MATARAM KUNO: DINASTI, PERADABAN, DAN WARISAN KEKUATAN JAWA
Mataram Kuno adalah mercusuar peradaban di pedalaman Pulau Jawa, sebuah entitas politik yang mengukir sejarah melalui persaingan dinasti, sinkretisme agama yang luar biasa, dan pembangunan monumen batu yang hingga kini menjadi saksi bisu keagungan masa lampau. Kerajaan ini tidak hanya mendefinisikan periode Klasik Jawa, tetapi juga meletakkan fondasi bagi sistem sosial, agraria, dan spiritual yang membentuk identitas Nusantara.
I. Awal Mula dan Lokasi Geografis Kekuatan Agraris
Kerajaan Mataram Kuno, yang juga sering disebut sebagai Kerajaan Medang, berpusat di wilayah subur Jawa Tengah bagian selatan, terutama di dataran Kedu dan sekitarnya, yang terbentang di antara Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, dan Sindoro. Lokasi ini, yang dikenal dengan sebutan Bhumi Mataram
, merupakan kawasan agraris unggulan yang kaya akan sumber daya air berkat abu vulkanik yang menyuburkan tanah.
Dataran Kedu: Jantung Mataram Kuno
Pemilihan lokasi di pedalaman, jauh dari jalur pelayaran utama pantai utara, menegaskan orientasi Mataram Kuno sebagai kekuatan berbasis pertanian (agraris), berbeda dengan kerajaan maritim Sriwijaya yang dominan pada periode yang sama. Sumber kekayaan utama Mataram adalah beras, yang memungkinkan populasi besar untuk ditopang, serta menyediakan surplus yang dapat digunakan untuk pembiayaan proyek-proyek monumental dan birokrasi yang kompleks.
Inskripsi tertua yang berkaitan dengan Mataram mulai muncul pada abad-abad awal periode Klasik Jawa. Dokumen-dokumen batu ini, yang mayoritas ditulis dalam aksara Pallawa dan bahasa Jawa Kuno, memberikan gambaran awal mengenai struktur pemerintahan dan legitimasi kekuasaan para penguasa. Keberadaan inskripsi-inskripsi yang tersebar luas menunjukkan jangkauan administratif yang efektif dan pengarsipan yang cermat mengenai hak-hak tanah dan penetapan desa perdikan (sima).
II. Dualisme Kekuasaan dan Sinkretisme Agama
Periode paling menonjol dari Mataram Kuno ditandai oleh koeksistensi, persaingan, dan akhirnya rekonsiliasi dua dinasti besar yang berbeda dalam orientasi spiritual mereka: Dinasti Sanjaya yang bercorak Hindu Siwa, dan Dinasti Syailendra yang menganut Buddha Mahayana.
Dinasti Sanjaya: Pembangun Fondasi Hindu
Kekuasaan Mataram diperkirakan bermula dari wangsa Sanjaya, berdasarkan inskripsi Canggal yang menjadi salah satu tonggak penanggalan awal kerajaan. Inskripsi ini memuji Raja Sanjaya, pendiri wangsa, sebagai penguasa yang memulihkan ketertiban dan mendirikan lingga (simbol dewa Siwa) di atas bukit. Sanjaya dan penerusnya memegang teguh tradisi Hindu-Siwa, menjadikan Jawa Tengah sebagai pusat kebudayaan Hindu yang baru.
Kekuasaan Sanjaya bersifat teritorial dan militeristik. Mereka mengorganisir wilayah-wilayah yang tunduk pada Mataram melalui penunjukan pejabat lokal yang diberi gelar Rakai atau Rakryan, yang menguasai wilayah yang disebut Watak. Struktur ini penting karena menunjukkan pembagian kekuasaan yang terpusat pada Raja (Raja-Raja Dewa) namun tetap menghormati otonomi lokal selama upeti dan kesetiaan terjamin.
Dinasti Syailendra: Kemegahan Buddha Mahayana
Secara misterius, di tengah kekuasaan Sanjaya, muncul Dinasti Syailendra, sebuah wangsa yang kuat yang mendominasi wilayah yang sama dan menganut ajaran Buddha Mahayana. Asal-usul Syailendra masih diperdebatkan—apakah mereka berasal dari Sumatera (Srivijaya) atau murni faksi Jawa—namun pengaruh mereka sangat nyata, terutama dalam pembangunan monumental yang menakjubkan.
Syailendra mencapai puncak kejayaan budaya dan teknologi. Mereka adalah pelopor dalam arsitektur stupa dan vihara. Di bawah kekuasaan Syailendra, proyek-proyek pembangunan candi Buddha raksasa seperti Borobudur, Mendut, dan Pawon diwujudkan. Proyek Borobudur, khususnya, membutuhkan sumber daya yang masif, baik dari segi tenaga kerja, pendanaan, maupun pengetahuan teknik konstruksi.
Simbol dualisme agama: Dinasti Syailendra (Buddha) dan Sanjaya (Hindu) yang berkoeksistensi.
Perkawinan Politik dan Rekonsiliasi
Persaingan dinasti ini, meskipun menghasilkan monumen yang berbeda corak, tampaknya jarang berujung pada konflik terbuka yang berkepanjangan. Sebaliknya, puncaknya adalah rekonsiliasi politik melalui pernikahan agung. Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya menikahi Pramodhawardhani, putri dari Dinasti Syailendra.
Aliansi ini menandai akhir dari dualisme kekuasaan dan mengembalikan dominasi Sanjaya atas Mataram secara keseluruhan. Rakai Pikatan kemudian memindahkan fokus pembangunan kembali ke corak Hindu, yang puncaknya diwujudkan melalui pembangunan kompleks Candi Prambanan. Prambanan (Loro Jonggrang) adalah jawaban monumental terhadap Borobudur, menegaskan kembalinya Hindu Siwa sebagai agama negara utama, namun tetap menghargai warisan Buddha yang telah ada.
III. Struktur Sosial dan Administrasi Pemerintahan
Sistem pemerintahan Mataram Kuno sangat terstruktur dan bersifat hirarkis. Strukturnya dipahami melalui analisis ekstensif terhadap prasasti-prasasti batu, yang merinci gelar, tugas, dan hak-hak pejabat, serta mengatur kehidupan ekonomi rakyat.
Konsep Dewa Raja dan Pusat Kekuasaan
Raja Mataram Kuno memegang kekuasaan mutlak, yang dilegitimasi melalui konsep Dewa Raja (Dewa-Raja) atau Chakravartin
(Penguasa Dunia). Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di bumi (Siwa atau Bodhisattva, tergantung dinasti yang berkuasa). Penggambaran ini memastikan ketaatan total dari para bangsawan dan rakyat jelata. Istana (keraton) adalah pusat kosmos politik dan ritual, meskipun lokasinya sering berpindah seiring dengan suksesi raja baru.
Birokrasi Mataram Kuno: Gelar dan Tugas
Di bawah Raja, terdapat hierarki pejabat tinggi yang berperan penting dalam mengelola kerajaan agraris yang luas:
- Rakryan Mahamantri Hino/I Hino: Jabatan tertinggi yang sering dipegang oleh putra mahkota atau anggota keluarga kerajaan terdekat. Mereka berfungsi sebagai penasihat utama dan sering bertindak sebagai wali raja.
- Rakryan Mapatih/Patel: Pejabat eksekutif utama yang bertanggung jawab atas pelaksanaan perintah kerajaan, mirip dengan perdana menteri.
- Rakryan i Wka, i Sirikan, i Haluan: Tiga Rakryan utama yang memimpin wilayah-wilayah besar di luar pusat kekuasaan. Gelar-gelar ini sering kali dikaitkan dengan kedudukan strategis dalam struktur pertahanan dan administrasi.
Sistem Watak dan Sima (Tanah Perdikan)
Unit administrasi terkecil di Mataram Kuno adalah wanua (desa). Beberapa wanua dikelompokkan menjadi watek, yang dipimpin oleh seorang Rakai atau Ramanta. Struktur watek ini sangat penting karena merefleksikan otonomi lokal dan tanggung jawab kolektif terhadap irigasi dan pajak.
Konsep sima (tanah perdikan) adalah inti dari ekonomi politik Mataram. Sima adalah tanah yang diberikan status istimewa oleh Raja, dibebaskan dari kewajiban pajak kerajaan, biasanya sebagai imbalan atas pendirian atau pemeliharaan tempat suci (candi atau biara). Prasasti-prasasti sima adalah dokumen hukum yang paling detail yang kita miliki, menceritakan secara spesifik batas-batas tanah, kewajiban ritual, dan siapa saja yang berhak mendapatkan manfaat dari lahan tersebut.
IV. Ekonomi Agraris dan Pengelolaan Sumber Daya Air
Mataram Kuno adalah peradaban yang sepenuhnya didasarkan pada kekuatan pertanian padi sawah. Kesuksesan mereka membangun struktur monumental dan menopang birokrasi yang besar merupakan cerminan langsung dari kemampuan mereka mengelola sumber daya air secara efektif di dataran tinggi vulkanik.
Teknologi Irigasi Kuno
Ketergantungan pada pertanian padi sawah membutuhkan sistem irigasi yang canggih. Para ahli Mataram Kuno unggul dalam pembangunan jaringan parit (saluran), dam (bendungan), dan wadu (penampungan air). Pemeliharaan sistem irigasi ini bukan hanya tugas teknis, tetapi juga tugas sosial dan spiritual, yang diatur dalam inskripsi dan dipimpin oleh pejabat khusus yang bertanggung jawab atas air (misalnya, hulu air).
Produktivitas pertanian yang tinggi memungkinkan Mataram untuk melakukan perdagangan lintas wilayah, meskipun fokusnya bukan pada perdagangan maritim seperti Sriwijaya. Mereka memperdagangkan hasil bumi yang surplus, serta komoditas hasil kerajinan tangan dan batu mulia, yang sebagian besar didistribusikan melalui jalur darat menuju pelabuhan-pelabuhan kecil di pantai utara atau selatan Jawa.
Pajak dan Komoditas
Sistem perpajakan Mataram sangat detail. Rakyat wajib menyerahkan sebagian hasil panen mereka (padi) kepada Raja. Selain itu, ada pajak atas penggunaan sumber daya tertentu, dan kontribusi tenaga kerja (kerja bakti) untuk proyek kerajaan, termasuk pembangunan candi dan pemeliharaan jalan.
Komoditas penting selain padi meliputi kapas, rempah-rempah lokal, dan ternak. Penggambaran relief di candi-candi menunjukkan kehidupan pasar yang ramai dan beragamnya profesi, mulai dari pandai besi, penenun, hingga pedagang keliling.
Sistem irigasi yang canggih adalah tulang punggung ekonomi Mataram Kuno.
V. Puncak Budaya dan Arsitektur Monumental
Warisan Mataram Kuno yang paling kasat mata adalah kompleks candi-candi raksasa yang mendefinisikan arsitektur Jawa Klasik. Pembangunan candi adalah ekspresi spiritual, politik, dan ekonomi yang paling ekstrem, menunjukkan kemampuan mobilisasi tenaga kerja dan material yang sangat besar.
Borobudur: Manifestasi Kosmologi Buddha
Dibangun oleh Dinasti Syailendra, Borobudur bukanlah sekadar candi, melainkan sebuah mandala raksasa yang mencerminkan kosmos Buddha. Struktur piramida berundak ini didesain sebagai jalur spiritual bagi para peziarah, yang harus berjalan mengikuti relief-relief naratif yang menceritakan ajaran karma, Jataka (kisah kelahiran Buddha), dan Lalitavistara (riwayat hidup Buddha).
- Kamadhatu (Alam Hawa Nafsu): Dasar candi yang menggambarkan kehidupan duniawi dan hukum karma.
- Rupadhatu (Alam Rupa): Empat teras persegi yang dipenuhi dengan relief dan patung Buddha, tempat hasrat duniawi mulai ditinggalkan.
- Arupadhatu (Alam Tak Berwujud): Tiga teras melingkar di atas, tempat para peziarah mencapai pencerahan, ditandai dengan stupa-stupa berlubang yang berisi patung Buddha.
Prambanan: Keagungan Trimurti Hindu
Setelah dominasi Sanjaya pulih di bawah Rakai Pikatan, dibangunlah kompleks Prambanan untuk menghormati Trimurti (Siwa, Brahma, Wisnu). Kompleks ini adalah penegasan kembali superioritas Hindu-Siwa dan melambangkan kemenangan politik Sanjaya. Arsitektur Prambanan dicirikan oleh bentuknya yang menjulang tinggi dan ramping, kontras dengan Borobudur yang melebar dan masif.
Candi utama didedikasikan untuk Siwa (Mahadewa), yang merupakan dewa tertinggi dalam pantheon Mataram. Relief pada pagar langkan (balustrade) menceritakan epos Ramayana, sebuah narasi besar yang berfungsi sebagai pelajaran moral dan politik bagi masyarakat kerajaan.
Perbandingan Gaya Seni
Gaya seni pada candi-candi Mataram Kuno dibagi berdasarkan dinasti pembangunnya. Seni Syailendra (Buddha) cenderung lebih naturalis, dengan patung-patung yang anggun (seperti Bodhisattva) dan relief yang tenang. Sebaliknya, seni Sanjaya (Hindu) cenderung lebih dinamis, dengan penggambaran dewa-dewa yang memiliki banyak tangan dan atribut yang kuat, mencerminkan energi kosmik.
VI. Sastra, Bahasa, dan Warisan Intelektual
Mataram Kuno juga merupakan masa keemasan bagi perkembangan bahasa Jawa Kuno dan kesusastraan. Inskripsi bukan hanya dokumen hukum, tetapi juga menunjukkan tingginya tingkat literasi di kalangan elit.
Bahasa Jawa Kuno dan Aksara Kawi
Bahasa Jawa Kuno (Kawi) adalah bahasa resmi yang digunakan dalam prasasti dan teks-teks keagamaan serta sastra. Bahasa ini, yang sangat dipengaruhi oleh Sanskerta, memiliki kosakata dan tata bahasa yang kaya. Aksara yang digunakan adalah Aksara Kawi, turunan dari aksara Pallawa.
Penggunaan bahasa Jawa Kuno dalam inskripsi menunjukkan bahwa Mataram Kuno telah mengembangkan identitas linguistiknya sendiri, berbeda dari bahasa Sanskerta yang dominan di India, meskipun tetap mempertahankan akar Indik yang kuat.
Kesusastraan Kakawin
Meskipun sebagian besar Kakawin (puisi epik panjang) yang kita kenal berasal dari periode Jawa Timur (Medang akhir dan Majapahit), fondasinya diletakkan pada masa Mataram Kuno. Karya-karya awal seperti Kakawin Ramayana, meskipun terdapat perdebatan tentang penanggalannya, menunjukkan tradisi penerjemahan dan adaptasi epos India ke dalam konteks Jawa, sebuah proses yang memperkaya budaya lokal.
Karya sastra berfungsi sebagai legitimasi politik, alat pendidikan moral, dan ekspresi keindahan seni. Mereka dibacakan di istana dan lingkungan keagamaan, memastikan bahwa nilai-nilai kerajaan dan agama tersebar luas di kalangan bangsawan.
VII. Perpindahan Pusat Kekuasaan ke Jawa Timur
Pada suatu periode sekitar permulaan abad ke-10, pusat kekuasaan Mataram Kuno tiba-tiba berpindah dari Jawa Tengah menuju lembah Sungai Brantas di Jawa Timur. Perpindahan ini merupakan peristiwa monumental yang mengakhiri dominasi Mataram di Bhumi Mataram (Jawa Tengah) dan melahirkan era baru di timur.
Faktor-faktor Pendorong Perpindahan
Para sejarawan mengemukakan beberapa teori utama yang menyebabkan perpindahan dramatis ini:
- Bencana Alam (Erupsi Gunung): Teori yang paling kuat adalah letusan dahsyat Gunung Merapi, yang mungkin menutupi seluruh dataran Kedu dengan lahar dan abu, menyebabkan kelaparan, kehancuran infrastruktur irigasi, dan memaksa populasi bermigrasi. Bencana semacam ini akan secara efektif melumpuhkan fondasi ekonomi agraris Mataram.
- Ancaman Eksternal: Meskipun kurang terbukti secara langsung, kemungkinan adanya tekanan atau invasi dari kerajaan maritim seperti Sriwijaya yang ingin mengganggu hegemoni Mataram juga menjadi pertimbangan.
- Internal Politik: Kemungkinan adanya perpecahan atau krisis suksesi yang membuat penguasa baru, Mpu Sindok, memutuskan untuk memulai babak baru di lokasi yang lebih aman dan strategis.
Mpu Sindok dan Mataram di Timur (Medang)
Mpu Sindok, seorang Rakryan Mahamantri yang kemudian memproklamasikan dirinya sebagai Raja, adalah sosok kunci yang memimpin perpindahan ini. Dia mendirikan ibu kota baru di Jawa Timur, yang dikenal sebagai Kerajaan Medang periode Jawa Timur. Melalui Inskripsi Pu Pucangan, Mpu Sindok menjelaskan garis keturunannya dan membenarkan perpindahannya.
Mpu Sindok adalah pendiri Dinasti Isyana. Perpindahan ini tidak hanya bersifat geografis, tetapi juga strategis. Jawa Timur memiliki akses yang lebih baik ke jalur perdagangan maritim, menandakan bahwa Mataram yang baru mungkin mulai mengintegrasikan orientasi maritim dengan kekuatan agraris tradisionalnya.
Kontinuitas Budaya dan Administrasi
Meskipun pindah, Mpu Sindok memastikan kontinuitas budaya dan spiritual Mataram Kuno. Dia membawa serta tradisi birokrasi, sistem Sima, dan bahkan gelar-gelar pejabat lama ke ibu kota baru. Keagungan arsitektur candi diteruskan, meskipun dengan material yang lebih banyak menggunakan batu bata dibandingkan batu andesit yang melimpah di Jawa Tengah.
Tradisi sastra juga semakin matang pada periode Medang di Timur, mencapai puncaknya di bawah Airlangga, yang merupakan keturunan Mpu Sindok. Karya-karya seperti Kakawin Arjunawiwaha menunjukkan puncak ekspresi spiritual dan kesusastraan periode ini.
VIII. Detail Mendalam mengenai Kehidupan Masyarakat
Untuk memahami sepenuhnya Mataram Kuno, kita harus menyelami bagaimana kehidupan sehari-hari masyarakat diatur, mulai dari peran wanita hingga perayaan ritual.
Peran Wanita dalam Masyarakat Mataram Kuno
Wanita dalam masyarakat Mataram Kuno memiliki posisi yang signifikan, seringkali lebih tinggi daripada yang diperkirakan dalam peradaban Klasik lainnya. Banyak inskripsi menyebutkan wanita yang memiliki peran sebagai pejabat tinggi (Rakryan wanita) atau sebagai penguasa Sima (pemilik tanah perdikan).
Contoh paling menonjol adalah Ratu Pramodhawardhani, yang bukan hanya putri seorang Syailendra tetapi juga penguasa yang berkuasa dengan haknya sendiri. Wanita juga berperan penting dalam upacara keagamaan, pemeliharaan candi, dan sebagai penenun yang memproduksi tekstil berkualitas tinggi untuk istana.
Ritual Kehidupan dan Agama Rakyat
Meskipun istana disibukkan dengan ritual besar Hindu-Buddha (penahbisan candi, perayaan Waisak, dan festival Siwa), agama rakyat berakar kuat pada pemujaan leluhur dan dewa-dewa kesuburan yang berkaitan dengan pertanian.
Ritual simatabuhan (penetapan Sima) adalah perpaduan antara politik dan spiritual. Upacara ini melibatkan pesta besar, pemberian hadiah kepada para saksi dan pejabat, serta persembahan kepada dewa-dewa bumi untuk memastikan kesuburan tanah dan legitimasi keputusan Raja.
Kehidupan rakyat diatur oleh siklus pertanian. Kalender Mataram didasarkan pada perhitungan astronomi untuk menentukan musim tanam dan panen, yang dikelola oleh pendeta istana dan pejabat desa.
Sistem Perdagangan Lokal dan Pasar
Prasasti-prasasti Mataram Kuno menyebutkan berbagai profesi dan pajak yang berkaitan dengan aktivitas pasar. Pasar (pkan) adalah pusat vital yang mempertemukan petani dan pengrajin. Perdagangan dilakukan dengan menggunakan barter dan juga mata uang, yang pada masa itu berupa kepingan emas dan perak, meskipun sistem koin standar belum sepenuhnya mapan seperti periode Majapahit.
Barang dagangan meliputi gerabah, perhiasan emas (yang menjadi komoditas ekspor penting), tekstil, hasil hutan, dan, tentu saja, beras yang menjadi komoditas primer.
IX. Seni Pahat, Relief, dan Ekspresi Kosmik
Seni pahat Mataram Kuno adalah salah satu yang terbaik di Asia Tenggara, berfungsi sebagai media untuk mengajarkan doktrin agama dan mengagungkan kekuasaan raja.
Narasi di Borobudur dan Prambanan
Relief di Borobudur menampilkan kisah-kisah Buddha secara kronologis, memungkinkan peziarah untuk secara fisik mengikuti perjalanan spiritual menuju pencerahan. Teknik pahatan menunjukkan kedalaman perspektif dan penggambaran detail alam Jawa yang realistis (flora dan fauna).
Di Prambanan, relief Ramayana menunjukkan semangat naratif yang lebih dramatis dan dinamis. Setiap adegan diukir dengan detail emosional yang tinggi, menggambarkan pertempuran, cinta, dan pengkhianatan, memperkuat peran epos tersebut sebagai pilar kebudayaan Hindu Jawa.
Seni Logam dan Perhiasan
Selain arsitektur batu, Mataram Kuno dikenal karena keahliannya dalam seni logam. Penemuan benda-benda emas di Dieng dan sekitarnya menunjukkan teknik penempaan dan kerajinan emas yang luar biasa. Perhiasan emas, yang sering dipakai oleh bangsawan dalam ritual, diukir dengan motif-motif yang menggabungkan simbol Hindu dan Buddha, semakin menegaskan sinkretisme budaya yang mendalam.
X. Warisan dan Pengaruh Jangka Panjang
Meskipun pusat politiknya berpindah ke timur, warisan Mataram Kuno di Jawa Tengah tidak pernah hilang. Periode ini meletakkan dasar bagi hampir semua kerajaan Jawa selanjutnya.
Fondasi Budaya Jawa
Konsep raja sebagai pemimpin spiritual dan politik, struktur birokrasi berbasis Rakryan, dan sistem agraria yang mengandalkan Watak dan Sima, semuanya diwariskan kepada kerajaan-kerajaan penerus seperti Kediri, Singhasari, hingga Majapahit. Bahkan, Majapahit menganggap diri mereka sebagai pewaris langsung dari tradisi Mataram Kuno di Jawa Timur (Medang).
Memori Kolektif dan Candi
Candi-candi Mataram Kuno, terutama Borobudur dan Prambanan, telah menjadi monumen abadi yang menjaga memori kolektif peradaban Jawa. Mereka adalah bukti fisik dari periode di mana toleransi agama bukan hanya sebuah ide, tetapi sebuah kenyataan politik yang menghasilkan keindahan artistik yang tak tertandingi.
Mataram Kuno adalah potret sempurna dari kekuatan yang tumbuh dari tanah (kekuatan agraris), mencapai ketinggian spiritual yang luar biasa melalui sinkretisme unik, dan mewariskan struktur sosial-politik yang bertahan melintasi zaman. Kekuatan ini, yang berawal di kaki gunung berapi Jawa Tengah dan berpindah ke lembah sungai Brantas, tetap menjadi salah satu babak paling gemilang dalam sejarah Nusantara.
Relief yang menggambarkan figur raja atau dewa, mencerminkan gaya seni pahat Mataram yang agung.
XI. Penutup: Mataram sebagai Ibu Sejarah Jawa
Mataram Kuno, baik di periode Jawa Tengah yang monumental maupun periode Jawa Timur yang transformatif, adalah ibu dari hampir semua perkembangan sejarah Jawa berikutnya. Melalui Mataram, konsep-konsep seperti negara (nagara), sistem irigasi kolektif, dan tradisi kesusastraan Kakawin mendapatkan bentuknya yang paling murni dan kuat. Kerajaan ini mengajarkan bahwa kekuatan sebuah peradaban tidak hanya diukur dari luas wilayahnya, tetapi juga dari kedalaman spiritual dan kemampuan teknologinya untuk memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan. Warisan candinya menjadi penanda tak terhapuskan dari sebuah zaman keemasan peradaban agraria di Nusantara.