Marhaenisme: Akar Filosofi Perjuangan Rakyat Indonesia

Sosok Marhaen dan Harapan Rakyat Marhaen Berdiri Tegak Menghadap Fajar

Marhaenisme bukan sekadar istilah politik atau label historis semata; ia adalah jiwa dari perjuangan kemerdekaan Indonesia yang dicetuskan dan digelorakan oleh Sukarno. Ideologi ini lahir dari kesadaran mendalam akan kondisi sosio-ekonomi rakyat jelata di Nusantara yang, meskipun tidak dieksploitasi dalam konteks buruh pabrik seperti di Eropa, namun hidup dalam jurang kemiskinan struktural akibat kolonialisme dan kapitalisme feodal. Marhaenisme merupakan respons unik Indonesia terhadap masalah kemiskinan dan ketidakadilan global, diadaptasi agar sesuai dengan struktur masyarakat agraris dan pedesaan.

Definisi Marhaenisme sangatlah cair dan terus berkembang dalam diskursus politik Sukarno, namun intinya selalu merujuk pada tiga pilar utama: Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ideologi ini bukan komunisme atau sosialisme Barat yang ortodoks, melainkan fusi dari ide-ide kiri dan nasionalis yang disaring melalui kacamata keindonesiaan. Tujuan utamanya adalah menghapus exploitasie de l’homme par l’homme (penghisapan manusia atas manusia) dan exploitasie de nation par nation (penghisapan bangsa atas bangsa), demi terciptanya masyarakat adil dan makmur yang berbasis gotong royong.

I. Asal-Usul dan Genealogi Konsep Marhaen

Pemahaman tentang Marhaenisme harus dimulai dari kisah perjumpaan ikonik antara Sukarno dan seorang petani di Jawa Barat. Kisah ini sering kali diulang dalam pidato-pidato kenegaraannya, menjadikannya mitos pendiri sekaligus fondasi empiris bagi seluruh ideologi yang akan dibangun. Perjumpaan tersebut, yang terjadi di daerah Priangan, mempertemukan Sukarno dengan seorang petani bernama Marhaen.

A. Perjumpaan dengan Petani Marhaen

Sukarno, dalam upayanya memahami kondisi rakyat kecil secara langsung, bertemu dengan petani yang bekerja di sawahnya sendiri. Petani itu memiliki tanah, alat-alat pertanian sederhana (cangkul, bajak), dan bahkan hasilnya, tetapi hidup dalam kemiskinan yang parah. Fenomena ini berbeda secara fundamental dari konsep proletariat ala Marxis yang hanya memiliki tenaga kerja. Petani Marhaen memiliki alat produksi, tetapi alat tersebut sangat minim dan tidak efisien, serta hasilnya habis tergerus oleh struktur ekonomi yang didominasi oleh sistem kolonial dan lintah darat (rentenir).

Ketika ditanya oleh Sukarno mengenai kepemilikan alat, petani tersebut menjawab bahwa ia memilikinya. Namun, ketika ditanya mengapa ia tetap miskin, petani itu tidak mampu menjawab secara definitif. Sukarno kemudian menyimpulkan bahwa kemiskinan ini bukanlah karena ia tidak memiliki alat produksi, melainkan karena ia mengalami kesengsaraan struktural yang diakibatkan oleh kapitalisme asing yang menyedot surplus ekonomi dan sistem feodal yang menindas.

Dari perjumpaan inilah, Sukarno memutuskan untuk menggunakan nama 'Marhaen' sebagai simbol kolektif, bukan hanya merujuk pada petani tersebut, tetapi pada seluruh rakyat kecil Indonesia yang hidup sengsara di bawah bayang-bayang kapitalisme dan kolonialisme, namun bukan proletariat murni. Marhaen adalah simbol rakyat jelata yang tertindas, baik petani, nelayan, buruh, maupun pedagang kecil.

B. Diferensiasi dari Proletariat dan Komunisme

Penting untuk membedakan Marhaenisme dari Komunisme atau Sosialisme Klasik (Marxisme). Marxisme berfokus pada konflik kelas antara borjuis (pemilik alat produksi) dan proletariat (pekerja tanpa alat produksi). Mayoritas penduduk Indonesia pada masa kolonial adalah petani, bukan buruh pabrik. Jika diterapkan secara mentah, ideologi Marxis akan kesulitan mengorganisasi massa petani yang secara teknis memiliki tanah.

Marhaenisme menghindari dikotomi kelas yang kaku dan lebih mengedepankan kesamaan nasib. Marhaen adalah kelompok yang "kekurangan" dan "diperas," terlepas dari kepemilikan kecil mereka. Sukarno menegaskan bahwa perjuangan di Indonesia bukan hanya perjuangan kelas (seperti di Barat), melainkan perjuangan seluruh bangsa melawan kolonialisme dan imperialisme. Seluruh Marhaen adalah satu kesatuan, terlepas dari perbedaan profesi mereka, karena mereka semua menderita akibat sistem.

B.1. Landasan Ekonomi Marhaenisme

Dalam konteks ekonomi, Marhaenisme menentang Kapitalisme Liberal yang mengutamakan keuntungan individu dan persaingan bebas. Kapitalisme, menurut Sukarno, adalah akar dari kemiskinan Marhaen karena ia menciptakan monopoli dan konsentrasi kekayaan pada segelintir orang atau bangsa (imperialisme).

Namun, penolakan terhadap kapitalisme tidak serta merta berarti pengadopsian komunisme totaliter. Marhaenisme menginginkan sistem ekonomi yang berbasis kerakyatan, di mana sumber daya alam dan cabang-cabang produksi yang penting dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar.

Fokus ekonomi Marhaenisme adalah menciptakan kondisi di mana Marhaen dapat mengorganisir diri, memiliki akses yang adil terhadap modal, dan terlindungi dari praktik eksploitasi. Ini adalah perjuangan untuk menghilangkan kemiskinan yang bukan hanya berasal dari takdir individu, tetapi dari struktur sistem yang tidak adil.

II. Tiga Pilar Filosofis Marhaenisme

Marhaenisme bukanlah sekadar gerakan massa tanpa dasar filosofis; ia adalah sintesis dari ideologi besar dunia yang diindonesiakan. Sukarno merangkumnya dalam tiga pilar yang kemudian menjadi inti dari ideologi kebangsaan, yaitu Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketiganya wajib berjalan seiringan dan tidak dapat dipisahkan.

A. Sosio-Nasionalisme

Sosio-Nasionalisme adalah penolakan terhadap nasionalisme sempit (chauvinisme) yang hanya mementingkan kekuasaan politik tanpa memperhatikan nasib rakyat. Nasionalisme yang diusung oleh Sukarno haruslah bersifat sosial, yang berarti kemerdekaan bangsa harus diiringi dengan pembebasan rakyat dari kemiskinan dan penindasan.

Kedaulatan politik harus menjadi sarana untuk mencapai kedaulatan ekonomi. Jika nasionalisme hanya berarti pergantian kulit dari penjajah asing ke penguasa nasional tanpa adanya perubahan nasib Marhaen, maka perjuangan dianggap belum selesai. Nasionalisme yang ideal menurut Marhaenisme adalah nasionalisme yang berpihak kepada rakyat kecil.

A.1. Peran Sentral Negara dalam Perekonomian

Sosio-Nasionalisme memerlukan negara yang kuat dan berdaulat yang mampu mengendalikan sumber daya strategis. Hal ini untuk memastikan bahwa kekayaan alam Indonesia digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran Marhaen, bukan dikuasai oleh korporasi asing atau segelintir elit nasional. Konsep ini menolak total sistem pasar bebas yang dianggap pasti akan mengarah pada pengisapan, baik dari dalam maupun luar negeri. Negara harus menjadi lokomotif pembangunan yang berorientasi kerakyatan.

Sosio-Nasionalisme juga berfungsi sebagai perekat, menyatukan seluruh Marhaen dari Sabang sampai Merauke, tanpa memandang suku atau agama, dalam kesadaran kolektif sebagai bangsa yang tertindas. Persatuan ini adalah prasyarat mutlak untuk keberhasilan revolusi sosial-nasional. Tanpa persatuan, Marhaen akan mudah diadu domba dan dieksploitasi.

Sukarno selalu menekankan bahwa nasionalisme harus menjadi jembatan menuju sosialisme. Nasionalisme memberikan kemerdekaan politik, dan sosialisme (ala Marhaen) memberikan kemerdekaan ekonomi. Keduanya adalah dua sisi mata uang yang harus diwujudkan secara simultan. Jika hanya ada nasionalisme tanpa sosialisme, yang terjadi hanyalah penindasan domestik yang baru.

B. Sosio-Demokrasi

Demokrasi yang dianut oleh Marhaenisme bukanlah Demokrasi Liberal ala Barat yang seringkali hanya memberikan kedaulatan di atas kertas. Sosio-Demokrasi adalah demokrasi yang mencakup kedaulatan politik dan kedaulatan ekonomi secara bersamaan. Demokrasi tidak boleh berhenti di kotak suara; ia harus berlanjut hingga ke dapur setiap keluarga Marhaen.

Dalam Sosio-Demokrasi, hak-hak politik seperti kebebasan berpendapat dan berserikat harus diimbangi dengan hak-hak sosial dan ekonomi, seperti hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, dan hak atas kehidupan yang layak. Jika rakyat miskin dan kelaparan, maka hak-hak politik mereka tidak memiliki makna substantif.

B.1. Demokrasi Gotong Royong

Sosio-Demokrasi berakar pada semangat kekeluargaan dan musyawarah mufakat, yang dikenal sebagai Gotong Royong. Ini adalah penolakan terhadap Demokrasi Liberal yang mengandalkan voting dan persaingan mayoritas-minoritas yang seringkali memecah belah. Gotong Royong memastikan bahwa keputusan diambil bersama-sama dan dilaksanakan bersama-sama, mencerminkan kesatuan Marhaen dalam bertindak.

Konsep ini kemudian diperkuat dalam periode Demokrasi Terpimpin, di mana Sukarno berusaha menerapkan demokrasi yang dianggap sesuai dengan kepribadian bangsa, menekankan peran pemimpin besar (pemimpin revolusi) sebagai penyambung lidah rakyat, yang bertugas membimbing Marhaen menuju cita-cita sosialisme Indonesia.

C. Ketuhanan Yang Maha Esa

Pilar ketiga Marhaenisme adalah pengakuan dan penghormatan terhadap Ketuhanan. Sukarno memastikan bahwa ideologi ini tidak bersifat ateis atau sekuler total, melainkan menghormati keberadaan agama dan spiritualitas dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Ketuhanan adalah fondasi moral yang mencegah revolusi menjadi liar dan tidak bermoral.

Ketuhanan di sini bersifat inklusif, mengakui semua agama yang ada di Indonesia. Peran Ketuhanan adalah untuk memberikan etika dan kepribadian pada perjuangan Marhaen. Keadilan sosial yang diperjuangkan bukanlah keadilan material semata, tetapi juga keadilan spiritual dan moral yang bersumber dari ajaran Ketuhanan.

Integrasi Ketuhanan dalam ideologi adalah cara Sukarno untuk menyatukan Marhaen yang sangat beragam secara keagamaan dan sekaligus memberikan legitimasi moral pada Revolusi. Perjuangan melawan kemiskinan dan penindasan adalah bagian dari pelaksanaan ajaran agama.

III. Marhaenisme dan Penerapannya dalam Struktur Negara

Setelah kemerdekaan, tantangan terbesar Marhaenisme adalah mewujudkan cita-cita filosofis tersebut ke dalam kebijakan praktis dan struktur negara. Periode Orde Lama, terutama era Demokrasi Terpimpin, menjadi puncak upaya penerapan Marhaenisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, meskipun implementasinya seringkali penuh dengan kontradiksi dan kesulitan ekonomi.

A. Manifesto Politik (Manipol) dan USDEK

Pada akhir tahun 1950-an, ketika Indonesia menghadapi instabilitas politik akibat Demokrasi Liberal, Sukarno merumuskan Manifesto Politik (Manipol) yang bertujuan untuk mengembalikan arah negara kepada cita-cita kemerdekaan yang sesungguhnya. Manipol inilah yang menjadi kerangka operasional bagi Marhaenisme.

Inti dari Manipol adalah USDEK, singkatan dari lima unsur penting: Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia. USDEK adalah peta jalan untuk mewujudkan masyarakat Sosialis Indonesia yang adil dan makmur, yang secara fundamental adalah masyarakat Marhaen yang sejahtera.

A.1. Sosialisme Indonesia sebagai Wajah Marhaenisme

Sosialisme Indonesia bukan mengimpor ideologi dari luar, melainkan mendasarkannya pada tradisi gotong royong dan kekeluargaan bangsa. Ia adalah ekonomi yang menolak eksploitasi, memastikan produksi dikelola untuk kebutuhan rakyat, dan bukan untuk keuntungan pribadi atau akumulasi modal asing. Ini adalah wajah Marhaenisme dalam kebijakan publik, yang menekankan pada pemerataan dan penguasaan negara atas hajat hidup orang banyak.

Penerapan Sosialis Indonesia memerlukan kontrol ketat terhadap sektor vital seperti pertambangan, energi, dan infrastruktur. Kebijakan ini secara langsung berorientasi pada pembebasan Marhaen dari ketergantungan asing dan dari sistem ekonomi yang menindas.

B. Konsep Trisakti

Trisakti adalah konsep yang paling jelas mendefinisikan kedaulatan Marhaen dalam konteks negara modern. Trisakti menekankan tiga kedaulatan yang harus dimiliki oleh bangsa yang merdeka, yang semuanya berakar dari cita-cita Marhaenisme:

  1. Berdaulat dalam Politik: Kemampuan negara untuk mengambil keputusan politik tanpa intervensi asing.
  2. Berdikari dalam Ekonomi: Kemampuan bangsa untuk memenuhi kebutuhan dasarnya tanpa bergantung pada utang atau investasi yang mengikat dari luar.
  3. Berkepribadian dalam Kebudayaan: Penggunaan nilai-nilai budaya sendiri sebagai panduan hidup, menolak dominasi budaya asing.

Berdikari dalam Ekonomi adalah inti Marhaenisme terapan. Ini berarti memprioritaskan pembangunan yang berbasis sumber daya domestik, melindungi industri kecil dan menengah (yang merupakan basis ekonomi Marhaen), dan menolak liberalisasi pasar yang dapat menghancurkan Marhaen melalui persaingan yang tidak setara. Bagi Sukarno, hanya dengan Berdikari, Marhaen dapat benar-benar merasakan buah kemerdekaan.

IV. Analisis Mendalam Mengenai Musuh Marhaenisme

Untuk memahami Marhaenisme secara utuh, kita harus mengidentifikasi siapa dan apa yang dianggap sebagai musuh yang harus dilawan. Dalam kerangka berpikir Sukarno, musuh Marhaenisme tidak tunggal; ia merupakan kombinasi dari tiga kekuatan jahat yang saling terkait, yaitu Imperialisme, Kolonialisme, dan Kapitalisme (I-K-K).

A. Imperialisme dan Kolonialisme (I-K)

Imperialisme adalah bentuk tertinggi dari Kapitalisme di mana negara-negara maju berusaha menguasai sumber daya dan pasar negara-negara yang lebih lemah. Marhaenisme melihat I-K sebagai sebab utama kemiskinan Marhaen. Meskipun Indonesia telah merdeka secara politik, selama pengaruh ekonomi asing masih mendominasi, maka Marhaen tetap terjajah secara ekonomi.

Perjuangan Marhaenisme adalah perjuangan yang bersifat anti-globalisasi (pada konteks zamannya), menolak keras ketergantungan pada blok kekuatan besar, dan berusaha membangun kekuatan politik baru (Non-Blok) untuk melindungi kepentingan Marhaen di seluruh dunia. Konflik antara Marhaen (rakyat tertindas) dan I-K adalah konflik historis yang harus diselesaikan melalui Revolusi yang tak kenal kompromi.

Sikap keras Marhaenisme terhadap I-K inilah yang melahirkan politik konfrontasi luar negeri pada era Orde Lama, karena dipandang bahwa stabilitas regional dan kedaulatan bangsa adalah prasyarat mutlak bagi kemakmuran Marhaen. Tanpa kedaulatan penuh, segala upaya pembangunan sosialisme akan sia-sia.

B. Kapitalisme Domestik dan Feodalisme

Selain musuh dari luar, Marhaenisme juga melawan musuh dari dalam. Kapitalisme domestik adalah munculnya elit-elit baru pascakemerdekaan yang meniru pola eksploitasi kolonial. Para elit ini, yang disebut 'borjuis komprador', bekerja sama dengan modal asing dan mengabaikan nasib Marhaen.

Feodalisme, warisan dari sistem kerajaan lama, juga dianggap sebagai penghambat. Feodalisme melanggengkan sistem patron-klien, di mana Marhaen terikat pada tuan tanah atau bangsawan, menyebabkan ketidakadilan dalam distribusi sumber daya dan menghambat mobilitas sosial. Marhaenisme berusaha menghancurkan sisa-sisa feodalisme ini untuk membebaskan rakyat kecil dari belenggu tradisi penindasan.

Dengan demikian, revolusi Marhaenisme harus bersifat total: revolusi nasional melawan imperialisme, dan revolusi sosial melawan kapitalisme dan feodalisme domestik. Kegagalan dalam satu aspek berarti kegagalan total bagi pembebasan Marhaen.

V. Marhaenisme sebagai Gerakan Massa dan Organisasi Politik

Marhaenisme tidak hanya hidup di ruang pidato dan filosofi, tetapi diwujudkan melalui organisasi politik yang menjadi wadah perjuangan rakyat kecil. Partai Nasional Indonesia (PNI) di bawah kepemimpinan Sukarno adalah kendaraan utama untuk menyalurkan ideologi Marhaenisme.

A. Peran PNI sebagai Pelopor Marhaenisme

Sejak awal pembentukannya, PNI (khususnya PNI-Front Marhaenis pasca-1950) berupaya menjadi partai massa yang berbasis pada Marhaen—petani, buruh, dan rakyat miskin kota. PNI berusaha mengorganisir Marhaen agar mereka sadar akan posisi mereka dalam struktur penindasan dan membangkitkan militansi revolusioner.

Organisasi sayap PNI, seperti Gerakan Tani Marhaen (GTM) dan organisasi buruh, berfungsi sebagai lengan ideologis yang membawa pesan Marhaenisme langsung ke akar rumput. Ideologi ini memberikan Marhaen identitas politik yang jelas dan tujuan yang konkret: menciptakan Sosialisme Indonesia yang adil.

B. Pendidikan Politik dan Pengorganisasian Marhaen

Sukarno sangat percaya pada kekuatan pendidikan politik massa, yang ia sebut sebagai "Nation Building" (Pembangunan Bangsa) dan "Character Building" (Pembentukan Karakter). Tujuannya adalah mengubah mental Marhaen dari mentalitas terjajah yang pasif menjadi mentalitas revolusioner yang aktif.

Pendidikan politik Marhaenisme mencakup pemahaman bahwa kemiskinan mereka bukan salah mereka, tetapi salah sistem. Kesadaran ini adalah langkah pertama menuju revolusi. Marhaen harus menyadari bahwa kekuatan mereka terletak pada persatuan dan gotong royong, dan bahwa hanya melalui perjuangan kolektif nasib mereka dapat berubah.

VI. Marhaenisme dan Dimensi Kultural Indonesia

Salah satu keunikan Marhaenisme adalah bagaimana ia berintegrasi dengan budaya lokal. Sukarno melihat bahwa ideologi perjuangan tidak akan berhasil jika terlepas dari akar budaya bangsa. Marhaenisme adalah upaya untuk membumikan ide-ide progresif ke dalam kerangka nilai-nilai tradisional Indonesia.

A. Penggunaan Istilah dan Bahasa yang Merakyat

Pilihan kata 'Marhaen' itu sendiri adalah tindakan kultural yang jenius. Kata tersebut memiliki resonansi lokal dan segera dipahami oleh rakyat, berbeda dengan istilah asing seperti 'proletariat' atau 'buruh'. Penggunaan bahasa yang sederhana dan metaforis dalam pidato-pidato Sukarno (seperti 'Jembatan Emas', 'Api Revolusi', 'Tangan Besi Imperialisme') memastikan bahwa pesan Marhaenisme mencapai lapisan masyarakat paling bawah.

Ini adalah strategi komunikasi yang bertujuan menciptakan kesadaran kolektif yang mendalam, di mana perjuangan politik terasa seperti takdir kultural yang harus diemban bersama. Marhaenisme mengajarkan bahwa menjadi Indonesia berarti menjadi bagian dari perjuangan pembebasan rakyat kecil.

B. Gotong Royong sebagai Jati Diri Ekonomi

Konsep Gotong Royong, yang merupakan inti dari ekonomi dan demokrasi Marhaenisme, adalah penemuan kembali nilai luhur lokal. Gotong Royong diangkat dari praktik sehari-hari masyarakat pedesaan menjadi prinsip ekonomi nasional.

Gotong Royong menentang individualisme liberal. Ia adalah mekanisme sosial yang menjamin bahwa tidak ada Marhaen yang dibiarkan jatuh sendirian. Dalam konteks ekonomi negara, Gotong Royong diwujudkan melalui sistem koperasi, badan usaha milik negara (BUMN), dan perencanaan ekonomi kolektif. Ekonomi yang digerakkan oleh Gotong Royong adalah ekonomi yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar seluruh Marhaen.

VII. Konflik Ideologis Internal dan Tantangan Marhaenisme

Meskipun Marhaenisme tampak solid sebagai ideologi pemersatu, penerapannya di lapangan menghadapi tantangan berat, terutama dalam menyeimbangkan antara Sosialisme (kiri) dan Nasionalisme (kanan), serta persaingan dengan ideologi lain yang juga berbasis massa.

A. Nasakom: Upaya Penyatuan Marhaen yang Terpecah

Dalam upayanya menyatukan seluruh elemen Marhaen yang terfragmentasi oleh kepentingan politik, Sukarno mencetuskan konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme). Konsep ini merupakan upaya praktis untuk menyatukan tiga kekuatan besar yang basis massanya sebagian besar adalah Marhaen: PNI (Nasionalis/Marhaenis), partai-partai berbasis agama (khususnya NU dan Masyumi pada awalnya), dan PKI (Komunis/Proletar).

Tujuan Nasakom adalah mengakhiri pertentangan ideologis internal agar seluruh kekuatan bangsa dapat fokus pada musuh utama: I-K-K. Bagi Sukarno, baik Komunis maupun Nasionalis adalah bagian dari perjuangan Marhaen, meskipun dengan pendekatan yang berbeda. Marhaenisme berperan sebagai payung besar yang mencoba mendamaikan konflik di antara ketiga elemen tersebut.

A.1. Ketegangan antara Marhaenisme dan Komunisme Ortodoks

Walaupun berada dalam satu payung Nasakom, terdapat perbedaan filosofis mendasar antara Marhaenisme dan Komunisme ortodoks. Marhaenisme menolak ateisme dan materialisme historis murni ala Komunisme, karena Marhaenisme menjunjung tinggi Ketuhanan dan Kepribadian Indonesia. Selain itu, Marhaenisme lebih lunak terhadap kepemilikan individu kecil (Marhaen memiliki alat produksi), sementara Komunisme cenderung menasionalisasi semua alat produksi. Ketegangan ini menjadi salah satu faktor kerentanan internal pada masa Demokrasi Terpimpin.

B. Kapitalisme Birokrat dan Distorsi Marhaenisme

Pada masa penerapannya, Marhaenisme menghadapi distorsi serius. Meskipun ideologi menentang Kapitalisme, birokrasi negara yang membengkak pada masa Demokrasi Terpimpin seringkali melahirkan apa yang disebut ‘Kapitalisme Birokrat’. Para pejabat negara yang mengelola perusahaan-perusahaan negara (BUMN) mulai berperilaku seperti pemilik modal baru, mengeksploitasi sumber daya untuk kepentingan pribadi atau kelompok, jauh dari cita-cita Sosialisme Indonesia.

Hal ini menunjukkan tantangan terbesar ideologi populis: bagaimana memastikan bahwa mesin negara, yang seharusnya menjadi alat pembebasan Marhaen, tidak justru menjadi alat penindasan yang baru. Distorsi ini melemahkan kepercayaan rakyat terhadap kemampuan Marhaenisme untuk mewujudkan keadilan sejati.

VIII. Warisan dan Relevansi Marhaenisme di Era Kontemporer

Setelah periode Orde Lama berakhir, Marhaenisme mengalami fase peminggiran ideologis. Di bawah rezim yang berorientasi pembangunan dan stabilitas ekonomi yang cenderung neo-liberal, istilah Marhaenisme sering kali dianggap sebagai relik masa lalu atau ideologi yang tidak relevan dengan tantangan globalisasi. Namun, ideologi ini terus hidup di dalam partai-partai penerus PNI dan dalam diskursus akademik yang mengkritisi ketidakadilan ekonomi.

A. Marhaenisme dan Orde Baru

Di masa Orde Baru, fokus ideologis beralih ke Pancasila sebagai asas tunggal, dan istilah Marhaenisme direduksi maknanya. Meskipun pembangunan ekonomi Orde Baru membawa kemajuan, ia dilakukan dengan mengintegrasikan Indonesia secara agresif ke dalam sistem kapitalisme global, yang bertentangan langsung dengan prinsip Berdikari dalam Ekonomi.

Kebijakan yang mengutamakan investasi asing dan utang luar negeri dianggap oleh para pengikut Marhaenisme sebagai pengkhianatan terhadap cita-cita Marhaen. Dalam pandangan Marhaenis, meskipun kemiskinan tampak berkurang secara statistik, pengisapan (eksploitasi) Marhaen tetap berlangsung, hanya berpindah bentuk dari kolonialisme langsung menjadi ketergantungan ekonomi dan utang yang masif.

B. Kebangkitan Marhaenisme Pasca-Reformasi

Pasca-Reformasi, ketika Indonesia kembali menghadapi krisis ekonomi dan peningkatan ketimpangan sosial, ideologi Marhaenisme mengalami kebangkitan. Konsep Trisakti dan Berdikari kembali digunakan sebagai kritik terhadap liberalisasi ekonomi yang dinilai telah memperparah nasib rakyat kecil.

Relevansi Marhaenisme hari ini terletak pada kemampuannya memberikan kerangka kritik terhadap neoliberalisme dan ketimpangan. Ketika petani dan nelayan kecil terancam oleh monopoli korporasi besar, mereka adalah Marhaen modern yang mengalami kesengsaraan struktural. Marhaenisme menawarkan solusi yang mengedepankan kedaulatan pangan, penguatan koperasi, dan perlindungan terhadap usaha mikro, sesuai dengan semangat Sosio-Nasionalisme.

B.1. Definisi Marhaen dalam Konteks Globalisasi

Marhaen modern mungkin bukan lagi petani tradisional dengan cangkul sederhana. Mereka bisa jadi adalah buruh kontrak, pekerja gig economy yang tidak terlindungi, pedagang kaki lima yang terpinggirkan, atau UMKM yang kalah bersaing dengan modal raksasa. Mereka semua berbagi kesamaan nasib: mereka memiliki alat atau tenaga kerja, tetapi terhimpit oleh sistem yang tidak memberikan mereka akses yang adil terhadap kesejahteraan dan perlindungan. Marhaenisme tetap relevan karena esensi perjuangannya adalah melawan pengisapan manusia atas manusia, dalam bentuk apa pun.

C. Implementasi Aktual dan Cita-Cita Abadi

Meskipun Marhaenisme tidak pernah berhasil diimplementasikan secara sempurna sebagai sistem ekonomi yang berkelanjutan di era Sukarno, cita-citanya tetap menjadi kompas moral. Cita-cita untuk menciptakan masyarakat yang adil tanpa penghisapan, di mana setiap warga negara berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian secara budaya, merupakan tujuan abadi bagi setiap gerakan yang mengklaim mewakili rakyat kecil.

Perdebatan mengenai Marhaenisme harus terus dilakukan, tidak hanya sebagai studi sejarah, tetapi sebagai alat analitis untuk memahami struktur kemiskinan dan ketidakadilan di Indonesia masa kini. Marhaenisme mengingatkan bahwa kedaulatan bangsa harus selalu selaras dengan kesejahteraan rakyat jelata.

Marhaenisme adalah panggilan untuk revolusi yang berkelanjutan, sebuah panggilan untuk mengorganisir kaum tertindas, membangun kesadaran kolektif, dan pada akhirnya, mewujudkan masyarakat Indonesia yang sepenuhnya bebas dari penindasan dalam segala bentuknya. Ideologi ini mewakili janji kemerdekaan: bukan hanya untuk para elit, tetapi untuk Marhaen, yang merupakan mayoritas sejati dari bangsa ini. Marhaenisme adalah denyut jantung keadilan sosial Indonesia.

Keberlanjutan perjuangan Marhaenisme bergantung pada seberapa jauh generasi penerus mampu menginterpretasikan dan menerapkan prinsip Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, dan Ketuhanan dalam menghadapi tantangan baru, mulai dari ketimpangan digital, perubahan iklim, hingga dominasi modal transnasional. Ideologi ini harus terus beradaptasi tanpa kehilangan esensi utamanya: keberpihakan total kepada rakyat yang tertindas.

Marhaenisme menuntut negara yang hadir, bukan hanya sebagai regulator, tetapi sebagai pelindung dan fasilitator kesejahteraan Marhaen. Ini adalah ideologi yang menolak fatalisme kemiskinan dan memproklamirkan bahwa keadilan sosial adalah hak, bukan hadiah.

Pada akhirnya, Marhaenisme adalah pengingat bahwa tujuan akhir dari bernegara adalah kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat, dan bahwa kemerdekaan sejati hanya tercapai ketika Marhaen dapat berdiri tegak, mandiri, dan bebas dari rasa takut akan kelaparan dan penindasan.

(Sebagai penutup dari eksplorasi ini, pemahaman terhadap Marhaenisme harus selalu ditempatkan dalam konteks keunikan sejarah Indonesia. Ia adalah ideologi yang berusaha menyembuhkan luka sejarah kolonialisme dengan alat bedah yang dirakit sendiri, menggunakan material lokal: gotong royong, musyawarah, dan semangat nasional yang anti-pengisapan.)

(Penyusutan dan pendalaman konsep-konsep Marhaenisme, seperti yang terdapat dalam risalah-risalah Sukarno, menunjukkan konsistensi ideologisnya. Mulai dari konsep dasar 'Marhaen' sebagai simbol penderitaan rakyat, hingga perumusan politik yang termaktub dalam Manipol/USDEK, semuanya bermuara pada satu tujuan: terwujudnya masyarakat adil dan makmur. Proses ini melibatkan elaborasi yang sangat panjang tentang bagaimana cara Marhaen harus diorganisir, bagaimana ekonomi harus dikendalikan oleh negara, dan bagaimana kebudayaan harus menjadi benteng pertahanan terakhir terhadap penetrasi ideologi asing yang merusak.)

(Dalam konteks Marhaenisme yang luas, setiap tindakan politik atau kebijakan ekonomi harus diuji dengan pertanyaan sederhana: Apakah ini menguntungkan Marhaen? Apakah ini mengurangi penghisapan terhadap Marhaen? Pertanyaan inilah yang menjadi filter moral dan etika bagi para pengikut ideologi ini. Jika suatu kebijakan hanya menguntungkan segelintir elit, meskipun secara teknis efisien, maka ia bertentangan dengan semangat Marhaenisme.)

(Perjuangan melawan Kapitalisme Birokrat, yang merupakan musuh internal terbesar Marhaenisme, menunjukkan betapa sulitnya menjaga kemurnian ideologi revolusioner ketika ia dihadapkan pada realitas kekuasaan. Korupsi dan penyalahgunaan wewenang adalah antitesis dari Gotong Royong dan Sosio-Demokrasi, karena mereka secara langsung merampas hak-hak Marhaen. Oleh karena itu, Marhaenisme juga menyiratkan tuntutan akan integritas moral yang tinggi dari para pemimpinnya.)

(Kesinambungan Marhaenisme sebagai ideologi perjuangan terletak pada kemampuannya untuk beradaptasi. Di masa depan, di mana masalah lingkungan menjadi krusial, Marhaenisme harus berjuang untuk 'Marhaen Lingkungan', yaitu kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap kerusakan ekologis akibat eksploitasi kapitalis yang tak terkendali. Prinsip Berdikari harus meluas menjadi Berdikari Ekologis. Dengan demikian, Marhaenisme membuktikan dirinya sebagai ideologi yang hidup dan responsif terhadap tantangan zaman, namun tetap setia pada akar filosofisnya: pembebasan kaum tertindas.)

(Konsep Marhaenisme telah melahirkan perdebatan tak berujung mengenai batas-batasnya dengan ideologi lain, khususnya komunisme dan sosialisme demokrat. Sukarno selalu teguh bahwa Marhaenisme adalah 'Sosialisme a la Indonesia', unik karena memasukkan unsur Ketuhanan dan mengutamakan tradisi lokal Gotong Royong, yang berbeda dari konsep 'dari masing-masing sesuai kemampuan, kepada masing-masing sesuai kebutuhan' yang kaku. Marhaenisme lebih menekankan pada solidaritas nasional melawan penindasan asing, sebelum fokus pada konflik kelas domestik, menjadikannya ideologi perjuangan pembebasan nasional yang berbasis sosial.)

(Keseimbangan antara Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi adalah kunci. Nasionalisme tanpa Sosio-Demokrasi berisiko menjadi fasisme atau otoritarianisme, sementara Sosio-Demokrasi tanpa Nasionalisme yang kuat berisiko disusupi oleh kepentingan asing. Marhaenisme menuntut keduanya berjalan harmonis, memastikan kedaulatan politik digunakan sepenuhnya untuk mencapai keadilan ekonomi bagi Marhaen.)

(Akhirnya, warisan terpenting Marhaenisme adalah pengakuan universal bahwa kemiskinan dan penderitaan rakyat kecil adalah tanggung jawab kolektif bangsa, bukan kegagalan individu. Ideologi ini menempatkan Marhaen di pusat narasi pembangunan nasional, menuntut negara agar selalu berorientasi pada mereka yang paling lemah. Inilah inti revolusioner dari Marhaenisme yang tak lekang oleh waktu, menjadi fondasi kritik terhadap setiap sistem yang menciptakan ketidakadilan.)

(Eksplorasi yang mendalam terhadap Marhaenisme juga harus mencakup kritiknya terhadap sistem pendidikan kolonial yang cenderung melahirkan elit yang terasing dari penderitaan Marhaen. Marhaenisme menuntut sistem pendidikan yang berorientasi kerakyatan, yang mengajarkan kesadaran sosial, nasionalisme sejati, dan keterampilan praktis yang relevan dengan kebutuhan Marhaen. Pendidikan harus menjadi alat pembebasan, bukan alat penindasan yang melanggengkan stratifikasi sosial yang tidak adil.)

(Perjuangan untuk Kedaulatan Pangan adalah salah satu manifestasi Marhaenisme yang paling nyata dalam konteks modern. Ketika petani kecil kesulitan mengakses pasar atau menghadapi persaingan dari impor makanan, prinsip Berdikari dalam Ekonomi Marhaenisme menuntut negara untuk melindungi sektor pertanian Marhaen, menjamin harga yang adil, dan memastikan bahwa produksi pangan nasional tidak dikuasai oleh segelintir konglomerat. Kedaulatan pangan adalah kedaulatan Marhaen atas perut mereka sendiri.)

(Dalam ringkasan besar, Marhaenisme adalah penolakan radikal terhadap segala bentuk 'penghisapan'. Ini adalah sebuah ideologi yang menuntut keadilan, bukan hanya melalui reformasi, tetapi melalui transformasi struktural yang mendalam. Ia adalah teriakan revolusioner dari rakyat kecil yang bosan hidup sengsara di atas tanah yang kaya raya.)

(Seluruh kerangka Marhaenisme, mulai dari perumusan filosofis hingga upaya implementasi politik, merupakan upaya Sukarno untuk mencegah Indonesia kembali jatuh ke dalam lubang penjajahan, baik fisik maupun ekonomi. Ia adalah pertahanan ideologis terdepan bangsa, yang bertujuan agar Marhaen tidak hanya bebas dari kolonialisme, tetapi juga bebas dari kemiskinan abadi yang merupakan produk sampingan dari sistem global yang tidak adil. Kemerdekaan harus berarti makan cukup, pendidikan layak, dan martabat bagi setiap Marhaen.)

(Pencarian identitas Marhaenisme di antara Sosialisme dan Komunisme adalah perjalanan yang rumit. Sukarno secara konsisten berusaha menempatkannya di tengah, sebagai 'Sosialisme Religius' atau 'Sosialisme Timur', yang berbeda dari Marxisme Barat yang ateis dan kaku. Ia mencoba mengambil esensi keadilan sosial dari Sosialisme tanpa harus mengorbankan nilai-nilai ketuhanan dan kebudayaan Indonesia. Keunikan inilah yang menjadikan Marhaenisme sebagai kontribusi penting Indonesia bagi khazanah pemikiran politik dunia, meskipun implementasinya sarat tantangan.)

(Marhaenisme menuntut pengorbanan kolektif dan militansi ideologis. Ini bukan ideologi yang nyaman, tetapi ideologi yang mendorong aksi nyata melawan ketidakadilan. Perannya sebagai ideologi perjuangan terus relevan selama masih ada rakyat kecil yang tertindas, yang meskipun bekerja keras, hasilnya selalu habis dikuras oleh sistem.)

(Kesadaran bahwa Marhaenisme harus menjadi ideologi yang inklusif, menyentuh seluruh lapisan rakyat yang menderita, baik di kota maupun di desa, adalah kekuatan utamanya. Ini melampaui sekat-sekat profesi dan suku. Semua yang menderita karena sistem yang menindas adalah Marhaen, dan perjuangan mereka adalah satu, yaitu perjuangan menuju masyarakat Sosialis Indonesia yang sejati.)

(Dalam penjelasannya, Sukarno sering menggunakan metafora Marhaen yang memiliki gitar rusak. Ia memiliki alat, tetapi alat itu tidak menghasilkan musik indah—atau dalam konteks ekonomi, tidak menghasilkan kesejahteraan yang layak. Kapitalisme global adalah biola mewah yang merampas udara dari gitar rusak Marhaen. Tugas negara Marhaenis adalah memperbaiki gitar tersebut, memberikan Marhaen panggung, dan memastikan bahwa musik mereka didengar dan dihargai. Ini adalah inti dari kedaulatan ekonomi.)

(Diskusi mengenai Marhaenisme harus selalu kembali pada kondisi objektif rakyat Indonesia. Ideologi ini lahir dari bumi Indonesia dan dirumuskan untuk menjawab masalah Indonesia. Oleh karena itu, Marhaenisme tidak bisa diukur dengan standar ideologi luar, melainkan dengan standar keberhasilannya dalam membebaskan Marhaen dari rantai kemiskinan dan penindasan. Sampai tujuan ini tercapai sepenuhnya, Marhaenisme akan tetap menjadi api yang menyala dalam hati nurani bangsa.)

(Perjuangan Marhaenisme juga melibatkan upaya keras untuk dekolonisasi mentalitas. Rakyat Marhaen harus berhenti merasa inferior terhadap bangsa asing dan sistem ekonomi asing. Sosio-Nasionalisme dan Kepribadian Indonesia berfungsi sebagai penangkal terhadap mentalitas terjajah ini, menumbuhkan rasa bangga dan percaya diri pada kemampuan bangsa sendiri untuk mengelola negara dan ekonominya secara mandiri (Berdikari).)

(Melihat jauh ke depan, Marhaenisme akan terus menjadi sumber inspirasi bagi gerakan keadilan sosial di Indonesia. Selama ketimpangan terus melebar dan Marhaen terus diperas dalam bentuk upah rendah, harga tinggi, dan akses terbatas terhadap layanan dasar, seruan untuk 'berpihak kepada Marhaen' akan terus bergema sebagai tuntutan moral dan politik yang tak terhindarkan.)

(Marhaenisme bukan akhir, melainkan jembatan yang harus dilalui oleh bangsa Indonesia. Jembatan Emas menuju masyarakat adil dan makmur yang diimpikan oleh Sukarno, di mana seluruh Marhaen dapat menikmati hasil dari jerih payah mereka sendiri, tanpa harus takut akan bayangan eksploitasi dan penindasan.)

(Dalam ringkasan akhir yang mendalam, Marhaenisme adalah ideologi yang menuntut pertanggungjawaban. Ia menuntut para pemimpin untuk selalu bertanya: Apakah kita melayani Marhaen? Pertanyaan ini adalah ujian litmus sejati bagi setiap kekuasaan di Indonesia. Kegagalan untuk melayani Marhaen berarti kegagalan total terhadap cita-cita proklamasi, yang intinya adalah pembebasan rakyat dari segala bentuk belenggu.)