Marawis, sebuah kesenian musik yang identik dengan lantunan puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW, telah mengakar kuat dalam kebudayaan Muslim di Indonesia. Lebih dari sekadar pertunjukan musik, Marawis adalah sebuah manifestasi spiritualitas komunal, jembatan antara tradisi Timur Tengah kuno dengan nuansa lokal Nusantara yang kaya. Kesenian ini, yang memiliki sejarah panjang sejak dibawa oleh para pedagang dan ulama dari Hadramaut, Yaman, berfungsi sebagai media dakwah, hiburan, sekaligus penguat identitas keagamaan.
Kekuatan Marawis terletak pada ritmenya yang khas, di mana perpaduan suara tabuhan berbagai jenis perkusi menciptakan alunan yang bersemangat namun khidmat. Instrumen inti yang membentuk ansambel ini memiliki nama dan fungsi spesifik, yang keseluruhannya bekerja secara harmonis untuk mengiringi bait-bait Sholawat Nabi. Keberadaannya bukan hanya terbatas di acara keagamaan besar, tetapi juga menjadi bagian integral dari siklus kehidupan masyarakat, mulai dari pernikahan, khitanan, hingga perayaan hari besar Islam. Memahami Marawis berarti menelusuri jejak asimilasi budaya, mempelajari teknik perkusi yang rumit, dan menyelami makna filosofis di balik setiap ketukan.
Secara etimologi, kata Marawis diperkirakan berasal dari nama salah satu alat musik utamanya, yakni 'Marwas' atau 'Marwas'. Beberapa sumber juga mengaitkannya dengan tradisi Hadrah, sebuah istilah umum untuk ansambel musik yang mengiringi zikir dan sholawat, yang popularitasnya meluas dari Yaman. Wilayah Hadramaut, yang terkenal sebagai pusat penyebaran Islam ke Asia Tenggara melalui para Sayyid dan ulama, diyakini kuat sebagai titik awal migrasi kesenian ini ke kepulauan Indonesia.
Penyebaran Marawis bukanlah proses tunggal. Ia terjadi secara bertahap, dibawa oleh rombongan migran, terutama pada masa kolonial Belanda ketika mobilitas masyarakat Hadrami meningkat. Mereka membawa serta tradisi keagamaan dan kesenian mereka, yang kemudian berinteraksi dan berakulturasi dengan budaya lokal, menghasilkan bentuk Marawis yang kita kenal hari ini. Perbedaan antara Marawis di Jakarta (Betawi), Jawa Barat (Sunda), dan Sumatra (Melayu) menunjukkan kekayaan adaptasi ini.
Sejak awal kehadirannya di Nusantara, Marawis tidak pernah hanya menjadi hiburan semata. Fungsi utamanya adalah dakwah. Irama yang energik dipilih agar pesan-pesan agama yang disampaikan melalui lirik sholawat, qasidah, atau syair-syair Arab, dapat diterima dengan lebih mudah dan menarik, terutama oleh kalangan muda. Ini menjadikannya alat yang sangat efektif dalam penyebaran nilai-nilai Islam yang damai dan inklusif.
Di masa kini, kelompok Marawis seringkali diundang dalam acara formal dan informal, menunjukkan bahwa kesenian ini telah memperoleh legitimasi budaya yang tinggi. Peran komunitas dalam menjaga kelangsungan Marawis juga vital; seringkali, kelompok ini dibentuk di lingkungan masjid, mushola, atau majelis taklim, menjadikannya sarana penguatan ikatan sosial (ukhuwah) di antara anggotanya.
Ansambel Marawis standar umumnya terdiri dari delapan hingga dua belas pemain, namun yang terpenting adalah keseimbangan suara antara alat musik utamanya. Ada tiga komponen perkusi utama yang wajib hadir dan berfungsi sebagai pembentuk ritme dasar (ritmis), pengisi (fill-in), dan penopang vokal.
Marwas adalah jantung ritme Marawis. Berbentuk seperti rebana kecil tanpa kerincingan, Marwas dimainkan dengan cara ditabuh menggunakan kedua telapak tangan. Ukurannya relatif kecil, diameter rata-rata sekitar 20 cm hingga 25 cm, memungkinkan pemain menghasilkan pukulan cepat dan variatif. Dalam satu grup Marawis, jumlah Marwas bisa mencapai 8 hingga 10 buah, menghasilkan kepadatan suara yang unik.
Fungsi utama Marwas adalah sebagai pengisi (fill) dan penentu pola irama yang rumit. Suara yang dihasilkan terbagi dua: 'Tak' yang nyaring dan tajam (biasanya dipukul di pinggiran) dan 'Dung' yang lebih berat dan dalam (dipukul di tengah). Sinkronisasi antara banyak Marwas sangat krusial; sedikit saja perbedaan tempo akan merusak keseluruhan harmoni. Bahan kulit yang digunakan umumnya adalah kulit kambing tipis yang direnggangkan dan diikat kencang pada bingkai kayu. Kualitas kulit ini sangat memengaruhi resonansi dan kejernihan bunyi 'Tak'.
Hajir adalah instrumen berukuran sedang, seringkali dianggap sebagai "komandan" atau penentu tempo utama. Ukurannya lebih besar dari Marwas, dan dimensinya memungkinkannya menghasilkan suara 'Dung' yang jauh lebih dalam dan menopang. Hajir dimainkan dengan teknik pukulan yang lebih mantap dan stabil, berfungsi memberikan fondasi ritmis yang kuat agar para pemain Marwas tidak kehilangan arah.
Dalam analisis mendalam, Hajir bertanggung jawab atas *beat* dasar atau ma'qam dari irama yang dimainkan, seperti ritme Zafan, Sya'ir, atau Dabus. Tanpa Hajir yang konsisten, ritme Marawis yang padat akan mudah pecah. Biasanya, hanya ada satu atau dua Hajir dalam satu kelompok, dan pemainnya seringkali adalah anggota yang paling senior atau memiliki kepekaan ritme paling tinggi.
Dumbuk, atau sering juga disebut Darbuka (tergantung bentuknya, Dumbuk biasanya lebih berbentuk seperti jam pasir dan Darbuka lebih berbentuk cangkir), adalah instrumen pelengkap yang memberikan aksen dan improvisasi ritmis. Dumbuk biasanya dimainkan oleh satu orang dan berfungsi sebagai soloist ritme.
Karakteristik suaranya yang metalik dan jernih, dibandingkan dengan suara Marwas yang lebih "kayu," memungkinkan Dumbuk untuk "berbicara" atau mengisi kekosongan antara ketukan Marwas. Pemain Dumbuk harus sangat terampil, karena mereka bertanggung jawab menciptakan variasi ritme yang dinamis tanpa mengganggu pola dasar yang dipegang oleh Hajir dan Marwas. Peran Dumbuk sangat menonjol terutama dalam Marawis modern yang mengintegrasikan unsur-unsur Timur Tengah murni.
Meskipun Marawis didominasi perkusi, elemen vokal adalah inti spiritualnya. Seorang vokalis utama (biasanya disebut Qori atau Rais) memimpin lantunan sholawat atau syair. Dalam perkembangannya, seringkali ditambahkan instrumen pendukung seperti:
Marawis bukanlah sekadar menabuh, melainkan seni pukulan yang membutuhkan ketangkasan jari, kekuatan pergelangan tangan, dan pemahaman mendalam tentang sinkopasi. Pola ritmis yang dimainkan harus stabil namun fleksibel, mengikuti panjang pendeknya syair yang dilantunkan.
Setiap pemain Marwas harus menguasai dua pukulan dasar: 'Dung' dan 'Tak'.
Kombinasi cepat antara "Dung-Tak-Tak-Dung-Tak" inilah yang menciptakan pola ritme khas Marawis yang sangat kompleks. Keselarasan pukulan tangan kiri (untuk stabilisasi) dan tangan kanan (untuk variasi cepat) merupakan kunci. Pemain yang mahir dapat menghasilkan hingga 15-20 ketukan per detik pada satu tangan, menciptakan efek gemuruh yang memukau.
Meskipun Marawis adaptif, ada beberapa pola ritme tradisional yang sering digunakan, yang masing-masing membawa nuansa budaya tertentu:
Ritme Marawis tidak terlepas dari struktur vokal responsif. Vokalis utama melantunkan baris pertama (seringkali berupa pujian atau doa), dan kemudian koor (seluruh pemain perkusi) akan merespons dengan mengulang baris tersebut atau melantunkan refrain tetap, seperti "Allahumma Sholli 'ala Muhammad". Pola vokal dan pola ritme harus terintegrasi sempurna; perubahan tempo atau intensitas pukulan seringkali dipicu oleh modulasi vokal Rais.
Perjalanan Marawis di Indonesia adalah kisah sukses akulturasi, di mana tradisi Hadrami bertemu dan menyatu dengan kekayaan lokal. Proses ini telah menghasilkan variasi Marawis yang unik di berbagai daerah, memperkaya khazanah musik Islam Nusantara.
Di wilayah Jakarta dan sekitarnya, Marawis sangat lekat dengan identitas Betawi. Di sinilah akulturasi terjadi paling intens. Marawis Betawi memiliki ciri khas tertentu dalam lirik (seringkali mencampurkan Bahasa Arab dan logat Betawi) dan dalam instrumentasi. Dalam beberapa kasus, mereka mengintegrasikan alat musik Betawi seperti kendang atau tehyan (biola gesek Cina) ke dalam ansambel mereka, meskipun Marwas tetap mendominasi.
Peran Marawis Betawi sangat menonjol dalam upacara adat seperti palang pintu (bagian dari prosesi pernikahan), di mana irama Marawis digunakan untuk mengiringi adu pantun atau pertunjukan silat. Ini menunjukkan bahwa kesenian ini tidak hanya terbatas pada konteks masjid, tetapi telah menjadi bagian dari ritual sosial sekuler Betawi. Pelestariannya sering dilakukan melalui festival tahunan dan pelatihan di sanggar-sanggar budaya lokal.
Di Jawa Barat, Marawis sering berinteraksi dengan tradisi Sunda, menghasilkan pola ritme yang mungkin lebih dekat dengan degung dalam hal ketenangan, meskipun tetap mempertahankan esensi perkusi Timur Tengah. Sementara itu, di Sumatra, terutama di daerah pesisir yang dipengaruhi budaya Melayu, Marawis (atau sering disebut Hadrah) memiliki pola yang lebih lembut, serupa dengan musik Gambus, di mana melodi dari alat petik seperti gambus atau oud seringkali lebih menonjol dibandingkan Marawis Betawi yang sangat perkusi sentris.
Perbedaan regional ini adalah bukti bahwa Marawis adalah kesenian yang "hidup" dan terus bernegosiasi dengan lingkungan budayanya. Meskipun instrumen intinya sama, interpretasi ritme, pakaian, dan konteks penggunaannya dapat sangat bervariasi.
Mengapa Marawis mampu bertahan dan dicintai lintas generasi? Jawabannya terletak pada kedalaman spiritual yang dibawanya. Marawis adalah praktik zikir yang diekspresikan melalui bunyi dan ritme, bukan hanya sekadar musik.
Ketukan Marwas yang berulang dan sinkron memiliki efek meditasi kolektif. Ketika delapan hingga sepuluh pemain menabuh Marwas mereka dalam satu irama yang sama, terjadi sinkronisasi bio-ritmis yang dapat menenangkan hati dan pikiran para pemain maupun pendengarnya. Ritme yang cepat dan bersemangat berfungsi sebagai pengantar menuju keadaan *khusyuk* (fokus spiritual).
Dalam konteks sufistik, setiap ketukan diibaratkan sebagai detak jantung yang menyuarakan pujian kepada Allah dan Rasul-Nya. Keteraturan dan kekompakan (harmoni) dalam permainan merefleksikan nilai-nilai Islam tentang persatuan (ukhuwah) dan disiplin. Tidak ada pemain Marwas yang boleh menonjol secara individu; keberhasilan grup diukur dari seberapa kompak dan menyatunya suara yang dihasilkan.
Inti spiritual Marawis adalah lirik sholawatnya. Lirik-lirik ini (sering diambil dari kitab-kitab pujian seperti *Maulid Barzanji* atau *Diba'*) berisi sejarah Nabi Muhammad SAW, sanjungan, dan ajaran moral. Ini menjadikan Marawis alat edukasi yang powerful, mengajarkan sejarah Islam melalui medium yang menyenangkan.
Dalam konteks majelis taklim atau Maulid Nabi, Marawis berfungsi sebagai pembuka acara atau pengiring utama yang mempersiapkan hadirin secara spiritual. Melalui syair-syair yang puitis dan terkadang penuh metafora, pesan tentang kesederhanaan, kedermawanan, dan ketakwaan disampaikan dengan cara yang menggetarkan emosi pendengar.
Seperti kesenian tradisional lainnya, Marawis menghadapi tantangan modernisasi. Agar tetap relevan, banyak kelompok Marawis melakukan inovasi, baik dalam instrumentasi maupun gaya pertunjukan.
Salah satu perubahan paling signifikan adalah masuknya instrumen elektronik. Keyboard, gitar bass, dan drum set (menggantikan fungsi Hajir) sering diintegrasikan, menghasilkan genre yang kadang disebut Marawis Modern. Tujuannya adalah memperluas jangkauan suara dan menarik audiens yang lebih muda yang terbiasa dengan musik pop kontemporer.
Marawis modern sering memiliki tempo yang lebih cepat dan ritme yang dipengaruhi oleh genre pop, rock, atau bahkan dangdut. Meskipun beberapa puritan budaya khawatir tentang hilangnya keaslian, adaptasi ini justru memungkinkan Marawis untuk bersaing di pasar musik yang lebih luas, terutama dalam industri rekaman musik religi.
Secara tradisional, Marawis adalah kesenian yang didominasi laki-laki. Namun, di era modern, muncul banyak kelompok Marawis yang anggotanya sepenuhnya perempuan (seringkali lebih dikenal sebagai kelompok Rebana atau Qasidah, tetapi menggunakan instrumen dasar Marawis). Kelompok-kelompok ini memainkan peran penting dalam konteks sosial yang berbeda, seperti pengiring acara pengajian khusus wanita atau kompetisi seni di sekolah-sekolah Islam.
Tantangan terbesar bagi Marawis otentik adalah mempertahankan teknik pukulan tradisional dan pola ritme yang rumit, terutama di tengah godaan untuk menyederhanakan ritme agar sesuai dengan beat pop. Pelestarian memerlukan upaya terstruktur, termasuk kurikulum khusus di sekolah-sekolah seni keagamaan dan dukungan pemerintah daerah melalui festival dan insentif bagi para maestro Marawis.
Untuk mencapai target detail yang menyeluruh, kita harus mengurai secara spesifik bagaimana maestro Marawis menciptakan tekstur suara yang kaya, yang membedakannya dari bentuk hadrah atau rebana lainnya.
Ritme Marawis dibangun di atas struktur pengulangan (loop) yang kompleks, biasanya terdiri dari 8 hingga 16 ketukan dasar. Dalam ansambel yang terdiri dari sepuluh Marwas, para pemain dibagi menjadi tiga peran utama yang harus berjalan simultan:
Keterampilan pemain pengisi sangat menentukan kualitas Marawis. Mereka harus mampu melakukan rolling (menggulingkan jari secara cepat) dan muting (meredam suara dengan telapak tangan) untuk menciptakan efek dinamis yang membedakan antara Marawis yang sekadar ramai dengan Marawis yang memiliki kedalaman artistik.
Pemilihan material Marwas memegang peranan krusial dalam akustik keseluruhan. Bingkai (simpai) harus terbuat dari kayu yang keras namun ringan, seperti kayu nangka atau mahoni, yang telah dikeringkan sempurna untuk mencegah retak. Ketinggian bingkai (sekitar 5-7 cm) mempengaruhi kedalaman resonansi 'Dung'. Bingkai yang terlalu dangkal akan membuat suara Marwas terlalu 'flat'.
Kulit (membran) yang paling dihargai adalah kulit kambing jantan muda karena elastisitasnya yang tinggi, menghasilkan bunyi 'Tak' yang sangat renyah. Proses penegangan kulit dilakukan secara tradisional menggunakan tali rotan atau paku, dan ketegangan ini harus identik di semua Marwas agar nada dasarnya tidak saling bertabrakan. Bahkan suhu ruangan saat pertunjukan dapat mempengaruhi ketegangan kulit, mengharuskan pemain untuk menyesuaikan pukulan mereka secara intuitif.
Ritme Zafan, yang paling sering diadopsi oleh Marawis Nusantara, bukanlah satu ritme tunggal melainkan keluarga ritme. Zafan dasar memiliki hitungan 4/4 atau 6/8. Pola yang sering dimainkan oleh Hajir adalah:
DUNG (1) - tak (2) - DUNG (3) - tak (4) -- DUNG (5) - tak (6) - DUNG (7) - tak (8)
Sementara itu, Marwas Pengisi akan menyisipkan pukulan di antara ketukan (1.5, 2.5, 3.5, dst.), menciptakan kesan 'berlari' atau 'menggantung'. Dalam versi yang lebih modern, ritme Zafan dipercepat hingga mencapai 160-180 BPM (Beats Per Minute), menuntut stamina fisik dan akurasi yang luar biasa dari setiap pemain. Sinkopasi ini melambangkan kegembiraan dan semangat dalam memuji Nabi.
Pemain Dumbuk adalah penambah ‘rasa’ dalam Marawis. Teknik mereka meliputi:
Kualitas suara Dumbuk sangat bergantung pada bahan bakunya, yang kini banyak menggunakan membran sintetik yang lebih stabil terhadap perubahan cuaca dibandingkan kulit hewan. Namun, para puritan Marawis masih menghargai Dumbuk tradisional dengan membran kulit karena suaranya yang lebih "hangat" dan organik.
Marawis kini diakui sebagai warisan budaya tak benda yang penting di Indonesia. Pengakuan ini memicu berbagai upaya pelestarian yang melibatkan komunitas, institusi pendidikan, dan pemerintah.
Kelompok-kelompok Marawis kecil yang berbasis di masjid dan sanggar adalah garda terdepan pelestarian. Di sinilah terjadi transfer pengetahuan secara lisan, dari generasi tua kepada generasi muda. Pembelajaran Marawis seringkali dimulai sejak usia dini, di mana anak-anak diajari ritme dasar melalui hafalan dan imitasi sebelum diperkenalkan pada teori sinkopasi yang lebih rumit.
Metode pengajaran tradisional ini menekankan pada kepekaan telinga (sami'na wa atho'na - kami dengar dan kami patuh) terhadap Hajir, mengajarkan pentingnya disiplin ritmis sebelum kebebasan improvisasi. Tanpa peran sanggar, teknik-teknik pukulan otentik yang diturunkan dari Hadramaut kemungkinan besar akan hilang digantikan oleh gaya pop yang lebih sederhana.
Di beberapa sekolah Islam dan pesantren, Marawis telah dimasukkan sebagai kegiatan ekstrakurikuler wajib. Ini memberikan legitimasi akademis pada kesenian tersebut. Siswa tidak hanya belajar memainkan instrumen, tetapi juga mempelajari makna lirik sholawat, sejarah penyebarannya, dan etika pertunjukan. Integrasi ini memastikan bahwa aspek spiritual dan edukatif Marawis tetap terjaga, bukan hanya aspek hiburannya semata.
Konservasi Marawis juga mencakup aspek non-musikal. Pakaian yang dikenakan (seringkali busana Melayu atau busana Arab yang sopan, seperti baju koko, peci, atau sorban) adalah bagian integral dari pertunjukan. Etika pertunjukan menuntut kesopanan dan ketertiban; Marawis jarang melibatkan tarian yang berlebihan, melainkan fokus pada gerakan tangan yang presisi dan ekspresi wajah yang khidmat.
Pelestarian etika ini penting karena Marawis dipandang sebagai kesenian yang membawa pesan ilahiah. Penyimpangan dari etika dapat mengurangi legitimasi spiritualnya di mata masyarakat. Oleh karena itu, para pelatih Marawis tidak hanya berfungsi sebagai guru musik tetapi juga sebagai pembimbing moral dan spiritual.
Dinamika pertunjukan Marawis tidak dihasilkan oleh perubahan nada (seperti pada melodi) tetapi oleh perubahan intensitas (volume), kecepatan (tempo), dan kepadatan (densitas) ritme. Memahami bagaimana kepadatan ini dibangun adalah kunci untuk mengapresiasi kompleksitas ansambel ini.
Dalam teori musik Marawis, Dumbuk sering berfungsi sebagai instrumen kontrapung. Artinya, ia memainkan ritme yang berlawanan atau menyimpang dari pola yang dimainkan oleh Marwas. Jika Marwas memainkan ritme yang stabil dan teratur, Dumbuk akan memainkan pola poliritmik untuk memberikan ketegangan dan akselerasi.
Sebagai contoh, ketika Hajir mempertahankan 4 ketukan per bar, Dumbuk mungkin memainkan 3 ketukan per bar, menciptakan ilusi kecepatan yang lebih tinggi tanpa mengubah tempo dasar. Keterampilan ini, yang dikenal sebagai 'mematahkan ritme' atau 'fill-in', sangat penting dalam transisi antar bait lagu atau saat vokalis mengambil jeda nafas.
Setiap pemain Marwas harus menguasai teknik 'mute' (peredaman). Dengan meletakkan sebagian telapak tangan pada membran segera setelah pukulan, mereka dapat mengurangi resonansi, menghasilkan suara 'tak' yang sangat kering dan cepat. Kontras antara 'mute' yang kering dan 'open' sound (suara terbuka) yang resonan menciptakan dinamika staccato dan legato pada musik Marawis.
Dalam aransemen yang cermat, kelompok Marawis akan menginstruksikan separuh pemain Marwas untuk bermain 'mute' sementara separuh lainnya bermain 'open', menghasilkan tekstur suara berlapis yang seolah-olah dimainkan oleh dua kelompok berbeda. Kekuatan sejati Marawis terletak pada kemampuan para pemain untuk beralih antara teknik-teknik ini secara serempak, biasanya hanya berdasarkan isyarat visual dari pemimpin kelompok.
Pertunjukan Marawis tradisional dapat berlangsung lama, seringkali lebih dari satu jam tanpa henti, terutama dalam acara Maulid Nabi. Durasi yang panjang ini menuntut daya tahan fisik dan konsentrasi mental yang tinggi. Intensitas musik biasanya dimulai dari tempo yang lambat dan khidmat, meningkat ke tempo Zafan yang cepat dan bersemangat, dan diakhiri dengan tempo yang melambat, mengiringi doa penutup. Struktur naik-turunnya intensitas ini dirancang secara spiritual untuk membawa pendengar melalui perjalanan emosional, dari ketenangan, kegembiraan, hingga refleksi mendalam.
Marawis tanpa sholawat adalah perkusi belaka. Vokal dan lirik adalah kendaraan spiritualnya. Analisis lirik membantu kita memahami kedalaman pesan yang ingin disampaikan oleh kesenian ini.
Lirik yang digunakan dalam Marawis sebagian besar bersumber dari kitab-kitab maulid klasik yang ditulis oleh ulama-ulama besar Timur Tengah. Beberapa sumber utama meliputi:
Penggunaan lirik berbahasa Arab klasik ini mempertahankan koneksi Marawis dengan akar Islam global. Namun, dalam banyak kasus di Indonesia, terutama di antara kelompok pemula, lirik sering diterjemahkan atau disisipi syair-syair lokal berbahasa Indonesia atau daerah, memastikan audiens lokal memahami pesan moral yang disampaikan.
Vokal dalam Marawis tidak sama dengan vokal pop. Ia membutuhkan teknik nasyid atau qasidah yang mengutamakan artikulasi yang jelas, pernafasan yang panjang (untuk melantunkan syair panjang tanpa jeda), dan ekspresi suara yang menunjukkan kerendahan hati (tawadhu') dan kecintaan (mahabbah) terhadap Nabi.
Vokalis utama (Rais) harus memiliki kemampuan improvisasi yang tinggi, mampu menyesuaikan panjang vokal dengan ritme perkusi yang cepat, atau sebaliknya, memperlambat ritme untuk menekankan poin-poin penting dalam syair. Harmoni koor (paduan suara seluruh pemain) sangat sederhana, biasanya menggunakan pola nada dasar (unison) atau dua suara, tujuannya bukan untuk pamer vokal, tetapi untuk mendukung makna lirik secara kolektif.
Dua jenis sholawat yang sangat populer dalam repertoar Marawis adalah Sholawat Al-Fatihi (membuka pintu rahmat) dan Sholawat Nariyah (meminta perlindungan dari kesulitan). Ketika kedua jenis sholawat ini dibawakan, ritme Marawis sering beralih ke tempo yang sangat lambat dan khidmat (semi-akustik), menanggalkan kecepatan Zafan. Dalam momen ini, Marawis berfungsi murni sebagai pengiring zikir, di mana setiap ketukan Hajir menjadi penekanan spiritual pada setiap lafaz sholawat, menciptakan suasana yang mendalam dan kontemplatif.
Penggunaan Marawis sebagai pengiring doa dan zikir menunjukkan fleksibilitasnya sebagai alat musik yang mampu melayani berbagai kebutuhan spiritual, dari perayaan meriah hingga ritual ibadah yang penuh kesyahduan. Kesenian ini adalah cerminan dari Islam Nusantara yang menempatkan keindahan seni dan musik sebagai bagian tak terpisahkan dari praktik keagamaan sehari-hari.
Marawis adalah monumen hidup dari sejarah akulturasi Islam dan budaya lokal di Indonesia. Ia adalah perpaduan harmonis antara tradisi perkusi Yaman yang bersemangat dan kekayaan spiritual sholawat Nusantara. Dari teknik pukulan 'Tak' yang nyaring hingga resonansi 'Dung' dari Hajir yang stabil, setiap aspek dari Marawis adalah ekspresi kolektif dari kecintaan dan penghormatan terhadap ajaran Islam.
Meskipun menghadapi arus modernisasi yang masif, Marawis terus bertahan dan berevolusi. Upaya pelestarian melalui sanggar, kompetisi, dan integrasi kurikulum memastikan bahwa gema sholawat yang dibawakan oleh Marawis akan terus menggema, melintasi batas-batas generasi dan konteks sosial, menjaga api tradisi Hadrami tetap menyala di jantung budaya Indonesia.
Keindahan sejati Marawis terletak pada kekompakan para pemainnya. Diperlukan keselarasan hati dan ritme yang sempurna untuk menghasilkan musik yang tidak hanya enak didengar, tetapi juga mampu menggerakkan jiwa dan memperkuat ikatan persaudaraan. Marawis, dengan segala kerumitan teknis dan kedalaman spiritualnya, adalah salah satu harta karun budaya paling berharga yang dimiliki oleh Indonesia.