Konsep materiil—segala sesuatu yang memiliki massa, menempati ruang, dan dapat dipersepsi melalui indra—adalah fondasi absolut dari keberadaan kita. Ia bukan sekadar lawan dari yang non-materiil atau spiritual; ia adalah medan tempat interaksi, produksi, dan peradaban manusia terjadi. Analisis terhadap materiil menuntut kita untuk menyelami jauh melampaui deskripsi fisika dasar, merambah ke wilayah filsafat ontologi, dinamika ekonomi, dan transformasi sosiologis yang membentuk dunia modern.
Kajian mendalam ini akan menguraikan bagaimana pemahaman kita terhadap materiil telah berevolusi, bagaimana ia mendorong mesin kapitalisme global, dan mengapa pengelolaan sumber daya materiil kini menjadi isu keberlanjutan yang paling mendesak bagi masa depan planet ini. Kita akan melihat bagaimana sifat dasar keberwujudan ini terus-menerus menantang batas-batas pemikiran manusia, mulai dari skala kuantum hingga kompleksitas infrastruktur global.
Untuk memahami peran materiil, kita harus terlebih dahulu menetapkan definisinya yang multidimensi. Secara sederhana, materiil merujuk pada substansi fisik. Namun, dalam konteks akademik dan filosofis, ia memiliki beban yang jauh lebih berat, menjadi pusat perdebatan abadi mengenai hakikat realitas.
Sejak zaman kuno, para filsuf telah berjuang untuk memahami komponen dasar materiil. Aliran Atomisme, yang dipelopori oleh Demokritus, berpendapat bahwa materiil tersusun dari partikel-partikel tak terbagi (atom) yang bergerak dalam ruang hampa. Pandangan ini, meskipun primitif, menempatkan materiil sebagai realitas fundamental dan abadi yang tidak bergantung pada kesadaran.
Sebaliknya, Idealisme, yang mencapai puncaknya pada masa Plato dan Hegel, meragukan status materiil sebagai realitas primer. Bagi Plato, objek materiil hanyalah tiruan atau bayangan dari 'Bentuk' (Ideas) yang sempurna dan non-materiil. Di sini, materiil berfungsi sebagai wadah yang tidak sempurna, sekunder dari realitas sejati yang bersifat mental atau spiritual. Pergulatan antara pandangan yang memprioritaskan materi (materialisme) dan pandangan yang memprioritaskan pikiran (idealisme) telah menjadi poros utama metafisika selama ribuan tahun.
Di era modern, Karl Marx dan Friedrich Engels merevitalisasi materialisme melalui lensa sosial dan ekonomi. Materialisme Dialektis (Diamat) menegaskan bahwa materiil adalah realitas independen yang berevolusi melalui proses kontradiksi internal (dialektika). Ini adalah pandangan ontologis yang mendasari pemahaman ilmiah dan alamiah tentang dunia.
Lebih relevan bagi studi sosial adalah Materialisme Historis (Histomat). Pandangan ini berpendapat bahwa kondisi materiil — cara manusia memproduksi dan mereproduksi kehidupan mereka (basis ekonomi) — adalah penentu utama struktur sosial, politik, dan ideologi (suprastruktur). Struktur materiil, seperti alat produksi, sumber daya, dan hubungan kerja, tidak hanya membentuk masyarakat tetapi juga membentuk kesadaran manusia itu sendiri. Pemahaman ini menekankan bahwa materiil bukanlah entitas statis, melainkan dinamis, historis, dan selalu dalam proses perubahan akibat konflik kelas dan evolusi teknologi produksi.
Rene Descartes mempopulerkan dualisme substansi, membagi realitas menjadi dua entitas fundamental: res extensa (substansi yang meluas, materiil) dan res cogitans (substansi berpikir, non-materiil). Dualisme ini menetapkan batasan yang sangat jelas antara dunia fisik dan dunia mental. Namun, dualisme menghadapi masalah yang disebut 'masalah interaksi': bagaimana entitas yang sama sekali berbeda dapat saling memengaruhi?
Sebagai respons, monisme materialis modern berpendapat bahwa segala sesuatu, termasuk pikiran dan kesadaran, pada dasarnya adalah manifestasi dari materiil, baik dalam bentuk fisik, kimia, maupun neurologis. Pandangan ini, yang didukung oleh ilmu pengetahuan kontemporer, menjadikan materiil sebagai satu-satunya realitas fundamental, menghilangkan kebutuhan akan substansi non-fisik.
Gambar 1. Konseptualisasi Materiil sebagai inti yang terhubung dengan sumber daya dan infrastruktur.
Dalam konteks ekonomi, materiil tidak hanya merujuk pada bahan mentah, tetapi juga pada hasil jadi, alat produksi, infrastruktur fisik, dan, yang paling penting, pada sumber daya terbatas yang mendefinisikan kelangkaan (scarcity). Pemahaman tentang bagaimana materiil diubah, dipertukarkan, dan dihargai adalah kunci untuk mengurai dinamika kapitalisme.
Rantai nilai ekonomi dimulai dengan ekstraksi materiil. Baik itu mineral langka, minyak bumi, kayu, atau air, sumber daya materiil ini memasuki siklus produksi melalui proses yang sering kali sarat konflik sosial dan kerusakan lingkungan. Ekonomi politik klasik menekankan bahwa nilai suatu barang materiil berasal dari jumlah kerja yang diinvestasikan dalam pengubahannya (Teori Nilai Kerja).
Namun, ekonomi modern mengakui bahwa nilai tukar materiil ditentukan oleh penawaran, permintaan, dan utilitas marjinal. Komoditas materiil yang sama, misalnya bijih besi, dapat memiliki nilai yang berbeda secara dramatis tergantung pada lokasinya, kualitas pemrosesannya, dan konektivitasnya dengan jaringan transportasi global. Studi mengenai pasar komoditas adalah studi mengenai fluktuasi harga materiil yang mendikte stabilitas politik dan ekonomi negara-negara berkembang.
Infrastruktur adalah manifestasi fisik paling besar dari kebutuhan materiil kapitalisme. Jembatan, pelabuhan, jalan tol, jaringan kereta api, dan pipa energi—semua ini adalah bentuk materiil yang memungkinkan pergerakan modal, tenaga kerja, dan komoditas. Infrastruktur bukan hanya fasilitas pasif; ia adalah investasi materiil yang mengunci pola pembangunan dan distribusi kekuasaan selama puluhan bahkan ratusan tahun.
Pembangunan infrastruktur materiil di suatu wilayah sering kali mencerminkan prioritas geopolitik. Misalnya, perluasan pelabuhan kontainer di jalur maritim strategis adalah investasi materiil yang memastikan aliran komoditas, menegaskan dominasi perdagangan, dan memposisikan suatu negara sebagai pusat logistik yang tak terhindarkan. Infrastruktur materiil adalah tulang punggung dari akumulasi modal global, dan kegagalannya dapat melumpuhkan seluruh sistem ekonomi dalam sekejap.
Perluasan analisis ini membawa kita pada infrastruktur yang kurang terlihat namun sama krusialnya: jaringan listrik, serat optik bawah laut, dan pusat data. Meskipun sering dianggap sebagai domain digital, mereka adalah entitas materiil yang memerlukan bahan mentah, lahan, dan energi dalam jumlah masif. Materiil menjadi batas fisik bagi ambisi digital.
Salah satu ciri khas ekonomi maju adalah siklus konsumsi yang dipersingkat, didorong oleh strategi yang dikenal sebagai keusangan terencana (planned obsolescence). Objek materiil, seperti perangkat elektronik, kendaraan, atau pakaian, sengaja dirancang dengan umur pakai yang terbatas. Strategi ini memastikan permintaan pasar terus berlanjut, tetapi juga menghasilkan volume sampah materiil yang belum pernah terjadi sebelumnya. Materiil diubah dari sumber daya bernilai menjadi limbah dalam kecepatan yang destruktif.
Sosiologi konsumsi menyoroti bagaimana objek materiil diberi makna simbolis yang jauh melampaui utilitas fungsionalnya. Konsumen membeli bukan hanya fungsi, tetapi status, identitas, dan afiliasi kelompok. Dengan demikian, produksi materiil bukan lagi sekadar memenuhi kebutuhan; ia adalah produksi makna. Kebutuhan akan materiil baru—entah itu versi terbaru dari gawai atau properti—diinternalisasi sebagai kebutuhan psikologis, mempercepat eksploitasi sumber daya fisik planet ini secara eksponensial.
Bagaimana masyarakat memperlakukan dan memberi makna pada objek materiil menceritakan banyak hal tentang nilai-nilai dan hierarki internalnya. Kajian mengenai budaya materiil (material culture) menyelidiki hubungan intim antara manusia dan objek fisik yang mereka ciptakan dan konsumsi.
Psikolog dan antropolog berpendapat bahwa objek materiil yang kita miliki menjadi bagian dari definisi diri kita. Rumah, koleksi buku, pakaian, bahkan puing-puing pribadi yang kita simpan—semua ini berfungsi sebagai jangkar memori dan penanda identitas. Kehilangan objek materiil yang signifikan dapat terasa seperti kehilangan bagian dari diri sendiri. Dalam masyarakat konsumen, akumulasi materiil menjadi cara utama untuk mengomunikasikan kesuksesan, stabilitas, dan selera pribadi.
Fenomena ini kian kompleks dalam konteks global. Objek materiil tertentu, diproduksi di satu belahan dunia, melintasi batas-batas geopolitik dan budaya, membawa serta makna dan asosiasi baru. Pakaian yang dibuat di Asia, dikenakan di Eropa, dan dibuang di Afrika, adalah contoh bagaimana perjalanan materiil membentuk geografi ekonomi dan memetakan ketidaksetaraan global.
Kesenjangan materiil—ketimpangan dalam akses terhadap sumber daya fisik dasar seperti air bersih, makanan bergizi, tempat tinggal aman, dan infrastruktur kesehatan—adalah penanda paling brutal dari ketidakadilan sosial. Studi mengenai kemiskinan sering kali merupakan studi mengenai kekurangan materiil yang parah, yang memiliki dampak langsung terhadap peluang hidup, kesehatan, dan mobilitas sosial individu.
Di sisi lain, kelebihan materiil (material surplus) di negara-negara kaya menimbulkan masalah sosiologis yang berbeda: kelelahan konsumsi, akumulasi limbah, dan pemisahan emosional dari proses produksi. Jarak antara orang yang mengonsumsi dan orang yang memproduksi objek materiil semakin lebar, menyembunyikan biaya ekologis dan tenaga kerja yang tersembunyi dalam setiap produk fisik.
Semua yang kita ciptakan adalah artefak masa depan. Tumpukan sampah, tempat pembuangan akhir, dan reruntuhan kota adalah 'arkeologi materiil' yang kita tinggalkan. Plastik, beton, dan limbah nuklir adalah materiil yang memiliki daya tahan geologis; mereka akan bertahan jauh melampaui peradaban yang menghasilkannya. Para ilmuwan dan filsuf lingkungan sering mempertimbangkan jejak materiil ini—antropocene—sebagai bukti permanen dominasi manusia terhadap planet ini.
Pertimbangan ini memaksa kita untuk merumuskan ulang hubungan kita dengan materiil, beralih dari model ekstraksi-produksi-buang (linier) menuju model sirkular yang menghargai setiap atom materiil sebagai sumber daya yang berharga, bukan sebagai limbah yang harus disingkirkan. Pengelolaan puing-puing materiil adalah tantangan desain, teknik, dan etika terbesar abad ini.
Pada pandangan pertama, era digital dan informasi tampak membebaskan kita dari beban materiil. Informasi, perangkat lunak, dan data adalah entitas yang tampaknya non-materiil. Namun, penyelidikan yang lebih cermat menunjukkan bahwa digitalisasi tidak menghilangkan materiil; ia hanya menyembunyikannya atau memindahkannya ke tempat lain.
Internet, cloud computing, dan kecerdasan buatan—semua bergantung pada infrastruktur materiil yang sangat besar. Jaringan data memerlukan server, kabel tembaga, dan serat optik yang terbuat dari silika murni. Pusat data adalah pabrik materiil yang mengonsumsi sejumlah besar energi, air, dan lahan. Mereka terbuat dari logam langka dan plastik, dan mereka menghasilkan panas yang memerlukan sistem pendingin materiil yang canggih.
Setiap 'klik' dan setiap bit data memiliki berat materiil. Kebutuhan untuk terus memperbarui dan mengganti perangkat keras (ponsel, laptop, router) memicu permintaan yang tak pernah puas terhadap mineral langka seperti kobalt, lithium, dan neodymium. Oleh karena itu, digitalisasi bukannya mengakhiri kebutuhan akan materiil; ia menggeser fokus ekstraksi dan pemrosesan materiil ke area yang lebih tersembunsi dan sering kali lebih eksploitatif.
Teknologi pengawasan modern juga merupakan fenomena materiil. Kamera CCTV, sensor biometrik, dan kabel pemantauan adalah objek fisik yang tertanam dalam ruang publik dan pribadi kita. Materiil ini menciptakan apa yang disebut sebagai 'infrastruktur pengawasan' yang memengaruhi kebebasan bergerak dan interaksi sosial. Kehadiran fisik dari perangkat keras ini, meskipun tersembunyi, secara fundamental mengubah realitas materiil ruang tersebut.
Bahkan ketika data dianalisis secara algoritmis, data tersebut harus disimpan di hard drive fisik yang berada di lokasi geografis tertentu. Dengan demikian, materiil menjadi batas yurisdiksi hukum dan politik. Di mana materiil (server) berada menentukan hukum apa yang berlaku, bahkan untuk data yang bersifat abstrak.
Di dunia yang semakin disimulasikan (melalui realitas virtual atau augmented), batas antara yang nyata (materiil) dan yang disimulasikan (non-materiil) menjadi kabur. Simulasi mungkin non-materiil dalam arti tidak memiliki massa, tetapi pengalaman kita terhadapnya—melalui layar sentuh, getaran haptik, dan suara—adalah pengalaman yang dimediasi oleh materiil. Materiil menjadi antarmuka, gerbang yang memungkinkan kita mengakses domain virtual.
Analisis ini harus diperdalam: bahkan simulasi ekonomi, seperti pasar kripto atau aset digital (NFT), bergantung pada penambangan materiil yang intensif energi dan perangkat keras fisik yang sangat spesifik. Abstraksi finansial modern memiliki pondasi materiil yang berat, meskipun nilai yang diperdagangkan tampak benar-benar terlepas dari substansi fisik.
Krisis lingkungan global adalah krisis pengelolaan materiil. Keterbatasan sumber daya planet—mulai dari mineral hingga kapasitas biosfer untuk menyerap limbah—menjadi batas keras bagi pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh konsumsi materiil secara linier.
Ekstraksi sumber daya materiil (pertambangan, penebangan, pengeboran) menimbulkan beban ekologis terbesar, merusak keanekaragaman hayati dan mengubah lanskap geologis. Seiring waktu, sumber daya yang tersisa semakin sulit diakses (memerlukan energi dan teknologi yang lebih besar untuk ekstraksi), meningkatkan biaya materiil dan energi pada setiap unit yang diproduksi.
Banyak negara industri kini menghadapi isu ketersediaan 'materiil kritis'—mineral yang vital untuk teknologi modern (misalnya, semikonduktor, baterai) yang pasokannya didominasi oleh segelintir negara. Ketergantungan materiil ini tidak hanya menjadi isu ekonomi, tetapi juga isu keamanan nasional dan geopolitik, memperjelas bahwa penguasaan atas materiil dasar adalah bentuk utama dari kekuasaan global di abad ke-21.
Model ekonomi sirkular (circular economy) adalah respons struktural terhadap krisis materiil. Berlawanan dengan model linier (ambil-buat-buang), model sirkular bertujuan untuk mempertahankan nilai materiil di dalam sistem selama mungkin. Ini dicapai melalui tiga prinsip utama:
Transisi menuju ekonomi sirkular menuntut inovasi materiil yang radikal, investasi dalam infrastruktur daur ulang yang canggih, dan pergeseran budaya dari kepemilikan materiil menuju penggunaan berbasis layanan (misalnya, menyewa perangkat keras daripada membelinya).
Masa depan materiil juga terletak pada pengembangan substansi baru yang lebih efisien dan berkelanjutan. Bioteknologi menawarkan potensi untuk menumbuhkan materiil—seperti kulit, kayu, atau serat—menggunakan proses biologis alih-alih ekstraksi intensif energi. Ini mengurangi jejak materiil dan limbah berbahaya.
Di ujung spektrum lainnya, nanomateriil membuka kemungkinan manipulasi materiil pada skala atom, menghasilkan bahan yang lebih ringan, kuat, dan fungsional. Namun, inovasi ini juga membawa tantangan etika dan lingkungan baru: bagaimana kita mengelola risiko dari materiil yang begitu kecil sehingga dapat menembus sistem biologis dan ekologis?
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita harus menyadari bahwa materiil dan yang non-materiil (seperti hukum, institusi, atau ideologi) bukanlah entitas yang terpisah sepenuhnya, melainkan saling membentuk dalam suatu sistem yang koheren. Ideologi (non-materiil) membenarkan eksploitasi materiil, sementara kondisi materiil (kemiskinan, kelangkaan) membatasi kemungkinan ideologis.
Hukum dan peraturan adalah non-materiil, namun mereka memiliki implikasi materiil yang sangat nyata. Hak kepemilikan, misalnya, adalah konsep abstrak yang menetapkan siapa yang memiliki kendali fisik atas sumber daya materiil (tanah, pabrik, air). Institusi seperti bank sentral atau organisasi perdagangan internasional juga memiliki manifestasi materiil: gedung-gedung besar, ruang penyimpanan data, dan jaringan komunikasi yang aman. Mereka adalah materiil yang diorganisir oleh ideologi.
Dalam analisis Marxis, suprastruktur (ideologi, hukum) berfungsi untuk melestarikan basis materiil (hubungan produksi). Oleh karena itu, bahkan hal-hal yang tampak paling abstrak, seperti kesepakatan dagang, pada dasarnya adalah upaya untuk mengontrol aliran materiil melintasi batas-batas geografis. Materiil adalah medan pertempuran politik yang mendasar.
Dalam sejarah modern, proses ekstraksi materiil telah menjadi mesin utama kolonialisme dan neo-kolonialisme. Negara-negara Global Utara mengandalkan pasokan materiil yang murah dan stabil dari Global Selatan. Meskipun kolonialisme formal telah berakhir, hubungan ekstraksi materiil tetap ada melalui mekanisme perdagangan global yang tidak setara, utang, dan investasi yang didorong oleh kebutuhan mendesak akan sumber daya.
Materiil yang diekstrak (emas, bijih, kopi) memiliki biaya ekologis yang ditanggung oleh negara-negara produsen, sementara nilai tambah dan keuntungan terbesar dinikmati oleh negara-negara yang melakukan pemrosesan dan konsumsi akhir. Studi rantai pasokan global adalah studi mengenai bagaimana materiil bergerak dari margin ke pusat, membawa serta ketidaksetaraan sistemik.
Pengalaman hidup manusia, bahkan yang paling intim sekalipun, berakar kuat dalam kondisi materiil. Kesehatan ditentukan oleh akses terhadap materiil medis, air bersih, dan makanan bergizi. Pembelajaran bergantung pada materiil pendidikan (buku, laboratorium, konektivitas). Bahkan emosi dan kognisi, meskipun sering dianggap non-materiil, adalah produk dari proses biokimia dan neurologis yang sepenuhnya materiil.
Fisik tubuh kita sendiri adalah materiil yang terus berinteraksi dengan lingkungannya. Kita bernapas, mengonsumsi, dan melepaskan materiil. Identitas gender dan rasial juga memiliki dimensi materiil yang mendalam, karena tubuh adalah situs tempat diskriminasi dan kekuasaan diproyeksikan dan diimplementasikan. Materiil adalah kanvas tempat drama kehidupan manusia dimainkan.
Dua jenis materiil modern—beton dan plastik—menawarkan studi kasus yang sempurna mengenai dampak materiil terhadap peradaban kita, baik dalam skala fungsional maupun ekologis.
Beton adalah materiil yang membentuk sebagian besar dunia buatan kita. Setelah air, beton adalah substansi yang paling banyak dikonsumsi manusia. Jembatan, bendungan, gedung pencakar langit, trotoar—semuanya bergantung pada kekuatan tarik dan ketahanan beton. Konsumsi materiil ini mencerminkan ambisi manusia untuk menaklukkan alam dan menciptakan lingkungan buatan yang stabil dan masif.
Namun, produksi beton, terutama semen (komponen klinker), adalah penyumbang signifikan terhadap emisi karbon global. Perhitungan biaya materiil beton bukan hanya biaya uang, tetapi juga biaya iklim. Kehidupan materiil modern kita, yang sangat bergantung pada beton, terkunci dalam suatu paradoks: materiil yang memungkinkan pembangunan modern juga secara fundamental mengancam keberlanjutan masa depan materiil kita.
Plastik, produk revolusi petrokimia, adalah materiil yang dirancang untuk keabadian. Fleksibilitasnya, biayanya yang rendah, dan daya tahannya menjadikannya materiil yang ideal untuk hampir setiap aplikasi—mulai dari kemasan makanan hingga komponen pesawat terbang. Ia adalah simbol materiil dari kemudahan dan sekali pakai.
Masalahnya terletak pada keabadian ini. Plastik tidak mudah terdegradasi, melainkan terpecah menjadi mikroplastik yang kini mencemari setiap sudut biosfer, dari puncak gunung tertinggi hingga palung laut terdalam. Mikroplastik adalah bukti materiil bahwa konsep 'buang' (waste) adalah ilusi; materiil tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya berubah bentuk, dan dalam bentuknya yang baru, ia kembali ke rantai makanan dan sistem biologis, menggarisbawahi kegagalan total sistem linier dalam mengelola materiil yang kita ciptakan.
Jika materiil adalah fondasi realitas, maka etika kita harus mencakup bagaimana kita berinteraksi dengannya. Tanggung jawab materiil (material responsibility) melampaui daur ulang pribadi; ia menuntut restrukturisasi sistemik.
Dalam masyarakat yang dikendalikan oleh pasar, objek materiil sering menderita 'fetisisme komoditas' (Marx), di mana produk akhir terlepas dari kondisi buruh dan eksploitasi materiil yang diperlukan untuk pembuatannya. Kita melihat produk (misalnya, ponsel mengkilap) tanpa melihat sejarah materiilnya (penambangan kobalt yang berbahaya, perakitan pabrik berjam-jam). Tugas etika adalah mengembalikan keterlihatan pada sejarah materiil, mengakui kerja dan sumber daya yang tersembunyi di balik setiap objek yang kita konsumsi.
Penggunaan materiil saat ini memiliki konsekuensi yang tidak dapat dibatalkan bagi generasi mendatang. Eksploitasi berlebihan terhadap materiil yang tidak terbarukan (minyak, gas alam, mineral) menghilangkan opsi materiil bagi mereka yang akan datang. Prinsip keadilan materiil antargenerasi menuntut kita untuk mengelola sumber daya materiil seolah-olah kita adalah wali (stewards) jangka panjang, bukan pemilik tunggal yang berhak menghabiskan semuanya dalam satu masa pakai.
Hal ini memerlukan penerapan standar yang lebih ketat pada proses ekstraksi, penentuan harga karbon dan limbah materiil secara akurat, serta investasi besar dalam teknologi yang dapat menggantikan materiil langka dengan alternatif yang melimpah dan dapat diperbarui.
Materiil bukanlah latar belakang yang pasif; ia adalah agen aktif dalam membentuk politik, ekonomi, budaya, dan kesadaran kita. Dari atom yang tak terlihat hingga megastruktur global, dari kebutuhan dasar pangan hingga komoditas digital yang kompleks, materiil mendefinisikan batas-batas kehidupan kita dan kemungkinan peradaban di masa depan.
Eksplorasi yang sangat mendalam ini telah menunjukkan bahwa krisis terbesar yang kita hadapi—iklim, ketidaksetaraan, dan konflik geopolitik—pada intinya adalah krisis pengelolaan materiil. Kita telah mencapai titik kritis di mana model produksi materiil linier yang didasarkan pada asumsi kelimpahan tak terbatas tidak lagi berkelanjutan. Perubahan fundamental tidak hanya menuntut inovasi teknologi, tetapi juga revolusi dalam cara kita berpikir tentang, memberi nilai pada, dan berinteraksi dengan dunia fisik yang menyokong keberadaan kita.
Masa depan akan dibentuk oleh bagaimana kita memilih untuk merangkul tanggung jawab kita sebagai penghuni planet yang memiliki sumber daya materiil yang terbatas. Mengelola materiil dengan bijak, mengenali konektivitasnya, dan menghargai sejarah serta biaya tersembunyi dari setiap objek materiil, adalah langkah esensial menuju realitas yang lebih adil dan berkelanjutan bagi semua.
Materiil adalah realitas. Dan memahami realitas tersebut adalah prasyarat untuk mengubahnya.