Marasmus: Krisis Gizi Energi-Protein dan Protokol Penyelamatan Hidup

I. Pendahuluan: Definisi dan Konteks Global Marasmus

Marasmus adalah bentuk kekurangan gizi energi-protein (KEP) yang paling parah dan mengancam jiwa. Secara harfiah, istilah ini berasal dari bahasa Yunani yang berarti 'kurus kering' atau 'melayu'. Kondisi ini ditandai oleh defisiensi asupan energi (kalori) dan protein yang ekstrem dan kronis, menyebabkan tubuh menggunakan cadangan energi internal secara menyeluruh, mencakup lemak subkutan dan massa otot rangka. Marasmus, bersama dengan Kwashiorkor, merupakan manifestasi utama dari Malnutrisi Akut Berat (MAB) atau Severe Acute Malnutrition (SAM), yang hingga kini menjadi salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak-anak di bawah usia lima tahun, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Berbeda dengan Kwashiorkor yang ditandai oleh edema (pembengkakan), Marasmus menunjukkan tanda-tanda 'wasting' yang jelas, di mana anak tampak sangat kurus, kulit keriput, dan memiliki wajah seperti orang tua. Pengakuan dini terhadap kondisi ini sangat krusial, sebab defisit kalori kronis ini tidak hanya memengaruhi pertumbuhan fisik, tetapi juga menyebabkan kerusakan signifikan pada fungsi organ vital, sistem kekebalan tubuh, dan perkembangan neurokognitif jangka panjang. Tatalaksana Marasmus memerlukan pendekatan multi-fase yang ketat, dimulai dari stabilisasi kondisi yang mengancam jiwa, diikuti oleh fase rehabilitasi nutrisi yang terstruktur, dan diakhiri dengan pencegahan kekambuhan melalui pendidikan dan dukungan berkelanjutan.

Ilustrasi Wasting Parah Defisit Massa Otot & Lemak

Gambaran Simbolis Wasting Parah (Marasmus).

II. Etiologi dan Faktor Risiko Kompleks

Penyebab utama Marasmus adalah ketidakseimbangan antara asupan energi dan pengeluaran energi tubuh, yang berlangsung dalam jangka waktu lama. Namun, akar masalahnya selalu bersifat multi-faktorial, melibatkan interaksi antara faktor nutrisi, infeksi, sosial-ekonomi, dan lingkungan.

1. Faktor Nutrisi Primer

2. Faktor Infeksi dan Penyakit

Infeksi memiliki peran ganda dalam memperburuk Marasmus. Infeksi meningkatkan kebutuhan metabolisme (katabolisme) dan pada saat yang sama, infeksi menurunkan nafsu makan serta menyebabkan malabsorpsi nutrisi di usus.

3. Faktor Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan

Faktor-faktor ini sering kali menjadi penyebab utama mengapa masalah gizi berlanjut dan berulang di suatu komunitas:

III. Patofisiologi: Mekanisme Adaptasi dan Kegagalan Seluler

Patofisiologi Marasmus adalah cerminan dari respons adaptif tubuh terhadap kelaparan total yang berkepanjangan. Ketika asupan kalori sangat rendah, tubuh beralih dari penggunaan energi eksternal ke pemanfaatan cadangan internal secara masif. Ini adalah mekanisme pertahanan diri, namun jika berlangsung lama, akan terjadi kerusakan ireversibel.

1. Tahap Adaptasi: Penggunaan Cadangan Energi

Pada awalnya, tubuh menggunakan gula darah, lalu cadangan glikogen hati. Setelah glikogen habis (dalam 24-48 jam), tubuh harus beralih ke sumber energi yang lebih substansial:

Karena defisitnya didominasi energi, tubuh mencoba mempertahankan kadar protein plasma (albumin) sebisa mungkin. Inilah alasan mengapa Marasmus murni, berbeda dengan Kwashiorkor, tidak disertai edema, karena tekanan onkotik plasma (yang dipertahankan oleh albumin) masih relatif stabil.

2. Perubahan Hormonal dan Metabolik

Kelaparan memicu perubahan endokrin yang drastis:

3. Kerusakan Sistem Organ Vital

Ketika adaptasi gagal, terjadi kegagalan fungsi organ:

A. Sistem Pencernaan dan Absorpsi

Defisiensi nutrisi menyebabkan atrofi mukosa usus, khususnya vili usus halus. Kerusakan ini mengurangi luas permukaan penyerapan, menyebabkan malabsorpsi yang memperburuk kekurangan gizi (siklus malnutrisi-malabsorpsi). Enzim pencernaan juga berkurang, dan flora usus (mikrobiota) mengalami disrupsi parah (disbiosis), meningkatkan risiko translokasi bakteri ke aliran darah (sepsis).

B. Fungsi Kekebalan Tubuh (Imunitas)

Sistem imun sangat sensitif terhadap kekurangan energi dan protein. Pada Marasmus, terjadi atrofi timus dan penurunan jumlah serta fungsi limfosit T. Ini menyebabkan imunosupresi berat, membuat anak sangat rentan terhadap infeksi oportunitis. Anak Marasmus mungkin tidak menunjukkan gejala infeksi yang khas (seperti demam) karena kemampuan respons imunnya sangat tertekan.

C. Sistem Kardiovaskular

Jantung, sebagai otot, juga mengalami atrofi. Penurunan massa otot jantung (miokardium) dan penurunan kontraktilitas menyebabkan penurunan output jantung. Meskipun tekanan darah seringkali rendah, risiko gagal jantung kongestif meningkat selama fase re-feeding yang agresif (sindrom re-feeding) karena pergeseran cairan dan elektrolit yang mendadak.

D. Otak dan Sistem Saraf

Pada anak kecil, Marasmus menyebabkan perlambatan mielinisasi dan perkembangan sinaptik. Walaupun pada Marasmus murni otak cenderung lebih terlindungi dibandingkan organ lain karena prioritas glukosa, kekurangan mikronutrien dan energi kronis menyebabkan kelambatan perkembangan motorik, penurunan kecerdasan, dan perubahan perilaku (apatis, iritabilitas).

IV. Gambaran Klinis dan Diagnosis Marasmus

Diagnosis Marasmus didasarkan pada pemeriksaan klinis, pengukuran antropometri, dan penemuan laboratorium. Tanda klinis Marasmus sangat khas dan berbeda dari Kwashiorkor.

1. Tanda Klinis Khas

2. Penilaian Antropometri

Antropometri adalah alat utama untuk mengklasifikasikan keparahan Marasmus. Kriteria Malnutrisi Akut Berat (MAB) berdasarkan WHO meliputi:

3. Pemeriksaan Laboratorium

Laboratorium berfungsi mengidentifikasi komplikasi yang mengancam jiwa:

V. Komplikasi Akut yang Mengancam Jiwa

Anak dengan Marasmus tidak hanya menderita kekurangan gizi, tetapi juga berada dalam keadaan homeostasis yang sangat rapuh. Komplikasi akut harus diatasi segera karena dapat menyebabkan kematian dalam hitungan jam.

1. Hipoglikemia (Gula Darah Rendah)

Hipoglikemia terjadi karena cadangan glikogen yang habis dan produksi glukosa (glukoneogenesis) yang terganggu. Ini adalah tanda bahaya utama karena dapat menyebabkan kerusakan otak permanen dan kematian. Setiap anak Marasmus yang letargis harus segera diperiksa glukosa darahnya dan diberikan penanganan glukosa oral atau intravena.

2. Hipotermia (Suhu Tubuh Rendah)

Anak Marasmus kehilangan panas dengan cepat karena hilangnya lapisan lemak subkutan (isolasi) dan penurunan laju metabolisme basal. Hipotermia (< 36.0°C) melemahkan pertahanan tubuh dan seringkali menjadi pemicu hipoglikemia serta sepsis. Penanganan segera meliputi penghangatan (misalnya dengan metode kanguru atau inkubator) dan penundaan mandi.

3. Dehidrasi dan Gangguan Elektrolit

Meskipun anak Marasmus tampak kurus, mereka sering mengalami dehidrasi intraseluler. Di sisi lain, mereka rentan terhadap kelebihan cairan (overload) karena fungsi ginjal dan jantung yang terganggu. Penanganan dehidrasi harus sangat hati-hati, menggunakan cairan rehidrasi khusus (ReSoMal) yang mengandung kalium dan rendah natrium, serta membatasi jumlah cairan yang diberikan.

Defisiensi Kalium dan Magnesium adalah universal pada MAB. Perbaikan elektrolit ini sangat penting untuk mencegah aritmia jantung dan sindrom re-feeding.

4. Infeksi Berat (Sepsis)

Sepsis adalah penyebab kematian tersering pada Marasmus. Karena imunitas yang tertekan, infeksi berat dapat terjadi tanpa demam yang jelas. Semua anak dengan Marasmus dan gejala klinis (misalnya letargi, batuk, diare, atau hipotermia) harus dianggap menderita sepsis dan diberikan antibiotik spektrum luas segera setelah diagnosis. Infeksi seringkali disebabkan oleh bakteri Gram-negatif.

5. Gagal Jantung Kongestif

Pemberian cairan atau nutrisi yang terlalu cepat pada jantung yang sudah lemah (atrofi miokardium) dapat menyebabkan peningkatan volume darah yang tidak dapat ditangani, berujung pada gagal jantung. Ini sering terjadi pada awal fase re-feeding (sindrom re-feeding).

VI. Tatalaksana Komprehensif Marasmus (Protokol WHO)

Penanganan Marasmus harus mengikuti protokol ketat, biasanya dibagi menjadi tiga fase utama untuk menghindari komplikasi sindrom re-feeding. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan 10 langkah kunci yang terbagi antara fase stabilisasi dan rehabilitasi.

A. Fase 1: Stabilisasi (Minggu Pertama)

Fokus utama adalah mengatasi kondisi yang mengancam jiwa (hipoglikemia, hipotermia, dehidrasi, infeksi) dan memulai pemberian makan yang sangat hati-hati.

Langkah 1 & 2: Atasi Hipoglikemia dan Hipotermia

Langkah 3: Atasi Dehidrasi (Sangat Hati-Hati)

Gunakan ReSoMal (Rehydration Solution for Malnutrition) yang diformulasikan untuk anak malnutrisi. ReSoMal memiliki kandungan natrium yang lebih rendah dan kalium yang lebih tinggi daripada Oralit standar WHO.

Langkah 4: Koreksi Gangguan Elektrolit

Semua anak MAB memiliki defisiensi Kalium dan Magnesium yang parah, yang tidak bisa dikoreksi hanya melalui pemberian cairan IV. Nutrisi terapeutik F-75 dan F-100 secara khusus diperkaya dengan elektrolit ini. Kalium dan Magnesium ditambahkan ke dalam formula sejak hari pertama tatalaksana.

Langkah 5: Atasi Infeksi

Karena tanda-tanda infeksi seringkali tersembunyi, semua anak MAB harus segera menerima antibiotik spektrum luas saat masuk. Protokol umumnya meliputi pemberian ampisilin (atau amoksisilin) dan gentamisin selama setidaknya 7-10 hari. Jika dicurigai infeksi di lokasi tertentu (misalnya meningitis), regimen antibiotik disesuaikan.

Langkah 6: Pemberian Mikronutrien

Berikan multivitamin dan mineral (kecuali zat besi) sejak Hari 1. Vitamin A dosis tinggi harus diberikan segera, kecuali anak menderita Kwashiorkor parah. Zat besi tidak diberikan pada fase stabilisasi karena dapat memperburuk infeksi yang belum terkontrol (zat besi mempromosikan pertumbuhan bakteri) dan meningkatkan risiko stres oksidatif.

Langkah 7: Mulai Pemberian Makan F-75 (Diet Awal)

Tujuan pada fase ini BUKAN untuk menambah berat badan, tetapi untuk menstabilkan metabolisme, memulihkan fungsi organ, dan menghindari sindrom re-feeding. Digunakan Formula F-75 (75 kkal dan 0.9 g protein per 100 mL), yang rendah protein dan rendah natrium.

Sindrom Re-feeding: Komplikasi fatal yang terjadi jika nutrisi (terutama karbohidrat) diberikan terlalu cepat setelah periode kelaparan panjang. Peningkatan insulin menyebabkan pergeseran fosfat, kalium, dan magnesium ke dalam sel yang cepat, menyebabkan hipofosfatemia, hipokalemia, dan gagal jantung atau henti napas. Inilah alasan mengapa F-75 digunakan pada fase stabilisasi.

B. Fase 2: Rehabilitasi (Transisi dan Peningkatan Berat Badan)

Fase ini dimulai ketika kondisi anak stabil: infeksi terkontrol, suhu dan glukosa normal, nafsu makan kembali, dan edema (jika ada) mulai berkurang. Ini biasanya terjadi setelah 2-7 hari stabilisasi.

Langkah 8: Pindah ke Fase Tumbuh Cepat (Catch-Up Growth)

Ganti F-75 dengan Formula F-100 (100 kkal dan 2.9 g protein per 100 mL) atau gunakan RUTF (Ready-to-Use Therapeutic Food) seperti Plumpy’Nut.

Langkah 9: Tambahkan Zat Besi

Suplementasi zat besi dimulai hanya setelah anak memasuki fase rehabilitasi, sudah mulai pulih dari infeksi, dan menunjukkan pertambahan berat badan yang konsisten.

Langkah 10: Stimulasi Sensorik dan Dukungan Emosional

Stimulasi adalah bagian penting dari tatalaksana Marasmus. Anak MAB sering mengalami kelambatan perkembangan motorik dan kognitif. Harus disediakan lingkungan yang suportif dengan:

C. Fase 3: Tindak Lanjut dan Pencegahan Kekambuhan

Anak dianggap siap keluar dari pusat perawatan ketika mereka mencapai berat badan target (biasanya Z-score BB/TB > -2 SD atau berat badan > 90% berat badan standar) dan ibu/pengasuh telah terlatih sepenuhnya dalam pemberian RUTF dan praktik pemberian makan yang baik.

VII. Analisis Mendalam Formula Terapeutik (F-75, F-100, RUTF)

Kesuksesan tatalaksana Marasmus sangat bergantung pada penggunaan formula nutrisi yang dirancang khusus untuk memulihkan fungsi selular tanpa memicu sindrom re-feeding atau overload cairan. Formula ini memiliki komposisi makro dan mikronutrien yang sangat berbeda dari susu formula biasa.

1. Formula F-75 (Stabilisasi)

F-75 digunakan pada fase awal. Karakteristik utamanya adalah:

2. Formula F-100 (Rehabilitasi)

F-100 adalah formula padat energi dan protein yang digunakan untuk fase pertumbuhan cepat.

3. RUTF (Ready-to-Use Therapeutic Food)

RUTF (misalnya berbasis selai kacang yang diperkaya) telah merevolusi tatalaksana MAB karena dapat digunakan di rumah (outpatient care) tanpa risiko kontaminasi dan tanpa memerlukan air. RUTF memiliki densitas energi yang sangat tinggi (sekitar 500-550 kkal per 100 gram) dan seimbang dalam protein, lemak, dan mikronutrien.

VIII. Dampak Jangka Panjang Marasmus

Meskipun tatalaksana yang tepat dapat menyelamatkan jiwa anak dari Marasmus, kekurangan gizi kronis ini sering meninggalkan jejak permanen pada perkembangan anak, terutama jika malnutrisi terjadi selama periode kritis perkembangan otak (1000 hari pertama kehidupan).

1. Stunting dan Pertumbuhan Fisik

Anak yang pulih dari Marasmus seringkali mengalami stunting permanen (pendek) karena pertumbuhan tulang dan jaringan yang terhambat parah. Meskipun penambahan berat badan (wasting) dapat diperbaiki, defisit tinggi badan (stunting) lebih sulit untuk dikejar setelah usia dua tahun.

2. Kognitif dan Perkembangan Otak

Periode malnutrisi berat yang berkepanjangan dapat menyebabkan berkurangnya jumlah neuron, sinapsis, dan mielinisasi yang buruk. Dampak jangka panjang meliputi:

3. Kerentanan Metabolik dan Kesehatan Dewasa

Hipotesis 'thrifty phenotype' menyatakan bahwa kelaparan pada usia dini memprogram ulang metabolisme tubuh untuk menyimpan energi secara efisien. Ketika anak yang pernah menderita Marasmus tumbuh dewasa dan terpapar diet kaya kalori, mereka memiliki risiko lebih tinggi terhadap Penyakit Tidak Menular (PTM) seperti diabetes tipe 2, hipertensi, dan penyakit kardiovaskular. Ini adalah beban ganda malnutrisi.

IX. Strategi Pencegahan Holistik Terhadap Marasmus

Pencegahan Marasmus harus dilakukan pada tiga tingkat: pencegahan primer (sebelum terjadi), sekunder (deteksi dini), dan tersier (pencegahan kekambuhan).

1. Pencegahan Primer: Peningkatan Ketahanan Pangan dan Nutrisi

2. Pencegahan Sekunder: Deteksi Dini dan Skrining

Deteksi dini sangat penting untuk menangkap malnutrisi sebelum berkembang menjadi Marasmus parah (MAB).

3. Pencegahan Tersier: Dukungan Pasca-Perawatan

X. Kesimpulan: Tantangan dan Harapan

Marasmus tetap menjadi krisis kesehatan global, bukan semata-mata masalah medis, tetapi cerminan dari ketidaksetaraan sosial dan kegagalan sistem. Tatalaksana yang efektif memerlukan sumber daya yang besar dan tenaga kesehatan yang terlatih, menekankan perlunya protokol ketat dan formula nutrisi khusus untuk menavigasi fase stabilisasi yang rentan. Melalui strategi pencegahan holistik yang berfokus pada 1000 hari pertama kehidupan, peningkatan keamanan pangan, dan pemberdayaan komunitas, Marasmus dan penderitaan yang disebabkannya dapat diminimalkan. Upaya global harus terus ditingkatkan untuk memastikan setiap anak memiliki hak fundamental untuk tumbuh dan berkembang tanpa dibatasi oleh kekurangan gizi.

Simbol Tangan Perlindungan dan Nutrisi Harapan Gizi

Dukungan nutrisi dan perlindungan adalah kunci pemulihan Marasmus.