Masa Perundagian menandai salah satu babak paling transformatif dalam sejarah prasejarah kepulauan Nusantara. Istilah ini, yang berakar dari kata ‘undagi’ dalam bahasa Jawa Kuno yang berarti ahli, spesialis, atau tukang, secara eksplisit menunjuk pada periode di mana masyarakat mulai mengembangkan keahlian spesialisasi, terutama dalam bidang metalurgi—pengolahan logam, baik perunggu maupun besi. Periode ini tidak hanya mengubah cara masyarakat membuat alat dan senjata, tetapi juga secara fundamental merevolusi struktur sosial, sistem kepercayaan, dan jaringan perdagangan.
Perundagian merupakan puncak dari Zaman Logam di Indonesia, berbeda signifikan dari era sebelumnya (Paleolitikum, Mesolitikum, dan Neolitikum) yang didominasi oleh teknologi batu. Jika pada masa Neolitikum inovasi berpusat pada pertanian dan pengasahan batu yang presisi, pada Masa Perundagian, penguasaan api dan peleburan bijih mineral menjadi penentu peradaban baru. Kemampuan untuk mengubah batuan mentah menjadi benda fungsional yang tahan lama, seperti kapak corong, nekara, dan perhiasan rumit, menempatkan kaum undagi sebagai kasta intelektual dan teknologis baru dalam masyarakat prasejarah.
Secara kronologis, Masa Perundagian di Nusantara sering dikaitkan dengan kedatangan pengaruh dari kebudayaan Asia Tenggara Daratan, khususnya Kebudayaan Dong Son (Vietnam Utara) yang kuat. Meskipun demikian, artefak yang ditemukan di Indonesia menunjukkan adaptasi dan pencampuran yang sangat khas lokal, membuktikan bahwa masyarakat Nusantara tidak hanya penerima pasif, tetapi juga inovator yang ulung. Periode ini secara umum dibagi menjadi dua fase utama berdasarkan material yang dominan:
Zaman Perunggu merupakan fase awal dan paling monumental dari Perundagian. Perunggu adalah paduan (aloi) antara tembaga (Cuprum) dan timah (Stannum). Penemuan teknik peleburan dan pencampuran kedua logam ini memerlukan pengetahuan kimia dan metalurgi yang canggih. Kedua bahan baku ini tidak selalu tersedia di lokasi yang sama, sehingga muncul kebutuhan akan jaringan pertukaran dan perdagangan yang terorganisir untuk mendistribusikan tembaga dan timah ke pusat-pusat produksi.
Produk-produk perunggu cenderung digunakan untuk tujuan seremonial dan prestise, bukan hanya alat sehari-hari. Nekara (genderang perunggu raksasa) dan Moko (gendang perunggu yang lebih kecil dari Alor) adalah contoh paling spektakuler. Penguasaan teknik perunggu menunjukkan bahwa masyarakat sudah mampu mengelola sumber daya, tenaga kerja, dan spesialisasi keahlian yang jauh lebih kompleks dibandingkan masyarakat Neolitikum. Proses pembuatan nekara, misalnya, memerlukan desain cetakan yang rumit, perhitungan suhu yang akurat, dan tenaga kerja yang terstruktur.
Teknik Peleburan Perunggu: Masyarakat Perundagian menguasai teknik cetak logam. Dua metode utama yang ditemukan adalah cetak tuang berulang (bivalve) dan cetak hilang (a cire perdue). Metode bivalve digunakan untuk membuat alat-alat sederhana seperti kapak corong atau mata tombak. Sementara itu, metode a cire perdue adalah puncak kecanggihan metalurgi prasejarah. Teknik ini melibatkan pembuatan model lilin yang dilapisi tanah liat, kemudian lilin dilelehkan, meninggalkan rongga yang sempurna untuk diisi lelehan perunggu. Teknik ini memungkinkan pembuatan artefak dengan detail ukiran dan ornamen yang sangat halus, seperti relief pada Nekara.
Zaman Besi datang kemudian, meskipun seringkali tumpang tindih dengan Zaman Perunggu. Besi memiliki titik lebur yang jauh lebih tinggi daripada perunggu (sekitar 1538°C berbanding 1085°C untuk tembaga murni), sehingga pengolahannya menuntut teknologi tungku pembakaran yang lebih maju dan kontrol suhu yang lebih presisi. Karena kesulitan teknis ini, besi seringkali dianggap lebih sulit diproduksi, namun memiliki keunggulan fungsional karena kekerasan dan ketahanannya.
Artefak besi cenderung lebih berfungsi sebagai alat utilitarian, seperti cangkul, pisau, dan alat pertanian, yang secara langsung meningkatkan efisiensi produksi pangan dan pembukaan lahan baru. Berbeda dengan perunggu yang seringkali disimpan sebagai benda pusaka, besi lebih cepat aus dan didaur ulang. Akibatnya, artefak besi yang ditemukan secara arkeologis jumlahnya lebih sedikit dibandingkan perunggu yang bersifat seremonial dan lebih dilindungi.
Pilar utama dari Masa Perundagian adalah sosok undagi. Undagi bukanlah tukang biasa, melainkan spesialis yang memiliki pengetahuan esoteris (rahasia) tentang mineralogi, metalurgi, dan bahkan kosmologi yang terhubung dengan proses penciptaan. Keterampilan ini diwariskan secara turun-temurun dan dikontrol ketat, memberikan mereka status sosial yang tinggi.
Masyarakat Perundagian bertransformasi dari masyarakat kesukuan yang egaliter (seperti pada Neolitikum) menjadi masyarakat yang hierarkis. Kaum undagi, bersama dengan kepala suku atau pemimpin spiritual, menduduki puncak piramida sosial. Mereka menguasai bahan baku, teknik, dan distribusi produk akhir. Produksi logam menjadi industri rumah tangga yang terpusat di kawasan tertentu, seringkali dekat dengan sumber daya atau jalur distribusi strategis.
Spesialisasi ini meliputi:
Diagram visualisasi teknik cetak hilang (a cire perdue) yang dikuasai kaum undagi.
Artefak Masa Perundagian jauh melampaui kebutuhan fungsional. Mereka adalah simbol status, media komunikasi spiritual, dan penanda peradaban maritim yang luas. Tiga jenis artefak paling penting adalah Nekara, Moko, dan berbagai jenis Kapak Corong.
Nekara adalah artefak perunggu paling ikonik dari Masa Perundagian. Ini adalah genderang besar, seringkali berdiameter lebih dari satu meter, dengan permukaan atas (membran) dihiasi ukiran yang sangat detail. Nekara tidak berfungsi sebagai alat musik sehari-hari, melainkan sebagai benda ritual yang terkait erat dengan upacara kesuburan, pemanggilan hujan, upacara kematian, atau penanda status bagi pemimpin suku.
Ornamen pada nekara berfungsi sebagai narasi visual kebudayaan prasejarah. Motif-motif ini terbagi menjadi:
Penggambaran perahu pada nekara bukan sekadar transportasi, tetapi juga perahu arwah, metafora perjalanan spiritual menuju dunia lain. Hal ini menggarisbawahi kepercayaan animisme-dinamisme yang masih kuat, di mana nenek moyang dan kekuatan alam menjadi pusat ritual. Nekara Agung di Pejeng, Bali, adalah contoh spektakuler, menunjukkan betapa besarnya investasi tenaga dan material yang dilakukan masyarakat untuk benda-benda ritual ini. Pembuatan nekara berukuran besar ini membutuhkan perencanaan metalurgi yang sangat matang, memastikan bahwa coran perunggu yang dihasilkan solid dan tanpa cacat, sebuah tantangan teknis yang signifikan bagi masyarakat prasejarah.
Visualisasi Nekara, simbol utama kekuasaan dan ritual Masa Perundagian.
Moko adalah versi nekara yang lebih kecil dan lebih ramping, sangat terkenal ditemukan di Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur. Meskipun lebih kecil, Moko memiliki nilai sosial dan ekonomi yang luar biasa. Di Alor, Moko berfungsi sebagai maskawin (belis) yang sangat berharga dan menjadi penentu status keluarga. Penguasaan dan kepemilikan Moko menunjukkan status sosial yang tinggi dan kekayaan yang mapan.
Kontroversi seputar Moko terletak pada asal-usulnya. Beberapa Moko diyakini berasal dari impor, kemungkinan melalui jalur perdagangan kuno dari daratan Asia atau bahkan Cina Selatan, yang kemudian dipertukarkan di sepanjang rute maritim Nusantara. Namun, ada pula bukti bahwa masyarakat Alor dan sekitarnya juga mengembangkan industri pengecoran lokal yang mampu mereplikasi atau memproduksi Moko dengan gaya dan ornamen khas Nusa Tenggara Timur.
Kapak Corong, atau sering disebut kapak sepatu karena bentuknya menyerupai sepatu yang bagian belakangnya berongga (corong) untuk menempatkan gagang kayu, adalah salah satu alat fungsional yang paling umum ditemukan. Kapak ini dibuat dari perunggu melalui metode cetak bivalve (cetak tuang berulang). Bentuknya yang variatif—ada yang pendek, panjang, dengan bilah melebar—menunjukkan adanya adaptasi fungsional untuk berbagai kebutuhan, mulai dari bertani hingga berburu.
Jenis yang paling rumit adalah Kapak Candrasa. Candrasa memiliki bilah yang sangat lebar, melengkung seperti bulan sabit, dan sering dihiasi ornamen rumit. Candrasa diyakini tidak digunakan sebagai alat kerja praktis, melainkan sebagai lambang kebesaran, alat upacara, atau mata uang prestise yang hanya dimiliki oleh kaum elit atau pemimpin perang. Bentuknya yang indah tetapi rapuh untuk pekerjaan berat memperkuat interpretasi fungsinya sebagai penanda status sosial dan simbol ritual.
Untuk mempertahankan produksi logam skala besar, kaum undagi harus menguasai tiga aspek kritis: penambangan sumber daya, teknik peleburan yang efisien, dan sistem distribusi yang terintegrasi. Kompleksitas ini menunjukkan tingkat organisasi masyarakat yang jauh melebihi era sebelumnya.
Masa Perundagian memerlukan pasokan bijih tembaga, timah, dan besi yang stabil. Di Nusantara, sumber daya ini tersebar tidak merata. Misalnya, timah melimpah di wilayah seperti Bangka dan Belitung, sementara tembaga lebih banyak ditemukan di Jawa, Sumatera, dan bagian timur. Kebutuhan akan pertukaran komoditas ini menjadi dorongan utama bagi pengembangan jalur pelayaran dan perdagangan antarpulau yang jauh lebih intensif.
Proses penambangan pada masa itu masih bersifat sederhana, kemungkinan melibatkan penambangan permukaan atau lubang dangkal. Setelah bijih mineral didapat, bijih tersebut harus dipecah dan dicuci untuk memisahkan material murni sebelum dibawa ke pusat peleburan.
Peleburan adalah tahap kritis di mana bijih mineral diubah menjadi logam murni. Ini dilakukan di tungku tanah liat khusus yang mampu menahan suhu tinggi. Untuk mencapai suhu yang diperlukan (terutama untuk besi), para undagi menggunakan teknologi hembusan udara, kemungkinan menggunakan semacam bellows (alat tiup) yang dioperasikan tangan atau kaki, untuk menyuplai oksigen dan meningkatkan panas pembakaran kayu atau arang.
Kualitas perunggu sangat bergantung pada rasio pencampuran tembaga dan timah. Campuran yang tepat menghasilkan logam yang kuat dan mudah dituang; rasio yang salah bisa menghasilkan perunggu yang rapuh atau terlalu lunak. Pengetahuan mengenai perbandingan ini adalah salah satu rahasia dagang kaum undagi, memposisikan mereka sebagai ilmuwan terapan prasejarah.
Masa Perundagian adalah era di mana konektivitas regional mencapai tingkat baru. Produksi logam tidak bisa berdiri sendiri; ia membutuhkan pasokan bahan mentah dan pasar untuk produk jadi. Inilah yang mendorong penguatan sistem perdagangan maritim, mengubah jalur pelayaran dari sekadar migrasi menjadi rute komersial.
Penguasaan teknologi logam menciptakan jurang pemisah sosial. Masyarakat dibagi berdasarkan peran:
Artefak logam berfungsi sebagai kapital simbolis. Semakin besar nekara atau semakin rumit perhiasan, semakin besar status pemiliknya. Hal ini mendorong persaingan antar kelompok elit untuk mengakuisisi benda-benda logam yang langka, yang pada gilirannya menstimulasi produksi dan permintaan di pusat-pusat perundagian.
Jalur pelayaran pada Masa Perundagian sangat penting. Selain logam, komoditas lain yang dipertukarkan termasuk garam, rempah-rempah lokal, hasil hutan, dan manik-manik kaca yang diimpor. Pusat-pusat perundagian seperti Bali, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan tidak hanya memproduksi alat, tetapi juga bertindak sebagai titik temu bagi pertukaran budaya dan barang dari berbagai pulau.
Bukti arkeologis menunjukkan adanya kesamaan gaya pada beberapa artefak logam yang ditemukan di lokasi yang sangat jauh (misalnya, Jawa dan Pulau Flores), mengindikasikan bahwa baik produk jadi maupun pengetahuan teknis (undagi yang berpindah) disebarkan melalui jaringan maritim yang sudah mapan. Perahu yang digambarkan pada relief nekara merupakan bukti visual akan kemampuan navigasi laut dalam masyarakat prasejarah ini.
Meskipun pengaruh Dong Son tersebar luas, setiap wilayah di Nusantara mengembangkan keunikan metalurginya sendiri. Variasi ini mencerminkan adaptasi terhadap bahan baku lokal dan kebutuhan sosial masing-masing pulau.
Bali adalah salah satu pusat penting, dibuktikan dengan penemuan Nekara Pejeng yang monumental. Skala nekara ini menunjukkan bahwa Bali memiliki basis produksi yang terstruktur dan elit yang sangat kaya. Tradisi keahlian undagi di Bali berlanjut hingga kini dalam bentuk ahli ukir, emas, dan pemahat, menunjukkan kesinambungan budaya yang sangat panjang dari Masa Perundagian.
Artefak Bali seringkali menunjukkan ornamen yang sangat padat dan kompleks, menghubungkan metalurgi dengan ritual pertanian dan penghormatan kepada dewa hujan dan kesuburan. Pengaruh Dong Son di Bali diinterpretasikan dan diinternalisasi hingga menghasilkan gaya yang sepenuhnya khas Bali.
Di Jawa Barat dan Jawa Timur, ditemukan banyak kapak corong dan cetakan (bivalve), menunjukkan fokus yang lebih kuat pada produksi alat fungsional dan senjata. Penemuan cetakan di situs-situs seperti Puger (Jawa Timur) dan Leuwiliang (Jawa Barat) adalah bukti langsung adanya bengkel-bengkel pengecoran lokal. Besi juga mulai memainkan peran penting di Jawa, digunakan untuk alat pertanian yang mendukung sistem pertanian sawah basah yang semakin intensif.
NTT, khususnya Alor dan Flores, menonjol karena Moko. Moko menjadi komoditas pertukaran yang sangat stabil. Di sini, Masa Perundagian berinteraksi kuat dengan sistem adat dan kekerabatan. Nilai tukar Moko sangat tinggi, sehingga benda ini menjadi alat penyimpan kekayaan yang diwariskan lintas generasi. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi logam tidak hanya menghasilkan alat, tetapi juga menciptakan instrumen keuangan dan sosial yang kompleks.
Masa Perundagian bukanlah akhir peradaban, melainkan fondasi bagi perkembangan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha selanjutnya di Nusantara. Teknologi, struktur sosial, dan kepercayaan yang dikembangkan pada periode ini terintegrasi ke dalam budaya klasik.
Keahlian para undagi logam menjadi cikal bakal tradisi pembuatan keris dan senjata tajam lainnya di era kerajaan. Teknik a cire perdue terus digunakan untuk membuat patung-patung perunggu dewa Hindu-Buddha. Metalurgi besi yang canggih juga membuka jalan bagi produksi baja tempa berkualitas tinggi seperti pamor pada keris, menunjukkan bahwa inovasi yang dimulai ribuan tahun sebelumnya tetap relevan.
Konsep spesialisasi keahlian dan status undagi tetap dipertahankan. Di Bali hingga kini, istilah undagi masih digunakan untuk merujuk pada arsitek atau ahli bangunan yang menguasai konsep dan tata letak spiritual. Selain itu, simbolisme yang ditemukan pada nekara—seperti perahu arwah dan motif kosmik—terus muncul dalam seni dekoratif dan arsitektur tradisional di banyak wilayah Indonesia.
Untuk memahami sepenuhnya kecanggihan Masa Perundagian, perlu diuraikan secara mendalam bagaimana para undagi mengatasi tantangan fisik dan kimiawi dalam mengolah perunggu. Perunggu, sebagai aloi (paduan), jauh lebih sulit diolah daripada logam murni karena memerlukan kontrol atas komposisi dan titik lebur yang berbeda.
Sebagian besar perunggu pada Masa Perundagian adalah campuran tembaga dan timah. Tembaga memberikan ketahanan dan daktilitas (kemampuan untuk ditarik), sementara penambahan timah (biasanya antara 5% hingga 15%) secara signifikan menurunkan titik lebur campuran dan meningkatkan kekerasan akhir. Namun, jika timah terlalu banyak, aloi akan menjadi getas dan mudah pecah. Pengetahuan empiris yang dimiliki oleh kaum undagi untuk menentukan rasio yang ideal tanpa alat ukur modern adalah bukti kejeniusan teknis mereka.
Penelitian arkeometalurgi menunjukkan bahwa komposisi perunggu Nusantara cukup bervariasi. Beberapa benda seremonial, yang memerlukan detail ukiran halus (misalnya Nekara), mungkin memiliki kadar timah yang sedikit lebih tinggi untuk memastikan aliran logam yang baik ke dalam cetakan yang rumit (fluiditas) saat dicor. Sebaliknya, alat-alat praktis mungkin menggunakan rasio yang menghasilkan kekuatan mekanis maksimum.
Meskipun perunggu memiliki titik lebur yang relatif rendah dibandingkan besi, mencapai suhu lebur (sekitar 1000°C) secara konsisten masih merupakan tantangan besar. Tungku harus dibangun dari tanah liat tahan panas yang sangat spesifik, mampu menahan panas tinggi berulang kali tanpa retak.
Proses pemanasan membutuhkan arang berkualitas tinggi, yang diproduksi dari kayu keras tertentu. Para undagi harus mengelola pembakaran arang ini dengan hati-hati. Udara disalurkan melalui pipa tanah liat (tuyere) dari bellows yang dioperasikan manual. Tugas mengoperasikan bellows, yang sering memakan waktu berjam-jam, membutuhkan stamina dan koordinasi yang tinggi, seringkali melibatkan beberapa pekerja yang bergiliran.
Kegagalan dalam mencapai suhu yang seragam dapat menyebabkan pengecoran yang tidak sempurna, di mana logam cair tidak mengisi semua detail cetakan, atau menyebabkan retak pada produk akhir. Oleh karena itu, ritual dan perhitungan astrologi yang sering menyertai proses pengecoran mungkin berfungsi ganda: sebagai penguatan spiritual dan sebagai cara untuk memastikan semua tahap teknis dilakukan dengan presisi dan perhatian maksimal.
Teknik a cire perdue yang digunakan oleh undagi Nusantara pada dasarnya sama dengan yang digunakan di kebudayaan besar dunia lainnya, namun menunjukkan adaptasi lokal yang khas. Proses ini sangat padat karya dan hanya bisa dilakukan untuk satu benda unik per cetakan.
Setelah model lilin (biasanya lilin lebah) selesai diukir, model ini ditutup dengan lapisan tanah liat yang sangat halus (lapisan pertama), kemudian lapisan tanah liat yang lebih kasar dan tebal (lapisan pendukung). Lilin harus dilelehkan secara perlahan agar tidak merusak cetakan tanah liat. Lubang kecil ditinggalkan di bagian bawah cetakan untuk mengalirkan lilin keluar dan kemudian bertindak sebagai saluran udara saat logam panas dimasukkan.
Keberhasilan teknik ini bergantung pada kualitas tanah liat. Tanah liat harus memiliki sifat plastis yang baik saat basah (untuk membentuk cetakan) dan sifat tahan panas (refraktori) yang sangat baik saat dipanaskan. Pemilihan tanah liat yang tepat diyakini sebagai bagian dari pengetahuan rahasia undagi, seringkali didapatkan dari lokasi tertentu yang dianggap sakral atau memiliki kualitas mineral yang unggul.
Dalam masyarakat Perundagian, teknologi tidak pernah terpisah dari spiritualitas. Proses metalurgi—mengambil batu dari bumi, mengubahnya dengan api, dan melahirkan bentuk baru—dianggap sebagai tindakan sakral yang meniru penciptaan kosmik. Undagi adalah perantara antara dunia materi dan dunia gaib.
Api dalam proses peleburan dilihat sebagai elemen pemurnian dan transformasi. Ia memiliki kekuatan destruktif (melebur bijih) dan konstruktif (menciptakan alat). Ritual sebelum dan selama pengecoran bertujuan untuk menenangkan roh api dan roh bijih, memastikan bahwa proses transformasi berjalan lancar dan artefak yang dihasilkan memiliki kekuatan magis atau ‘tuah’.
Beberapa penelitian mengaitkan produksi logam dengan ritual kesuburan. Bentuk Nekara, dengan bagian perut yang bengkak, kadang-kadang diinterpretasikan sebagai simbol rahim atau kesuburan. Motif katak pada Nekara, yang melambangkan air dan kesuburan, memperkuat kaitan ini. Dalam banyak masyarakat tradisional, penambangan dan peleburan seringkali menjadi domain laki-laki, namun artefak yang dihasilkan, terutama yang seremonial, berfungsi untuk menjamin kesuburan kolektif masyarakat, baik kesuburan pertanian maupun populasi.
Desain artefak Perundagian sering mencerminkan konsep dualisme kosmik yang umum dalam kebudayaan Austronesia—atas dan bawah, langit dan bumi, pria dan wanita. Kapak Corong, misalnya, sering dihiasi dengan motif matahari atau bulan. Nekara, sebagai wadah besar, menghubungkan dunia bawah (bumi tempat bijih berasal) dengan dunia atas (langit yang diwakili oleh upacara dan simbolisme air hujan).
Masa Perundagian meletakkan tiga landasan penting yang menentukan arah peradaban Indonesia selanjutnya, jauh sebelum masuknya pengaruh India:
Alat-alat besi, meskipun lebih jarang ditemukan, sangat efisien untuk pertanian. Kapak besi memungkinkan pembukaan hutan dan lahan pertanian baru dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Peningkatan efisiensi pertanian menghasilkan surplus pangan. Surplus ini tidak hanya mendukung pertumbuhan populasi, tetapi juga memungkinkan sekelompok orang (undagi, elit, pedagang) untuk melepaskan diri dari produksi pangan dan mengkhususkan diri, memicu ekonomi yang lebih kompleks.
Kemampuan untuk mengontrol teknologi metalurgi dan mendistribusikan benda-benda prestise memberikan dasar bagi konsolidasi kekuasaan. Kelompok elit yang mampu memobilisasi sumber daya (tenaga kerja, bahan baku, undagi) untuk menghasilkan Nekara raksasa secara inheren menunjukkan superioritas kekuasaan politik mereka. Artefak logam menjadi alat diplomasi, pertukaran aliansi, dan legitimasi kekuasaan kepala suku atau raja kecil yang mulai terbentuk.
Sistem perdagangan bahan mentah (tembaga dan timah) yang diperlukan untuk produksi perunggu mendorong pengembangan teknologi perahu yang lebih baik dan pengetahuan navigasi yang mendalam. Jaringan pertukaran yang terjalin pada Masa Perundagian inilah yang kemudian menjadi rute utama bagi masuknya pengaruh agama besar (Hindu, Buddha, Islam) dan menjadi kerangka dasar bagi kerajaan-kerajaan maritim Nusantara seperti Sriwijaya dan Majapahit.
Sementara perunggu mendominasi artefak seremonial, penggunaan besi di wilayah timur Nusantara (seperti Sulawesi dan Maluku) menunjukkan jalur evolusi teknologi yang unik. Di beberapa lokasi, transisi dari batu langsung ke besi terjadi dengan cepat, mungkin karena ketersediaan bijih besi lokal yang lebih mudah diakses daripada tembaga dan timah.
Karena titik lebur besi yang sangat tinggi, masyarakat Perundagian tidak secara rutin mencairkan besi dan menuangnya seperti perunggu. Sebaliknya, mereka menggunakan teknik reduksi langsung (direct reduction). Bijih besi dan arang dipanaskan bersama dalam tungku tertutup. Alih-alih menghasilkan cairan, proses ini menghasilkan massa besi padat bercampur kotoran yang disebut bloom. Massa ini harus ditempa (dipukul-pukul saat panas) berulang kali untuk menghilangkan kotoran (slag) dan memadatkan besi menjadi alat yang fungsional.
Keterampilan dalam penempaan ini sangat penting. Proses penempaan bukan sekadar membentuk; ini adalah proses metalurgi yang meningkatkan kualitas besi, mengubah strukturnya menjadi lebih kuat dan lebih ulet. Kemampuan para undagi untuk mengolah bloom besi menjadi alat yang presisi menunjukkan penguasaan fisika material tingkat tinggi.
Di wilayah yang menerapkan sistem pertanian intensif, seperti di lembah-lembah subur di Jawa, alat-alat besi seperti cangkul, sabit, dan mata bajak yang sederhana sangat berharga. Masa Perundagian secara efektif adalah era di mana teknologi metalurgi besi menjadi pendorong utama surplus pangan. Tanpa alat yang efisien untuk mengolah tanah berat atau memanen hasil, sistem sosial kompleks yang mendukung undagi dan elit tidak mungkin dapat dipertahankan. Oleh karena itu, besi adalah tulang punggung ekonomi, sementara perunggu adalah wajah spiritual dan politiknya.
Masa Perundagian adalah periode keahlian spesialisasi, ditandai dengan penguasaan api dan logam oleh kaum undagi. Dari genderang perunggu raksasa yang menenangkan roh leluhur hingga kapak besi sederhana yang menjamin kelangsungan hidup pertanian, setiap artefak logam menceritakan kisah tentang masyarakat yang bergerak melampaui kebutuhan dasar menuju kompleksitas sosial dan teknologi yang luar biasa.
Warisan terpenting dari Perundagian bukanlah sekadar benda-benda indah yang tersisa, melainkan konsep spesialisasi profesi, pembentukan hierarki sosial berdasarkan keahlian teknis, dan peletakan dasar jaringan maritim yang mengikat Nusantara. Kaum undagi adalah insinyur prasejarah, filsuf material, dan penentu arah sejarah kepulauan, yang karyanya tetap menjadi saksi bisu keagungan peradaban prasejarah Indonesia.