbantahkan.
Injil ini, dengan penekanannya pada ajaran (Didache), disiplin (Discipline), dan pewartaan (Kerygma), tetap relevan sebagai panduan komprehensif untuk mendirikan dan memelihara komunitas iman yang setia pada tuntutan radikal Yesus. Struktur yang terperinci dan penguatan tema-tema utama melalui Kutipan Pemenuhan memastikan bahwa Matius akan selalu menjadi dokumen dasar yang tak tergantikan dalam studi tentang kemesiasan Yesus dan kehidupan etis murid-murid-Nya.
Perluasan analisis terhadap setiap diskursus akan menguatkan argumen struktural ini. Misalnya, Khotbah di Bukit (5-7) dapat dilihat sebagai *kepatuhan batin*, yang berlawanan dengan kepatuhan Farisi. Khotbah Misi (10) adalah instruksi untuk *otoritas dan kesulitan*, mempersiapkan Gereja untuk penyebaran ajaran. Khotbah Perumpamaan (13) menjelaskan *pertumbuhan rahasia* Kerajaan di tengah-tengah dunia yang jahat. Khotbah Komunitas (18) menyediakan *prosedur internal* untuk komunitas yang sudah mapan. Akhirnya, Khotbah Olif (24-25) memberikan *perspektif eskatologis* yang menuntut kesiapan dan pelayanan hingga akhir. Kelima blok pengajaran ini mencakup seluruh spektrum kehidupan iman, dari etika pribadi hingga misi global dan pengharapan masa depan.
Kristologi (studi tentang Kristus) Matius sangat kaya. Yesus disajikan bukan hanya sebagai Mesias, tetapi juga sebagai:
Dalam narasi kebangkitan (Pasal 28), Matius memberikan titik kristologis tertinggi. Para murid harus membaptis dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus (rumusan trinitarian unik), dan Yesus menyatakan bahwa "Segala kuasa di surga dan di bumi telah diserahkan kepada-Ku." Ini adalah penobatan penuh Yesus sebagai Penguasa Kosmos, yang melaluinya misi Gereja dapat dilaksanakan.
Tidak ada Injil lain yang menempatkan klaim otoritas absolut ini dengan begitu jelas pada penutupnya, menjadikan Matius penekanan teologis yang sempurna mengenai puncak sejarah keselamatan. Ini adalah penutup yang menantang dan menjanjikan, yang menjamin kesuksesan misi Gereja melalui kehadiran Kristus yang berkuasa.
Seluruh Injil Matius merupakan sebuah mahakarya sastra dan teologis yang secara sengaja disusun untuk menunjukkan bahwa dalam diri Yesus, semua harapan dan rencana Allah bagi Israel dan dunia telah menemukan pemenuhannya. Injil ini bukan hanya catatan sejarah, tetapi seruan abadi untuk hidup sesuai dengan standar Kerajaan Surga.
Matius, melalui penyajian yang teliti ini, tidak hanya memberikan kisah tentang Yesus, tetapi juga mendefinisikan identitas baru bagi mereka yang mengikutinya. Mereka adalah Israel sejati, komunitas yang tunduk pada Raja Mesias yang telah menggenapi Taurat dan yang memiliki jaminan kehadiran-Nya hingga akhir zaman. Kekuatan struktural, penggunaan sumber Perjanjian Lama yang masif, dan fokus pada ajaran menjadikan Injil Matius fondasi yang kokoh dan tak tergoyahkan bagi teologi Kristen.
Tentu saja, memahami kedalaman Matius juga membutuhkan pengakuan atas ironi yang disajikan oleh penulis. Ironi ini muncul dalam kontras antara para pemimpin agama yang berpendidikan tinggi namun buta rohani (ahli Taurat dan Farisi) yang menolak Mesias, dan orang-orang pinggiran, orang Majus dari timur, dan bahkan seorang perwira Romawi (8:5-13) yang menunjukkan iman yang besar kepada-Nya. Ini memperkuat tuntutan Yesus bahwa Kerajaan Surga dimiliki oleh mereka yang memiliki kerendahan hati dan iman seperti anak kecil, bukan oleh mereka yang memiliki status agama tinggi.
Analisis ini mengkonfirmasi bahwa Matius adalah karya yang cermat, yang bertujuan untuk mendidik, menyusun struktur Gereja, dan menegaskan universalitas panggilan keselamatan, semua terikat pada satu kebenaran inti: Yesus Kristus adalah Mesias, Guru Agung, dan Raja yang memiliki semua otoritas di bumi dan di surga.