Ilustrasi simbolis yang merefleksikan dasar petani dan cita-cita revolusioner dalam ideologi maois.
Ideologi maois, yang berasal dari pemikiran dan praktik revolusioner Mao Zedong, melampaui sekadar adaptasi Marxisme-Leninisme terhadap kondisi Tiongkok. Ia merupakan sebuah sistem filosofis dan strategi politik yang secara radikal mengubah wajah salah satu negara terbesar di dunia dan memberikan cetak biru bagi gerakan-gerakan pembebasan di seluruh negara berkembang. Inti dari ideologi maois adalah keyakinan mendalam pada potensi transformatif rakyat jelata—terutama kaum petani—dan penekanan pada perjuangan terus-menerus terhadap elemen borjuis, bahkan setelah kekuasaan politik direbut.
Pengembangan pemikiran maois bukan hanya sekadar teori, melainkan respons empiris terhadap kegagalan revolusi proletariat klasik di Tiongkok yang mayoritas agraris. Maois menggeser fokus Marxis dari buruh industri di perkotaan ke basis massa yang lebih besar di pedesaan, sebuah inovasi yang menjadi ciri khas dan pembeda utama dari komunisme Soviet ortodoks. Pergeseran strategis ini menuntut peninjauan ulang terhadap konsep-konsep dasar mengenai kekuatan revolusioner, metode perjuangan, dan sifat negara pasca-revolusioner.
Maois dapat dipahami sebagai Marxisme-Leninisme yang diterapkan dan dikembangkan dalam konteks masyarakat semi-feodal dan semi-kolonial. Tiongkok pada awal abad keduapuluh adalah sebuah negara yang terkoyak oleh intervensi asing dan kekuasaan panglima perang, namun memiliki tradisi perlawanan petani yang panjang. Ideologi maois menyerap sejarah perlawanan ini ke dalam kerangka dialektika materialis, menghasilkan seperangkat prinsip yang sangat berorientasi pada praktik dan massa.
Ketika Lenin fokus pada partai pelopor yang terorganisir dan terpusat untuk memimpin kaum proletariat, dan Marx berpusat pada dinamika internal masyarakat industri, maois menempatkan kaum tani sebagai kekuatan utama revolusi. Mao berpendapat bahwa semangat revolusioner, bukan sekadar basis ekonomi, yang menjadi penentu kemenangan. Perbedaan ini melahirkan dua konsep kunci:
Inovasi ini tidak hanya bersifat taktis, tetapi juga filosofis. Mao berpendapat bahwa ideologi yang benar (garis politik yang benar) datang dari praktik massa, bukan semata-mata dari pemikiran teoretis elit. Ini adalah esensi dari konsep Mass Line.
Untuk memahami kedalaman ideologi maois, penting untuk menganalisis pilar-pilar teoretis yang menopang seluruh strategi revolusioner dan pembangunan negara.
PPW adalah strategi militer revolusioner yang paling terkenal dari maois. Ini didasarkan pada asumsi bahwa kekuatan revolusioner awalnya lemah dan harus menghadapi musuh yang jauh lebih kuat (kekuatan reaksioner domestik dan imperialis asing). Tujuannya bukanlah konfrontasi frontal langsung, tetapi serangkaian fase yang dirancang untuk mengikis kekuatan musuh secara bertahap sambil membangun basis revolusioner.
Strategi PPW terbagi menjadi tiga fase utama, masing-masing dengan tujuan dan metode operasional yang spesifik. Kedisiplinan dalam mengikuti fase-fase ini dianggap krusial untuk mencegah kehancuran revolusioner:
Konsep PPW ini menuntut bukan hanya keunggulan taktis, tetapi juga keunggulan moral dan politik. Pasukan revolusioner harus sepenuhnya terintegrasi dengan rakyat, sebuah prinsip yang dirangkum dalam Sembilan Poin Disiplin dan Delapan Poin Perhatian yang menjamin Tentara Merah bertindak sebagai pembebas, bukan penjajah.
Garis Massa adalah metodologi epistemologis dan kepemimpinan politik yang menjadi landasan utama maoisme. Ia mendefinisikan hubungan antara Partai Komunis dan massa rakyat. Ini adalah proses bolak-balik yang menjamin bahwa kebijakan partai berasal dari dan kembali kepada rakyat.
Prinsip ini sangat penting karena ia melawan birokratisme dan elitisme. Partai harus terus-menerus belajar dari kondisi lapangan dan menjamin bahwa perjuangan tidak menjadi abstrak dari kebutuhan rakyat sehari-hari. Ketika kebijakan gagal, menurut maoisme, itu sering kali berarti kegagalan dalam proses garis massa—ketidakmampuan untuk mendengarkan, atau kesombongan dalam memaksakan teori yang tidak teruji.
Mao mengembangkan konsep dialektika Marxis secara signifikan, terutama dalam esainya "Tentang Kontradiksi." Ia berpendapat bahwa kontradiksi adalah hukum universal alam semesta dan masyarakat, dan gerakan adalah hasil dari perjuangan yang tak henti-hentinya antara sisi-sisi yang berlawanan.
Dalam setiap situasi, terdapat banyak kontradiksi, tetapi hanya satu yang dominan atau 'kontradiksi utama' yang menentukan sifat situasi tersebut. Tugas Partai adalah mengidentifikasi kontradiksi utama pada saat tertentu. Misalnya, pada masa perang melawan Jepang, kontradiksi utama adalah antara bangsa Tiongkok dan imperialisme Jepang. Setelah Jepang kalah, kontradiksi utama bergeser menjadi antara Komunis dan Kuomintang (KMT). Mengabaikan kontradiksi utama dapat menyebabkan kesalahan strategis fatal.
Kontribusi Mao yang paling orisinal mungkin adalah teorinya tentang "Kontradiksi yang Benar Di Antara Rakyat." Secara tradisional, komunisme melihat kontradiksi sebagai antagonistik (seperti antara proletariat dan borjuasi), yang harus diselesaikan melalui kekerasan revolusioner. Namun, Mao mengakui bahwa dalam masyarakat sosialis, masih ada kontradiksi (ketidaksepakatan, perbedaan pendapat) yang bersifat non-antagonistik. Kontradiksi ini, katanya, harus diselesaikan melalui diskusi, kritik, dan swakritik (seperti Kampanye Seratus Bunga).
Mao menyadari bahwa Tiongkok tidak memiliki basis proletariat industri yang cukup untuk langsung melompat ke sosialisme murni seperti yang diimpikan oleh Marxis ortodoks. Oleh karena itu, ia mengembangkan konsep Demokrasi Baru. Ini adalah tahap transisional yang diperlukan setelah kemenangan revolusi melawan feodalisme dan imperialisme, tetapi sebelum sosialisme penuh.
Demokrasi Baru adalah pemerintahan koalisi yang dipimpin oleh proletariat (melalui Partai Komunis) namun mencakup empat kelas revolusioner: proletariat, kaum tani, borjuasi kecil, dan borjuasi nasional (patriotik). Tujuannya adalah membangun fondasi ekonomi dan politik yang terpisah dari feodalisme dan imperialisme, mempersiapkan masyarakat untuk transisi sosialis, yang hanya bisa dicapai setelah fase pembangunan nasional yang kuat.
Teori-teori maois diuji dan dibentuk oleh pengalaman pahit perang, pengasingan, dan pembangunan. Tiga periode kunci menyoroti bagaimana ideologi ini diimplementasikan, seringkali dengan konsekuensi yang ekstrem.
Setelah kegagalan revolusi di Shanghai, Komunis Tiongkok di bawah kepemimpinan Mao dipaksa meninggalkan kota dan mencari perlindungan di pegunungan terpencil Jiangxi. Momen ini adalah katalisator bagi pergeseran strategis. Di Jiangxi, dan kemudian selama perjalanan epik yang dikenal sebagai Mars Panjang, prinsip PPW terbukti valid. Basis-basis Soviet yang didirikan di pedesaan berfungsi sebagai laboratorium bagi eksperimen kebijakan maois.
Mars Panjang adalah retret militer dari tahun 1934 hingga 1935 yang mengubah Partai Komunis Tiongkok (PKT) dari faksi yang terancam punah menjadi kekuatan politik yang kohesif dan mitologis. Dalam prosesnya, Mao mengukuhkan dominasinya di Konferensi Zunyi, menggeser kepemimpinan yang berorientasi Soviet. Mars Panjang menanamkan keyakinan bahwa semangat revolusioner dan dukungan rakyat dapat mengatasi kekurangan material yang paling parah.
Setelah pendirian Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Mao bertekad bahwa Tiongkok harus mencapai komunisme lebih cepat daripada Uni Soviet. Ini didasarkan pada prinsip "Kehendak di atas Materi" (Voluntarisme Revolusioner) dan keyakinan bahwa mobilisasi massa yang total dapat mengatasi keterbatasan teknologi.
GLF (1958–1961) bertujuan untuk mengindustrialisasi Tiongkok secara simultan di pedesaan melalui pembentukan Komune Rakyat. Komune ini menggabungkan pertanian, industri, pendidikan, dan militer dalam satu unit manajemen kolektif raksasa. Tujuannya adalah memaksimalkan produksi biji-bijian dan baja (melalui 'tungku halaman belakang').
Secara ideologis, GLF adalah puncak dari voluntarisme maois. Mao percaya bahwa "manusia yang tercerahkan" bisa mengubah realitas material melalui kerja keras yang ekstrem. Namun, GLF merupakan tragedi besar. Kegagalan perencanaan, penipuan statistik (karena tekanan politik), dan transfer tenaga kerja dari pertanian ke proyek-proyek yang tidak produktif (seperti tungku baja kualitas rendah) menyebabkan kelaparan terburuk dalam sejarah Tiongkok.
Meskipun GLF adalah kegagalan praktis yang masif, dari sudut pandang teoretis, kegagalan tersebut memperkuat ketakutan Mao terhadap birokratisme dan "jalan kapitalis." Mao menyimpulkan bahwa kesalahan terjadi karena elemen-elemen borjuis di dalam Partai tidak memahami atau menentang semangat massa, bukan karena kesalahan fundamental dalam mobilisasi massa itu sendiri. Hal ini menyiapkan panggung untuk tahapan perjuangan berikutnya.
GPCR (1966–1976) adalah manifestasi paling radikal dan kontroversial dari teori maois: Teori Kelanjutan Revolusi di bawah Kediktatoran Proletariat.
Mao berpendapat bahwa merebut kekuasaan negara hanyalah langkah pertama. Setelah kekuasaan politik direbut, kelas-kelas borjuis dan kapitalis tidak menghilang; mereka bersembunyi di dalam Partai dan aparatur negara, membentuk birokrasi baru yang korup dan elitis. Jika tidak dihancurkan secara berkala, birokrasi ini akan mengembalikan Tiongkok ke kapitalisme (revisionisme). Untuk mencegah hal ini, diperlukan revolusi di tingkat budaya dan ideologi.
Mao memobilisasi kaum muda (Garda Merah/Red Guards) dan massa untuk "membombardir markas besar"—yaitu, menyerang birokrasi Partai yang sudah mapan dan tokoh-tokoh yang dianggap sebagai "pengikut jalan kapitalis" (terutama Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping).
GPCR adalah perjuangan ideologis yang total: segala sesuatu—seni, pendidikan, tradisi, bahkan keluarga—dijadikan medan pertempuran. Tujuannya adalah memurnikan jiwa rakyat Tiongkok dari sisa-sisa feodalisme dan borjuasi. Ini melibatkan 'sesi perjuangan' (struggle sessions), penghancuran artefak budaya, dan penggantian kurikulum sekolah dengan dogma politik.
Revolusi Kebudayaan mewakili penolakan total terhadap ide bahwa perkembangan ekonomi secara otomatis akan menciptakan sosialisme. Sebaliknya, ia menegaskan superioritas politik atas ekonomi; 'merah' (ideologi) harus selalu mengungguli 'ahli' (teknokrasi).
Maois juga menawarkan pandangan yang khas tentang filsafat dan pembangunan ekonomi yang berbeda dari pandangan Eropa tentang kemajuan linier.
Dalam esai seperti "Tentang Praktik," Mao menekankan bahwa pengetahuan yang benar hanya bisa datang dari tiga praktik sosial: perjuangan produksi, perjuangan kelas, dan eksperimen ilmiah. Pengetahuan tidak statis; ia bergerak dalam siklus tak berujung dari praktik ke teori, dan kembali ke praktik yang diperkaya.
Penekanan pada praktik ini membenarkan voluntarisme maois—keyakinan bahwa jika massa dimobilisasi dan dipimpin dengan garis politik yang benar, mereka dapat mencapai hal-hal yang secara material tampak mustahil. Ini juga memberikan justifikasi filosofis untuk gerakan massa besar-besaran, yang merupakan cara untuk menguji teori (kebijakan) di laboratorium sosial yang luas.
Berbeda dengan model Soviet yang mengutamakan industri berat (seperti yang dilakukan Stalin), maois berpendapat bahwa industrialisasi harus didanai oleh sektor pertanian, tetapi proses ini tidak boleh mengorbankan kaum tani. Maois menganjurkan pembangunan ‘dengan dua kaki’ (walking on two legs): pengembangan industri besar terpusat (untuk pertahanan dan infrastruktur penting) dan pengembangan industri kecil di pedesaan (untuk melayani kebutuhan pertanian dan mencegah kesenjangan perkotaan-pedesaan yang besar).
Model ini bertujuan mencegah munculnya 'aristokrasi buruh' di kota-kota dan stagnasi di pedesaan. Namun, seperti yang terlihat dalam GLF, upaya untuk menerapkan industrialisasi pedesaan tanpa basis teknologi yang memadai sering kali berakhir dengan bencana. Secara ideologis, tujuannya tetap mulia: mencegah munculnya kesenjangan sosialis yang baru.
Pada dekade 1960-an, maois bergerak menjauh dari blok komunis yang dipimpin Soviet, yang menyebabkan perpecahan Sino-Soviet yang signifikan. Perpecahan ini terjadi pada tingkat ideologis dan strategis.
Mao menuduh Uni Soviet di bawah Nikita Khrushchev telah jatuh ke dalam "revisionisme." Revisionisme, dalam pandangan maois, adalah pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip revolusioner Marxisme-Leninisme melalui:
Perpecahan ideologis ini membuat maois memposisikan diri tidak hanya sebagai jalur ketiga bagi negara-negara berkembang, tetapi juga sebagai penjaga sejati ortodoksi revolusioner Marxisme-Leninisme, melawan 'revisionis' baik dari Moskow maupun dari internal Tiongkok sendiri.
Meskipun praktik maois di Tiongkok pasca-Mao mengalami perubahan radikal (terutama setelah reformasi ekonomi yang dipimpin Deng Xiaoping), ideologi ini meninggalkan jejak yang tak terhapuskan pada politik global, terutama di Amerika Latin, Asia Tenggara, dan Afrika.
Bagi gerakan pembebasan di negara-negara yang berjuang melawan neo-kolonialisme, strategi PPW maois menawarkan model yang sangat relevan. Mereka menghadapi musuh yang secara material lebih kuat (didukung AS atau Eropa) dan basis rakyat mereka sebagian besar adalah petani.
Gerakan-gerakan yang secara eksplisit menganut maoisme termasuk:
Dalam gerakan-gerakan ini, maois menyediakan justifikasi untuk penolakan total terhadap demokrasi parlementer borjuis dan penekanan pada pendirian pemerintahan revolusioner berbasis petani di wilayah yang dibebaskan.
Untuk memahami mengapa maois begitu rentan terhadap perubahan garis politik yang drastis, kita harus menggali lebih dalam pada mekanisme pemurnian dan konflik internal yang merupakan ciri khas PKT di bawah Mao.
Jauh sebelum Revolusi Kebudayaan, Mao telah menyempurnakan metode untuk mencapai kesatuan ideologi melalui kampanye pemurnian. Kampanye Yan'an (sekitar awal 1940-an) adalah yang paling penting. Tujuan Zhengfeng adalah untuk membersihkan Partai dari "subjektivisme" (mengandalkan perasaan pribadi daripada realitas material), "sektarianisme" (loyalitas kelompok kecil), dan "formalisme" (meniru doktrin asing tanpa mempertimbangkan realitas Tiongkok).
Metode utamanya adalah studi intensif terhadap tulisan-tulisan Mao, kritik, dan swakritik. Zhengfeng berhasil mengonsolidasikan kontrol ideologis Mao atas Partai, memastikan bahwa PKT tidak akan pernah lagi dipimpin oleh faksi yang berorientasi Moskow. Ini mengajarkan Partai bahwa perbedaan pendapat tidak hanya diselesaikan dengan diskusi, tetapi melalui penundukan total pada 'garis yang benar' yang ditetapkan oleh kepemimpinan tertinggi.
Ini menciptakan pola yang berulang: ketika terjadi krisis atau kegagalan (seperti GLF), Mao tidak menyalahkan ideologi, melainkan pelaksana yang dianggap 'menyimpang' atau 'tidak murni'. Kekuatan Garis Massa, yang seharusnya mencegah penyimpangan, ironisnya digunakan untuk membenarkan pembersihan radikal terhadap pihak yang dianggap gagal menerapkan garis tersebut dengan 'semangat yang benar'.
Mao memiliki pandangan yang unik tentang pemuda sebagai kekuatan revolusioner yang tak tercemar. Pemuda, yang tidak terbebani oleh kebiasaan borjuis atau birokrasi lama, dianggap sebagai agen sempurna untuk revolusi yang berkelanjutan.
Dalam Revolusi Kebudayaan, Pemuda Garda Merah (Red Guards) diberikan otoritas penuh untuk menyerang lembaga-lembaga yang mapan. Ini adalah manifestasi nyata dari keyakinan Mao bahwa generasi baru harus 'berani berontak' dan bahwa ketidakpatuhan revolusioner lebih penting daripada keteraturan birokratis. Tindakan ini, meskipun menghasilkan kekacauan sosial dan hilangnya nyawa, secara ideologis bertujuan untuk mencegah kebekuan revolusi dan memelihara semangat perjuangan kelas yang abadi.
Perdebatan paling krusial mengenai warisan maoisme terletak pada ekonomi politiknya. Model maois mendasarkan legitimasi pembangunan pada kesetaraan dan mobilisasi politik, bukan pada efisiensi pasar.
Dalam maoisme, politik harus selalu memimpin ekonomi. Jika sebuah kebijakan ekonomi meningkatkan produksi tetapi meningkatkan ketidaksetaraan (misalnya, menciptakan petani kaya dan petani miskin yang baru), maka kebijakan itu dianggap gagal secara ideologis karena akan menumbuhkan benih-benih kapitalisme kembali. Ini menjelaskan mengapa kebijakan seperti insentif individu atau pasar bebas kecil sering kali dicap sebagai "revisionis" dan ditindas.
Konsekuensi dari prioritas politik adalah bahwa perencanaan ekonomi sering kali bersifat dogmatis dan tidak responsif terhadap realitas. Keputusan produksi tidak didasarkan pada permintaan atau biaya, tetapi pada kebutuhan politik yang ditentukan oleh Partai atau tujuan ideologis jangka panjang. Ini adalah sumber kekuatan (kapasitas mobilisasi massa besar-besaran untuk infrastruktur) dan kelemahan terbesar (inefisiensi dan kelaparan).
Komune Rakyat, yang merupakan ciri khas era maois, adalah eksperimen sosial dan ekonomi yang radikal. Dalam komune, kepemilikan individu atas tanah dihapuskan sepenuhnya, dan segala sesuatu—alat produksi, pekerjaan, makanan, bahkan pengasuhan anak—dikolektivisasi. Tujuannya adalah menciptakan unit sosialis yang mandiri dan menghilangkan pembagian antara pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan produktif.
Namun, tanpa insentif yang jelas dan dengan kontrol pusat yang terlalu ketat, produktivitas menurun drastis. Setelah Mao meninggal, penghapusan Komune Rakyat dan adopsi 'Sistem Tanggung Jawab Rumah Tangga' (yang pada dasarnya mengembalikan insentif individu) merupakan pengakuan diam-diam bahwa model kolektivisasi total yang didorong oleh maoisme telah gagal dalam menciptakan kemakmuran.
Setelah Mao wafat, terjadi perjuangan sengit mengenai interpretasi yang sah atas maoisme. Kelompok yang dikenal sebagai 'Geng Empat' mencoba mempertahankan Garis Kiri radikal Revolusi Kebudayaan, berpendapat bahwa setiap upaya untuk memulihkan ketertiban atau mendorong efisiensi ekonomi adalah pengkhianatan maois.
Namun, faksi pragmatis yang dipimpin oleh Deng Xiaoping memenangkan perjuangan kekuasaan. Deng tidak secara eksplisit menolak Mao, melainkan memodifikasi warisannya dengan formula terkenal: "Mao benar 70% dan salah 30%."
Strategi Deng adalah mempertahankan legitimasi politik Partai Komunis Tiongkok (PKT) sebagai penerus revolusioner maois (sehingga mempertahankan kekuasaan), sambil secara dramatis mengubah kebijakan ekonomi maois yang menghancurkan (sehingga mencapai modernisasi). Ini adalah pengalihan fokus dari perjuangan kelas ideologis (yang merupakan inti maoisme) ke pembangunan ekonomi yang pragmatis.
Secara resmi, maoisme, atau setidaknya "Pemikiran Mao Zedong," tetap menjadi salah satu pilar ideologis PKT, tetapi komponen-komponen yang paling radikal—seperti kebutuhan akan Revolusi Kebudayaan berulang-ulang, penolakan total terhadap pasar, dan prioritas politik yang mutlak—telah ditinggalkan demi modernisasi yang berorientasi pasar (Sosialisme dengan Karakteristik Tiongkok).
Salah satu aspek paling gelap dari implementasi maois adalah penggunaan teror politik dan kekerasan massa. Dalam maoisme, kekerasan bukanlah sekadar alat kekuasaan, melainkan elemen yang terintegrasi dalam dialektika sosial.
Menurut Mao, revolusi bukanlah pesta makan malam; revolusi adalah tindakan kekerasan oleh satu kelas untuk menggulingkan yang lain. Kekerasan revolusioner ini dibenarkan dalam konteks membersihkan masyarakat dari elemen-elemen reaksioner dan imperialis. Namun, di bawah konsep Kontradiksi Antara Rakyat, kekerasan seharusnya tidak diperlukan dalam interaksi sesama rakyat di bawah sosialisme.
Kontradiksi muncul ketika garis politik yang benar (Mao) berhadapan dengan garis politik yang salah (para birokrat, pengikut jalan kapitalis). Jika pihak yang salah menolak kritik dan swakritik, kontradiksi non-antagonistik dapat berubah menjadi antagonistik, yang kemudian memerlukan "tindakan tegas," yang sering kali berarti kekerasan, pengasingan, atau penjara.
Revolusi Kebudayaan menunjukkan bagaimana batas antara "rakyat" dan "musuh" menjadi sangat cair dan dipolitisasi, memungkinkan kekerasan massa yang tak terkendali. Siapapun yang diidentifikasi oleh otoritas revolusioner lokal (atau Garda Merah) sebagai revisionis atau borjuis secara otomatis dikeluarkan dari kategori 'rakyat', dan kemudian dapat ditangani dengan kekerasan antagonistik.
Kekhasan maois, berbeda dengan teror Stalin yang terpusat dan rahasia, adalah bahwa maois melepaskan massa untuk melakukan pembersihan atas nama ideologi. Ini adalah upaya untuk membuat proses pembersihan itu sendiri menjadi revolusioner, mendidik massa melalui partisipasi aktif dalam perjuangan kelas. Massa diminta untuk mengidentifikasi dan menghukum musuh mereka sendiri. Hal ini menciptakan lingkungan di mana kekerasan tidak hanya disahkan, tetapi didorong sebagai tindakan patriotisme ideologis.
Maois memberikan kontribusi substansial pada teori perang gerilya global. Meskipun Che Guevara (dengan teori *focoism*) dan Mao sama-sama menekankan perang gerilya, ada perbedaan penting dalam penerapannya.
Maois (PPW) menekankan pentingnya membangun basis massa yang luas dan stabil di pedesaan, membangun pemerintahan alternatif, dan melibatkan massa secara politik sebelum aksi militer skala besar. Basis adalah hal yang mendasar—seperti air bagi ikan. Tanpa dukungan rakyat yang mendalam, gerilya akan gagal.
Teori *foco* Guevara, yang banyak dipengaruhi oleh keberhasilan di Kuba, berpendapat bahwa sekelompok kecil revolusioner (foco) dapat masuk ke pedesaan, dan melalui keberanian dan aksi militer yang sukses, mereka dapat memicu pemberontakan massa. Ini menempatkan aksi militer di depan mobilisasi massa yang ekstensif. Bagi Maois, pendekatan ini terlalu militeristik dan kurang didasarkan pada perjuangan politik ideologis yang mendalam.
Sejarah menunjukkan bahwa PPW maois lebih berhasil di tempat-tempat seperti Asia Tenggara yang memiliki populasi petani yang sangat padat dan ketidakstabilan pemerintah yang lama, sementara *focoism* sering gagal ketika tidak segera didukung oleh kondisi material dan politik yang spesifik (seperti yang terjadi pada Guevara di Bolivia).
Ideologi maois tetap menjadi salah satu percobaan sosial dan politik paling ambisius dalam sejarah modern. Ia adalah doktrin yang lahir dari kebutuhan untuk mengubah masyarakat agraris yang terbelakang menjadi kekuatan sosialis modern. Ia berhasil dalam mobilisasi massa yang belum pernah terjadi sebelumnya, dalam mengalahkan imperialisme, dan dalam mendirikan negara Tiongkok yang bersatu dan berdaulat.
Namun, dalam upayanya untuk mencegah birokratisme dan revisionisme melalui "revolusi berkelanjutan" (seperti yang diekspresikan dalam Revolusi Kebudayaan), maoisme menunjukkan sifat yang menghancurkan diri sendiri. Penolakan terhadap insentif material, ketakutan terhadap ahli (teknokrasi), dan penekanan berlebihan pada kemurnian ideologis menyebabkan kekacauan ekonomi, penderitaan massal, dan stagnasi pembangunan.
Meskipun Tiongkok telah berpaling dari praktik maois radikal, inti dari Pemikiran Mao Zedong—terutama mengenai peran Partai sebagai pelopor yang mengendalikan negara, pentingnya kemandirian nasional (swasembada), dan penekanan pada perjuangan ideologis yang berkelanjutan—tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari DNA politik Tiongkok saat ini. Warisan maois tidak hanya ditemukan dalam buku-buku teori, tetapi juga dalam struktur Partai yang ketat dan dalam cara Tiongkok memproyeksikan kekuatan politiknya di panggung dunia.
Secara definitif, maois adalah upaya untuk menjawab pertanyaan besar tentang bagaimana mempertahankan semangat revolusi setelah kemenangan. Jawabannya adalah perjuangan yang tak pernah berakhir, sebuah keyakinan bahwa bahkan setelah kekalahan musuh-musuh lama, musuh yang paling berbahaya ada di dalam, menuntut revolusi permanen untuk mencegah tidur nyenyak yang memungkinkan kembalinya eksploitasi dan ketidaksetaraan.
Pengaruh doktrin maois, mulai dari strategi militer non-konvensional, metodologi kepemimpinan yang berfokus pada massa, hingga teori kontradiksi internal, terus dipelajari dan diperdebatkan di seluruh dunia, menegaskan posisinya sebagai salah satu aliran pemikiran politik terpenting yang muncul dari abad keduapuluh. Studi tentang maoisme adalah studi tentang ekstremitas transformatif yang mungkin terjadi ketika ideologi diletakkan sebagai kekuatan pendorong utama di atas segala pertimbangan material lainnya.
***
Perluasan maoisme ke ranah pembebasan nasional adalah salah satu aspek yang paling menarik. Maois tidak hanya menawarkan cara untuk mencapai sosialisme, tetapi juga kerangka kerja untuk mendapatkan kemerdekaan dari kekuatan imperialis, sebuah konsep yang sangat menarik bagi negara-negara dunia ketiga pasca-Perang Dunia II.
Maois berpendapat bahwa di negara-negara semi-kolonial, revolusi tidak dapat menjadi revolusi sosialis murni (proletariat melawan borjuasi) karena struktur ekonomi yang terdistorsi. Revolusi harus menyelesaikan tugas ganda: menggulingkan feodalisme lokal (tuan tanah) dan mengusir imperialisme asing. Inilah yang disebut tahap Demokrasi Baru.
Konsep ini memungkinkan Partai Komunis Tiongkok untuk beraliansi dengan elemen-elemen borjuasi nasional yang patriotik (yang juga menentang imperialisme asing), sambil tetap memelihara kontrol ideologis proletariat. Aliansi ini bersifat taktis dan sementara. Setelah imperialisme dikalahkan dan feodalisme lokal dihancurkan, borjuasi nasional akan menjadi sasaran baru dalam perjuangan kelas, menandai transisi ke sosialisme penuh.
Dalam strategi PPW, 'Basis Merah' (Soviet area) bukanlah sekadar tempat persembunyian militer. Ia adalah embrio dari negara baru. Di wilayah-wilayah yang dikuasai Komunis selama perang saudara, mereka menerapkan reformasi tanah radikal, membentuk pemerintahan desa, dan menjalankan sistem peradilan mereka sendiri.
Ini adalah praktik dari Garis Massa dalam bentuk administrasi. Keputusan mengenai distribusi tanah, pajak, dan pengadilan dibahas langsung dengan massa desa. Keberhasilan Komunis dalam membangun pemerintahan yang bersih dan responsif di Basis Merah, kontras dengan korupsi pemerintahan KMT, adalah faktor kunci dalam memenangkan loyalitas jutaan petani. Dengan demikian, revolusi maois adalah pembangunan negara tandingan yang terjadi secara bertahap dari bawah ke atas dan dari pedesaan ke perkotaan, berbeda dengan perebutan kekuasaan yang cepat dan terpusat.
Hubungan yang rumit antara Mao dan para pemimpin lain, seperti Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping, sering kali menjadi sumber ketegangan yang mendefinisikan perubahan kebijakan besar. Konflik ini bukanlah sekadar perebutan kekuasaan pribadi, melainkan pertarungan fundamental mengenai bagaimana seharusnya Tiongkok sosialis dibangun.
Liu Shaoqi mewakili faksi pragmatis yang percaya bahwa setelah kemenangan revolusioner, tugas utama adalah fokus pada pembangunan ekonomi dan peningkatan produktivitas (berdasarkan model Soviet). Liu berpendapat bahwa hanya melalui industrialisasi dan modernisasi Tiongkok dapat mencapai sosialisme yang stabil. Dalam pandangannya, kesadaran ideologis akan menyusul perkembangan material.
Mao menolak pandangan ini dengan keras. Baginya, prioritas produktivitas (materi) di atas kesadaran politik (ideologi) adalah esensi dari revisionisme Soviet. Mao khawatir bahwa fokus pada efisiensi akan menghidupkan kembali elitisme, birokratisme, dan kesenjangan sosial yang mendalam. Pertarungan antara Liu dan Mao—'Jalan Kapitalis' melawan 'Jalan Sosialis'—mencapai klimaks dalam Revolusi Kebudayaan, di mana Liu dicap sebagai musuh terbesar revolusi dan disingkirkan dari semua jabatannya.
Maois memiliki pandangan khusus tentang siapa yang 'berkuasa' setelah revolusi. Mao berpendapat bahwa kelas-kelas lama dapat memanifestasikan diri sebagai kekuatan internal dalam partai itu sendiri, sering kali dengan topeng komunis. Orang-orang yang 'berkuasa selama masa tunggu' (those in authority taking the capitalist road) adalah target utama GPCR. Mereka bukanlah mata-mata KMT lama, melainkan birokrat yang kehilangan semangat revolusioner, jatuh ke dalam rutinitas administrasi, dan mulai mengutamakan kepentingan pribadi atau kepentingan elit teknokratis.
Konsep ini secara efektif menghalalkan pembersihan siapa pun dalam hierarki Partai yang tidak sejalan dengan garis Mao, menciptakan sistem yang sangat rentan terhadap paranoia dan faksionalisme politik, namun secara ideologis konsisten dengan kebutuhan revolusi berkelanjutan.
Aspek penting lain dari maoisme adalah perannya dalam transformasi budaya. Maois berpendapat bahwa suprastruktur (budaya, seni, pendidikan) harus diubah secara radikal untuk mencerminkan basis sosialis baru. Jika basis material sudah sosialis, tetapi budaya tetap feodal atau borjuis, maka suprastruktur akan menarik masyarakat kembali ke tatanan lama.
Mao dalam 'Pembicaraan di Forum Yan'an tentang Seni dan Sastra' (1942) menetapkan bahwa seni harus melayani kaum proletariat, tani, dan prajurit. Seni tidak boleh menjadi hiburan elitis, tetapi alat politik untuk mendidik dan memobilisasi massa.
Hal ini mengarah pada penolakan bentuk seni tradisional (yang dianggap feodal) dan bentuk seni Barat (yang dianggap borjuis), dan penggantiannya dengan 'Seni Revolusioner' yang sederhana dan mudah diakses. Selama Revolusi Kebudayaan, ini memuncak dalam 'Model Opera' yang dipromosikan oleh Jiang Qing (istri Mao), yang secara ketat menggambarkan perjuangan kelas yang jelas dan heroik.
Transformasi budaya ini adalah bagian dari upaya menyeluruh maois untuk menciptakan 'Manusia Baru Sosialis'—individu yang sepenuhnya terbebani oleh kesadaran kelas, mengutamakan kolektivisme, dan secara sukarela mengorbankan kepentingan pribadi demi revolusi. Namun, hasilnya seringkali berupa penindasan brutal terhadap kreativitas dan keragaman budaya.
Selain PPW, pemikiran maois tentang perang dan militer telah memengaruhi doktrin militer di seluruh dunia, bahkan di luar lingkup komunis.
Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) Tiongkok didirikan berdasarkan prinsip maois yang berbeda dari tentara konvensional. PLA memiliki tiga peran:
Konsep "Tentara Rakyat" ini menegaskan bahwa kekuatan militer sejati berasal dari integrasi total dengan rakyat sipil. Moral dan politik dianggap jauh lebih penting daripada teknologi atau senjata canggih. Hal ini secara langsung berasal dari kekalahan awal Komunis, yang memaksa mereka untuk mengandalkan sumber daya non-material—dukungan massa—untuk bertahan hidup.
Doktrin maois menekankan "pertahanan aktif," yang berarti meskipun kekuatan revolusioner mungkin menghadapi musuh yang unggul secara teknologi, mereka harus selalu mencari inisiatif strategis. Ini tidak berarti menyerang secara membabi buta, tetapi memastikan bahwa setiap tindakan—mundur atau menyerang—dilakukan dengan tujuan politik yang jelas, memanfaatkan kelemahan musuh, dan memperkuat basis massa sendiri.
Dalam konteks global saat ini, banyak ahli strategi militer non-komunis masih mempelajari PPW sebagai model untuk perang asimetris, di mana kekuatan yang lebih kecil dapat mengalahkan musuh yang lebih besar melalui kesabaran, dukungan populasi, dan penolakan untuk berhadapan secara konvensional.
Meskipun Tiongkok telah berpaling dari model ekonomi maois yang radikal, pertanyaan-pertanyaan mendasar yang diangkat maoisme—terutama tentang kesenjangan, birokratisme, dan bagaimana mempertahankan kesetaraan dalam pembangunan—tetap relevan di banyak negara berkembang.
Banyak kritikus globalisasi menunjuk pada kegagalan Tiongkok era pasca-Mao untuk mempertahankan kesetaraan yang ketat (meskipun Tiongkok mencapai kemakmuran yang luar biasa) sebagai bukti bahwa reformasi pasar, bahkan di bawah pengawasan Partai Komunis, akan selalu menciptakan kelas penguasa dan yang terpinggirkan.
Di antara kelompok-kelompok maois yang tersisa di seluruh dunia, perdebatan terus berlanjut tentang mengapa revolusi global gagal, dengan kesimpulan umum bahwa kegagalan tersebut disebabkan oleh "revisionisme modern"—baik yang datang dari Moskow, Beijing pasca-Mao, atau melalui integrasi ke dalam sistem kapitalis global.
Oleh karena itu, maoisme tidak hanya merupakan babak sejarah, tetapi juga sebuah kritik radikal yang terus-menerus terhadap jalur pembangunan kapitalis maupun sosialis yang terlalu fokus pada materi. Ia adalah peringatan yang terus berbunyi tentang bahaya birokratisme dan hilangnya kontak dengan akar rumput, sebuah ideologi yang menuntut pengorbanan politik yang tak terbatas untuk mencapai kesucian revolusioner.
***
Maois juga memberikan sumbangan penting pada teori kognisi dan dialektika Marxis. Esai Mao yang kurang dikenal namun sangat penting, "Tentang Sumber yang Benar" (Where Do Correct Ideas Come From?), secara eksplisit mengaitkan Garis Massa dengan epistemologi. Ia berpendapat bahwa ide-ide yang benar dan Garis Partai yang benar hanya dapat muncul dari praktik sosial, bukan dari buku atau spekulasi intelektual murni.
Dalam pandangan maois, setiap kader harus terlibat dalam "investigasi dan penelitian" (investigation and research) mendalam mengenai kondisi lokal sebelum merumuskan kebijakan. Ini adalah praktik wajib untuk mencegah kebijakan birokratis yang hanya didasarkan pada laporan statistik palsu atau asumsi yang salah dari kantor pusat. Kegagalan melakukan investigasi yang jujur adalah kegagalan ideologis.
Kader harus meninggalkan kantornya dan hidup bersama massa, memahami keluhan, dan mengumpulkan ide-ide yang tersebar. Proses ini adalah cerminan filosofis dari siklus praktik-teori-praktik yang menjadi inti dari dialektika maois. Jika teori (kebijakan) terlalu jauh dari praktik (realitas lapangan), itu harus diubah, sering kali secara radikal.
Dalam debat filosofis pada tahun 1960-an, Mao berpendapat bahwa hukum fundamental dialektika adalah "Satu Membelah Dua" (One Divides Into Two). Ini menekankan bahwa di dalam setiap kesatuan atau objek, selalu terdapat kontradiksi internal yang saling bertentangan dan saling berjuang. Ini adalah penolakan terhadap teori Soviet yang lebih menekankan "Kesatuan Oposisi" (Unity of Opposites).
Bagi Mao, penekanan pada "membelah" membenarkan perjuangan yang tak berujung—bahwa bahkan dalam Partai Komunis yang bersatu, akan selalu ada unsur borjuis dan proletariat yang berjuang, yang menjustifikasi Revolusi Kebudayaan sebagai pembersihan yang diperlukan untuk memungkinkan elemen progresif (proletariat) menang atas elemen regresif (borjuasi/revisionis).
Maois secara ideologis berkomitmen pada pembebasan wanita, meskipun praktik di lapangan seringkali rumit. Slogan terkenal Mao, "Wanita memegang setengah langit," mencerminkan komitmen revolusioner untuk menghancurkan sisa-sisa feodalisme patriarkal.
PKT menerapkan Hukum Perkawinan yang revolusioner setelah tahun 1949, yang menghapus kawin paksa, poligami, dan hak tuan tanah atas wanita. Ini adalah tindakan maois yang bertujuan menghancurkan basis kekuasaan patriarkal di tingkat desa, yang merupakan bagian integral dari sistem feodal. Dengan membebaskan wanita untuk berpartisipasi dalam perjuangan produksi di komune dan dalam militer, maois memperluas basis mobilisasi massanya secara dramatis.
Namun, meskipun wanita secara politik dianggap setara, beban kerja mereka sering kali berlipat ganda—mereka diharapkan bekerja di pertanian atau pabrik sekaligus mengurus rumah tangga yang terbatas. Selain itu, kepemimpinan puncak Partai tetap didominasi oleh laki-laki, menunjukkan batas-batas reformasi pembebasan wanita yang didorong oleh maoisme.
***
Jika kita harus menyaring kritik maois terhadap sistem sosialis dan kapitalis, ia berpusat pada kekhawatiran yang mendalam tentang kembalinya dominasi elit yang baru, sebuah 'kelas merah' yang menggunakan label sosialis untuk menindas rakyat.
Kritik maois menyatakan bahwa kapitalisme negara, baik di Uni Soviet maupun Tiongkok pra-Revolusi Kebudayaan, hanyalah bentuk kapitalisme di mana negara bertindak sebagai perusahaan tunggal yang mengendalikan semua surplus. Bureaucracy, bukan pasar, adalah mekanisme eksploitasi. Oleh karena itu, perjuangan kelas tidak berakhir, tetapi hanya bersembunyi di dalam Partai dan aparatur negara.
Inilah yang membuat maois menjadi ideologi yang menuntut pertanggungjawaban politik yang tak terhingga dan tanpa henti. Setiap kegagalan, setiap kesenjangan, setiap tanda elitisme, dianggap sebagai bukti bahwa ‘jalan kapitalis’ sedang menggerogoti revolusi dari dalam, yang hanya dapat diatasi melalui mobilisasi massa yang radikal, kacau, dan seringkali penuh kekerasan, yang dikenal sebagai Revolusi Kebudayaan. Ideologi maois, pada akhirnya, adalah tentang mempertahankan gairah revolusioner abadi di tengah godaan kenyamanan dan ketenangan birokratis.
***
Strategi PPW tidak hanya berdimensi militer, tetapi juga ekonomi, yang sangat relevan bagi pemahaman tentang Tiongkok di masa perang. Dalam Basis Merah yang terpencil, Komunis mengembangkan 'Ekonomi Perang' yang bersifat swasembada total (autarki).
Karena Basis Merah terus-menerus dikepung dan tidak dapat bergantung pada pasokan eksternal, mereka didorong untuk menjadi sepenuhnya mandiri. Setiap Komune atau Basis harus memproduksi senjata, makanan, dan pakaiannya sendiri. Ini menanamkan etos desentralisasi dalam sistem maois, yang pada gilirannya memengaruhi kebijakan seperti 'berjalan dengan dua kaki' di kemudian hari. Desentralisasi ini adalah perlindungan terhadap kerentanan sentralisasi dalam menghadapi serangan musuh, namun juga berkontribusi pada fragmentasi kebijakan dan ketidakakuratan data selama periode damai seperti GLF.
Keberhasilan finansial awal Basis Merah sering kali bergantung pada komoditas sederhana seperti garam, tembakau, dan mata uang yang mereka cetak sendiri. Maois menyadari bahwa untuk menopang revolusi, mereka harus mengelola ekonomi yang efisien, bahkan jika itu adalah ekonomi primitif. Kebijakan pajak pada awalnya sangat ringan, bertujuan memenangkan dukungan petani, dan secara bertahap ditingkatkan seiring dengan perluasan kekuasaan Komunis dan peningkatan produksi yang mereka bantu kelola. Hal ini menunjukkan bahwa pragmatisme ekonomi selalu berjalan seiring dengan dogma politik dalam aplikasi maois, meskipun pragmatisme tersebut sering dilupakan di masa-masa radikal.
***
Untuk melengkapi gambaran, penting untuk meninjau secara kronologis bagaimana berbagai konsep maois diimplementasikan, dan bagaimana masing-masing fase mengarah ke yang berikutnya, sering kali karena kegagalan fase sebelumnya.
Periode ini adalah masa Demokrasi Baru, di mana reformasi tanah dilaksanakan, sisa-sisa KMT dibersihkan, dan Tiongkok memulai industrialisasi awal (banyak yang mengikuti model Soviet). Ini adalah periode di mana Mao masih menganggap Uni Soviet sebagai sekutu dan menggunakan banyak keahlian Soviet, meskipun ia sudah khawatir dengan 'revisionisme' birokratis. Fokus utama adalah mengakhiri dominasi asing dan feodalisme.
Didorong oleh keyakinan pada voluntarisme, Mao melepaskan GLF. Periode ini ditandai dengan pengabaian pragmatisme ekonomi demi mobilisasi ideologis total (politik memimpin komando). Kegagalan GLF, yang menyebabkan puluhan juta kematian karena kelaparan, menciptakan krisis kepemimpinan yang mendalam. Para pragmatis (Liu, Deng) harus mengambil alih manajemen ekonomi, yang dilihat oleh Mao sebagai pengkhianatan ideologis.
Sebagai respons langsung terhadap Fase II dan upaya pragmatis untuk memulihkan ketertiban, Mao meluncurkan GPCR. Tujuannya adalah untuk menghancurkan kelas birokrat baru yang muncul, yang dianggap Mao sebagai 'pengikut jalan kapitalis'. Periode ini didominasi oleh kekacauan politik, penghancuran institusi, dan penekanan mutlak pada ideologi atas keahlian. Ini adalah puncak tertinggi dari maoisme radikal dan bukti paling jelas dari konsep 'Kelanjutan Revolusi'.
Setelah kematian Mao, ideologi maois yang radikal secara efektif dipetieskan. Meskipun Pemikiran Mao Zedong tetap dihormati sebagai teori revolusi, praktik-praktik seperti perjuangan kelas terus-menerus dan mobilisasi massa yang kacau dihentikan. Deng Xiaoping secara fundamental mengubah tujuan maoisme dari perjuangan kelas ideologis menjadi pembangunan ekonomi pragmatis—sebuah tindakan yang oleh penganut maois garis keras di seluruh dunia dicap sebagai 'kapitulasi total' terhadap revisionisme dan kapitalisme.
Memahami ideologi maois memerlukan pemahaman bahwa doktrin ini adalah dialektika berkelanjutan antara praktik dan ideologi, di mana kegagalan ekonomi selalu diinterpretasikan sebagai kegagalan politik dan ideologis, yang pada akhirnya menuntut pertumpahan darah dan pemurnian yang lebih radikal.
***
Jangkauan ideologi maois jauh melampaui batas-batas geografi Tiongkok. Meskipun basis utamanya adalah Tiongkok, maoisme memberikan bahasa dan kerangka kerja bagi perlawanan di seluruh dunia berkembang. Itu adalah ideologi yang secara efektif memberikan legitimasi untuk perjuangan bersenjata jangka panjang di mana kaum tani, yang secara tradisional diabaikan oleh teori Marxis ortodoks, diangkat menjadi pahlawan utama sejarah.
Bagi gerakan-gerakan ini, maoisme adalah alat untuk dekolonisasi dan pembebasan, menegaskan bahwa negara-negara miskin tidak perlu menunggu revolusi industri borjuis untuk memulai jalan mereka menuju sosialisme. Mereka dapat melompat langsung dari feodalisme semi-kolonial ke sosialisme, asalkan mereka memiliki kepemimpinan Partai yang benar, garis politik yang tegas, dan dukungan total dari mayoritas petani. Keyakinan pada keunggulan politik dan moral ini adalah warisan abadi dari ideologi maois, yang terus menginspirasi kelompok-kelompok bersenjata yang menolak tatanan global yang didominasi oleh kekuatan Barat dan ekonomi pasar bebas.