Pernikahan adalah sebuah ikatan suci yang melampaui sekadar perjanjian legal; ia adalah perpaduan jiwa, komitmen sosial, dan pelaksanaan perintah agama. Dalam setiap ritual pernikahan, terlepas dari latar belakang budaya maupun spiritual, selalu ada elemen simbolis yang berfungsi sebagai pengikat janji, penanda tanggung jawab, dan penghargaan terhadap calon pasangan. Di Indonesia, elemen krusial tersebut dikenal dengan istilah Maskawin atau Mahar.
Maskawin bukanlah sekadar harga yang harus dibayar oleh mempelai pria kepada mempelai wanita, melainkan representasi fisik dari kesungguhan, tanggung jawab finansial, dan penghormatan tulus terhadap calon istri. Namun, pemahaman terhadap maskawin sering kali tereduksi menjadi polemik ekonomi semata, mengaburkan dimensi filosofis, hukum, dan keagamaan yang jauh lebih mendalam. Artikel ini akan menggali seluk-beluk maskawin secara komprehensif, mengurai posisinya dalam bingkai syariat Islam, Kompilasi Hukum Islam (KHI), adat istiadat nusantara, serta tantangan sosial ekonomi kontemporer.
Secara etimologi, istilah maskawin berasal dari bahasa Arab mahar atau shadaq. Dalam konteks syariah, maskawin didefinisikan sebagai pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri karena adanya akad nikah. Pemberian ini adalah hak mutlak istri dan sepenuhnya berada di bawah kepemilikannya (milk al-tam), tanpa campur tangan dari wali atau orang tua. Maskawin adalah salah satu rukun pelengkap (bukan rukun inti pernikahan, tetapi wajib disepakati) yang membedakan pernikahan dari sekadar pertukaran atau transaksi.
Dalam Islam, landasan maskawin sangat kuat termaktub dalam Al-Qur'an dan Hadis. Allah SWT berfirman dalam Surah An-Nisa ayat 4:
"Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai makanan (rezeki) yang sedap lagi baik akibatnya."
Ayat ini menegaskan bahwa maskawin adalah hak penuh wanita, bukan hadiah kepada keluarganya, dan harus diberikan dengan kerelaan. Terdapat empat pilar utama dalam pemahaman maskawin menurut fiqh:
Di Indonesia, maskawin diatur secara spesifik dalam dua payung hukum utama, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI, yang berlaku bagi umat Muslim, memberikan kerangka operasional yang sangat detail mengenai maskawin. Pasal 30 KHI menyatakan bahwa calon suami wajib menyerahkan maskawin kepada calon istri, yang besarnya ditetapkan berdasarkan persetujuan kedua belah pihak.
Hukum nasional memastikan bahwa meskipun maskawin bersifat keagamaan, ia juga memiliki dimensi legal yang mengikat. Apabila terjadi sengketa, pengadilan agama memiliki yurisdiksi untuk memutuskan status maskawin yang belum diserahkan atau yang dipersengketakan. Pengaturan ini menegaskan bahwa maskawin bukan sekadar janji lisan, tetapi bagian integral dari kontrak pernikahan yang diakui negara.
Maskawin tidak selalu berbentuk uang tunai atau emas. Keanekaragaman bentuk maskawin mencerminkan fleksibilitas syariat dan kekayaan tradisi budaya Indonesia. Meskipun demikian, ada batasan dan ketentuan yang mengatur jenis barang atau jasa yang dapat dijadikan maskawin.
Salah satu aspek paling sering diperdebatkan adalah batasan nilai maskawin. Apakah ada nilai minimum atau maksimum yang ditetapkan syariat?
Dalam Mazhab Syafi’i dan Maliki, terdapat perdebatan mengenai batas minimum. Imam Syafi’i cenderung tidak menetapkan batas minimum yang pasti, namun maskawin harus berupa sesuatu yang sah secara syariat dan memiliki nilai meskipun kecil. Dasar yang dipakai adalah hadis Rasulullah yang membolehkan seorang pria menikahi wanita dengan maskawin berupa cincin besi.
Sebaliknya, Mazhab Hanafi sempat menetapkan batasan minimum 10 dirham perak. Namun, pandangan modern cenderung kembali pada prinsip pokok, yaitu kesanggupan suami dan keridhaan istri, menekankan bahwa maskawin yang paling utama adalah yang paling mudah didapat dan tidak memberatkan.
Tidak ada batasan nilai maksimum maskawin dalam syariat. Seorang pria boleh memberikan maskawin dalam jumlah yang sangat besar jika ia mampu dan wanita meridhainya. Namun, ulama sering mengutip hadis yang menyatakan bahwa pernikahan yang paling diberkahi adalah yang paling mudah (ringan) maskawinnya. Hal ini menjadi teguran moral sosial agar maskawin tidak dijadikan alat pamer kekayaan atau beban yang menghalangi pernikahan.
Maskawin dapat dibagi berdasarkan waktu penyerahannya:
Pemerintah Indonesia melalui Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan UU Perkawinan memberikan legitimasi hukum yang kuat terhadap hak dan kewajiban terkait maskawin. Pemahaman yang keliru terhadap status hukum maskawin dapat menimbulkan sengketa di kemudian hari.
KHI secara rinci mengatur maskawin mulai dari Pasal 30 hingga Pasal 38. Beberapa poin penting yang diatur oleh KHI meliputi:
Bagaimana status maskawin jika ikatan pernikahan harus berakhir? Hukum mengatur status maskawin secara adil berdasarkan kondisi putusnya pernikahan:
Jika pernikahan dibatalkan atau berakhir karena cerai sebelum pasangan melakukan hubungan seksual (dukhul), hukumnya adalah sebagai berikut:
Setelah terjadi hubungan seksual, istri berhak penuh atas seluruh maskawin yang telah disepakati, baik yang sudah dibayarkan maupun yang masih ditangguhkan. Jika terjadi perceraian, istri tetap memiliki hak penuh atas maskawin tersebut, di luar hak nafkah iddah dan mut'ah.
Jika istri yang menuntut cerai (khulu'), istri dapat mengembalikan (atau melepaskan haknya atas) seluruh atau sebagian maskawin kepada suami sebagai imbalan agar suami mau melepaskan ikatan pernikahan tersebut. Ini merupakan mekanisme tebusan yang diizinkan dalam syariat untuk mengakhiri pernikahan yang tidak harmonis atas permintaan istri.
Di luar kerangka syariah dan hukum positif, maskawin sangat dipengaruhi oleh adat istiadat dan struktur sosial. Di Indonesia, batas antara maskawin (pemberian wajib ke istri) dan uang panai/seserahan (pemberian ke keluarga) seringkali kabur, menghasilkan kompleksitas dan potensi tekanan sosial.
Di banyak suku di Indonesia, maskawin berinteraksi dengan tradisi lokal yang melibatkan transfer nilai atau barang dari keluarga pria ke keluarga wanita. Meskipun maskawin secara fiqh adalah hak istri, secara adat, nilai yang besar sering kali dipandang sebagai prestise bagi keluarga wanita.
Pergeseran ini menciptakan konflik batin. Secara agama dianjurkan untuk memudahkan, tetapi secara sosial, maskawin yang "ringan" kadang dianggap merendahkan martabat calon istri atau keluarganya, sehingga maskawin (atau biaya pernikahan total) menjadi inflasi sosial.
Sering terjadi, maskawin dijadikan standar ukur kemapanan pria. Tuntutan maskawin yang tinggi, meskipun berasal dari keinginan pihak wanita atau desakan keluarga, dapat menimbulkan dampak negatif sosial:
Ulama dan tokoh masyarakat di Indonesia terus menyerukan pentingnya kembali kepada ajaran inti agama, yaitu mencari keberkahan melalui kemudahan. Maskawin harus mencerminkan kesanggupan dan bukan kesombongan, agar fungsi utamanya sebagai fondasi komitmen tidak terdistorsi oleh tekanan materialisme.
Untuk mengatasi polemik materialisme dan tetap menjaga keunikan, banyak pasangan muda kini memilih maskawin yang lebih kreatif dan bernilai historis. Beberapa contoh yang populer meliputi:
Inovasi ini menunjukkan bahwa fokus telah bergeser dari sekadar kuantitas uang tunai menjadi kualitas simbolisme, relevansi, dan manfaat jangka panjang bagi pasangan.
Jika maskawin hanyalah transfer uang, lantas apa bedanya dengan transaksi jual beli? Para ahli fiqh dan sosiolog bersepakat bahwa maskawin memiliki peran filosofis yang jauh lebih dalam, menopang struktur dan stabilitas rumah tangga.
Maskawin adalah uji coba pertama bagi pria mengenai kesediaannya berkorban dan bertanggung jawab. Syariat mewajibkan maskawin agar pria tidak memandang pernikahan sebagai hal yang remeh atau mudah dibatalkan. Ketika pria mengeluarkan harta pribadinya, hal itu mengukuhkan bahwa ikatan yang akan dibangun adalah ikatan yang serius dan berharga. Maskawin menjadi simbol bahwa pria siap menafkahi dan melindungi pasangannya.
"Maskawin bukan harga istri, tetapi adalah biaya awal dari pembangunan sebuah peradaban kecil yang bernama rumah tangga. Ia adalah simbol dimulainya tanggung jawab finansial seumur hidup."
Dalam sejarah, khususnya di masa ketika wanita tidak memiliki hak penuh atas harta, maskawin berfungsi sebagai jaminan ekonomi awal. Maskawin yang diberikan kepada istri adalah aset pribadinya yang dapat ia gunakan di masa depan, terutama jika terjadi hal yang tidak diinginkan seperti perceraian atau kesulitan ekonomi. Ini memberikan martabat dan rasa aman, memastikan bahwa wanita memasuki pernikahan dengan bekal kepemilikan harta yang dijamin syariat.
Maskawin adalah salah satu pembeda fundamental antara pernikahan (nikah) dan hubungan tanpa ikatan yang diharamkan (zina). Adanya ijab kabul, saksi, dan maskawin memberikan legitimasi moral dan spiritual. Maskawin menegaskan nilai sakral dari akad nikah, bahwa hubungan intim yang terjadi setelahnya adalah hubungan yang halal dan dilindungi oleh hukum Tuhan dan negara.
Di era globalisasi dan digitalisasi, konsep maskawin menghadapi tantangan baru, mulai dari aset digital hingga perdebatan mengenai hak istri dalam mengelola maskawin.
Munculnya aset digital seperti Bitcoin, Ethereum, atau token non-fungible (NFT) telah menimbulkan pertanyaan: bisakah aset ini dijadikan maskawin? Secara hukum Islam (Fiqh Muamalah), segala sesuatu yang bernilai, sah untuk diperjualbelikan (mutaqawwim), dan tidak diharamkan, dapat dijadikan maskawin.
Maskawin berupa kripto atau NFT sah jika:
Pilihan maskawin digital sering mencerminkan profesi pasangan (misalnya, pasangan yang bekerja di industri teknologi), namun penting untuk memastikan bahwa istri memahami cara mengelola aset tersebut, mengingat volatilitasnya yang tinggi.
Bagaimana jika maskawin yang sudah diserahkan berupa barang (misalnya, perhiasan) hilang atau rusak sebelum istri sempat menggunakannya? Karena maskawin adalah hak milik penuh istri sejak akad, risiko kehilangan atau kerusakan sepenuhnya ditanggung oleh istri, sama seperti harta miliknya yang lain. Suami tidak memiliki kewajiban untuk mengganti maskawin yang sudah diserahkan, kecuali kehilangan tersebut disebabkan oleh kelalaian atau perbuatan suami sendiri.
Di wilayah yang kuat adatnya, seringkali terjadi konflik prioritas antara membayar maskawin wajib dan melunasi utang untuk biaya adat (seperti uang panai). Secara syariat dan hukum KHI, maskawin adalah kewajiban yang mendahului biaya lainnya. Kegagalan melunasi maskawin tercatat sebagai utang sah suami, sedangkan biaya adat murni bersifat sosial dan tidak memiliki kekuatan hukum formal sekuat maskawin.
Oleh karena itu, pasangan disarankan untuk memisahkan secara tegas antara: (1) Mahar/Maskawin (kewajiban syariat dan hukum); dan (2) Biaya Pesta/Adat (kebutuhan sosial). Pemisahan ini membantu mengurangi tekanan dan memastikan hak istri terpenuhi.
Menetapkan maskawin yang ideal memerlukan kebijaksanaan. Idealitas bukan terletak pada nilai nominalnya, melainkan pada kemampuannya untuk mengokohkan ikatan pernikahan tanpa menjadi beban.
Proses penetapan maskawin harus dimulai dengan musyawarah yang terbuka antara calon suami dan calon istri, didampingi oleh wali atau orang tua yang bijaksana. Penting untuk mengukur kemampuan finansial calon suami secara jujur dan mendiskusikan apa yang benar-benar diinginkan istri, bukan apa yang dituntut oleh standar sosial.
Bila maskawin ditetapkan berdasarkan kebutuhan praktis (misalnya, peralatan rumah tangga yang memang diperlukan) atau aset investasi, ini dapat meningkatkan nilai manfaatnya dibandingkan sekadar uang tunai yang mungkin habis terpakai untuk konsumsi harian.
Dalam situasi di mana sulit menentukan besaran maskawin yang adil, konsep Mahar Mitsl (maskawin sepadan) dapat diterapkan. Mahar Mitsl adalah nilai maskawin yang setara dengan wanita-wanita lain yang sepadan dalam hal kecantikan, status sosial, pendidikan, dan kesalehan. Meskipun biasanya diterapkan jika maskawin tidak disebutkan, konsep ini dapat menjadi panduan untuk menetapkan nilai yang rasional dan proporsional, mencegah penetapan nilai yang terlalu rendah (merendahkan) atau terlalu tinggi (memberatkan).
Penekanan ulama tentang maskawin yang ringan harus dipahami sebagai upaya mencapai berkah dalam pernikahan. Pernikahan yang berkah adalah pernikahan yang dilandasi kemudahan, keikhlasan, dan ketaatan, bukan kemewahan sesaat. Pasangan yang memilih maskawin yang mudah menunjukkan bahwa prioritas mereka adalah ibadah dan komitmen jangka panjang, bukan pamer kekayaan. Nilai keberkahan ini jauh lebih bernilai daripada nilai materiil tertinggi sekalipun.
Maskawin, dalam setiap dimensi dan bentuknya, adalah manifestasi konkret dari tanggung jawab universal pria terhadap wanita yang dinikahinya. Ia adalah janji material yang mengiringi janji spiritual. Di tengah modernisasi dan pergeseran nilai, esensi maskawin sebagai hak istri, simbol penghormatan, dan bukti kesungguhan calon suami harus tetap dijaga.
Indonesia, dengan segala keberagaman adat dan syariatnya, harus mampu menyeimbangkan tuntutan tradisi dengan semangat kemudahan yang dianjurkan oleh agama. Dengan memahami secara mendalam landasan hukum KHI, prinsip-prinsip fiqh, dan menghindari perangkap materialisme sosial, maskawin dapat kembali pada fungsi sejatinya: pondasi ekonomi yang kuat untuk memulai bahtera rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Maskawin bukanlah akhir dari sebuah prosesi, melainkan permulaan yang sakral, penanda bahwa seorang pria telah siap memikul beban nafkah, melindungi, dan menghargai pasangannya seumur hidup, dan bahwa seorang wanita memasuki ikatan tersebut dengan martabat dan kepemilikan yang terjamin.
Penting untuk membedakan maskawin (Mahar) dalam Islam dengan konsep serupa di budaya lain, seperti Dowry (mahar yang dibayarkan oleh keluarga wanita kepada pria, umum di India) atau Bride Price (pembayaran oleh pria kepada keluarga wanita, umum di beberapa budaya Afrika). Mahar/Maskawin Indonesia sepenuhnya adalah hak wanita, menjadikannya unik dan sangat melindungi posisi wanita. Dalam sistem Dowry, wanita sering menjadi rentan karena asetnya dikuasai keluarga suami atau dipandang sebagai beban ekonomi yang harus disertai 'harga' (dowry).
Penguatan literasi mengenai perbedaan ini sangat penting, terutama di era global, agar masyarakat tidak salah mengadopsi praktik yang melemahkan hak-hak wanita. Maskawin yang diatur oleh KHI dan syariat bertujuan mengangkat derajat wanita, bukan menurunkannya.
Kondisi paling sering ditemui dalam kasus perceraian di Pengadilan Agama adalah tuntutan pelunasan Maskawin Mu'akhkhar yang belum dibayar. Ketika maskawin ditangguhkan, ia memiliki status hukum yang setara dengan utang piutang. Jika terjadi cerai atau suami meninggal, pelunasan maskawin ini menjadi prioritas.
Prosedur Tuntutan:
Hal ini menegaskan betapa seriusnya pandangan hukum terhadap maskawin; ia bukan sekadar janji, tetapi kewajiban finansial yang mengikat hingga akhir hayat atau hingga terlunasi.
Meskipun maskawin adalah hak penuh istri, dalam penentuan nilainya, peran wali (ayah atau kerabat) sangat signifikan, terutama dalam konteks budaya Indonesia. Wali bertindak sebagai pelindung hak-hak wanita (himayat al-haqq). Wali yang saleh akan memastikan bahwa maskawin yang disepakati adalah wajar, sesuai kemampuan calon suami, dan tidak merugikan pihak manapun.
Wali tidak boleh mengambil maskawin tersebut. Namun, wali memiliki hak untuk melarang maskawin yang terlalu kecil atau terlalu fantastis jika hal itu dipandang merugikan maslahat (kebaikan umum) pernikahan. Ini adalah wewenang moral dan sosial, bukan wewenang hukum untuk memilikinya.
Setelah maskawin diserahkan, istri memiliki hak penuh untuk mengelola atau menggunakannya sesuai keinginannya. Suami tidak berhak menuntut laporan atau meminta izin penggunaan maskawin tersebut. Istri boleh menjualnya, menginvestasikannya, atau menyimpannya. Namun, secara etika berumah tangga, para ulama menyarankan agar istri menggunakan maskawinnya untuk hal-hal yang bermanfaat atau mendukung keberlangsungan rumah tangga, tanpa menghilangkan hak kepemilikannya.
Jika istri secara sukarela memberikan kembali sebagian atau seluruh maskawin kepada suami (misalnya, untuk membantu suami yang kesulitan finansial), tindakan ini disebut hibah (pemberian) dan sangat dianjurkan sebagai bentuk cinta dan pengorbanan dalam rumah tangga.
Konsep Mahar Mitsl sangat penting ketika maskawin tidak disebutkan (tafwid) atau ketika terjadi perselisihan. Penentuan Mahar Mitsl melibatkan parameter yang sangat detail, antara lain:
Hakim di Pengadilan Agama sering menggunakan pendekatan ini untuk memberikan putusan yang adil, memastikan bahwa meskipun maskawin tidak ditentukan di awal, hak istri atas nilai yang setara tetap terpenuhi secara hukum dan sosial.
Indonesia adalah negara multikultural. Ketika terjadi pernikahan beda suku atau bahkan beda agama (meski pernikahan beda agama memiliki kompleksitas hukum tersendiri), penentuan maskawin sering menjadi titik temu antara dua tradisi yang berbeda. Dalam kasus pernikahan Muslim dengan Muslim yang berbeda adat, prinsip KHI tetap menjadi acuan utama, yaitu maskawin adalah hak istri dan harus disepakati. Tradisi adat yang memberatkan (seperti tuntutan Uang Panai yang berlebihan) sering kali dinegosiasikan agar tidak melanggar prinsip kemudahan syariat.
Keberhasilan pernikahan multikultural seringkali bergantung pada kemampuan kedua keluarga untuk memilah mana yang merupakan kewajiban syariat (Maskawin) dan mana yang hanya merupakan kebiasaan sosial (Seserahan/Biaya Adat), lalu memprioritaskan yang pertama.
Apabila maskawin ditetapkan dalam bentuk uang tunai, nilai riilnya akan tergerus oleh inflasi jika penyerahannya ditangguhkan dalam jangka waktu lama (Mahar Mu’akhkhar). Misalnya, Rp 10 juta yang dijanjikan 20 tahun lalu memiliki daya beli yang jauh lebih besar daripada Rp 10 juta hari ini.
Oleh karena itu, banyak ahli fiqh kontemporer menyarankan agar Maskawin Mu’akhkhar ditetapkan dalam bentuk yang nilainya relatif stabil atau meningkat, seperti emas (gram) atau mata uang asing yang kuat, meskipun pembayarannya kelak dapat dikonversi ke rupiah pada saat pelunasan. Strategi ini melindungi hak finansial istri dari dampak pelemahan nilai mata uang, memastikan bahwa komitmen yang dibuat suami tetap adil secara ekonomi.
Penggunaan emas atau aset investasi sebagai maskawin bukan sekadar tren, tetapi refleksi dari pemahaman mendalam tentang ekonomi modern dan upaya perlindungan hak istri. Ini adalah langkah bijak yang menggabungkan kepatuhan syariat dengan perencanaan keuangan yang cerdas.
Pada akhirnya, perbincangan tentang maskawin harus senantiasa kembali pada ruhnya: komitmen, penghormatan, dan fondasi tanggung jawab. Ia adalah simbol permulaan; dan permulaan yang baik adalah yang didasari kejujuran, kesederhanaan, dan niat suci, bebas dari beban pameran duniawi.