Kawasan Marsaoleh, sebuah nama yang tidak hanya menandai titik geografis di Kota Ambon, Maluku, tetapi juga merepresentasikan lapisan tebal sejarah dan identitas kultural yang membentuk narasi kepulauan rempah. Terletak strategis di jantung kota, Marsaoleh adalah saksi bisu dari pergolakan masa kolonial, pusat pertahanan, dan kini menjadi cermin dari dinamika masyarakat Maluku yang modern namun tetap memegang teguh warisan leluhur. Memahami Marsaoleh berarti menelusuri akar sejarah yang terbentang jauh, dari dominasi benteng-benteng kokoh hingga denyut nadi kehidupan sehari-hari masyarakat Ambonese.
Sebagai kawasan yang berdekatan dengan Teluk Ambon dan menjadi penghubung vital bagi banyak aktivitas kota, peran Marsaoleh dalam konfigurasi tata ruang dan sosial Maluku tidak dapat diabaikan. Ia menjadi sebuah area yang mengombinasikan kompleksitas administratif, kekayaan arkeologis, dan keindahan panorama alam yang menawan. Eksplorasi mendalam terhadap Marsaoleh menawarkan perspektif baru tentang bagaimana sejarah maritim dan kepentingan strategis global pada masa lampau telah membentuk lanskap kebudayaan dan sosiologis di Indonesia Timur.
Ilustrasi simbolis Benteng Victoria, lambang sejarah pertahanan di kawasan Marsaoleh.
Sejarah kawasan Marsaoleh tidak dapat dipisahkan dari narasi kolonialisme rempah-rempah yang menjadikan Maluku sebagai panggung utama perebutan kekuasaan dunia. Sebelum kehadiran kekuatan Eropa, wilayah ini kemungkinan besar telah menjadi titik penting bagi perdagangan lokal, namun kedatangan bangsa asing mengubah segalanya, menempatkan Marsaoleh sebagai pusat militer dan administrasi yang vital.
Ikon paling menonjol dari sejarah Marsaoleh adalah Benteng Victoria. Didirikan pertama kali oleh bangsa Portugis pada tahun 1575 dengan nama Nossa Senhora da Anunciada, benteng ini kemudian diambil alih oleh Belanda dan dinamai ulang menjadi Benteng Victoria pada tahun 1605. Penamaan ini, dan keberadaan benteng itu sendiri, menegaskan status Marsaoleh sebagai titik strategis utama untuk mengendalikan perdagangan pala dan cengkeh di Kepulauan Maluku. Kawasan di sekitar benteng inilah yang kemudian berkembang menjadi inti pemerintahan kota, yang kini kita kenal sebagai bagian integral dari Marsaoleh.
Di bawah kekuasaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), Benteng Victoria, yang terletak di Marsaoleh, berfungsi sebagai markas besar. Ini bukan hanya sebuah pos militer, tetapi juga pusat komando yang mengawasi seluruh aktivitas niaga dan militer Belanda di kawasan timur nusantara. Seluruh keputusan politik, ekonomi, dan militer yang berkaitan dengan monopoli rempah di Maluku seringkali berpusat di dalam dinding-dinding kokoh Marsaoleh ini. Arsitektur benteng yang khas, dengan dinding batu tebal, bastion, dan parit pertahanan, adalah bukti nyata dari prioritas pertahanan yang diletakkan di kawasan Marsaoleh.
Bahkan jauh setelah VOC bangkrut dan era Hindia Belanda, Marsaoleh tetap memegang peran penting. Selama Perang Dunia II, khususnya invasi Jepang ke Ambon pada tahun 1942, area Marsaoleh dan Benteng Victoria menjadi target utama karena nilai strategisnya. Pertempuran di sekitar kawasan ini menggambarkan betapa krusialnya kontrol atas Marsaoleh bagi kekuatan yang ingin mendominasi wilayah Pasifik Barat Daya. Jejak-jejak sejarah ini masih tertanam dalam struktur tanah dan memori kolektif masyarakat yang tinggal di sekitar Marsaoleh.
Seiring berjalannya waktu, kawasan Marsaoleh mengalami berbagai rekonstruksi, khususnya setelah gempa bumi besar yang sering melanda Ambon. Namun, inti historisnya tetap dipertahankan. Bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda yang kini banyak difungsikan sebagai kantor pemerintahan, rumah dinas, dan fasilitas publik di Marsaoleh, memberikan karakter arsitektural yang unik. Ini adalah perpaduan antara gaya tropis kolonial dengan sentuhan modern, mencerminkan transisi sejarah dari masa penjajahan ke era kemerdekaan Indonesia.
Pelestarian bangunan-bangunan ini di Marsaoleh menjadi isu penting. Upaya konservasi tidak hanya bertujuan menjaga fisik bangunan, tetapi juga untuk merawat narasi yang melekat padanya. Setiap sudut Marsaoleh, mulai dari jalan-jalan kecil, pelabuhan, hingga kantor-kantor lama, menceritakan kisah tentang bagaimana kekuasaan berganti, bagaimana ekonomi rempah berputar, dan bagaimana masyarakat lokal berinteraksi dengan kekuatan asing selama berabad-abad. Warisan arsitektural Marsaoleh adalah museum terbuka yang mendokumentasikan babak penting dalam sejarah Indonesia.
Marsaoleh bukan hanya tentang benteng dan administrasi; ia adalah ruang hidup bagi masyarakat Ambonese. Kepadatan penduduk di kawasan ini, yang didominasi oleh percampuran suku dan agama yang harmonis, menunjukkan vitalitas budaya yang terus menerus berdenyut. Letaknya yang dekat dengan pusat perdagangan dan pelabuhan menjadikannya titik lebur bagi berbagai tradisi dan kearifan lokal.
Di Marsaoleh, prinsip-prinsip adat Maluku seperti Pela Gandong (persaudaraan abadi antar negeri/desa) dan semangat gotong royong terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun berada di lingkungan perkotaan yang modern, ikatan komunal di Marsaoleh tetap kuat. Interaksi antarwarga, baik yang berasal dari desa-desa di Pulau Ambon maupun pendatang dari pulau-pulau sekitarnya, memperkaya mosaik sosial kawasan Marsaoleh.
Kawasan ini juga dikenal sebagai pusat kegiatan keagamaan yang penting. Masjid, gereja, dan fasilitas ibadah lainnya berdiri berdampingan di Marsaoleh, mencerminkan toleransi dan kerukunan yang telah lama menjadi ciri khas masyarakat Maluku. Perayaan hari-hari besar keagamaan, baik Islam maupun Kristen, seringkali melibatkan partisipasi silang dari berbagai komunitas, menguatkan konsep persatuan di tengah keberagaman yang mendefinisikan Marsaoleh.
Maluku dikenal sebagai salah satu lumbung musisi berbakat di Indonesia, dan Marsaoleh, sebagai jantung kota, memainkan peran sentral dalam pengembangan musik dan seni. Mulai dari musik tradisional seperti Tifa (gendang khas Maluku) dan Suling Bambu, hingga genre modern seperti pop dan keroncong, Marsaoleh adalah tempat di mana kreativitas musikal menemukan ekspresinya. Banyak seniman besar Maluku berasal atau setidaknya memulai karier mereka dari kawasan sekitar Marsaoleh, menyerap energi historis dan maritim kota.
Representasi Tifa dan Suling, mencerminkan kekayaan musikal masyarakat Marsaoleh.
Selain musik, tradisi lisan dan tarian adat, seperti tarian Lenso atau tarian Cakalele (tari perang), masih dipelihara di komunitas sekitar Marsaoleh. Kegiatan-kegiatan budaya ini sering diselenggarakan di ruang publik kawasan, berfungsi sebagai pengingat akan identitas Maluku yang kuat, sekaligus sebagai atraksi yang menarik bagi pengunjung yang ingin memahami lebih dalam tentang jiwa Kota Ambon.
Secara geografis, Marsaoleh menempati posisi yang sangat menguntungkan. Terletak di tepi Teluk Ambon bagian dalam, kawasan ini memiliki garis pantai yang penting, sekaligus menjadi dataran rendah yang relatif datar, yang memudahkannya berkembang menjadi pusat pemerintahan dan ekonomi. Interaksi antara daratan dan lautan di Marsaoleh menciptakan lanskap yang khas dan memberikan potensi ekonomi maritim yang besar.
Teluk Ambon adalah arteri vital bagi Marsaoleh. Keberadaan pelabuhan, yang beroperasi sejak era kolonial dan terus berkembang hingga kini, menempatkan Marsaoleh sebagai simpul utama transportasi laut di Maluku. Aktivitas bongkar muat, perikanan, dan lalu lintas kapal penumpang mendominasi kehidupan pesisir Marsaoleh. Pemandangan di sekitar Teluk Ambon, khususnya saat matahari terbit atau terbenam, memberikan kontras yang menarik antara bangunan bersejarah dan perairan yang tenang.
Meskipun Marsaoleh adalah kawasan perkotaan yang padat, upaya konservasi lingkungan, terutama terkait dengan ekosistem laut Teluk Ambon, mulai menjadi perhatian. Pelestarian terumbu karang, pengelolaan sampah, dan pengendalian polusi menjadi tantangan sekaligus prioritas, mengingat bagaimana kehidupan masyarakat Marsaoleh sangat bergantung pada kesehatan Teluk Ambon.
Marsaoleh kini berfungsi sebagai pusat administratif utama Provinsi Maluku dan Kota Ambon. Kantor-kantor pemerintahan vital, termasuk kantor Gubernur, kantor Walikota, dan fasilitas penunjang lainnya, terkonsentrasi di kawasan ini. Konsentrasi infrastruktur di Marsaoleh ini adalah warisan langsung dari fungsi historisnya sebagai pusat kekuasaan kolonial.
Pembangunan infrastruktur modern di Marsaoleh, seperti peningkatan jalan raya, pengembangan fasilitas kesehatan, dan perbaikan sarana pendidikan, terus dilakukan. Namun, pembangunan ini harus diseimbangkan dengan upaya pelestarian situs-situs bersejarah, memastikan bahwa pertumbuhan kota tidak mengorbankan identitas kultural dan historis yang melekat pada kawasan Marsaoleh.
Untuk memastikan Marsaoleh tetap relevan di masa depan, fokus pada keberlanjutan dan pelestarian adalah kunci. Kawasan ini menghadapi tekanan urbanisasi yang tinggi, di mana kebutuhan akan ruang komersial dan residensial seringkali berbenturan dengan keharusan melindungi bangunan cagar budaya dan lingkungan pesisir. Manajemen tata ruang yang bijaksana menjadi sangat penting di Marsaoleh.
Benteng Victoria di Marsaoleh, meskipun telah menjadi situs bersejarah yang dilindungi, memerlukan perhatian konservasi yang berkelanjutan. Faktor iklim tropis yang lembab, risiko gempa bumi, dan intrusi air laut menjadi ancaman konstan terhadap integritas strukturalnya. Pelestarian Marsaoleh bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga keterlibatan aktif dari komunitas lokal yang memiliki kedekatan emosional dengan peninggalan tersebut. Program-program edukasi sejarah yang berpusat di Marsaoleh dapat membantu menumbuhkan kesadaran ini.
Di samping benteng, banyak rumah dan gudang kolonial di Marsaoleh yang kini beralih fungsi. Penting untuk menerapkan regulasi zonasi yang ketat yang memungkinkan adaptasi fungsi bangunan tanpa merusak elemen arsitektur aslinya. Nilai historis Marsaoleh terletak pada kohesi antara bangunan-bangunan lama yang membentuk koridor visual dan memori kolektif kota.
Dengan latar belakang sejarah yang kaya dan posisi geografis yang indah, Marsaoleh memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai pusat ekowisata sejarah maritim. Pengembangan ini harus berfokus pada pengalaman otentik, di mana pengunjung dapat mempelajari sejarah rempah-rempah, melihat langsung peninggalan kolonial, dan berinteraksi dengan budaya lokal Maluku yang hidup di Marsaoleh.
Pengembangan dermaga-dermaga kecil di Marsaoleh untuk perahu wisata, pembangunan pusat informasi sejarah yang terintegrasi di sekitar Benteng Victoria, dan peningkatan fasilitas publik adalah langkah-langkah yang dapat meningkatkan daya tarik Marsaoleh sebagai destinasi wisata unggulan. Hal ini tidak hanya meningkatkan ekonomi lokal tetapi juga memberikan sumber daya finansial yang diperlukan untuk upaya pelestarian jangka panjang.
Kawasan Marsaoleh tidak hanya berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan situs bersejarah; ia adalah motor penggerak ekonomi mikro dan makro Kota Ambon. Dinamika ekonomi di sini sangat dipengaruhi oleh posisinya yang strategis, menjadikannya titik pertemuan antara sektor jasa, administrasi, dan perdagangan maritim. Analisis terperinci mengenai struktur sosio-ekonomi Marsaoleh mengungkap kompleksitas yang jarang ditemukan di kawasan perkotaan lainnya di Indonesia Timur.
Aktivitas komersial di Marsaoleh didominasi oleh perdagangan kecil dan menengah yang melayani kebutuhan pegawai pemerintahan, pelaut, dan penduduk lokal. Keberadaan pasar tradisional yang berdekatan, serta kantor-kantor bank dan layanan publik, menciptakan ekosistem ekonomi yang padat. Ketergantungan Marsaoleh pada pelabuhan sangat tinggi; komoditas yang masuk ke Maluku seringkali melalui dermaga yang berdekatan dengan Marsaoleh sebelum didistribusikan ke wilayah lain. Ini menciptakan peluang kerja yang signifikan, namun juga tantangan logistik yang unik.
Sektor jasa, khususnya yang berkaitan dengan logistik maritim, seperti pengiriman, pergudangan, dan perbaikan kapal, memiliki akar yang dalam di Marsaoleh. Pengalaman masyarakat Marsaoleh yang telah berinteraksi dengan pelayaran dan perdagangan selama ratusan tahun telah membentuk keahlian turun-temurun dalam navigasi dan perniagaan. Dinamika pasar di Marsaoleh mencerminkan fluktuasi harga komoditas global, terutama karena sifatnya yang masih terikat erat dengan ekspor hasil laut dan pertanian dari pulau-pulau di sekitarnya.
Percepatan pembangunan infrastruktur di Marsaoleh, meskipun bertujuan meningkatkan efisiensi kota, memberikan dampak signifikan terhadap struktur komunitas tradisional. Peningkatan nilai properti dan modernisasi fasilitas terkadang menyebabkan pergeseran populasi, di mana komunitas asli yang telah lama tinggal di Marsaoleh terdorong ke pinggiran. Oleh karena itu, perencanaan kota di Marsaoleh harus mengedepankan inklusivitas, memastikan bahwa proyek-proyek pembangunan tetap mempertahankan aksesibilitas bagi komunitas lama dan menjaga identitas lokal.
Upaya pelestarian warisan budaya di Marsaoleh harus terintegrasi dengan pembangunan ekonomi. Misalnya, melalui pengembangan kerajinan tangan lokal, kuliner khas Maluku, dan seni pertunjukan yang dapat disajikan kepada wisatawan yang mengunjungi Marsaoleh. Dengan demikian, sejarah dan budaya Marsaoleh tidak hanya dilihat sebagai artefak masa lalu, tetapi sebagai aset ekonomi yang berkelanjutan dan memberdayakan masyarakat setempat.
Ketika membahas Marsaoleh, fokus seringkali jatuh pada Benteng Victoria. Namun, sejarah maritim yang lebih luas—yaitu kisah tentang kapal-kapal yang berlabuh, interaksi antara pelaut Eropa, Asia, dan Maluku, serta perkembangan teknologi perkapalan—adalah elemen penting dalam narasi Marsaoleh. Selama berabad-abad, perairan di sekitar Marsaoleh menjadi jalur utama bagi kapal-kapal rempah, kapal perang, dan kapal dagang yang menghubungkan Maluku dengan Jawa, Tiongkok, Arab, dan Eropa.
Studi mengenai arsip pelabuhan kuno yang mungkin berpusat di Marsaoleh dapat mengungkapkan detail-detail penting mengenai jaringan perdagangan global yang pernah eksis. Nama-nama jalan dan kampung di Marsaoleh seringkali menyimpan petunjuk mengenai kelompok etnis atau profesi yang pernah dominan di area tersebut, misalnya kawasan yang dulunya dihuni oleh para juru masak kapal atau pedagang tekstil. Membedah toponimi di Marsaoleh adalah cara untuk menghidupkan kembali memori kolektif yang terkubur oleh modernitas.
Sebagai pusat interaksi antarbangsa dan antarbudaya, Marsaoleh memainkan peran krusial dalam evolusi Bahasa Melayu Ambon (BMA). BMA adalah kreol unik yang diperkaya oleh kosakata dari bahasa Portugis, Belanda, dan berbagai bahasa lokal Maluku, serta bahasa-bahasa Nusantara lainnya. Di Marsaoleh, tempat di mana administrasi kolonial berinteraksi langsung dengan pedagang dan rakyat biasa, kebutuhan akan lingua franca yang efisien sangat tinggi. Inilah yang mempercepat pembentukan dan penyebaran BMA sebagai bahasa pengantar di seluruh Maluku.
Struktur bahasa dan idiom khas yang digunakan oleh masyarakat Marsaoleh hingga kini mencerminkan sejarah panjang interaksi ini. Kata-kata serapan yang digunakan sehari-hari adalah peninggalan linguistik dari masa ketika benteng-benteng di Marsaoleh menjadi saksi bisu tawar-menawar politik dan ekonomi antara pribumi dan bangsa asing. Dengan demikian, Marsaoleh bukan hanya pusat geografis; ia adalah episentrum linguistik Maluku.
Tata ruang kawasan Marsaoleh merupakan studi kasus yang menarik tentang perencanaan kota kolonial di daerah tropis. Pembagian ruang yang jelas antara area militer (Benteng Victoria), area administrasi (kantor-kantor penting), dan area residensial/komersial (kampung-kampung di sekitarnya) adalah ciri khas yang masih terlihat jelas hingga saat ini. Jalan-jalan utama di Marsaoleh dirancang untuk memudahkan pergerakan logistik dan pertahanan, bukan semata-mata untuk kenyamanan warga sipil.
Perbedaan material bangunan juga mencerminkan hierarki sosial pada masa kolonial. Bangunan di dalam dan sekitar Marsaoleh yang digunakan oleh pejabat tinggi Belanda dibangun dengan material batu dan atap genteng yang kokoh, sementara rumah-rumah penduduk lokal seringkali menggunakan material yang lebih sederhana. Meskipun demikian, adaptasi arsitektur kolonial Marsaoleh terhadap iklim setempat, seperti penggunaan teras lebar dan ventilasi silang, menunjukkan inovasi desain yang relevan untuk konteks Maluku.
Sejumlah bangunan gudang tua di Marsaoleh, yang dulunya berfungsi menyimpan rempah-rempah sebelum dikirim ke Eropa, kini menjadi penanda penting dari fungsi ekonomi historis Marsaoleh. Penggunaan kembali (repurposing) bangunan-bangunan ini menjadi galeri seni, kafe, atau ruang publik kreatif dapat menghidupkan kembali kawasan Marsaoleh sekaligus menghormati warisan arsitekturalnya. Kebijakan tata ruang di Marsaoleh harus memprioritaskan konservasi koridor-koridor visual yang menghubungkan daratan, benteng, dan Teluk Ambon.
Keberlanjutan sebuah pemukiman padat seperti Marsaoleh di masa lalu sangat bergantung pada ketersediaan air bersih. Penelitian historis menunjukkan bahwa sistem pengelolaan air di sekitar Benteng Victoria dan kawasan Marsaoleh sudah sangat maju pada zamannya, melibatkan sumur-sumur dalam dan mungkin sistem penampungan air hujan yang canggih. Detail infrastruktur vital ini seringkali terlupakan namun sangat penting untuk memahami mengapa Marsaoleh dipilih sebagai pusat permukiman utama, mengalahkan lokasi-lokasi lain di Pulau Ambon.
Identifikasi dan pemetaan ulang sistem air historis di Marsaoleh dapat memberikan wawasan berharga bagi perencanaan infrastruktur perkotaan modern. Air, sebagai sumber daya yang sangat penting, selalu menjadi fokus dalam sejarah Marsaoleh, dan ketersediaannya adalah salah satu alasan mengapa Marsaoleh mampu mempertahankan kepadatan penduduk dan fungsinya sebagai pusat pemerintahan selama berabad-abad, bahkan di tengah kepungan konflik dan bencana alam.
Kawasan Marsaoleh tidak hanya hadir dalam catatan sejarah resmi, tetapi juga meresap kuat dalam sastra lisan, lagu-lagu rakyat, dan folklor Maluku. Marsaoleh seringkali digambarkan sebagai simbol kekuatan, ketahanan, atau tempat kenangan romantis yang terkait dengan pelabuhan dan perpisahan. Lagu-lagu daerah Maluku yang menceritakan kerinduan atau kisah cinta sering menyebutkan pemandangan dari Benteng Victoria atau dermaga di Marsaoleh sebagai latar emosional utama.
Analisis terhadap folklor yang berasal dari Marsaoleh mengungkapkan bagaimana masyarakat lokal memandang dan menafsirkan kehadiran kolonial. Kisah-kisah tentang perjuangan melawan penjajah, tokoh-tokoh lokal yang gigih, atau bahkan cerita-cerita hantu di benteng Marsaoleh, memberikan perspektif alternatif yang melengkapi dokumen-dokumen resmi. Folklor ini adalah cerminan dari psikologi kolektif Marsaoleh, sebuah kawasan yang selalu berjuang untuk mendefinisikan dirinya di antara warisan asing dan identitas pribumi yang kuat.
Dengan mengumpulkan dan mendokumentasikan cerita-cerita ini, nilai kultural Marsaoleh dapat diperkuat. Ini memberikan dimensi manusiawi pada batu-batu tua benteng dan gedung-gedung administrasi, menjadikannya bukan sekadar situs mati, tetapi narasi yang hidup dan relevan bagi generasi muda Maluku. Penguatan narasi lokal adalah kunci untuk memastikan identitas Marsaoleh tidak tergerus oleh homogenisasi budaya global.
Sebagai kawasan pesisir yang padat dan penting, Marsaoleh sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim global, terutama kenaikan permukaan air laut dan peningkatan frekuensi cuaca ekstrem. Benteng Victoria dan infrastruktur pelabuhan yang terletak sangat dekat dengan garis pantai Marsaoleh menghadapi ancaman erosi dan banjir rob yang serius. Perencanaan jangka panjang untuk Marsaoleh harus memasukkan strategi mitigasi perubahan iklim.
Pembangunan tembok laut, restorasi hutan mangrove di area yang masih memungkinkan, dan peningkatan drainase perkotaan adalah contoh upaya adaptasi yang kritis di Marsaoleh. Selain itu, kesadaran masyarakat Marsaoleh terhadap isu-isu lingkungan perlu ditingkatkan, mengingat mereka adalah garda terdepan yang akan merasakan langsung dampak dari perubahan iklim. Konservasi lingkungan pesisir di Marsaoleh adalah bagian integral dari pelestarian warisan historisnya.
Di Marsaoleh, di mana sejarah dan masa depan bertemu di tepi laut, tantangan ini memerlukan solusi inovatif yang menggabungkan kearifan lokal dalam mengelola sumber daya alam dengan teknologi modern. Memahami bagaimana leluhur di Marsaoleh menghadapi tantangan lingkungan di masa lalu, misalnya melalui pemilihan lokasi pembangunan dan material yang tahan gempa, dapat memberikan panduan berharga untuk perencanaan Marsaoleh di abad ke-21.
Marsaoleh adalah sebuah palimpsest—lapisan-lapisan sejarah yang tertulis ulang namun tidak pernah sepenuhnya terhapus. Dari Benteng Victoria yang berdiri tegak membisu, hingga hiruk pikuk pasar dan kantor pemerintahan, kawasan ini terus menceritakan kisah tentang daya tahan, adaptasi, dan identitas Maluku yang tak tergoyahkan.
Masa depan Marsaoleh terletak pada keseimbangan yang cermat antara modernisasi dan pelestarian. Penting bagi pengambil kebijakan dan masyarakat untuk memandang Marsaoleh bukan hanya sebagai pusat administrasi yang harus ditingkatkan efisiensinya, tetapi sebagai warisan tak ternilai yang harus dilindungi. Mempertahankan keunikan arsitektur kolonial, menghidupkan kembali folklor lokal, dan menjaga keindahan Teluk Ambon adalah tugas kolektif yang akan memastikan bahwa Marsaoleh tetap menjadi gerbang sejarah dan jantung budaya yang berdenyut bagi Kota Ambon, Maluku, dan seluruh Indonesia.
Eksistensi Marsaoleh adalah pengingat abadi bahwa di balik modernitas sebuah kota, terdapat narasi historis yang kompleks dan kaya. Setiap batu, setiap jalan, dan setiap ombak yang memecah di pesisir Marsaoleh adalah potongan dari mozaik sejarah Nusantara yang perlu dipahami dan dihormati. Marsaoleh akan terus menjadi pusat vitalitas Ambon, menghubungkan masa lalu yang megah dengan masa depan yang menjanjikan, selamanya berdiri sebagai penanda kebanggaan masyarakat Maluku.