Marapu: Leluhur, Alam, dan Spiritualitas di Pulau Sumba
Marapu bukanlah sekadar sebutan untuk sebuah agama atau sistem kepercayaan dalam konteks modern; ia adalah fondasi spiritual, kosmologis, dan sosial yang telah menopang kehidupan masyarakat Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, selama berabad-abad. Jauh sebelum masuknya pengaruh agama-agama dunia, Marapu telah menawarkan kerangka pemahaman yang komprehensif mengenai asal-usul manusia, tata cara hidup yang benar, dan hubungan abadi antara yang hidup dan yang telah tiada. Istilah Marapu sendiri secara harfiah dapat diartikan sebagai "yang dimuliakan" atau "yang dihormati," merujuk secara spesifik kepada roh-roh leluhur yang dianggap memiliki peran intermediasi yang sangat penting antara manusia di dunia fana (tana kalala) dan Tuhan Pencipta di surga (Matawai Amawai).
Sistem kepercayaan ini melebur sedemikian rupa dengan adat dan hukum, membentuk suatu tata kelola yang bersifat holistik, di mana setiap tindakan, mulai dari menanam padi hingga upacara kematian termegah, selalu ditujukan untuk menjaga keseimbangan kosmis (Hammu). Kegagalan dalam memelihara keseimbangan ini, baik melalui pelanggaran adat maupun kelalaian ritual, diyakini akan mendatangkan musibah bagi individu, keluarga, bahkan seluruh komunitas. Oleh karena itu, kehidupan penganut Marapu di Sumba merupakan perjalanan ritual yang berkelanjutan, sebuah upaya tiada henti untuk memastikan bahwa dunia manusia dan dunia Marapu tetap saling menghargai dan mendukung.
I. Kosmologi Marapu: Struktur Alam Semesta dan Asal-Usul
Untuk memahami Marapu, seseorang harus terlebih dahulu menyelami pandangan kosmologis mereka yang sangat kaya. Kosmologi Marapu didasarkan pada prinsip dualisme yang harmonis, sebuah pemisahan namun sekaligus persatuan antara unsur-unsur yang berlawanan. Pencipta alam semesta digambarkan sebagai dwitunggal, yang sering disebut sebagai Matawai Amawai (Bapa Matahari, Ibu Bulan) atau Ina Ama (Ibu dan Bapa), sebuah entitas yang begitu luhur dan jauh sehingga tidak dapat diakses langsung oleh manusia. Dalam narasi penciptaan, dunia dibagi menjadi tiga lapisan utama yang saling berkaitan erat.
Tiga Lapisan Kosmik
Lapisan pertama adalah Langit Atas (Langit Marapu), yang merupakan tempat bersemayamnya Sang Pencipta dan roh-roh leluhur tertinggi. Langit ini adalah sumber dari segala kebaikan, cahaya, dan kehidupan. Di sini juga terdapat tempat peristirahatan terakhir bagi roh-roh yang telah menjalani kehidupan sesuai dengan adat (adat lii marapu).
Lapisan kedua adalah Dunia Tengah (Tana Kalala), yaitu dunia fana tempat manusia, hewan, dan tumbuhan hidup. Dunia ini dicirikan oleh kekacauan, perubahan, dan kebutuhan akan ritual untuk menjaga ketertiban. Manusia memiliki tugas moral untuk meniru kesempurnaan dan keteraturan yang ada di Langit, melalui pelaksanaan adat yang ketat.
Lapisan ketiga adalah Dunia Bawah (Tana Marapu di Bawah), yang sering dikaitkan dengan dunia kegelapan, air, dan tempat tinggal bagi roh-roh yang tidak suci atau yang meninggal secara tidak wajar. Meskipun terkadang dihubungkan dengan bahaya, Dunia Bawah juga esensial karena ia merupakan bagian integral dari siklus kehidupan dan kesuburan, sering diwakili oleh air dan tanah.
Dualisme Kosmik dan Simbolisme Gender
Dualisme Marapu tidak hanya terbatas pada Langit dan Bumi, tetapi meluas ke hampir semua aspek kehidupan. Konsep ini diekspresikan melalui pasangan oposisi yang saling melengkapi: laki-laki dan perempuan, kanan dan kiri, panas dan dingin, kering dan basah. Yang paling sentral adalah Matahari (maskulin, panas, langit) dan Bulan (feminin, dingin, bumi). Keseimbangan antara kedua unsur ini, seringkali diwujudkan dalam arsitektur rumah adat atau pola tenun Ikat, menjadi kunci bagi keberlangsungan hidup.
Contoh nyata dari dualisme ini dapat dilihat pada benda sakral Mamuli, perhiasan emas berbentuk V yang melambangkan rahim wanita sekaligus kekayaan spiritual. Mamuli tidak hanya berfungsi sebagai benda pusaka, tetapi juga sebagai wadah spiritual yang menghubungkan klan dengan leluhurnya. Desain Mamuli seringkali memiliki bagian terbuka (maskulin) dan bagian tertutup (feminin), menekankan bahwa kekuatan terbesar muncul dari persatuan kontras.
Ilustrasi Mamuli, benda pusaka yang melambangkan kesuburan dan roh leluhur.
II. Peran Sentral Leluhur (Marapu) dalam Kehidupan Sehari-hari
Inti dari Marapu adalah pemujaan dan penghormatan tiada akhir terhadap leluhur. Konsep ini melampaui sekadar kenangan; roh leluhur (Marapu) diyakini tetap aktif berinteraksi dengan dunia manusia. Mereka berfungsi sebagai penengah spiritual, saluran komunikasi antara manusia dan Dewa Pencipta yang jauh. Leluhur adalah penjaga moralitas, hukum adat, dan keberuntungan klan.
Definisi dan Hierarki Marapu
Tidak semua yang meninggal menjadi Marapu. Hanya roh-roh yang kematiannya diakui secara adat dan dimakamkan melalui ritual besar (seringkali melibatkan pengorbanan hewan dan penarikan batu megalit) yang layak menyandang status Marapu. Hierarki roh ini sangat penting:
- Marapu Ratu: Leluhur pendiri klan (kabisu) yang pertama kali tiba di Sumba atau yang pertama kali mendirikan rumah adat (uma). Mereka memiliki kekuasaan spiritual tertinggi dalam klan.
- Marapu Lii: Roh leluhur yang lebih baru, yang merupakan garis keturunan langsung dari Marapu Ratu.
- Roh yang Belum Diterima: Roh-roh yang meninggal tanpa upacara yang layak atau meninggal dalam keadaan tidak wajar. Roh-roh ini dianggap bergentayangan dan berpotensi menyebabkan penyakit atau bencana, sehingga upacara pengembalian roh (hadangan) menjadi krusial.
Hubungan Timbal Balik
Hubungan antara manusia (yang hidup) dan Marapu (yang suci) adalah hubungan timbal balik yang ketat. Manusia wajib memberikan sesajen, melaksanakan ritual, dan mematuhi adat. Sebagai imbalannya, Marapu memberikan perlindungan, kesuburan (baik tanah maupun keturunan), kesehatan, dan kemakmuran. Ketika bencana atau penyakit melanda, hal itu selalu diinterpretasikan sebagai tanda bahwa Marapu marah atau merasa terabaikan, dan ritual segera dilakukan untuk mencari tahu letak kesalahan dan memohon maaf.
Interaksi ini seringkali terjadi di tempat-tempat khusus: Uma Adat (rumah tradisional), Pekuburan Megalit (tempat persemayaman), atau di altar-altar khusus yang disebut Katopo. Rumah adat, dengan atapnya yang menjulang tinggi menyerupai tanduk kerbau yang menjangkau langit, merupakan mikrokosmos dari alam semesta dan replika dari kapal leluhur, sekaligus menjadi wadah fisik bagi kehadiran spiritual Marapu.
III. Struktur Sosial dan Hukum Adat (Adat Lii Marapu)
Sistem Marapu tidak hanya mengatur keyakinan, tetapi juga menjadi cetak biru bagi struktur politik, hukum, dan stratifikasi sosial di Sumba. Masyarakat diorganisir secara komunal berdasarkan klan (kabisu), dan identitas individu sepenuhnya terikat pada garis keturunan dan kepatuhan terhadap hukum adat.
Uma Adat: Pusat Kosmik dan Sosial
Uma Adat (rumah adat) adalah unit sosial dan spiritual terpentral. Setiap uma mewakili sebuah klan dan merupakan rumah spiritual bagi Marapu klan tersebut. Uma Adat terbagi menjadi tiga bagian yang mencerminkan kosmologi Marapu:
- Bagian Atas (Menara Atap): Tempat bersemayamnya Marapu. Tidak boleh dimasuki manusia, hanya roh yang boleh berada di sana. Ia melambangkan Langit.
- Bagian Tengah (Ruang Hidup): Tempat manusia hidup, makan, dan berkumpul. Melambangkan Dunia Tengah.
- Bagian Bawah (Kolong Rumah): Tempat ternak dan terkadang makam awal. Melambangkan Dunia Bawah dan kesuburan tanah.
Kepala klan atau pemimpin adat disebut Rato. Rato bukan hanya pemimpin sekuler, tetapi juga figur spiritual tertinggi. Rato bertanggung jawab untuk mengetahui secara detail semua ritual, mitos, dan sejarah klan. Ia adalah juru bicara Marapu dan pengawas pelaksanaan Adat Lii Marapu. Kehidupan Rato harus sempurna dan bebas dari cacat moral, karena ia adalah jembatan yang paling murni antara dua dunia.
Skema arsitektur Uma Adat yang melambangkan tiga lapisan kosmik Marapu.
Hukum Adat dan Keadilan (Lii Baga)
Hukum adat (Lii Baga) yang dijiwai Marapu sangat ketat dan berlandaskan pada prinsip keadilan restoratif. Kesalahan atau kejahatan tidak hanya merugikan korban, tetapi juga mengganggu keseimbangan kosmik klan dan menyebabkan murka Marapu. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa selalu dilakukan melalui musyawarah adat di bawah pengawasan Rato, dengan tujuan utama mengembalikan harmoni.
Pelanggaran berat, seperti pembunuhan atau perzinahan, menuntut pembersihan spiritual yang serius, seringkali melibatkan pembayaran denda besar berupa ternak (kerbau atau kuda) dan pelaksanaan ritual pengorbanan untuk "mencuci" klan dari noda spiritual. Kegagalan mematuhi putusan adat berarti menanggung risiko penyakit, panen gagal, atau kematian—semuanya diyakini sebagai sanksi langsung dari Marapu.
IV. Siklus Kehidupan dan Ritual Agung Marapu
Kehidupan penganut Marapu diatur oleh serangkaian ritual yang kompleks, menandai transisi penting dari kelahiran hingga menjadi leluhur. Dua ritual terbesar dan paling memakan waktu, tenaga, serta sumber daya adalah pernikahan dan kematian, yang puncaknya diwujudkan melalui ritual pemakaman megalitik.
A. Ritual Pernikahan dan Pertukaran (Kawing)
Pernikahan dalam Marapu bukan sekadar penyatuan dua individu, melainkan perjanjian antara dua klan (kabisu). Pernikahan harus terjadi di luar klan sendiri (eksogami klan) dan harus mengikuti aturan ketat pertukaran hadiah yang melambangkan hubungan asimetris:
- Pihak Pemberi Istri (Mana Uma): Klan ini dianggap memiliki status spiritual yang lebih tinggi karena telah memberikan "sumber kehidupan." Mereka menerima perhiasan emas dan kain ikat yang indah.
- Pihak Penerima Istri (Aki Nda): Klan ini memberikan ternak (kuda dan kerbau), yang melambangkan kekuatan fisik dan ekonomi.
Pertukaran ini—barang keras (ternak) versus barang lunak (emas/kain)—adalah simbol dari dualisme kosmik dan memastikan bahwa kedua klan terikat dalam kewajiban yang berkelanjutan. Hubungan ini tidak pernah berakhir; klan-klan tersebut wajib saling membantu dalam upacara-upacara besar di masa depan.
Dalam konteks ritual, sumpah pernikahan diucapkan di hadapan Rato dan Marapu, di mana pasangan berjanji untuk menjaga kesucian garis keturunan dan memastikan bahwa roh leluhur akan terus hadir melalui anak-anak mereka.
B. Ritual Kematian dan Transisi Menjadi Marapu
Kematian adalah peristiwa paling penting dalam Marapu, sebab ia menandai transisi dari manusia fana menjadi leluhur spiritual yang berkuasa. Proses ini sangat panjang, terkadang memakan waktu bertahun-tahun, dan membutuhkan persiapan ekonomi yang luar biasa. Ritual ini memastikan bahwa roh yang meninggal diakui dan dapat bergabung dengan Marapu di Langit.
1. Masa Penantian (Disimpan)
Setelah seseorang meninggal, terutama anggota bangsawan atau Rato, jenazah tidak langsung dimakamkan. Jenazah akan diawetkan (melalui proses alami atau balsem tradisional) dan disimpan di rumah adat selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Selama masa penantian ini, jenazah diperlakukan seolah-olah masih hidup. Keluarga akan menyuguhkan makanan, mengajak bicara, dan menjaga kehangatan, sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan terhadap pentingnya roh tersebut.
2. Upacara Puncak dan Pengorbanan
Upacara puncak pemakaman (misalnya Pa'dang di Sumba Barat) adalah festival besar yang mengumpulkan ribuan orang. Momen ini ditandai dengan pengorbanan massal kerbau dan kuda. Kerbau melambangkan kendaraan yang akan membawa roh menuju dunia Marapu, sementara kuda digunakan oleh roh untuk menempuh perjalanan panjang di dunia arwah. Semakin banyak ternak yang dikorbankan, semakin besar pula kehormatan dan status yang akan diperoleh roh tersebut di alam baka.
3. Pemakaman Megalitik
Inti dari pemakaman Marapu adalah penggunaan batu-batu megalit. Kuburan batu yang masif ini, yang dapat mencapai bobot puluhan ton, ditarik dari lokasi penambangan ke desa oleh ratusan orang secara manual, sebuah ritual yang menunjukkan kekuatan kolektif klan. Kubur batu ini bukan sekadar nisan; ia adalah rumah abadi (lambu) bagi jenazah dan menjadi titik fokus di mana yang hidup dapat berkomunikasi dengan Marapu. Praktik megalitikum ini adalah salah satu warisan budaya Marapu yang paling menonjol di dunia.
Ilustrasi Kubur Batu Megalit, tempat bersemayamnya roh Marapu.
V. Dimensi Ekonomi, Seni, dan Ekologis dalam Marapu
Karena Marapu mencakup seluruh dimensi kehidupan, pengaruhnya terasa kuat dalam praktik ekonomi, seni, dan terutama hubungan manusia dengan lingkungan alam.
A. Kain Ikat: Jembatan Antara Dunia
Kain Ikat Sumba bukan hanya komoditas atau pakaian, melainkan teks suci yang ditenun. Proses menenun dan mewarnai memakan waktu berbulan-bulan dan melibatkan ritual khusus. Motif-motif pada ikat adalah representasi visual dari mitologi Marapu dan status sosial pemakainya. Motif kuda, kerbau, naga, atau tengkorak manusia (dalam motif kuno) adalah simbol-simbol kekuatan, kemakmuran, dan koneksi dengan dunia Marapu. Kain ikat berfungsi sebagai persembahan utama dalam pertukaran pernikahan dan sebagai penutup jenazah, membungkus yang meninggal dalam simbol spiritual klan mereka saat melakukan perjalanan menuju status leluhur.
Pewarnaan alami yang digunakan, khususnya warna merah yang dihasilkan dari akar mengkudu dan biru dari indigo, juga memiliki makna spiritual. Merah melambangkan darah, kekuatan hidup, dan Matahari; sedangkan biru melambangkan air, langit, dan Bulan. Kombinasi warna ini lagi-lagi mencerminkan dualisme kosmik yang harus selalu seimbang.
B. Prinsip Ekonomi dan Kesuburan
Ekonomi tradisional Sumba didasarkan pada perpaduan pertanian (padi, jagung) dan peternakan (kuda, kerbau, babi). Semua aktivitas ekonomi ini harus diselaraskan dengan ritual Marapu. Penentuan waktu menanam dan memanen padi, misalnya, dilakukan berdasarkan penanggalan adat yang ditentukan oleh Rato, yang mengamati pergerakan bintang (terutama Bintang Bima Sakti atau Bintang Tujuh).
Padi dianggap sebagai anugerah dari Marapu; ia adalah jelmaan dari dewi kesuburan. Ritual menanam dan panen (misalnya Wula Podu) selalu didahului dengan persembahan kepada roh-roh bumi agar tanah memberikan hasil yang maksimal. Konsep berbagi dan redistribusi kekayaan, terutama saat upacara besar, memastikan bahwa klan tetap solid dan tidak ada anggota yang tertinggal, sebuah manifestasi dari etika komunal Marapu.
C. Etika Ekologis (Keseimbangan Alam)
Marapu mengajarkan hormat yang mendalam terhadap alam. Gunung, hutan, sumber air (wairara), dan beberapa pohon tertentu dianggap sebagai tempat suci (Tana Marapu) atau rumah bagi roh penjaga. Pemanfaatan sumber daya alam harus dilakukan secara bijaksana dan tidak boleh berlebihan, karena merusak alam sama saja dengan melukai Marapu.
Terdapat larangan-larangan adat (pamali) yang mengatur penggunaan hutan. Misalnya, hutan larangan (hutan yang tidak boleh ditebang) berfungsi sebagai daerah resapan air vital. Hukum ini, yang ditegakkan melalui sanksi spiritual Marapu, secara efektif menjadi konservasi lingkungan alami yang sangat kuat. Manusia hanya diizinkan mengambil seperlunya, memastikan bahwa sumber daya tetap tersedia untuk generasi mendatang, sejalan dengan prinsip siklus abadi Marapu.
VI. Filsafat Kehidupan dan Etika Keseimbangan Marapu (Hammu)
Landasan filosofis Marapu adalah pencapaian Hammu, yaitu keadaan harmonis dan seimbang, baik dalam diri, dalam komunitas, maupun antara manusia dan kosmos. Seluruh ritual dan hukum adat dirancang untuk mempertahankan atau mengembalikan Hammu ini.
Prinsip Keteraturan Kosmik
Marapu mengajarkan bahwa segala sesuatu di alam semesta memiliki tempatnya dan fungsinya, yang ditentukan oleh Sang Pencipta dan dijaga oleh Marapu. Ketika manusia bertindak di luar tempat yang ditentukan—misalnya, orang biasa mencoba menduduki posisi Rato, atau suami istri melanggar sumpah pernikahan—keteraturan ini terganggu, memicu kekacauan (Pela).
Etika kehidupan Marapu menekankan bahwa manusia harus selalu rendah hati, mengingat bahwa mereka hanyalah bagian kecil dari rantai kehidupan yang besar. Kebesaran seseorang diukur bukan dari kekayaan materi saja, tetapi dari kemampuan untuk melaksanakan adat dengan sempurna, menghormati orang tua dan leluhur, serta berkontribusi pada kemakmuran klan.
Konsep Hammu adalah pusat gravitasi. Ia adalah upaya abadi untuk menyeimbangkan dualisme Langit dan Bumi, Laki-laki dan Perempuan, Hidup dan Mati. Keseimbangan ini hanya dapat dicapai melalui ritual dan kepatuhan absolut terhadap ajaran Marapu yang diturunkan oleh leluhur.
Penghormatan terhadap orang tua yang masih hidup juga merupakan bagian integral dari penghormatan kepada Marapu di masa depan. Perawatan yang diberikan kepada orang tua diyakini akan menentukan bagaimana roh seseorang akan diterima oleh leluhur di alam baka. Seorang anak yang durhaka tidak akan mendapatkan upacara pemakaman yang layak dan rohnya akan menjadi roh gentayangan.
VII. Marapu di Tengah Gelombang Modernitas dan Tantangan Kontemporer
Meskipun Marapu adalah sistem kepercayaan yang sangat tua dan kuat, ia menghadapi tantangan signifikan di era modern. Globalisasi, pendidikan formal, dan terutama penetrasi agama-agama monoteistik (Kristen, Katolik, Islam) telah mengubah lanskap spiritual Sumba.
Konversi dan Adaptasi
Sejak abad ke-20, banyak penganut Marapu yang berpindah ke agama-agama modern. Namun, perpindahan ini seringkali tidak berarti ditinggalkannya praktik Marapu secara total. Sebaliknya, terjadi sinkretisme yang mendalam, di mana unsur-unsur Marapu diserap ke dalam praktik keagamaan baru.
Misalnya, upacara-upacara pemakaman adat besar dengan pengorbanan kuda dan kerbau tetap dilakukan, meskipun keluarga yang bersangkutan sudah memeluk Kristen. Leluhur (Marapu) seringkali diinterpretasikan sebagai "malaikat penjaga" atau "saksi suci" dalam konteks agama baru, memastikan bahwa koneksi spiritual dan sosial dengan klan tetap utuh. Bagi banyak orang Sumba, identitas sebagai penganut agama modern dan sebagai penjaga adat Marapu bukanlah hal yang saling bertentangan.
Isu Legalitas dan Pengakuan
Di Indonesia, Marapu, seperti banyak kepercayaan tradisional lainnya, seringkali menghadapi tantangan dalam hal pengakuan legal formal. Meskipun negara mengakui "kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa" yang mencakup Marapu, statusnya seringkali berada di bawah enam agama resmi yang diakui. Hal ini memicu perjuangan bagi para penganut untuk memastikan hak-hak mereka, seperti pencatatan di Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan pelaksanaan ritual di ruang publik, dihormati.
Namun, dalam beberapa dekade terakhir, kesadaran akan pentingnya pelestarian Marapu sebagai warisan budaya Sumba yang unik semakin meningkat. Pemerintah daerah dan aktivis budaya mulai mengakui bahwa Marapu bukan hanya keyakinan spiritual, tetapi juga inti dari pariwisata budaya, kerajinan tangan (ikat), dan arsitektur tradisional pulau tersebut. Pelestarian Uma Adat, revitalisasi tarian ritual (seperti Pasola), dan dokumentasi mitologi menjadi upaya pelestarian Marapu yang paling terlihat.
VIII. Ritual Besar dan Simbolisme Profound dalam Ajaran Marapu
Kedalaman Marapu terletak pada kompleksitas ritualnya. Setiap upacara, sekecil apapun, memiliki makna ganda: fungsi sosial dan fungsi spiritual. Untuk mencapai pemahaman 5000 kata mengenai Marapu, kita harus menggali lebih dalam lagi mengenai beberapa ritual spesifik yang melengkapi siklus kehidupan, di luar pernikahan dan kematian.
A. Pasola: Ritual Perang dan Kesuburan
Pasola adalah ritual perang tanding berkuda yang terkenal, biasanya diadakan di Sumba Barat, khususnya saat musim panen atau pergantian musim hujan ke kemarau. Meskipun terlihat seperti olahraga agresif, Pasola memiliki tujuan spiritual yang murni: menumpahkan darah ke bumi sebagai persembahan untuk kesuburan. Darah, yang melambangkan kekuatan hidup, diyakini akan memuaskan Marapu Bumi sehingga panen berikutnya melimpah ruah.
Waktu pelaksanaan Pasola ditentukan oleh kemunculan cacing laut (nyale) di pantai, yang dihitung dan diumumkan oleh Rato. Keterkaitan antara siklus alam (air pasang, kemunculan nyale), siklus spiritual (ketentuan Marapu), dan tindakan manusia (perang tanding) menunjukkan bagaimana Marapu menyatukan semua aspek eksistensi menjadi satu sistem holistik yang tak terpisahkan.
B. Wula Podu: Bulan Tertutup dan Pemujaan Padi
Wula Podu (Bulan Tertutup atau Bulan Suci) adalah periode penting dalam kalender Marapu, biasanya berlangsung selama satu bulan penuh di mana beberapa aktivitas dilarang atau dibatasi. Ini adalah masa refleksi, pembersihan spiritual, dan ritual intensif yang dipimpin oleh Rato.
Selama Wula Podu, fokus utama adalah pada pemujaan padi (wunang) dan persiapan lahan. Padi dihormati sebagai entitas spiritual, dan benih padi pertama yang akan ditanam seringkali melalui ritual penyucian yang rumit, menjadikannya 'padi sakral' yang akan membawa berkah bagi seluruh klan. Pelarangan kegiatan yang bersifat duniawi (seperti bepergian jauh, berburu, atau berisik) selama periode ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang tenang bagi roh Marapu agar dapat turun dan memberkati tanah.
IX. Mitologi Dasar dan Kisah Penciptaan
Mitos penciptaan (Lii Ndana) adalah tulang punggung Marapu, menjelaskan bagaimana segala sesuatu menjadi ada dan menetapkan aturan perilaku manusia. Mitos ini diwariskan secara lisan, terutama melalui nyanyian ritual (kaba) yang panjang dan ritmis, yang hanya dipahami dan dibawakan oleh Rato atau pemuka adat.
Asal Mula Manusia di Sumba
Narasi paling umum menceritakan bahwa manusia pertama tidak diciptakan di Sumba, melainkan turun dari Langit Atas di suatu tempat yang disebut Tana Wulla (Tanah Wulla). Mereka turun menggunakan tangga atau tali yang terbuat dari emas dan perak, membawa benih padi, ternak, dan pengetahuan tentang adat istiadat (Marapu).
Tokoh-tokoh leluhur ini, setelah mencapai bumi, berlayar menggunakan kapal suci (yang bentuknya kemudian diabadikan dalam arsitektur Uma Adat) hingga akhirnya mendarat di pantai Sumba. Tempat pendaratan pertama ini, yang diyakini berada di bagian utara pulau, dianggap sebagai salah satu situs paling keramat. Dari leluhur inilah, semua klan Sumba kemudian menyebar dan mendapatkan tugas serta wilayah masing-masing.
Kisah ini menegaskan dua hal krusial: pertama, bahwa asal-usul manusia adalah ilahi (dari Langit Marapu); dan kedua, bahwa semua klan Sumba memiliki nenek moyang yang sama, meskipun kemudian terpecah, yang memperkuat perlunya persatuan dan rekonsiliasi antar klan.
Mitos Dualitas dan Kehilangan Kesempurnaan
Mitos juga menjelaskan mengapa manusia harus bekerja keras dan mengalami penderitaan. Di masa awal, hubungan antara manusia dan Matawai Amawai (Dewa Pencipta) sangat dekat; komunikasi terjadi secara langsung. Namun, karena kesalahan atau kesombongan manusia (seringkali digambarkan sebagai kegagalan mematuhi larangan spiritual), tali atau tangga penghubung itu terputus.
Putusnya tali ini memaksa manusia untuk hidup di Dunia Tengah (Tana Kalala) yang fana dan penuh tantangan. Karena Dewa Pencipta kini terlalu jauh, manusia harus mengandalkan perantara, yaitu roh-roh Marapu, yang masih memiliki jejak memori dan kemampuan untuk menjangkau Langit. Inilah yang menjadi dasar teologis mengapa pemujaan leluhur sangat dominan: Marapu adalah solusi atas jarak spiritual yang diciptakan oleh kegagalan manusia purba.
X. Sifat Mistis Benda Pusaka dan Keberlanjutan Marapu
Keberadaan Marapu diwujudkan secara fisik melalui benda-benda pusaka (tanggu marapu) yang disimpan dan diwariskan secara turun-temurun di dalam Uma Adat. Benda-benda ini dipercaya bukan sekadar artefak, melainkan wadah yang menampung roh Marapu itu sendiri.
Mamuli, Kalung Kuda, dan Pedang Pusaka
Selain Mamuli yang telah disebutkan, benda pusaka utama meliputi kalung emas, gelang kaki, dan berbagai jenis pedang adat. Pedang pusaka tertentu diyakini memiliki kekuatan magis dan terkadang digunakan dalam ritual penetapan batas wilayah atau sumpah suci. Benda-benda ini sangat keramat; mereka hanya boleh disentuh oleh Rato atau orang-orang tertentu yang telah disucikan, dan dikeluarkan hanya pada saat-saat upacara besar.
Penyimpanan benda pusaka ini di area terlarang Uma Adat (seringkali di menara atap) berfungsi sebagai penegasan bahwa kekuasaan klan tidak berasal dari kekuatan manusiawi semata, tetapi dari dukungan spiritual Marapu yang hadir secara fisik melalui benda-benda tersebut. Kehilangan atau rusaknya benda pusaka dianggap sebagai musibah terbesar karena menandakan hilangnya perlindungan leluhur.
Wadah dan Penyimpanan Roh
Setiap klan juga memiliki wadah atau kotak kayu tertentu yang disebut Katopo atau Wunang, yang secara khusus didedikasikan untuk menyimpan persembahan dan sebagai tempat kehadiran roh leluhur klan. Katopo ini seringkali dihias dengan motif-motif yang rumit dan diletakkan di bagian paling sakral rumah. Keberadaan Katopo ini memastikan bahwa komunikasi dengan Marapu dapat dilakukan setiap saat, bukan hanya saat upacara besar.
XI. Studi Lanjutan: Perbedaan Regional dalam Marapu
Penting untuk dicatat bahwa Marapu bukanlah sistem monolitik. Meskipun inti filosofisnya (penghormatan leluhur, dualisme kosmik, megalit) sama, ada variasi signifikan antara Sumba Barat, Sumba Timur, Sumba Tengah, dan Sumba Daya. Perbedaan ini mencakup dialek bahasa ritual, detail mitologi, dan fokus upacara.
Marapu di Sumba Timur (Waingapu dan Sekitarnya)
Di Sumba Timur, pengaruh sistem kerajaan (Raja) lebih terasa. Struktur sosial sangat hierarkis. Ritual dan seni di sini sangat menekankan pada kain ikat yang rumit dan pengorbanan kuda sebagai penanda status. Sumba Timur dikenal dengan penarikan megalitnya yang kolosal dan upacara pemakaman yang melibatkan ratusan ekor ternak. Rato memiliki kekuasaan spiritual yang besar, tetapi harus bekerja sama erat dengan bangsawan (Mahu).
Marapu di Sumba Barat dan Sumba Daya
Di Sumba Barat (Waikabubak) dan Sumba Daya (Tambolaka), sistem Rato cenderung lebih otonom dan seringkali lebih resisten terhadap perubahan dari luar. Ritual Pasola menjadi sangat dominan di wilayah ini. Struktur sosialnya mungkin tidak sehierarkis Timur, dan fokus komunal (kekuatan klan kolektif) lebih ditekankan daripada kekuasaan individu bangsawan. Rumah adat di Barat, dengan menara atapnya yang lebih runcing, juga menampilkan variasi arsitektur yang unik.
Meskipun ada perbedaan, keberlanjutan Marapu sebagai identitas kolektif Sumba tetap tak terbantahkan. Baik di Barat maupun di Timur, setiap individu tahu bahwa ia terikat oleh janji leluhur yang sama: hidup selaras, mematuhi adat, dan mempersiapkan diri untuk transisi menjadi Marapu suatu hari nanti.
XII. Epilog: Marapu sebagai Identitas Budaya Abadi
Marapu, dalam segala kerumitan dan kedalamannya, mewakili salah satu warisan spiritual paling tangguh di Nusantara. Ia adalah sistem yang berhasil mempertahankan inti filosofisnya meskipun menghadapi tekanan modernisasi yang luar biasa. Marapu adalah alasan mengapa Sumba tetap menjadi pulau yang unik, di mana ritual dan kehidupan sehari-hari tidak pernah terpisah.
Kesinambungan praktik Marapu adalah bukti nyata kekuatan memori kolektif dan penghormatan terhadap garis keturunan. Selama Uma Adat masih berdiri tegak menghadap langit, selama kain ikat masih ditenun dengan motif leluhur, dan selama batu-batu megalit masih ditarik ke desa, maka roh Marapu akan terus hidup, memandu anak cucu Sumba dalam upaya mereka menjaga keseimbangan abadi (Hammu) antara dunia yang terlihat dan dunia leluhur yang mulia.