Masokhisme, sebuah konsep yang sering disalahpahami dan diselimuti misteri, merupakan fenomena kompleks yang melintasi batas-batas psikologi, sosiologi, dan perilaku manusia. Istilah ini merujuk pada kecenderungan seseorang untuk mendapatkan kesenangan, kepuasan, atau gratifikasi, seringkali dalam konteks seksual, dari pengalaman rasa sakit, penghinaan, atau perlakuan kejam yang dikenakan pada dirinya sendiri oleh orang lain. Pemahaman modern tentang masokhisme jauh melampaui definisi klinis abad ke-19, kini mencakup spektrum luas mulai dari fantasi psikologis internal hingga interaksi interpersonal yang sepenuhnya konsensual.
Etimologi istilah masokhisme memiliki jejak yang jelas dalam sejarah psikiatri dan seksologi abad ke-19. Konsep ini pertama kali diciptakan oleh psikiater Jerman, Richard von Krafft-Ebing, dalam karyanya yang monumental, *Psychopathia Sexualis* (1886). Krafft-Ebing, yang bertujuan mengklasifikasikan berbagai bentuk deviasi seksual, menemukan pola perilaku di mana individu mendapatkan kepuasan seksual dari rasa sakit atau penghinaan yang mereka terima. Untuk memberikan nama pada fenomena ini, ia memilih untuk menghormati (atau mengabadikan) seorang penulis yang karyanya secara eksplisit menggambarkan hasrat tersebut.
Nama masokhisme diambil dari Leopold von Sacher-Masoch (1836–1895), seorang bangsawan, penulis, dan jurnalis Austro-Hungaria. Karya Sacher-Masoch, terutama novelnya yang paling terkenal, *Venus in Furs* (1870), secara detail dan berani mengeksplorasi hasrat protagonis untuk menjadi budak yang dipermalukan oleh seorang wanita dominan yang mengenakan bulu dan memegang cambuk. Dalam kisah ini, hasrat tersebut diatur oleh kontrak yang sangat formal dan terperinci, menekankan elemen konsensualitas dan ritual. Krafft-Ebing melihat karya Sacher-Masoch sebagai representasi klinis sempurna dari kecenderungan yang ia deskripsikan, meskipun Sacher-Masoch sendiri menolak penggunaan namanya untuk istilah psikiatris tersebut, menganggapnya sebagai stigmatisasi terhadap karya seninya.
Sejak Krafft-Ebing, definisi masokhisme terus berkembang. Awalnya, istilah ini hampir secara eksklusif dikaitkan dengan parafilia atau penyimpangan seksual yang patologis. Namun, seiring waktu, khususnya dengan munculnya gerakan psikoanalisis dan kemudian pengakuan terhadap komunitas BDSM (Bondage/Discipline, Dominance/Submission, Sadism/Masochism), istilah ini telah diperluas untuk mencakup spektrum perilaku yang jauh lebih luas, termasuk aspek non-seksual seperti masokhisme moral atau sosial.
Penting untuk dicatat bahwa dalam konteks klinis modern, diagnosis masokhisme hanya diberikan jika perilaku tersebut menyebabkan distres yang signifikan secara klinis atau mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan (Masochistic Sexual Disorder). Di luar konteks klinis, masokhisme sering dipahami sebagai orientasi preferensi seksual, bukan penyakit, asalkan melibatkan praktik yang aman, sehat, dan konsensual (Safe, Sane, Consensual – SSC).
Psikoanalisis, di bawah naungan Sigmund Freud, memberikan kerangka teoretis yang paling komprehensif dan berdampak mengenai masokhisme. Freud melampaui pandangan Krafft-Ebing yang semata-mata bersifat deskriptif, berusaha menempatkan masokhisme dalam struktur konflik dorongan dan pengembangan ego. Bagi Freud, masokhisme bukanlah sekadar perversitas seksual; ia merupakan fenomena psikis fundamental yang terkait erat dengan naluri kematian (*Thanatos*) dan dorongan untuk kembali pada keadaan anorganik.
Dalam esainya yang berpengaruh, "The Economic Problem of Masochism" (1924), Freud membagi masokhisme menjadi tiga kategori utama, masing-masing memiliki dinamika dan asal usul yang berbeda:
Ini adalah bentuk yang paling dekat dengan definisi Krafft-Ebing. Masokhisme erotis adalah kenikmatan seksual yang didapatkan dari fantasi terikat, dipukuli, dipermalukan, atau dipaksa tunduk. Freud menyebutnya "feminim" karena fantasi yang mendasarinya sering kali meniru posisi pasif yang secara stereotip dikaitkan dengan peran wanita (misalnya, fantasi melahirkan atau dikebiri, meskipun pria yang memilikinya). Intinya terletak pada dorongan pasif untuk diperlakukan seperti anak yang dihukum atau objek yang dikuasai. Ini sering kali merupakan manifestasi sekunder dari dorongan agresif yang dialihkan ke diri sendiri.
Masokhisme moral adalah bentuk yang paling menarik dan paling jauh dari konteks seksual. Dalam masokhisme moral, individu tidak mendapatkan kesenangan dari rasa sakit fisik, tetapi dari penderitaan emosional, kegagalan sosial, atau kemalangan dalam hidup. Individu ini cenderung mencari peran sebagai korban, menyabotase kesuksesannya sendiri, atau memilih pasangan yang kasar dan tidak menghargai. Freud berpendapat bahwa masokhisme moral adalah hukuman yang dilakukan Ego terhadap dirinya sendiri di bawah tekanan Superego yang kejam dan menghukum. Rasa bersalah yang tidak disadari menuntut dideritanya penderitaan, dan kegagalan dalam hidup menjadi pemuasan substitusi bagi Superego. Orang dengan masokhisme moral tidak menyadari bahwa mereka menikmati penderitaan; sebaliknya, mereka merasa ditindas oleh takdir, padahal mereka secara aktif menciptakan "takdir" itu sendiri.
Ini adalah konsep yang paling abstrak dan mendalam. Masokhisme primer adalah bentuk primordial yang terkait dengan naluri kematian (*Thanatos*). Menurut Freud, naluri kematian diarahkan ke luar sebagai agresi atau Sadisme, tetapi sebagian dari naluri ini menetap di dalam diri, menjadi masokhisme primer. Ini adalah libido yang terikat pada naluri kematian dan mengarah pada pengrusakan diri sendiri. Semua bentuk masokhisme lainnya, termasuk yang erotis, dipandang sebagai hasil dari pengikatan naluri kematian dengan libido. Masokhisme primer adalah fondasi biologis-psikis yang membuat manusia mampu mengalami kesenangan melalui pengalaman yang menyakitkan atau menghancurkan.
Dalam psikoanalisis, dinamika masokistik seringkali terungkap melalui proses transferensi, di mana pasien secara tidak sadar memproyeksikan pola hubungan menyakitkan ke terapis. Pasien masokis mungkin secara aktif mencari kritik atau penolakan dari terapis, atau mereka mungkin menolak untuk membuat kemajuan dalam terapi karena kemajuan akan menghilangkan rasa bersalah dan penderitaan yang mereka rasa layak mereka dapatkan. Memahami mekanisme masokhisme moral sangat krusial di sini, karena hal ini menjelaskan mengapa beberapa pasien tampaknya "menolak" untuk menjadi lebih baik.
Dalam dunia psikiatri modern, khususnya yang dipandu oleh *Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders* (DSM), istilah masokhisme telah dibingkai ulang untuk membedakan antara preferensi seksual yang tidak patologis dan gangguan klinis yang memerlukan intervensi.
DSM-5 mengklasifikasikan Masochistic Sexual Disorder sebagai parafilia. Agar preferensi masokistik dianggap sebagai gangguan klinis, dua kriteria utama harus dipenuhi:
Pembedaan ini sangat penting. Mayoritas orang dewasa yang terlibat dalam aktivitas masokistik yang aman dan konsensual (sering dalam kerangka BDSM) tidak memenuhi kriteria untuk gangguan klinis, karena aktivitas mereka tidak menyebabkan distres dan tidak mengganggu area kehidupan lainnya. Patologi muncul ketika hasrat masokistik menjadi kompulsif, eksklusif, atau mengancam keselamatan diri atau orang lain.
Masokhisme, terutama dalam bentuk moral atau kepribadian, seringkali memiliki komorbiditas dengan gangguan kepribadian tertentu. Misalnya, kecenderungan masokistik dapat ditemukan dalam pola kepribadian dependen atau kepribadian ambang (Borderline Personality Disorder), di mana individu mungkin mencari hubungan yang menyakitkan sebagai cara untuk menstabilkan identitas atau memvalidasi pandangan negatif mereka tentang diri sendiri.
Selain itu, terdapat tumpang tindih antara masokhisme moral dan depresi kronis. Dalam kedua kondisi tersebut, ada pola perilaku yang mengarah pada hukuman diri, penarikan diri dari kesuksesan, dan penerimaan pasif terhadap penderitaan. Namun, masokhisme moral secara spesifik melibatkan "kenikmatan" bawah sadar dari pemenuhan hukuman ini, suatu dinamika yang mungkin tidak hadir dalam depresi murni.
Jika masokhisme adalah tentang mencari rasa sakit untuk mencapai kesenangan, pertanyaan biologisnya adalah: Bagaimana otak bisa menerjemahkan sinyal bahaya menjadi sinyal penghargaan?
Ketika tubuh merasakan rasa sakit fisik yang signifikan, sistem saraf pusat merespons dengan melepaskan opioid endogen, yang dikenal sebagai endorfin. Endorfin adalah pereda nyeri alami yang juga menghasilkan perasaan euforia atau "high" – sebuah mekanisme bertahan hidup yang dirancang untuk memungkinkan organisme berfungsi meskipun terluka parah. Dalam konteks masokistik yang terkontrol dan disengaja, individu dapat secara sadar memicu pelepasan endorfin ini.
Rasa sakit yang diantisipasi, terutama dalam lingkungan yang dipercayai (seperti sesi BDSM yang aman), dapat mengalihkan respons tubuh dari ketakutan murni ke antisipasi kesenangan biokimia. Pelepasan endorfin ini tidak hanya mengurangi rasa sakit tetapi juga menciptakan sensasi “rush” atau keadaan kesadaran yang diubah, yang menjadi sumber gratifikasi masokistik.
Selain endorfin, dopamin—neurotransmiter utama yang terkait dengan sistem penghargaan dan motivasi—memainkan peran penting. Ekspektasi dari suatu pengalaman yang intens dan berisiko (bahkan jika risikonya dikontrol) memicu pelepasan dopamin. Sensasi berada di tepi, menyerahkan kendali, dan kemudian mencapai "subspace" atau keadaan pikiran yang mendalam, diperkuat oleh lonjakan dopamin. Masokhisme dalam konteks ini adalah bentuk pencarian sensasi yang sangat terstruktur.
Dalam masyarakat kontemporer, diskusi tentang masokhisme tidak terpisahkan dari komunitas BDSM. Dalam kerangka ini, masokhisme (M) dipahami sebagai bagian dari dinamika kekuasaan yang dimainkan, bukan sebagai patologi, melainkan sebagai preferensi gaya hidup atau aktivitas seksual.
Bagi partisipan masokis (disebut "submissive" atau "bottom"), kepuasan seringkali tidak berasal dari rasa sakit itu sendiri, melainkan dari dinamika psikologis yang menyertai kepasrahan. Elemen kunci meliputi:
Komunitas BDSM secara ketat mengedepankan etika konsensualitas untuk membedakan perilaku masokistik yang sehat dari kekerasan atau penyalahgunaan. Dua prinsip yang mendasari praktik ini adalah:
Perjanjian (negotiation) sebelum sesi masokistik sangat penting. Perjanjian ini menetapkan batas, batasan fisik (hal-hal yang tidak boleh dilakukan), dan penggunaan "safeword" (kata aman) yang akan menghentikan aktivitas segera. Safeword adalah manifestasi paling jelas dari fakta bahwa, bahkan dalam keadaan paling pasif, partisipan masokis selalu mempertahankan kontrol utama (ultimate control) atas situasi tersebut.
Ketika sebagian besar masyarakat berfokus pada masokhisme seksual, bentuk masokhisme moral (seperti yang dikonseptualisasikan oleh Freud) dan masokhisme sosial jauh lebih umum dan seringkali luput dari pengamatan. Masokhisme ini adalah pola kepribadian dan perilaku yang dipertahankan, ditandai oleh kecenderungan untuk secara tidak sadar mencari penderitaan emosional atau kegagalan.
Mengapa seseorang secara aktif mencari penderitaan non-fisik? Jawabannya sering kali terletak pada rasa bersalah yang tidak disadari. Superego—struktur psikis yang mewakili moralitas, hati nurani, dan standar ideal—dapat menjadi sangat kejam. Jika individu percaya bahwa mereka pada dasarnya "buruk" atau "layak dihukum," mereka mungkin akan terlibat dalam perilaku yang memverifikasi narasi internal ini.
Terdapat bentuk masokhisme moral yang berinteraksi dengan altruisme. Seseorang mungkin menjadi "martir" yang berlebihan, selalu mengorbankan kebutuhannya sendiri demi orang lain hingga pada titik penderitaan pribadi yang ekstrem. Pengorbanan yang berlebihan ini berfungsi sebagai alat untuk menenangkan Superego yang menghukum, memungkinkan individu tersebut untuk "membayar utang" rasa bersalah yang tidak mereka pahami.
Dalam kasus ini, kesenangan (atau lebih tepatnya, lega) didapatkan dari pengakuan bahwa mereka telah menderita "cukup" untuk hari itu. Pujian atau pengakuan atas penderitaan mereka berfungsi sebagai penguatan positif, meskipun motif awalnya adalah penghukuman diri.
Dalam beberapa budaya, penderitaan dan pengorbanan sangat dihargai sebagai tanda kebajikan moral. Hal ini dapat memperkuat pola masokistik moral, karena perilaku mencari penderitaan menjadi disosialisasikan dan dikaitkan dengan nilai-nilai positif seperti kesucian atau ketahanan. Intervensi klinis menjadi rumit karena pasien mungkin melihat pola masokistik mereka sebagai sumber kekuatan moral, bukan sebagai gejala patologis.
Salah satu paradoks terbesar dalam masokhisme, baik seksual maupun moral, adalah masalah kontrol dan kekuatan. Secara permukaan, masokhisme adalah penyerahan kekuatan. Namun, dalam analisis yang lebih mendalam, masokhisme dapat menjadi cara yang sangat kuat untuk menegaskan kontrol.
Dalam konteks BDSM, submissive menetapkan batasan. Mereka mendefinisikan batas rasa sakit, kehinaan, dan durasi. Dengan menetapkan batasan, submissive secara efektif mengontrol dominan. Dominan hanya bisa beroperasi dalam parameter yang ditetapkan oleh submissive. Jika batasan dilanggar, sesi berakhir, dan kepercayaan rusak. Dengan demikian, penyerahan diri yang dilakukan secara bebas adalah bentuk kekuatan otonom tertinggi.
Dalam psikoanalisis, masokhisme sering dipahami sebagai agresi yang diarahkan ke dalam. Dorongan agresif (Sadisme) yang tidak dapat diekspresikan kepada orang lain karena takut akan hukuman atau kehilangan cinta, dialihkan kembali ke diri sendiri. Daripada menyerang objek eksternal, Ego menjadi objek serangan dari Superego. Dalam masokhisme seksual, fantasi dihukum atau dianiaya dapat menjadi pemuasan tersembunyi bagi dorongan agresif internal yang telah diubah menjadi pasif.
Ini menjelaskan mengapa beberapa orang masokis tampak sangat pasif di permukaan tetapi memiliki reservoir kemarahan yang besar di bawahnya. Rasa sakit yang dialami secara eksternal bertindak sebagai katarsis bagi kemarahan internal yang terperangkap.
Bagi beberapa individu, masokhisme adalah cara untuk menghadapi rasa bersalah (sadar atau tidak sadar) atas keinginan terlarang, agresi, atau pengalaman masa lalu yang memalukan. Rasa sakit fisik atau penghinaan bertindak sebagai penebusan dosa. Setelah "hukuman" diterima, individu merasa bersih atau lega. Ini adalah siklus yang berulang: dorongan, rasa bersalah, hukuman, pelepasan, dan dorongan lagi. Dinamika ini memperkuat peran masokhisme sebagai mekanisme pengaturan emosi, bukan sekadar hasrat fisik.
Karena masokhisme dalam konteks konsensual tidak dianggap patologis, intervensi terapeutik hanya diperlukan ketika:
Tujuan utama di sini adalah membawa konflik tidak sadar ke permukaan. Analisis membantu pasien memahami asal-usul Superego yang kejam, mengidentifikasi kemarahan yang diarahkan ke dalam, dan memisahkan masokhisme dari rasa bersalah yang mendasarinya. Dengan memahami mengapa mereka merasa pantas menderita, pasien dapat mulai membangun Ego yang lebih kuat yang mampu menengahi tuntutan Superego secara lebih sehat.
CBT sangat efektif untuk masokhisme moral dan perilaku sabotase. Terapi ini berfokus pada identifikasi pola pikir disfungsional, terutama keyakinan inti (misalnya, "Saya tidak layak bahagia" atau "Saya harus menderita untuk diterima"). Dengan menantang dan mereformulasi keyakinan ini, pasien dapat belajar untuk merespons kegagalan dan kesuksesan dengan cara yang lebih adaptif, memutus siklus penghukuman diri.
Untuk individu yang berpartisipasi dalam BDSM secara sehat tetapi mengalami kecemasan atau stigma internal, terapi afirmatif memberikan ruang untuk menerima preferensi mereka. Terapis membantu individu menginternalisasi bahwa preferensi mereka adalah sah dan etis selama bersifat konsensual, mengurangi rasa malu yang mungkin mereka rasakan akibat sosialisasi negatif.
Terapis harus selalu membedakan antara masokhisme sebagai preferensi seksual dan trauma masa lalu atau penyalahgunaan (abuse). Beberapa korban pelecehan mungkin mengembangkan pola perilaku masokistik sebagai cara untuk mengulangi trauma dalam upaya untuk "menguasainya" atau sebagai cara untuk menemukan kontrol dalam situasi yang dulunya tak terkendali. Dalam kasus ini, intervensi harus berfokus pada trauma, bukan hanya perilaku masokistik itu sendiri.
Pengulangan trauma adalah mekanisme psikologis yang rumit di mana korban secara tidak sadar menempatkan diri mereka dalam situasi yang mengingatkan pada trauma masa lalu. Bagi sebagian orang, perilaku masokistik yang terstruktur dan konsensual dapat menjadi cara yang aman (meskipun kontra-intuitif) untuk menghadapi dan mengelola ingatan trauma, karena dalam konteks BDSM, mereka memiliki kata aman (safeword) yang tidak mereka miliki selama pengalaman pelecehan yang tidak konsensual.
Masokhisme, terutama dalam bentuknya yang melibatkan kepasrahan total, menyentuh isu-isu filosofis mendasar mengenai kebebasan, tanggung jawab, dan otentisitas keberadaan. Filsuf eksistensialis berpendapat bahwa manusia terbebani oleh kebebasan memilih dan tanggung jawab penuh atas pilihan tersebut.
Menurut pemikiran eksistensial, masokhisme dapat dilihat sebagai upaya untuk melarikan diri dari kebebasan. Ketika seseorang menyerahkan kontrol, mereka melepaskan tanggung jawab yang menyertainya. Dalam kepasrahan total, submissive untuk sementara waktu dibebaskan dari beban harus membuat keputusan dan menghadapi konsekuensi. Ini adalah bentuk “iman buruk” (*mauvaise foi*), di mana individu menyangkal kebebasan mereka sendiri dengan bertindak seolah-olah mereka adalah objek, bukan subjek yang bebas.
Di sisi lain, beberapa penulis melihat masokhisme sebagai cara untuk mencapai otentisitas yang ekstrem. Dalam menghadapi rasa sakit yang intens atau penghinaan yang disengaja, individu dipaksa ke dalam "pengalaman batas" (extreme experience) yang menghancurkan fasad sosial. Dalam momen penyerahan diri yang paling rentan, Ego dapat terurai, memungkinkan pengalaman diri yang lebih murni atau intens. Bagi beberapa praktisi masokis, ini bukan pelarian, melainkan jalan yang dipercepat menuju kesadaran diri yang ekstrem.
Perjalanan memahami masokhisme telah membawa kita dari diagnosis klinis yang menghukum pada abad ke-19 ke pengakuan terhadap preferensi seksual yang beragam dan kompleks pada abad ke-21. Masokhisme bukan lagi kata tunggal, tetapi spektrum fenomena yang saling terkait.
Pemahaman modern harus menerima bahwa masokhisme dapat berfungsi dalam berbagai cara bagi individu yang berbeda:
Pada akhirnya, Masokhisme mengajarkan kita banyak hal tentang hubungan manusia dengan rasa sakit dan kesenangan. Ini menunjukkan bahwa sensasi, terlepas dari labelnya, adalah pengalaman subjektif yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai pelepasan psikologis, penghargaan biologis, dan keintiman yang mendalam, asalkan kerangka etika konsensual dipelihara dengan cermat dan tanpa kompromi.
Penelitian di masa depan harus terus membedakan substrat neurologis dari masokhisme konsensual versus perilaku menyakiti diri sendiri (self-harm) non-seksual. Penelitian ini juga perlu mengeksplorasi lebih lanjut interaksi antara trauma perkembangan awal dan bagaimana kecenderungan masokistik dapat dimanfaatkan atau dikelola secara sehat dalam kehidupan dewasa.
Melalui eksplorasi yang cermat dan tanpa penghakiman, kita dapat membongkar stigma yang melekat pada istilah masokhisme, memungkinkannya dipahami sebagai bagian yang sah, meskipun rumit, dari lanskap psikoseksual manusia.
***
Untuk memenuhi kebutuhan akan kedalaman analisis yang luar biasa, perluasan fokus pada mekanisme psikologis dalam praktik masokistik, khususnya konsep *subspace* dan pentingnya *aftercare*, menjadi krusial. Konsep-konsep ini adalah fondasi etis dari praktik masokistik yang sehat dan aman.
Subspace adalah istilah yang digunakan dalam komunitas BDSM untuk menggambarkan keadaan mental yang diubah yang dialami oleh submissive atau bottom selama atau setelah sesi intens. Keadaan ini seringkali didorong oleh kombinasi rasa sakit, adrenalin, endorfin, dan penyerahan kendali yang ekstrem. Rasanya sering digambarkan sebagai campuran euforia, ketenangan, ringan, atau disosiasi yang menyenangkan.
Secara neurologis, subspace adalah hasil dari mekanisme pertahanan tubuh terhadap stresor (rasa sakit). Tubuh dibanjiri bahan kimia pereda stres (endorf dan dopamin), yang menciptakan keadaan seperti trance. Dalam subspace, masalah dunia luar memudar, dan fokus mental sangat tereduksi pada sensasi fisik dan interaksi dengan dominan. Bagi individu masokis, pencapaian subspace adalah tujuan utama dari sesi tersebut, karena ini memberikan pelepasan emosional yang mendalam dan intensitas pengalaman yang sulit dicapai melalui cara lain.
Pengalaman subspace menekankan bahwa masokhisme bukan hanya tentang 'sakit', tetapi tentang perjalanan psikologis dan biokimia menuju pelepasan yang intens. Kontrol yang diberikan oleh dominan berfungsi sebagai katalisator, tetapi pelepasan tersebut adalah respons internal tubuh masokis itu sendiri.
Aftercare adalah fase kritis yang membedakan aktivitas masokistik yang sehat dari kekerasan. Setelah mencapai intensitas dan emosi yang tinggi (atau mengalami subspace), tubuh dan pikiran submissive seringkali berada dalam keadaan sangat rentan. Aftercare melibatkan serangkaian tindakan yang dirancang untuk membawa submissive kembali ke keadaan mental normal (*grounding*) dan mengatasi kemungkinan kerentanan emosional atau fisik pasca-sesi (*drop*).
Tanpa aftercare yang memadai, sesi masokistik dapat terasa tidak tuntas, meninggalkan submissive dalam keadaan emosional yang sulit. Kualitas aftercare adalah indikator utama kesehatan dan etika dalam dinamika BDSM, memastikan bahwa rasa sakit yang dialami tidak berlanjut menjadi penderitaan emosional yang tidak diinginkan.
Dalam praktik masokistik yang terstruktur, negosiasi sering kali diresmikan dalam bentuk kontrak verbal atau tertulis. Kontrak ini jauh melampaui penetapan kata aman; mereka mencakup:
Penggunaan kontrak ini berfungsi sebagai pengingat konstan bahwa masokhisme yang sehat adalah produk dari pemikiran rasional, perencanaan yang cermat, dan kesepakatan timbal balik, bukan impuls yang tidak terkendali. Ini juga merupakan bukti bahwa kekuatan sejati dalam dinamika masokistik adalah kekuatan persetujuan, yang selalu ada di tangan individu masokis.
Secara naratif, individu masokis sering kali menggunakan rasa sakit atau penghinaan untuk menulis ulang narasi diri mereka. Jika narasi internal mereka mengatakan, "Saya lemah dan tidak mampu," menghadapi rasa sakit dengan sukarela dan bertahan di dalamnya dapat menjadi bukti kekuatan dan ketahanan mental yang luar biasa. Rasa sakit menjadi ujian; melewatinya dengan tenang menegaskan kekuatan batin, kontras tajam dengan pandangan negatif diri yang mungkin dimiliki individu tersebut sebelum sesi.
Dalam konteks masokhisme moral, narasi ini terdistorsi. Individu masokis moral menyusun narasi di mana mereka selalu menjadi korban yang tidak berdaya, dan penderitaan mereka adalah bukti kebaikan moral atau nasib buruk yang tidak adil. Tujuan terapi adalah membantu mereka melihat bahwa mereka memegang pena dalam narasi tersebut dan dapat menulis ulang alur cerita untuk memasukkan kesuksesan dan kebahagiaan tanpa rasa bersalah.
***
Debat etika seputar masokhisme dan BDSM terus berlanjut, berpusat pada apakah praktik penyerahan diri yang ekstrem dapat sepenuhnya bebas, terutama ketika melibatkan dinamika kekuasaan yang timpang.
Para kritikus berpendapat bahwa persetujuan (konsen) dalam situasi kekuasaan yang ekstrem mungkin kabur. Bagaimana jika kebutuhan masokis akan penyerahan diri begitu mendalam sehingga mereka mungkin setuju untuk melampaui batas yang sehat? Meskipun kata aman ada, ada argumen bahwa kerentanan psikologis yang mendalam dapat mengurangi otonomi saat pengambilan keputusan.
Jawaban yang diberikan oleh komunitas adalah melalui penekanan pada *informed consent* (persetujuan yang terinformasi) dan *ongoing consent* (persetujuan yang berkelanjutan). Persetujuan harus diberikan tidak hanya di awal tetapi diperbarui sepanjang sesi. Jika submissive dalam subspace, dominan memiliki tanggung jawab etis yang lebih besar untuk memantau keselamatan mereka daripada mengandalkan safeword saja, yang mungkin sulit diucapkan.
Beberapa aliran feminisme historis mengkritik masokhisme, khususnya dalam konteks heteroseksual, karena menginternalisasi peran gender yang menindas. Mereka berpendapat bahwa hasrat wanita untuk tunduk mencerminkan sosialisasi patriarkal yang mengajarkan wanita bahwa kekuatan mereka terletak pada kepasifan.
Namun, pandangan feminis yang lebih kontemporer seringkali merevisi kritik ini, mengakui bahwa penyerahan diri yang disadari dan sukarela dapat menjadi tindakan pemberdayaan. Jika seorang wanita secara sadar memilih peran submissive, itu adalah penegasan otonomi, bukan kepatuhan yang dipaksakan. Kepasrahan dalam masokhisme BDSM adalah akting, atau permainan peran, di mana submissive memegang kekuasaan untuk mengakhiri permainan kapan saja, suatu kekuatan yang tidak dimiliki oleh wanita dalam hubungan patriarkal nyata yang tidak konsensual.
Dalam eksplorasi yang menyeluruh ini, menjadi jelas bahwa masokhisme adalah cerminan dari pergulatan internal kita dengan rasa bersalah, agresi, kontrol, dan pencarian intensitas. Ia menantang batas-batas rasa sakit dan kesenangan, mengingatkan kita bahwa pengalaman manusia adalah paradoks, dapat diatur, dan sering kali terikat pada kebutuhan psikologis yang jauh lebih dalam daripada sekadar dorongan fisik.
***
Pengakuan masokhisme yang konsensual memiliki implikasi signifikan dalam bidang hukum dan kebijakan publik. Kasus-kasus hukum di beberapa negara telah bergumul dengan pertanyaan: Kapan konsensus mengalahkan hukum yang melarang perlukaan tubuh?
Di banyak yurisdiksi, ada garis samar antara praktik BDSM masokistik yang intens dan serangan fisik. Misalnya, dalam kasus *R v Brown* di Inggris (1993), House of Lords memutuskan bahwa kegiatan sadomasokistik, meskipun konsensual dan privat, dapat dikategorikan sebagai penyerangan kriminal jika menyebabkan luka yang sebenarnya, karena konsen tidak dapat menjadi pembelaan untuk luka fisik serius.
Putusan ini sangat kontroversial dan dikritik karena gagal membedakan antara kekerasan yang mematikan dan ritual masokistik yang diatur. Keputusan ini menunjukkan bahwa masyarakat umum dan sistem hukum masih berjuang untuk memahami bahwa tujuan masokistik bukan untuk menyakiti secara permanen, tetapi untuk mencapai pelepasan emosional atau intensitas psikologis dalam konteks permainan peran.
Dalam konteks modern yang lebih inklusif, ada dorongan untuk memberikan pendidikan kepada petugas penegak hukum, pekerja sosial, dan profesional medis agar mereka dapat membedakan antara kekerasan domestik yang tidak konsensual dan aktivitas BDSM konsensual yang sah. Kurangnya pemahaman sering kali menyebabkan penyalahgunaan yang salah didiagnosis atau, sebaliknya, aktivitas BDSM yang aman dilaporkan sebagai tindak kriminal.
Aspek hukum ini menegaskan bahwa masokhisme, ketika disosialisasikan, membutuhkan kerangka etika dan hukum yang mengakui otonomi pribadi atas tubuh, selama hak-hak orang lain tidak dilanggar dan prinsip RACK ditaati.
Selain masokhisme fisik dan moral, kita dapat mengidentifikasi fenomena yang mirip dengan masokhisme dalam domain intelektual atau profesional. Ini melibatkan kecenderungan untuk mencari tantangan yang berlebihan, tugas yang menyiksa secara mental, atau lingkungan kerja yang sangat menekan, bukan karena keuntungan yang diharapkan, tetapi karena proses penderitaan yang dihasilkan.
Seorang akademisi mungkin secara tidak sadar memilih topik penelitian yang sangat sulit dan hampir mustahil untuk diselesaikan, menikmati proses berjam-jam rasa frustrasi yang intens, sebelum akhirnya mencapai resolusi singkat. Kesenangan di sini berasal dari pembebasan sementara dari tekanan yang diciptakan sendiri. Ini adalah bentuk Masokhisme Moral yang diarahkan pada prestasi, di mana hasil yang diperoleh hanya dihargai jika diperoleh melalui perjuangan yang menyakitkan.
***
Secara keseluruhan, masokhisme adalah cerminan fundamental dari bagaimana manusia menegosiasikan batas antara rasa sakit dan kesenangan. Dari ranah psikoanalisis yang gelap hingga ruang permainan BDSM yang diterangi cahaya, ia menuntut pemahaman yang nuansatif dan penghormatan terhadap keragaman pengalaman manusia.